Romi Zarman
Riau Pos,19Sep2010
Tiga catatan yang akan saya kemukan terdiri satu entitas yang bernama sastra. Pertama; perihal sastra maya yang menimbulkan ambivalensi dalam diri sebagian kaum sastrawan. Di satu sisi, mereka menolak kehadiran koran, tapi di sisi lain mereka juga mengirim dan mempublikasikan karya di sana. Kedua; pesatnya perkembangan sastra maya telah melenyapkan batas antara lokal-nasional. Tak ada istilah lokal-nasional. Riau Pos, misalnya, tidak bisa dikategorikan sebagai koran lokal. Lenyapnya batas-batas teritorial di dunia maya, mudahnya akses ke website Riau Pos, telah membuka mata kita bahwa Riau Pos bisa diakses di mana saja dan kapan saja. Ketiga; terjadinya ambivalensi dalam membumikan sastra. Tarik-menarik antara koran dan dunia maya, penerbit kecil-penerbit besar, dan sistem kapitalisasi yang bermain. Mudah-mudahan tiga catatn ini bermanfaat.
Pertama
Sastra maya adalah sastra yang dipublikasikan di dunia maya. Ia tak memiliki bentuk seperti halnya sastra koran, tetapi kehadirannya bisa dilihat dan disaksikan dengan mata kepala. Bila sastra koran mediumnya adalah koran, maka tidak demikian dengan sastra maya. Orang mesti online dan masuk ke dalam dunianya. Ada mekanisme yang harus dilewati. Tidak seperti sastra koran. Untuk membaca karya sastra koran, pembaca cukup membeli atau meminjam koran. Berbeda dengan mekanisme sastra maya. Pembaca mesti mendaftar terlebih dahulu. Di milis, misalnya. Bagi yang ingin mengikuti perkembangan sastra di sana tapi belum terdaftar sebagai anggota, maka pembaca tak akan bisa masuk dan tak akan bertemu dengan karya.
Begitu pun dengan Facebook dan Twitter. Pembaca mesti memiliki aku terlebih dahulu. Meskipun pembaca telah memiliki akun Facebook, bukan berarti sudah bisa menjumpai karya. Ada mekanisme yang harus dilalui berikutnya, yakni menjalin pertemanan dan menunggu konfirmasi atau izin dari orang yang bersangkutan. Ada kalanya izin tak diberikan dan pertemanan pun otomatis tidak akan terjalin. Bagaimana kita akan membaca karya si A, misalnya, bila ia tidak mengizinkan kita berteman dengannya? Sebaliknya, kalau kita sudah berkawan dengan seorang, misalnya, ia bisa saja me-remove kita dari daftar pertemanan. Kasus ini pernah terjadi pada CH Yurma. Waktu itu karyanya dikomentari oleh seseorang, lantas ditanggapi balik oleh Yurma. Akan tetapi, seseorang itu langsung me-remove Yurma dari daftar pertemanan.
Jejaring sosial, sastra maya juga mengacu pada karya yang dipublikasikan di Blogspot dan Wordpress. Mekanismenya lebih mudah ketimbang Facebook dan Twitter. Pembaca cukup mengetik alamat blog atau Wordpress dan bisa langsung menjumpai karya, tanpa harus mendaftar terlebih dahulu atau menunggu konfirmasi pertemanan. Pembaca juga bisa ikut berkomentar. Cukup mencantumkan nama, alamat blog, atau alamat e-mail.
Sastra maya bukan hanya menyediakan ruang antara karya dan pembaca, tapi juga dengan pengarang. Bila sastra koran hanya menyediakan ruang komunikasi antara pembaca dan karya, maka tidak demikian kiranya dengan sastra maya. Bagaimana kesan pembaca, tanggapan, saran dan kritik, bisa langsung dilontarkan pada pengarang. Cukup dengan mengetik komentar, lalu membagikannya, maka pengarang bisa membaca. Tak hanya sampai di situ, pembaca lain juga bisa ikut menanggapi.
Maraknya sastra maya akhir-akhir ini tak lepas dari metode publikasi yang dimilikinya. Karya begitu mudah menjumpai pembaca. Tak ada proses seleksi di sana, seperti halnya sastra koran. Kelayakannya justru ditentukan oleh pembaca. Pembaca yang memiliki otoritas, bukan redaktur. Bila karya itu kurang baik mutunya, maka pembaca akan meninggalkannya. Atau sebaliknya, pembaca akan langsung menanggapi, memberikan masukan. Selain itu, maraknya sastra maya dikarenakan ia mampu menjadi media alternatif bagi sebagian pengarang kita. Rata-rata dari mereka tidak percaya pada mekanisme seleksi koran. Dalam pandangan mereka, karya-karya yang dipublikasikan di koran tidak lepas dari selera dan kepentingan redaktur semata. Dunia maya dalam hal ini menjadi media alternatif untuk mempublikasikan karya. Bahkan beberapa waktu belakangan, dunia maya tidak hanya berfingsi sebagai media alternatif, tapi juga tempat belajar menulis. Bambi Cahyani, misalnya, belajar dan mempublikasikan karya pertama kali melalui media ini. Begitupun dengan Hasan Aspahani, TS Pinang, Deddy Tri Adi, Bernard Batubara, dan sederetan nama lainnya.
Bila ia hanya bukan sekedar media alternatif, mengapalah sebagian dari mereka mempublikasikan karya di media cetak koran? Bukankah mereka jelas-jelas mencurigai bahwa proses seleksi koran hanya didasarkan atas selera dan kepentingan redaktur semata? Ah… ambivalensi. Di satu sisi mereka menolak koran, tapi di sisi lain mereka justru mengirim dan mempublikasikan karya di sana. Indrian Koto, misalnya, pengrang asal Pesisir Selatan ini jelas-jelas menolak sastra koran tapi di sisi lain juga mempublikasikan karya di Kompas, Koran Tempo, Suara Merdeka (tiga koran yang dicurigai sebagai koran yang mengkonstruksi estetika dominan). Belum lagi sejumlah pengarang lainnya. Yang menolak koran, justru mengirim dan mempublikasikan karya ke sana…
Dua
Dalam era dunia maya hari ini, apakah masih berlaku sebutan pengarang lokal-pengarang nasional? Tidak. bagi saya, dikotomi itu telah lenyap. Lenyapnya batas-batas teritorial melalui dunia maya, mudahnya akses ke surat kabar-surat kabar yang dipandang lokal, bermunculannya media-media jejaring sosial (Facebook dan Twitter), serta semakin banyaknya media publikasi karya seperti Blogspot dan Wordpress yang bisa diakses kapanpun dan dimana saja, apakah masih relevan bila tetap mempertahankan dikotomi pengarang lokal-pengarang nasional? Tidak. Akan tetapi, jika memang demikian, mengapa dikotomi itu hari ini masih berdiri kokoh seakan hendak menciptakan jurang?
Jawabnya, tak lain dan tak bukan, karena sebagian pengarang kita masih dikendalikan oleh habitus koran. Sementara, perkembangan sastra sudah bergeser dari realitas cetak ke dunia maya. Pergeseran ini jamak dipandang bukan bagian dari sejarah kesastraan kita. Ironis memang. Persoalan ini bukan semata-mata kemajuan teknologi, melainkan juga bagaimana pengarang dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan.
Hanya sebagian pengarang kita yang mengikuti perkembangan tersebut. Mereka itu bisa disebut sebagai pengarang (maaf) “pantek”, alias pandir teknologi. Kepantekan mereka disebabkan kegagapan dalam memasuki dunia internet. Bagi mereka, media massa cetak hanya habitus yang tak bisa ditinggalkan. Terutama media cetak terbitan Jakarta yang mereka sebut sebagai media cetak nasional. Seseorang belum diakui kepengarangannya bila karyanya belum menembus media yang mereka anggap nasional. Legitimasi seorang sastrawan diukur dari kesanggupannya dalam menembus media nasional. Doxa itulah yang mereka yakini. Keyakinan itu begitu mendalam, mendarah-daging, dan diwariskan secara turun-temurun.
Warisan itu berbentuk dikotomi lokal-nasional, di mana satu kategori yang bernama nasional merasa lebih superiol dibanding lokal. Pengarang lokal dipandang begitu inferior. Belum ada apa-apa bila karyanya menembus koran nasional. Hierarki seperti ini sering muncul dalam bentuk tindakan mencemooh, menyindir, dan cenderung menutup pintu komunikasi. Mereka tak mau duduk semeja dengan pengarang lokal, misalnya, atau bila ada yang hendak berkomunikasi, baik melalui tegur sapa langsung maupun via seluler, mereka lebih cenderung menutup diri. Mereka nayan mau berkumpul dengan sesama mereka. Mereka hanya bersedia berkomunikasi antar mereka.
Bila ada yang mengkritisi praktik-praktik diskriminatif tersebut, maka mereka (sang kuasa, yang dipandang sebagai pengarang nasional) akan bersembunyi di balik alasan motivasi. Ambivalensi pun terjadi pada pengarang lokal. Di satu sisi, mereka menolak praktik-praktik diskriminatif tapi di sisi lain mereka ingin setara dengan pengarang nasional. Intensi itu terlihat ketika mereka mati-matian menembus media massa yang disebut nasional. Bahkan, ambivalensi itu juga terlihat ketika mereka justru menggunakan kaca mata sang kuasa (sekali lagi, dalam hal ini pengarang yang dipandang sudah menasional). Praktik-praktik deskriminatif, semisal tak boleh duduk semeja bila sastrawan lokal belum bisa menembus nasional, dipandang sebagai cambuk untuk melecut semangat.
Ironis memang, barangkali ambivalensi ini tak jauh berbeda dengan sifat Hanafi dalam pandangan Abdul Moeis. Dalam novel itu, digambarkan betapa Hanafi setara dengan sang kuasa kolonial. Betapa untuk mewujudkan keinginannya itu ia rela berlalu kebarat-baratan. Tapi di satu sisi ia justru menolaknya dalam bentuk sikap yang lain. Adakah mereka, pengarang-pengarang yang ambivalen itu, adalah “Hanafi-Hanafi” kesastraan? ah…
Praktik-praktik deskriminatif itu sebenarnya berjalan dalam dua ranah. Ranah pertama, terlihat jelas adanya upaya mempertahankan superioritas sebagai sang kuasa, yang telah menasional. Merasa diri hebat ketimbang yang lokal. Ranah kedua, sistim hierarki, atau dikotomi lokal-nasional yang diterapkan semakin memperkuat kekuasaan yang dimiliki guna pencapaian-pencapaian ke depan. Kelompok inferior, dalam hal ini mereka yang dipandang lokal, merasa bangga bila karya sudah bisa menembus nasional. Merasa sudah setara dengan meraka yang nasional. Padahal, di balik semua itu, yang terjadi adalah praktik-praktik diskriminatif. Dalam konseptual Bourdieu, ini bukan kebanggaan tapi lebih merupa wujud kekerasan simbolik yang melanda kesusastraan kita. Makna kekerasan simbolik terletak pada penerapan makna sosial dan representasi dari realitas yang diinternalisasikan. Kekerasan tersebut bahkan tidak dirasakan sebagai suatu bentuk kekerasan, sehingga tak mengherankan kenapa ia bisa berjalan efektif dalam praktik dominasi kesastraan. Akarnya terletak pada konsep “kesalahkaprahan” (missrecognition) dalam mengidientifikasi kelompok superior yang melekat melalui praktik-praktik yang dipandang sebagai tindakan motifasi.
Tiga
Teknologi memang berkembang pesat akhir-akhir ini. Tapi bukan berarti kita menerima begitu saja apa yang ditawarkan. Sastra internet, yang menjadikan internet sebagai mediumnya, memang berpeluang menjadi media alternatif dalam rangka membumikan sastra. Akan tetapi, jika diperiksa kembali mediumnya, tentu gagasan itu jauh panggang dari api. Internet hari ini memang bukan lagi milik kaum elit. Mulai dari guru besar sampai anak SD sudah mengenalnya. Ratarata dari mereka terutama SD, SMP, SMA, dan sebagian mahasiswa, hanya menggunakan internet sebagai media gaul. Bukan untuk memenuhi kebutuhan akan “rohani” dan ilmu pengetahuan. Indikatornya bisa kita lihat betapa banyaknya terjadi kasus penyalah gunaan internet yang digunakan siswa sekola menengah dan mahasiswa akhir-akhir ini. Dunia internet bagi mereka baru sebatas hiburan belaka. Belum sampai ke tahap yang lebih serius. Sementara, sastra, dalam hal ini, dipandang sebagai sesuatu yang serius dan hanya milik kaum elit.
Bagaimana akan membumikan sastra bila ternyata buku-bukunya jauh dari pembaca? Sistim distibusi, misalnya, cndrung tertutup. Mereka tak mau bekerja sama dengan toko-toko besar semacam Gramedia, misalnya. Mereka lebih memilih jaringan komunitas, itupun komunitas yang ada di beberapa daerah. Tak merata di seluruh indonesia. Belum lagi belekangan muncul e-book atau buku elektronik yang pemesanannya dilakukan via telepon atau email. Sistem seperti ini saya rasa kurang tepat. Tak zamannya lagi menunggu bola. Sebaliknya, sistem yang cocok menurut saya adalahn sistem jemput bola. Sastra mesti didistribusikan dengan mudah ke tangan pembaca. Barangkali seperti halnya lagu pop Indonesia didistribusikan di pasar kaki lima.
Belum lagi misalnya tipe pembaca yang lain, untuk ibu-ibu atau bapak-bapak pedagang kaki lima, misalnya,. Bagaimana akan membumikan sastra bila media internet saja merupakan sesuatu yang eksklusif bagi mereka. Jangankan internet, dalam taraf koran saja mereka lebih tertarik pada berita politik, ekonomi, dan infotainmen, ketimbang sastra. Internet sebagai mendia bagi mereka adalah sesuatu yang jauh, di atas awang-awang, sesuatu yang elitis. Maka, dalam konteks ini saya pikir gagasan mengenai sastra internet untuk membumikan sastra mesti diperiksa kembali. Pembaca mana yang akan menerima pembumian sastra? Apakah siswa kelas menengah, mahasiswa, guru besar, ataukah guru-guru sekolah? Bukankah beragam pembaca yang saya sebutkan itu lebih gandrung kepada hiburan (infotainmen) semata?
Bila dibanding dengan strategi pemasaran Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, Rahasia Medee dan Negeri Lima Menara, saya pikir kita perlu belajar dari mereka. Akan tetapi, jangankan belajar, sebagian kaum sastrawan menolak kehadiran mereka. Sikap sebagian kaum sastrawan ini. Sikap sebagian kaum sastrawan ini bisa kita lihat salah satu dengan tidak diundangnya sebagin mereka ke acara-acara pertemuan sastrawan. Saya tak tahu apa lasan pastinya. Yang saya lihat justru terjadi ambivalensi. Di satu sisi, kita ingin membumikan sastra, tapi ketika ada yang hendak membumikan sastra seperti Andrea Hirata dan Es Ito, dan sederetan nama lainnya, kita justru menolak upaya yang dikaukan mereka. Belum lagi sikap sejumlah pengarang yang anti terhadap penerbit besar. Mereka berpandangan bahwa penerbit besar sarat dengan sistem kapitalisme. Padahal hampir tak bisa dipungkiri, sisitim seperti itulah yang membantu sastra untuk membumikan dirinya. Bahkan, sejumlah penerbit kecil ada yang berlaku serupa. Mereka juga berpandangan demikian, sehingga tak mengherankan kenapa tak mau mendistribusika buku-bukunya ke toko buku yang mereka anggap kapitalis.
Sebagian dari penerbit kecil yang anti kapitalis itu justru melakukan kapitalisasi. “Maling teriak maling”. Mereka menyoraki penerbit-penerbit besar. Tapi di sisi lain, penerbit-penerbit kecil itu, justru berladang di punggung sastrawan.
Saya pikir diperlukan saman keterbukaan diri. Tidak zamannya lagi kita menutup diri. Bukan berarti saya hendak menyarankan kaum sastrawan menggoyahkan idealisme.akan tetapi, sikap terbuka. Mau membuka mata terhadap strategi-strategi yang telah berhasil membumikan sastra di sisi-sisi, seperti yang dilakukan Andrea Hirata dan Es Ito. Jika keterbukaan diri tidak kita lakukan dan justru sibuk dengan menutup mata, tetntu gagasan untuk membumikan sastra hanya sebata gagasan. Tak terealisasikan. Hanya akan jadi wacana. Terus dan terus. Sementara, sastra akan tetap menjadi milik kaum elit, segelintir orang. Memang butuh sikap terbuka dan kerja ekstra.***
*) Saat ini sedang studi di S-2 Fakultas Ilmu Budaya UGM
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 05 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar