Indrian Koto
Riaupos 3okt2010
Tulisan Romi Zarman yang berjudul Tiga Catatan di Riau Pos Edisi Minggu 19 September 2010 terkesan terburu-buru memandang ragam soal dalam sastra. Lantaran banyaknya hal yang ingin dia gugat, perlu kiranya ada respon untuk membuka sebuah dialog. Harapan saya akan ada diskusi dan bahasan yang lebih spesifik untuk setiap persoalan.
Internet, Koran dan Sikap Sastrawan
Romi terlalu sederhana melihat posisi dan fungsi internet sebagai media publikasi karya. Bagi Romi bentuk hanyalah apa yang bisa diraba, yang terlihat (pakai mata dan kepala pula) tidak dianggap sesuatu yang berbentuk. Dalam dunia internet, karya lebih banyak dipublikasikan di blog dan situs pribadi. Adapun facebook (FB) yang muncul belakangan adalah dunia yang lebih hiruk-pikuk, di mana personal yang terlibat dan karya yang diposting, diperlukan satu bahasan tersendiri.
Ketika Romi bicara soal bagaimana dua media, koran dan internet bermain dalam penyeleksian karya, mengingatkan kita kembali pada gugatan Ahmadun Yosi Herfanda di awal kemunculan sastra internet. Romi Zarman menulis, “Tak ada proses seleksi di sana, seperti halnya sastra koran. Kelayakannya justru ditentukan oleh pembaca. Pembaca yang memiliki otoritas, bukan redaktur. Bila karya itu kurang baik mutunya, maka pembaca akan meninggalkannya. Atau sebaliknya, pembaca akan langsung menanggapi, memberikan masukan. Selain itu, maraknya sastra maya dikarenakan ia mampu menjadi media alternatif bagi sebagian pengarang kita.” Di bagian ini dia sudah memaparkan fungsi serta peran pembaca dalam sastra cyber. Lalu dia masuk pada kalimat, “Rata-rata dari mereka tidak percaya pada mekanisme seleksi koran.” Tudingannya semakin tajam dan menyebut “Dalam pandangan mereka, karya-karya yang dipublikasikan di koran tidak lepas dari selera dan kepentingan redaktur semata.” Selanjutnya ia kembali melihat peran sastra internet sebagai, “…media alternatif untuk mempublikasikan karya. Bahkan beberapa waktu belakangan, dunia maya tidak hanya berfungsi sebagai media alternatif, tapi juga tempat belajar menulis.” Secara tiba-tiba ia kembali menghujat, dan mematahkan hal yang diakuinya sendiri. “Bila ia hanya bukan sekedar media alternatif, mengapalah sebagian dari mereka mempublikasikan karya di media cetak koran? Bukankah mereka jelas-jelas mencurigai bahwa proses seleksi koran hanya didasarkan atas selera dan kepentingan redaktur semata?”
“Ah… ambivalensi.” Katanya. Romi dengan enteng lalu menyebut saya sebagai contoh dari ambivalensi yang dia maksud dan menyebut tiga media, yang katanya, “dicurigai sebagai koran yang mengkonstruksi estetika dominan.” Ada banyak penulis yang semula hanya menulis di situs-situs pribadi, blog dan milis lalu pindah ke koran. Sebagian ada yang berhasil, sebagian yang lain tidak. Mereka juga dengan tidak serta-merta mengabaikan ruang publikasi awalnya, dan sebagian yang lain juga dengan sadar kemudian tetap fokus di dunia maya. Ada banyak alasan yang tak bisa selesai dengan satu rumusan saja. Sastra di internet tidak lahir kemarin sore. Mereka yang menulis di dunia maya pun bisa mempublikasikannya di koran merupakan bukti bahwa baik koran maupun internet bisa melahirkan karya yang baik. Bukankah Romi juga percaya sastra di internet juga tidak semata-mata sebagai media alternatif tapi juga tempat belajar menulis.
Mestinya kita belajar bagaimana koran dan internet bisa diperlakukan dengan wajar. Caranya dengan tidak lagi memandang media publikasi mana yang paling baik. Koran dan internet adalah sama-sama ruang publikasi. Tidak selalu koran memuat karya terbaik (dengan tidak mengabaikan fungsi dan peran koran yang bersifat jurnalistik). Karya yang baik juga bisa lahir dari koran mana pun dan ruang publikasi apa pun. Karya buruk pun bisa muncul dari bentuk media apa pun. Belum lagi alasan-alasan yang akan sangat panjang ketika kita mempertanyakan kenapa mempublikasikan sastra di koran, atau di internet. Kita tidak membahas dalam sebuah diskusi yang sambil lalu.
Di satu sisi dia meragukan internet dengan perannya (termasuk mendistribusikan buku) tapi di sisi lain dia juga menganggap setiap orang perlu tahu dengan internet agar tidak pander teknologi. Di satu sisi dia bilang internet adalah ruang yang tidak elit dengan beragam kepentingan, tapi di sisi lain dia juga mengatakan internet adalah ruang yang tak bisa diakses oleh semua orang. Bagi saya tidak ada hubungan antara pengarang lokal- pengarang nasional dengan akses internet. Istilah daerah atau lokal merujuk pada tempat. Kitalah yang kemudian menjadikan istilah lokal-daerah menjadi sesuatu inferior. Bahwa yang nasional tidak hanya pusat. Istilah koran nasional misalnya, muncul dikarenakan faktor-faktor yang mendukung seperti jumlah pembaca, oplah, persebaran dan distribusinya. Jawa Pos yang terbit di Surabaya (merujuk wilayah) adalah juga koran nasional karena berdasarkan oplah dan jumlah pembaca serta.
Bagi Romi, orang gagap teknologi adalah orang yang tak bisa meninggalkan dunia koran. Romi seperti tidak terima jika ada orang yang menulis di dunia cyber mengirimkan karyanya juga ke koran. Apa iya bagi Romi orang-orang yang mempublikasikan karyanya di blog dan facebook semata-mata orang yang menolak koran sebagai ruang publikasi? Apakah perlu dipertanyakan pula mengapa mereka yang karyanya dipublikasikan di koran kemudian memposting karyanya di blog, situs atau FB?
Romi juga menulis, “Warisan itu berbentuk dikotomi lokal-nasional, di mana satu kategori yang bernama nasional merasa lebih superior dibanding lokal. Pengarang lokal dipandang begitu inferior. Belum ada apa-apa bila karyanya menembus koran nasional.” Romi mengatakan mereka (yang menasional itu) menutup pintu komunikasi, tak mau duduk semeja dengan pengarang lokal dan berkumpul dengan sesama mereka. Dia menuding-nuding dengan “mereka, mereka” tanpa menyebut yang mana dan siapa.
Ketika mempertanyakan dominasi koran (dan peran redaktur) dianggap sebuah sikap yang ambivalen, bagaimana kita bisa bicara soal superior-inferior, lokal-nasional, pusat-daerah, pengarang kecil-pengarang besar?
Penerbit, Distribusi dan “Membumikan Sastra”
Di pembuka bagian tiga, Romi mulai dengan mengatakan gagasan sastra internet sebagai ruang alternatif (yang tadi juga diakuinya) jauh panggang dari api. Sejak kapan pula internet diklaim sebagai milik kaum elit? Dia menukik pada soal buku dan pembaca. Mulai dari pembumian sastra, soal distribusi yang cenderung tertutup, e-book, buku online, hingga sikap yang seharusnya diperhatikan penerbit buku. Rakus sekali dia yang mau merumuskan sesuatu dalam sekali tulis.
Untuk distribusi tawaran Romi adalah sistem jemput bola. Seandainya Romi bisa menjelaskan bagaimana teknik ini berjalan, agar buku bisa sampai ke kaki lima, saya yakin para penerbit dan distributor akan berhutang besar pada ide brilian ini. Upaya menggunakan jaringan komunitas, menjual buku online adalah salah satu media distribusi buku diabaikan Romi. Sekali lagi dia menganggap upaya semacam ini adalah bentuk “menentang”. Gampang sekali ia mengklaim bahwa ini penolakan, itu penolakan dan kesemua adalah ambivalensi. Aih!
Dengan sangat bijaksana Romi lalu berujar: “Bila dibanding dengan strategi pemasaran Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, Rahasia Medee dan Negeri Lima Menara, saya pikir kita perlu belajar dari mereka. Akan tetapi, jangankan belajar, sebagian kaum sastrawan menolak kehadiran mereka.” Romi sedang bicara strategi pemasaran atau sikap (sebagian) sastrawan terhadap karya mereka? Romi tidak memberikan gambarannya. Romi mungkin lupa, penerbit kecil yang katanya melakukan kapitalisasi itu paling banyak hanya menerbitkan 2000 eksemplar buku, sementara standar yang diminta distribusi besar 5000 eksemplar buku. Belum lagi harga buku sangat ditentukan oleh harga kertas, biaya produksi dan biaya distribusi. Bicara sastra sampai ke tengah masyarakat, novel-novel Fredy S., Lupus, Wiro Sableng, komik petruk-Gareng sampai karya-karya Asmaraman Koo Ping Hoo justru tidak ada tandingan. Semua penerbit ingin bukunya tersalurkan sejauh-jauhnya, namun langkahnya tentu tidak sederhana.
Romi juga menuding perlakuan sastrawan yang tidak menyertakan para pengarang yang dimaksud ke acara-acara pertemuan sastra. Menurut Romi sebagai sastrawan mereka harusnya juga mendapat tempat di acara-acara pertemuan sastra. Di Indonesia ada banyak acara-acara sastra. Mungkin seseorang tidak diundang di event tertentu tetapi di event yang lain. Bahkan Andrea Hirata mewakili Indonesia Festival Iowa. Melihat pembaca menangis, merasa tersadarkan, buku laris, difilmkan tentu bukan kontribusi yang diharapkan demikian. Siapa sebenarnya yang diuntungkan oleh situasi semacam ini? Alih-alih sastra sampai ke pembaca dengan baik, mereka justru menjadi selebritas, diundang dengan bayaran sekian puluh juta, memberi motivasi dan justru lebih banyak bukan untuk acara-acara sastra. Justru dari sini muncul menara gading, pemberlakuan istimewa terhadap sebagian sastrawan. Apa sastra selesai dengan karya yang renyah, laku di pasaran dengan mengabaikan betapa sistem ekonomi berperan besar di sana? Membumikan sastra tak mesti dilihat dari buku yang laris, pengarang diundang dengan honor besar, penampilan diseting manajemen, diproduksi barang-barang semacam kaos, note book, pulpen, pin.
Selanjutnya Romi menulis, “Hampir tak bisa dipungkiri, sistim seperti itulah (kapitalisme) yang membantu sastra untuk membumikan dirinya. Bahkan, sejumlah penerbit kecil ada yang berlaku serupa… sehingga tak mengherankan kenapa tak mau mendistribusikan buku-bukunya ke toko buku yang mereka anggap kapitalis.” Dia menganggap (mungkin sebagian atau keseluruhan?) penerbit kecil yang maling teriak maling. Romi mungkin pura-pura tak tahu betapa penerbit kecil ini dikepung mafia buku. Untuk menerbitkan satu buku penerbit kecil harus pontang-panting mendapatkan kertas dan berhitung betul dengan biaya produksi. Belum lagi buku yang ditolak dengan berbagai alasan: jenis buku, judul, pilihan cover, menjual-tidak menjual, hitungan laku tidak laku sampai harga distribusi yang mencekik leher.
Siapa yang berladang di punggung sastrawan? Klaim ini harus bisa dipertanggungjawabkan. Romi berharap penerbit kecil akan bisa bersikap seperti penerbit besar, namun mengabaikan usaha yang dilakukan mereka dengan tudingan-tudingan kasar dan tak berdasar. Tentu kita boleh tidak sepakat dengan kerjasama penerbitan antara pengarang dan penerbit. Hal itu, sebagian dilakukan sebagai upaya agar karya bisa terbit. Di Kita perlu melihat ini dari dua wilayah sekaligus: pengarang dan penerbit untuk lebih objektif.
*) Mahasiswa yang belum menyelesaikan S1
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar