Selasa, 05 Oktober 2010

Dari Ambivalensi Hingga Berladang di Punggung Sastrawan

Indrian Koto
Riaupos 3okt2010

Tulisan Romi Zarman yang berjudul Tiga Catatan di Riau Pos Edisi Minggu 19 September 2010 terkesan terburu-buru memandang ragam soal dalam sastra. Lantaran banyaknya hal yang ingin dia gugat, perlu kiranya ada respon untuk membuka sebuah dialog. Harapan saya akan ada diskusi dan bahasan yang lebih spesifik untuk setiap persoalan.

Internet, Koran dan Sikap Sastrawan

Romi terlalu sederhana melihat posisi dan fungsi internet sebagai media publikasi karya. Bagi Romi bentuk hanyalah apa yang bisa diraba, yang terlihat (pakai mata dan kepala pula) tidak dianggap sesuatu yang berbentuk. Dalam dunia internet, karya lebih banyak dipublikasikan di blog dan situs pribadi. Adapun facebook (FB) yang muncul belakangan adalah dunia yang lebih hiruk-pikuk, di mana personal yang terlibat dan karya yang diposting, diperlukan satu bahasan tersendiri.

Ketika Romi bicara soal bagaimana dua media, koran dan internet bermain dalam penyeleksian karya, mengingatkan kita kembali pada gugatan Ahmadun Yosi Herfanda di awal kemunculan sastra internet. Romi Zarman menulis, “Tak ada proses seleksi di sana, seperti halnya sastra koran. Kelayakannya justru ditentukan oleh pembaca. Pembaca yang memiliki otoritas, bukan redaktur. Bila karya itu kurang baik mutunya, maka pembaca akan meninggalkannya. Atau sebaliknya, pembaca akan langsung menanggapi, memberikan masukan. Selain itu, maraknya sastra maya dikarenakan ia mampu menjadi media alternatif bagi sebagian pengarang kita.” Di bagian ini dia sudah memaparkan fungsi serta peran pembaca dalam sastra cyber. Lalu dia masuk pada kalimat, “Rata-rata dari mereka tidak percaya pada mekanisme seleksi koran.” Tudingannya semakin tajam dan menyebut “Dalam pandangan mereka, karya-karya yang dipublikasikan di koran tidak lepas dari selera dan kepentingan redaktur semata.” Selanjutnya ia kembali melihat peran sastra internet sebagai, “…media alternatif untuk mempublikasikan karya. Bahkan beberapa waktu belakangan, dunia maya tidak hanya berfungsi sebagai media alternatif, tapi juga tempat belajar menulis.” Secara tiba-tiba ia kembali menghujat, dan mematahkan hal yang diakuinya sendiri. “Bila ia hanya bukan sekedar media alternatif, mengapalah sebagian dari mereka mempublikasikan karya di media cetak koran? Bukankah mereka jelas-jelas mencurigai bahwa proses seleksi koran hanya didasarkan atas selera dan kepentingan redaktur semata?”

“Ah… ambivalensi.” Katanya. Romi dengan enteng lalu menyebut saya sebagai contoh dari ambivalensi yang dia maksud dan menyebut tiga media, yang katanya, “dicurigai sebagai koran yang mengkonstruksi estetika dominan.” Ada banyak penulis yang semula hanya menulis di situs-situs pribadi, blog dan milis lalu pindah ke koran. Sebagian ada yang berhasil, sebagian yang lain tidak. Mereka juga dengan tidak serta-merta mengabaikan ruang publikasi awalnya, dan sebagian yang lain juga dengan sadar kemudian tetap fokus di dunia maya. Ada banyak alasan yang tak bisa selesai dengan satu rumusan saja. Sastra di internet tidak lahir kemarin sore. Mereka yang menulis di dunia maya pun bisa mempublikasikannya di koran merupakan bukti bahwa baik koran maupun internet bisa melahirkan karya yang baik. Bukankah Romi juga percaya sastra di internet juga tidak semata-mata sebagai media alternatif tapi juga tempat belajar menulis.

Mestinya kita belajar bagaimana koran dan internet bisa diperlakukan dengan wajar. Caranya dengan tidak lagi memandang media publikasi mana yang paling baik. Koran dan internet adalah sama-sama ruang publikasi. Tidak selalu koran memuat karya terbaik (dengan tidak mengabaikan fungsi dan peran koran yang bersifat jurnalistik). Karya yang baik juga bisa lahir dari koran mana pun dan ruang publikasi apa pun. Karya buruk pun bisa muncul dari bentuk media apa pun. Belum lagi alasan-alasan yang akan sangat panjang ketika kita mempertanyakan kenapa mempublikasikan sastra di koran, atau di internet. Kita tidak membahas dalam sebuah diskusi yang sambil lalu.

Di satu sisi dia meragukan internet dengan perannya (termasuk mendistribusikan buku) tapi di sisi lain dia juga menganggap setiap orang perlu tahu dengan internet agar tidak pander teknologi. Di satu sisi dia bilang internet adalah ruang yang tidak elit dengan beragam kepentingan, tapi di sisi lain dia juga mengatakan internet adalah ruang yang tak bisa diakses oleh semua orang. Bagi saya tidak ada hubungan antara pengarang lokal- pengarang nasional dengan akses internet. Istilah daerah atau lokal merujuk pada tempat. Kitalah yang kemudian menjadikan istilah lokal-daerah menjadi sesuatu inferior. Bahwa yang nasional tidak hanya pusat. Istilah koran nasional misalnya, muncul dikarenakan faktor-faktor yang mendukung seperti jumlah pembaca, oplah, persebaran dan distribusinya. Jawa Pos yang terbit di Surabaya (merujuk wilayah) adalah juga koran nasional karena berdasarkan oplah dan jumlah pembaca serta.

Bagi Romi, orang gagap teknologi adalah orang yang tak bisa meninggalkan dunia koran. Romi seperti tidak terima jika ada orang yang menulis di dunia cyber mengirimkan karyanya juga ke koran. Apa iya bagi Romi orang-orang yang mempublikasikan karyanya di blog dan facebook semata-mata orang yang menolak koran sebagai ruang publikasi? Apakah perlu dipertanyakan pula mengapa mereka yang karyanya dipublikasikan di koran kemudian memposting karyanya di blog, situs atau FB?

Romi juga menulis, “Warisan itu berbentuk dikotomi lokal-nasional, di mana satu kategori yang bernama nasional merasa lebih superior dibanding lokal. Pengarang lokal dipandang begitu inferior. Belum ada apa-apa bila karyanya menembus koran nasional.” Romi mengatakan mereka (yang menasional itu) menutup pintu komunikasi, tak mau duduk semeja dengan pengarang lokal dan berkumpul dengan sesama mereka. Dia menuding-nuding dengan “mereka, mereka” tanpa menyebut yang mana dan siapa.

Ketika mempertanyakan dominasi koran (dan peran redaktur) dianggap sebuah sikap yang ambivalen, bagaimana kita bisa bicara soal superior-inferior, lokal-nasional, pusat-daerah, pengarang kecil-pengarang besar?

Penerbit, Distribusi dan “Membumikan Sastra”

Di pembuka bagian tiga, Romi mulai dengan mengatakan gagasan sastra internet sebagai ruang alternatif (yang tadi juga diakuinya) jauh panggang dari api. Sejak kapan pula internet diklaim sebagai milik kaum elit? Dia menukik pada soal buku dan pembaca. Mulai dari pembumian sastra, soal distribusi yang cenderung tertutup, e-book, buku online, hingga sikap yang seharusnya diperhatikan penerbit buku. Rakus sekali dia yang mau merumuskan sesuatu dalam sekali tulis.

Untuk distribusi tawaran Romi adalah sistem jemput bola. Seandainya Romi bisa menjelaskan bagaimana teknik ini berjalan, agar buku bisa sampai ke kaki lima, saya yakin para penerbit dan distributor akan berhutang besar pada ide brilian ini. Upaya menggunakan jaringan komunitas, menjual buku online adalah salah satu media distribusi buku diabaikan Romi. Sekali lagi dia menganggap upaya semacam ini adalah bentuk “menentang”. Gampang sekali ia mengklaim bahwa ini penolakan, itu penolakan dan kesemua adalah ambivalensi. Aih!

Dengan sangat bijaksana Romi lalu berujar: “Bila dibanding dengan strategi pemasaran Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, Rahasia Medee dan Negeri Lima Menara, saya pikir kita perlu belajar dari mereka. Akan tetapi, jangankan belajar, sebagian kaum sastrawan menolak kehadiran mereka.” Romi sedang bicara strategi pemasaran atau sikap (sebagian) sastrawan terhadap karya mereka? Romi tidak memberikan gambarannya. Romi mungkin lupa, penerbit kecil yang katanya melakukan kapitalisasi itu paling banyak hanya menerbitkan 2000 eksemplar buku, sementara standar yang diminta distribusi besar 5000 eksemplar buku. Belum lagi harga buku sangat ditentukan oleh harga kertas, biaya produksi dan biaya distribusi. Bicara sastra sampai ke tengah masyarakat, novel-novel Fredy S., Lupus, Wiro Sableng, komik petruk-Gareng sampai karya-karya Asmaraman Koo Ping Hoo justru tidak ada tandingan. Semua penerbit ingin bukunya tersalurkan sejauh-jauhnya, namun langkahnya tentu tidak sederhana.

Romi juga menuding perlakuan sastrawan yang tidak menyertakan para pengarang yang dimaksud ke acara-acara pertemuan sastra. Menurut Romi sebagai sastrawan mereka harusnya juga mendapat tempat di acara-acara pertemuan sastra. Di Indonesia ada banyak acara-acara sastra. Mungkin seseorang tidak diundang di event tertentu tetapi di event yang lain. Bahkan Andrea Hirata mewakili Indonesia Festival Iowa. Melihat pembaca menangis, merasa tersadarkan, buku laris, difilmkan tentu bukan kontribusi yang diharapkan demikian. Siapa sebenarnya yang diuntungkan oleh situasi semacam ini? Alih-alih sastra sampai ke pembaca dengan baik, mereka justru menjadi selebritas, diundang dengan bayaran sekian puluh juta, memberi motivasi dan justru lebih banyak bukan untuk acara-acara sastra. Justru dari sini muncul menara gading, pemberlakuan istimewa terhadap sebagian sastrawan. Apa sastra selesai dengan karya yang renyah, laku di pasaran dengan mengabaikan betapa sistem ekonomi berperan besar di sana? Membumikan sastra tak mesti dilihat dari buku yang laris, pengarang diundang dengan honor besar, penampilan diseting manajemen, diproduksi barang-barang semacam kaos, note book, pulpen, pin.

Selanjutnya Romi menulis, “Hampir tak bisa dipungkiri, sistim seperti itulah (kapitalisme) yang membantu sastra untuk membumikan dirinya. Bahkan, sejumlah penerbit kecil ada yang berlaku serupa… sehingga tak mengherankan kenapa tak mau mendistribusikan buku-bukunya ke toko buku yang mereka anggap kapitalis.” Dia menganggap (mungkin sebagian atau keseluruhan?) penerbit kecil yang maling teriak maling. Romi mungkin pura-pura tak tahu betapa penerbit kecil ini dikepung mafia buku. Untuk menerbitkan satu buku penerbit kecil harus pontang-panting mendapatkan kertas dan berhitung betul dengan biaya produksi. Belum lagi buku yang ditolak dengan berbagai alasan: jenis buku, judul, pilihan cover, menjual-tidak menjual, hitungan laku tidak laku sampai harga distribusi yang mencekik leher.

Siapa yang berladang di punggung sastrawan? Klaim ini harus bisa dipertanggungjawabkan. Romi berharap penerbit kecil akan bisa bersikap seperti penerbit besar, namun mengabaikan usaha yang dilakukan mereka dengan tudingan-tudingan kasar dan tak berdasar. Tentu kita boleh tidak sepakat dengan kerjasama penerbitan antara pengarang dan penerbit. Hal itu, sebagian dilakukan sebagai upaya agar karya bisa terbit. Di Kita perlu melihat ini dari dua wilayah sekaligus: pengarang dan penerbit untuk lebih objektif.

*) Mahasiswa yang belum menyelesaikan S1

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati