Kamis, 14 Oktober 2010

MOMENTUM SASTRA MONUMENTAL

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Sastra tidak datang dari langit. Tidak juga diturunkan para malaikat. Sastra lahir dari proses yang kompleks. Ke belakang, ada kegelisahan sastrawan dalam menyikapi situasi sosial di sekitarnya. Ke depan, ada visi tertentu yang menjadi tujuan. Pada saat karya itu terbit, ada momentum. Momentum inilah yang sering kali justru membawa karya itu menjadi monumen. Sejarah telah berbicara banyak mengenai itu.

Puisi Muhammad Yamin, “Indonesia Tumpah Darahku” (1928) muncul dengan momentum Sumpah Pemuda. Ia menjadi monumental lantaran terbit pada saat dan peristiwa yang tepat. Padahal, dilihat dari semangat keindonesiaan, Yamin mengawalinya lewat antologi puisi “Tanah Airku” (1922) yang dari perspektif estetika dan tema Indonesia yang diusungnya, punya kualitas yang tak jauh berbeda. Keadaan yang sama terjadi pada naskah drama Bebasari (1926) Rustam Effendi. Sesunguhnya, ditinjau dari berbagai aspek, Bebasari sangat pantas ditempatkan sebagai perintis, tetapi tokh ia tetap tenggelam dan orang lebih banyak membicarakan antologi puisinya, Percikan Permenungan (1926).

Novel Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar juga sebenarnya perintis untuk novel terbitan Balai Pustaka. Tetapi yang menonjol kemudian Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli yang lebih dramatis dan Salah Asuhan 1928) karya Abdoel Moeis yang ketika itu, masalah persamaan hak sedang menjadi isu aktual. Bahkan, pada cetakan ke-9 (1990), cetakan pertama karya Merari Siregar tertulis tarikh 1927 yang mengesankan adanya pemanipulasian sejarah. Sementara itu, novel lain karya Adinegoro, Muhammad Kasim, Tulis Sutan Sati, Hamka, dan Suman Hs, jadinya sekadar pelengkap tema sejenis.

Begitulah, sejumlah karya sastra Indonesia seperti punya nasibnya sendiri. Karya-karya itu bagai bayi yang dilahirkan prematur, lewat operasi caesar, atau secara normal. Tetapi, masing-masing akan menggelinding, membawa garis peruntungannya sendiri, dan melemparkan atau melambungkan pengarangnya entah ke mana: tenggelam atau cemerlang.

Nasib novel Belenggu (1940) karya Armij Pane, lain lagi. Redaktur Balai Pustaka menilai novel itu lucah dan tidak senonoh. Bukankah perselingkuhan dokter (Tono) dengan pelacur (Yah) dapat menjatuhkan reputasi dokter? Balai Pustaka pun tak mau menerbitkan. Tetapi, Sutan Takdir Alisjahbana menilainya lain. Novel itu bagus, banyak menyodorkan hal baru. Penerbit Dian Rakyat, milik Alisjahbana, serta-merta menerbitkannya. Belakangan novel itu menghebohkan dan menjadi salah satu monumen perjalanan novel Indonesia.

Keadaannya berbeda dengan yang terjadi pada Suwarsih Djojopuspito atas novelnya Manusia Bebas (1975). Novel ini selesai ditulis tahun 1937 dalam bahasa Sunda. Setelah diindonesiakan, naskahnya dikirim ke penerbit Balai Pustaka, namun ditolak karena isinya menyuarakan semangat nasionalisme. Tahun 1940, novel ini terbit dalam bahasa Belanda di Utrecht, Belanda, berjudul Buiten het Gareel (Di Luar Garis) dengan kata pendahuluan diberikan E. D. Perron. Jika saja novel itu diterbitkan Balai Pustaka akhir tahun 1930-an, boleh jadi ia akan menjadi monumen mengingat penggambaran tokoh wanita dan temanya mengangkat persoalan nasionalisme. Ketika novel itu terbit dalam bahasa Indonesia tahun 1975, ia sudah kehilangan momentum.

Chairil Anwar lain lagi ceritanya. Sutan Takdir Alisjahbana yang waktu itu menjadi redaktur Balai Pustaka, menolak puisi-puisi “Binatang Jalang” itu, karena semangatnya yang aneh dan tak sesuai dengan estetika Pujangga Baru. Redaktur Balai Pustaka yang lebih muda, H.B. Jassin, menyimpan naskah puisi itu di laci kerja dan tak mengembalikan pada penyairnya. Setelah Alisjahbana tak lagi duduk di jajaran redaktur penerbit itu dan Jassin punya kewenangan, diterbitkanlah puisi-puisi Chairil Anwar. Lalu, apa yang terjadi setelah itu? Nama Chairil Anwar justru menjadi monumen perpuisian Indonesia.
***

Perjalanan nasib sebuah karya memang penuh misteri. Novel Pulang (1958) karya Toha Mohtar dianggap sebagai salah satu novel psikologis terbaik. Pada awalnya, ia lahir dari proses keterpaksaan. Sebagai redaktur majalah Ria (1952—1953), Toha Mohtar kerap dipusingkan oleh ketiadaan naskah. Untuk mengisi kekosongan itu, diusulkan pemuatan cerita bersambung. Usul itu diterima. Tetapi, celakanya, sampai menjelang majalah itu terbit, naskah yang ditunggu belum juga datang. Tak ada pilihan, Toha Mohtar sendiri yang harus mengisinya. Mulailah ditulis bagian pertama cerita bersambung itu dengan nama pena Badarijah UP. Setelah rampung seluruhnya, baru diterbitkan penerbit Pembangunan. Dua tahun kemudian novel itu memperoleh Hadiah Sastra BMKN tahun 1960.

Momentum sering menentukan nasib sebuah karya. Tak jarang justru menjadi faktor utama yang mengangkat reputasi. Itulah yang dialami Iwan Simatupang. Banyak pengamat sastra Indonesia menempatkan Merahnya Merah (1968) sebagai novel pertamanya, karena ia terbit lebih awal. Padahal, Ziarah (1969) selesai ditulis Iwan tak lama setelah kematian istrinya, Cornelia Astrid van Geem tahun 1960, dan Merahnya Merah rampung setahun kemudian (1961). Karya pertamanya drama Bulan Bujur Sangkar ditulis di Eropa (1957) dipublikasikan tahun 1960, dan nyaris tak mendapat tanggapan apa pun. Tahun 1966, terbit dua drama berikutnya, RT Nol/RW Nol dan Petang di Taman, tetapi juga tak ada sambutan.

Karya Iwan Simatupang mulai menghebohkan, bahkan memunculkan polemik, justru setelah terbit Merahnya Merah dan terutama Ziarah. Tampak di sini, tanggapan atas novel Iwan Simatupang begitu semarak, bersifat polemis, dan penting bagi perkembangan kritik sastra. Sangat mungkin tanggapan pembaca akan berbeda jika novel itu terbit tahun 1960-an ketika politik menjadi panglima. Jadi, terbitnya novel Iwan Simatupang selepas tragedi 1965, seperti memperoleh momentum. Sejak itu berlahiran karya sejenis dari sastrawan lain yang memperlihatkan semangat eksperimentasi. Iwan Simatupang menjadi tokoh penting. Betapa ramai tanggapan pembaca, dapat dilihat dari semua tulisan tentang Iwan Simatupang yang mencapai lebih dari 300-an, mulai resensi, esai sampai disertasi.

Sementara itu, Taufiq Ismail nyaris kehilangan momentum. Di sela-sela aksi demonstrasi yang merebak selepas tragedi 1965, ia membacakan sejumlah puisinya yang masih berceceran. Sebagian dibawa rekannya, Soe Hok Djin (Arief Budiman), sebagian yang lain berdesakan dalam tas ranselnya yang dibawa terus ke mana pun. Musibah terjadi. Di stasiun Gambir, tas ransel itu raib. Tirani dan Benteng yang terbit dalam bentuk stensilan itulah sejumlah puisi Taufiq Ismail yang dibawa Soe Hok Djin. Belakangan, H.B. Jassin menempatkan antologi puisi itu sebagai ikon sastrawan Angkatan 66.

Nasib novel Cermin Merah (2004) Nano Riantiarno, lebih unik lagi. Tahun 1973, naskah novel ini rampung dan segera ditawarkan ke sejumlah penerbit. Namun, semua menolak karena temanya “berbahaya”. Tak putus asa, Nano mendatangi suratkabar dan majalah agar memuat novel itu sebagai cerita bersambung. Hasilnya sama: menolak karena isinya menyinggung peristiwa 1965 dan persoalan homoseksual. Selama hampir 20 tahun naskah itu tersimpan rapi, meski semangat untuk menerbitkannya sudah berantakan.

Ketika Dewan Kesenian Jakarta menyelenggarakan Sayembara Menulis Novel 2003, di antara keputusasaan dan semangat yang redup, Nano Riantiarno mengirimkannya ke Panitia sayembara itu. Dewan Juri, Sapardi Djoko Damono, Budi Darma, dan Maman S. Mahayana, sepakat memilih Cermin Merah masuk 10 besar. Belakangan setelah diputuskan para pemenangnya, baru diketahui, Cermin Merah adalah karya Nano Riantiarno, yang juga menjadi Juri Sayembara Penulisan Naskah Drama DKJ 2003. Bahwa Cermin Merah masuk 10 besar, pertimbangannya, selain narasinya yang lancar mengalir dan begitu filmis, secara tematik, menyodorkan hal baru berkenaan dengan kehidupan homoseks yang digambarkan lewat sentuhan kuat aspek psikologis dan sosiologis. Begitu juga, teknik berceritanya yang mempermainkan flashback dan di beberapa bagian menyelusup imaji-imaji liar yang agak surealis, menjadikan novel itu kaya style.

Setelah Grasindo menerbitkan novel itu, sambutan pembaca cukup mencengangkan. Selain masuk nomine Khatulistiwa Award (2004), juga sedikitnya ada ratusan komentar mengenai novel itu, termasuk polemik yang terjadi di Millis Pasar Buku. Bagus juga novel itu terbit setelah tumbang rezim Orde Baru, jika tidak, tentu Nano Riantiarno akan menghadapi serangkaian pencekalan.
***

Momentum yang membawa karya tertentu jadi monumen, tentu saja yang terutama lantaran kualitasnya. Tetapi, penerbitan pada momen, peristiwa, zaman, dan penerbit yang tepat, tidak jarang ikut berpengaruh. Keluarga Gerilya (1948) Pramoedya Ananta Toer, adalah salah satu novel Indonesia terbaik. Tetapi, ia seperti tenggelam ketika tetralogi Bumi Manusia (1980) terbit pada saat rezim Orde Baru berada di puncak kekuasaan.

Saman (1998) Ayu Utami, di samping kualitasnya kuat, terbit pada momen yang tepat. Ia bagai memberi inspirasi bagi penulis perempuan lain sejalan dengan perubahan zaman. Secara tematis, Namaku Teweraut (2000) Ani Sekarningsih, Tarian Bumi (2000) Oka Rusmini, Supernova (2001) Dewi Lestari, Jendela-Jendela (2001) Fira Basuki, Cala Ibi (2003) Nukila Amal, Dadaisme (2004) Dewi Sartika, Geni Jora (2004) Abidah el Khalieqy, Tabularasa (2004) Ratih Kumala, sesungguhnya berpotensi menghebohkan jika saja novel-novel itu terbit sebelum Saman.

Dalam persoalan seks yang menjadi tema cerita, novelis perempuan yang kemudian tampak seperti berlomba menelanjangi diri sendiri. Tentu akan sangat menghebohkan jika karya-karya itu terbit sebelum Saman. Sebut saja, Ode untuk Leopold von Sacher—Masoch (2002) Dinar Rahayu, Nayla (2005) dan sejumlah cerpen Djenar Maesa Ayu, Mahadewa Mahadewi (2003) Nova Riyanti Yusuf atau Swastika (2004) Maya Wulan. Kehebohan Saman sesungguhnya juga tidak terlepas dari faktor momentum.
***

Begitulah, kisah di balik sukses karya-karya monumental, menegaskan, bahwa karya sastra lahir dari sebuah proses yang rumit, penuh misteri. Ia tidak dapat melepaskan diri dari berbagai faktor yang mengelilinginya: pengarang, penerbit—temasuk di dalamnya redaktur dan editor, pembaca, masyarakat, dan pemerintah. Di antara kepungan berbagai faktor itulah karya sastra menggelinding membawa nasibnya, mencari dan menemukan momentumnya sendiri.

(Maman S. Mahayana, Pengajar FIB-UI, Depok)

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati