Kamis, 14 Oktober 2010

Keyakinan tidak Perlu Bukti

”Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” (Yohanes 20: 29)

Judul: Larutan Senja
Penulis : Ratih Kumala
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, 2006
Peresensi: Mikael Johani
http://www.ruangbaca.com/

Ada kecenderungan nihilistis dalam tulisantulisan Ratih Kumala. Tabula Rasa-nya diisi penuh karakter-karakter yang gagal hidupnya: drug addicts, dosen yang satu cintanya mati satunya lagi tak berbalas, lesbian yang wanita pujaannya (salah satu drug addicts tadi) mati OD, etc. Kecapan Budi Darma di belakang buku ini cukup akurat: ”kalau perkembangan zaman menuntut kehidupan orang-orang modern menjadi kosong dan tidak bermakna, maka cinta kasih manusia modern pun menjadi kosong dan tidak bermakna.”

[Kecenderungan nihilistis, sinisisme, ini, kalau dilihat dalam konteks sejarah sastra Indonesia, bisa juga merupakan reaksi Ratih terhadap ke”lugu” an (v. esei Intan Soewandi di Jurnal Perempuan edisi ”Perempuan dalam Seni dan Sastra”) dan ”pretensi” (v. esei Katrin Bandel, ”Vagina yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami”, sudah dikumpulkan di bukunya Sastra, Perempuan, Seks) pengarang-pengarang (perempuan) lain di jamannya. Bandingkan dua penggalan dari Saman dan Tabula Rasa berikut ini: ”... garis-garis cahanya memanasi birahi hingga tanak seperti nasi.” (Saman, hlm. 2), ”... hatiku tidak lagi bergelora cintanya seperti nasi yang telah tanak.” (Tabula Rasa, hlm. 68.) Alusi. Sindiran. Parodi.]

Satu novel lagi, Genesis, dan 14 cerpen kemudian yang dikumpulkan dalam Larutan Senja, apakah Ratih masih senihilis ini?

Pertama kali membaca, kelihatannya, ya. Ini daftar karakter- karakter Larutan Senja urut berdasar susunan ceritanya: dukun bayi yang (hampir) dibakar hidup-hidup, pasien rumah sakit jiwa, pekerja proyek di hutan Kalimantan, pencipta ”larutan senja” yang ciptaannya dibajak Tuhan, wanita yang ditinggalkan suami karena me-laser tahi lalat di punggungnya— klangenan suaminya, penggesek biola yang dituduh jadi anggota Lekra, hantu yang menghadiri upacara pengabenannya sendiri, penduduk Berlin Timur yang mati berusaha menyeberang ke Berlin Barat (saat Tembok Berlin masih berdiri tentu), ”Wanita Berwajah Penyok”, perempuan hamil tiga bulan yang bunuh diri di kos-annya yang sempit, Yesus (dan Maria si pencerita kisahnya), kakek-kakek yang ditembak mati Belanda karena radio gerilyanya, pengusaha peti mati yang tak laku-laku dan terpaksa mengobral mereka, dan seorang tattooist yang mengaku pernah melihat Muhammad dan buroqnya (dan tentu saja, tidak ada yang percaya). Semuanya orang-orang yang tersingkirkan, mereka yang dilumpuhkan oleh dunia sekitarnya atau mereka sendiri.

Di akhir Tabula Rasa, Raras (si lesbian tadi) berkata pada Violet (cintanya yang terlanjur dikremasi), ”Aku dilahirkan sebagai batu tulis kosong. Aku tabula rasa, aku adalah dogma dari aliran empiris dan aku terbentuk dari jalannya hidup.” (Tabula Rasa, hlm. 183) ”Terbentuk.” Bukan ”membentuk”. Manusia dalam Tabula Rasa tak punya daya cipta, terserah Tuhan mau mencoreti batu tulis-batu tulis kosong itu dengan apa, menghapus yang sudah dicoreti, atau menimpanya dengan garis-garis nasib baru sementara yang lama pun masih samar-samar terlihat di baliknya. Arti hidup tokoh-tokoh dalam Tabula Rasa (kalaupun ada artinya) disusun satu-satu dari pengalaman mereka, dari apa yang mereka alami di dunia ini, yang kasat mata. Ini memang terdengar seperti aliran empiris, versi sebelum Kristus, Aristotelian, bukan versi Locke, misalnya, yang memberikan hak alami pada manusia untuk mengarang hidupnya sendiri.

Tabula Rasa berakhir dengan Raras memohon, ”Temani aku, sebab sebenarnya aku takut sendiri.” Ini konsekuensi logis dari epistemologi novel ini, tentu Raras akan, sudah seharusnya, begitu takut sendiri, karena tanpa orang lain betapa sepi nanti jalan hidupnya, dan dengan begitu betapa sedikit makna yang bisa ia punguti sepanjang perjalanannya!

Nah, perbedaan pertama yang saya lihat antara Larutan Senja dan Tabula Rasa adalah bahwa karakter-karakter dalam 14 cerita pendek ini lebih berani daripada Raras & Co. Si penemu ”larutan senja” di akhir cerita berjudul sama mengancam bahwa kalau tuhan (ya, dengan t kecil) tidak mau mengakui bahwa ”sebagian ‘dunia’-mu adalah ciptaanku”, ia akan meneteskan ”Larutan yang akan membuat dunia tak sempurna, tak lagi indah!” ke dunia tuhan, dunia yang baru saja disempurnakan dengan ”larutan senja” yang dicuri tuhan dari si penemu itu. Karena tuhan tidak mau juga mengakui hak cipta si penemu, cerita ini tamat dengan ”dua orang anak manusia” yang ”menangis ketakutan” karena dunia mereka, yang tadinya sempurna, ditelan ”awan-awan bergulung, suasana … hitam,” hasil ramuan si penemu. Dua orang ini berdoa, ”Ya Tuhan (ya, dengan T besar—mereka berdoa kepada si penemu yang telah mengalahkan tuhan dengan t kecil!) apa salah kami hingga Kau (ya, dengan K besar) ciptakan bencana alam?” (Semuanya Larutan Senja, hlm. 43.) Manusia di sini bukan lagi tabula rasa ex nihilo yang baru akan ”terbentuk” kemudian. Ia ”membentuk”, ”mencipta”, Ia Tuhan itu sendiri. Lengkap dengan (paling tidak dua) umat yang mengakui kebesaran-Nya.

Saya tidak tahu apakah ini agenda Ratih Kumala secara sadar untuk menjungkirbalikkan tatanan dunianya sendiri. Saya rasa itu tidak penting. Yang penting adalah bahwa tatanan itu memang berubah.

Satu cerita lagi yang bagi saya akhirnya mengurai benang merah kumpulan cerpen ini adalah ”Anakku Terbang Laksana Burung”, cerpen yang ”diadaptasi dari Injil Mathius, Kitab Perjanjian Baru.” Ratih Kumala mengakhiri versi gospelnya, yang diceritakan oleh Perawan Maria (jadi The Gospel According to Mary the Virgin, bukan Mary Magdalene the Whore), di bagian pas kedua Maria itu mengunjungi kubur Yesus yang ternyata kosong. Malaikat yang turun dari langit menjelaskan (seperti yang dia lakukan dalam Mathius, Markus, Lukas, dan Yohanes), ”Dia telah bangkit,” dan Perawan Maria pun menurut, mengulangi kata-katanya pada Maria Magdalena, ”Ia telah bangkit.” Sebagai narator cerita ini kemudian ia melanjutkan, ”Saat itu aku tahu, anakku telah terbang.” (Semuanya Larutan Senja, hlm. 113.) Tahu. Maria tahu bahwa anaknya telah bangkit.

Saya tidak ingin membahas konsep ”bangkit” Ratih Kumala yang di sini kelihatannya campuran antara ”terbang” laksana burung dan ”moksa” laksana dewa (cf. Yohanes 20: 17, ”Kata Yesus kepadanya [Maria Magdalena], ‘Janganlah engkau memegang Aku terus, sebab Aku belum naik kepada Bapa …’”), tapi konsep ”tahu” Maria tadi sangat penting. Perbedaan paling mendasar antara cerpen ini dan The Gospel According to Matthew adalah bahwa dalam versi cerpen ini, according to Mary/-rk- (begitu Ratih Kumala menulis inisialnya di akhir cerita), Yesus tidak perlu membuktikan kebangkitannya. Tidak perlu marah-marah (”Ia mencela ketidakpercayaan dan keheranan hati mereka, oleh karena mereka tidak percaya kepada orang-orang yang telah melihat Dia sesudah kebangkitan- Nya.” (Markus 16: 14)), tidak perlu merasa tidak diperhatikan muridnya nama-Nya pun mereka lupa (”… datanglah Yesus sendiri mendekati mereka …Tetapi ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia.” (Lukas 24: 15-16)), tidak perlu meyakinkan seorang pun skeptis seperti Tomas (”Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” (Yohanes 20: 29)).

Saya sering berpikir bahwa The Gospel According to Jesus Christ, novel Saramago itu, adalah sebuah apokrifa, sebuah gospel sekuler, yang membuat kita percaya. Nah, ”Anakku Terbang Laksana Burung” ini rasanya bagi saya seperti apokrifa (mungkin harus ditulis di antara [kurung tegak] seperti teksteks Alkitab yang ”tidak terdapat dalam naskah-naskah yang dinilai paling baik atau kuno”) yang justru ultra-religius, sebuah gospel yang menuntut kita untuk percaya.

[Saya ingin tahu apakah -rksengaja memilih mengadaptasi Matius dan bukan Markus, Lukas, atau Yohanes karena di antara gospel-gospel itu Matius jugalah yang paling tidak peduli tentang keaslian, kemurnian cerita- ceritanya. Seperti ditulis dalam buku Pastur Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru, terbitan Kanisius: ”Dalam Mat tidak ada bekasnya bahwa penulis menjadi saksi mata (telinga) tentang apa yang diceriterakannya. Sebaliknya, ia menggantungkan diri pada tradisi sebelumnya (mrk, Q, dll.). Seorang saksi mata pasti tidak berbuat demikian. ... mrk dan Luk kadang-kadang nampaknya lebih asli dan murni daripada Mat. Ternyata Mat menyusun, mengatur dan mengartikan ucapan-ucapan Yesus dengan bebas sekali.” (Hlm. 87.)

Juga apakah dengan begitu arah pandangan -rk- dalam menulis cerita ini sama dengan arah pandangan Matius & Co. yang ”persis terbalik dari arah pandangan seorang sejarawan ... yang tidak mempunyai minat ‘historis’ [sehingga tidak perlu bukti] … [yang tidak ingin membawa pembaca] kepada Yesus dahulu, tetapi sebaliknya: Yesus dahulu dibawa kepada jemaat sekarang … [yang] berupa pewartaan yang mau membina, memperteguh dan menjernihkan iman kepercayaan yang diandaikan saja.” (Masih buku Groenen, hlm. 77.)

Apakah ”Anakku Terbang Laksana Burung” ingin membawa Yesus yang telah bangkit/ terbang entah ke mana kepada kita sekarang?]

Kedua perbedaan ini sangat penting karena dalam cerita-cerita yang lain di Larutan Senja kita pun ditantang untuk percaya tanpa ada bukti, ataupun kalau ada bukti, itu pun berupa bukti-bukti mistis yang membutuhkan kepercayaan tersendiri, ekstra, untuk percaya bahwa mereka memang bukti, bukan kebetulan-kebetulan saja, juga untuk tahu apa itu yang mau dibuktikan.

Dalam ”Gin Gin dari Singaraja” misalnya, si pencerita yang ”antara percaya tidak percaya” bahwa Gin Gin yang baru saja berkenalan dengannya di bus sebenarnya sudah meninggal tiga tahun lalu akhirnya percaya juga setelah kartu nama yang ia berikan ke Gin Gin waktu itu suatu pagi ia temukan ”tergeletak di bantal sebelah”. (Larutan Senja, hlm. 72.)

Untuk mempercayai logika sebuah cerita hantu kita dituntut untuk percaya hantu itu ada, bahwa Gin Gin yang tiga tahun lalu mati mendaki gunung sekarang sudah siap untuk turun gunung ke Singaraja untuk dingabenkan (akhirnya). Bagaimana kita harus percaya? Bukan dengan bukti tentu, karena kalau begitu kita akan selama- lamanya terombang-ambing antara percaya tidak percaya. Kita harus yakin saja.

Sistem kepercayaan ini juga pembalikan dari sistem yang dulu ada di Tabula Rasa. Tokoh- tokoh di situ mencoba untuk memperbaiki hidup (walau gagal terus) dengan prinsip: ”Tak pernah lagi kugubris suara hatiku, terlalu cengeng. Itu tidak membuatku kuat. Maka, aku mulai menggunakan otakku. Logikaku ternyata lebih bisa membawaku ke tahap hidup yang lebih baik.” (Tabula Rasa, hlm. 135.)

Destination: sebuah utopia Lockean? Bisa saja. Yang jelas trayek rute maskapai Tabula Rasa akhirnya tak pernah sampai ke situ.

Karena skeptisisme Ratih Kumala pada daya otak membahagiakan manusia itu sudah ada waktu itu pun. Contohnya waktu Galih pertama kali ketemu Krasnaya di Mausoleum Lenin: ”Sedetik kemudian hati —dan bukan akal—mendorongku untuk tak melepaskan pandangan dari dia. Tiba-tiba akalku memanggilku kembali, mengingatkanku akan pemenuhan rasa ingin tahu pada Lenin … Di jalan keluar baru aku sadar—dan ini saat—[sic] saat penuh di mana aku menggunakan akalku kembali [—] bahwa aku tak dapatkan keduanya: Lenin dan gadis itu.” (Tabula Rasa, hlm. 14)

Saya tidak tahu apakah sekarang ini hati yang digubris lagi, yang dituntut untuk percaya, supaya dunia dalam ceritacerita di Larutan Senja berputar; tapi paling tidak cerita-cerita itu kelihatannya memang berusaha menunjukkan, dengan serentetan kejadian, bahwa untuk membuat manusia jadi lebih kuat, diperlukan lebih daripada hanya otak.

Cerita terakhir di Larutan Senja juga tentang keyakinan (dan mereka yang tidak yakin). Qatrun/Cimeng setelah dewasa bermimpi melihat Nabi Muhammad yang ”penuh wibawa berdiri di atas buroq.” Wajah Muhammad tidak terlihat jelas (cf. Lukas 24: 16 tadi) tapi Qatrun melihat jelas buroq seperti apa, ”Seperti sampan yang panjang.” Waktu ditanya ustaznya, ”… bagaimana kau tahu Muhammad naik buroq, bukan naik sampan?” Qatrun menjawab, ”Tahu! Aku tahu, Ustaz! Itu buroq, bukan sampan.”

Sekali lagi, Cimeng, seperti Maria, seperti teman baru Gin Gin, tahu. Mereka yakin, sehingga tidak perlu bukti. Mereka bisa melihat, karena mereka percaya.

[Bahwa keyakinan saat ini sedang di atas angin dalam pertarungannya melawan otak/akal bukan hal yang terjadi tiba-tiba dalam fiksi Ratih Kumala. Kemungkinan bahwa mungkin keyakinanlah senjata pamungkas melawan otak/akal yang (mungkin—kita belum tahu sebenarnya untuk yakin itu kita perlu apa, hati? rasa?, tapi kelihatannya memang bukan otak/akal) berkongsi dengan nihilitas, kekosongan, ketabularasaan, mulai ditulisnya dalam Genesis, novel keduanya—yang nyaris nihil ada di pasaran. Pertarungan ini dalam Genesis diumpamakan sebagai perang batin Pawestri/Suster Maria Faustina untuk percaya atau tidak percaya. Dan, waktu ia pergi ke Ambon untuk menjadi biarawati di tengah-tengah konflik Acang vs. Obet, Suster Maria berpikir, “Perang di depan mataku adalah gambaran nyata perang batinku selama ini. Manusia dan manusia dan setan dan Tuhan?” (masih T besar). (Genesis, hlm. 124.)

Di sinilah, dalam kitab Kejadian versinya ini, dunia -rkyang dulunya hanya batu tulis kosong, nihil, mulai diisi. Pertama dengan keyakinan. Kemudian dengan Tuhan: ”Manusia tidak bisa melihat Allah, tetapi dia ada.” (Genesis, hlm. 43.)—yang mulai disetip lagi di halaman kedua dari terakhir: ”There is no God.” (Genesis, hlm. 201), dan kembali lagi di kalimat terakhirnya, ”Tuhan telah memberi, Tuhan telah mengambil.” (Genesis, hlm. 202.) Pekerjaan untuk mengisi hidup (dengan makna) di dunia -rkmemang kelihatannya begitu susah payah, penuh keraguan, sikap mendua, (ada atau tiada makna itu? Bisakah manusia menciptakannya? Bisa, tidak, ah bisa, ah, tidak.), tidak bisa tujuh hari langsung jadi, sudah tiga buku dan bertahun-tahun belum selesai juga, harus dengan perang!

Sekarang, dalam cerita-cerita di Larutan Senja ini, keyakinan (sedang) menang. Manusia bisa melakukan apa saja, asal ia percaya. Ia tidak hanya mampu menciptakan Tuhan, ia mampu mengecilkan(t-)nya, kemudian menggantikannya. Setelah itu terserah dia (Dia) hidup ini punya arti atau tidak.]

MIKAEL JOHANI disajikan dalam Meja Budaya, PDS HB Jassin, 1 September 2006.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati