”Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” (Yohanes 20: 29)
Judul: Larutan Senja
Penulis : Ratih Kumala
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, 2006
Peresensi: Mikael Johani
http://www.ruangbaca.com/
Ada kecenderungan nihilistis dalam tulisantulisan Ratih Kumala. Tabula Rasa-nya diisi penuh karakter-karakter yang gagal hidupnya: drug addicts, dosen yang satu cintanya mati satunya lagi tak berbalas, lesbian yang wanita pujaannya (salah satu drug addicts tadi) mati OD, etc. Kecapan Budi Darma di belakang buku ini cukup akurat: ”kalau perkembangan zaman menuntut kehidupan orang-orang modern menjadi kosong dan tidak bermakna, maka cinta kasih manusia modern pun menjadi kosong dan tidak bermakna.”
[Kecenderungan nihilistis, sinisisme, ini, kalau dilihat dalam konteks sejarah sastra Indonesia, bisa juga merupakan reaksi Ratih terhadap ke”lugu” an (v. esei Intan Soewandi di Jurnal Perempuan edisi ”Perempuan dalam Seni dan Sastra”) dan ”pretensi” (v. esei Katrin Bandel, ”Vagina yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami”, sudah dikumpulkan di bukunya Sastra, Perempuan, Seks) pengarang-pengarang (perempuan) lain di jamannya. Bandingkan dua penggalan dari Saman dan Tabula Rasa berikut ini: ”... garis-garis cahanya memanasi birahi hingga tanak seperti nasi.” (Saman, hlm. 2), ”... hatiku tidak lagi bergelora cintanya seperti nasi yang telah tanak.” (Tabula Rasa, hlm. 68.) Alusi. Sindiran. Parodi.]
Satu novel lagi, Genesis, dan 14 cerpen kemudian yang dikumpulkan dalam Larutan Senja, apakah Ratih masih senihilis ini?
Pertama kali membaca, kelihatannya, ya. Ini daftar karakter- karakter Larutan Senja urut berdasar susunan ceritanya: dukun bayi yang (hampir) dibakar hidup-hidup, pasien rumah sakit jiwa, pekerja proyek di hutan Kalimantan, pencipta ”larutan senja” yang ciptaannya dibajak Tuhan, wanita yang ditinggalkan suami karena me-laser tahi lalat di punggungnya— klangenan suaminya, penggesek biola yang dituduh jadi anggota Lekra, hantu yang menghadiri upacara pengabenannya sendiri, penduduk Berlin Timur yang mati berusaha menyeberang ke Berlin Barat (saat Tembok Berlin masih berdiri tentu), ”Wanita Berwajah Penyok”, perempuan hamil tiga bulan yang bunuh diri di kos-annya yang sempit, Yesus (dan Maria si pencerita kisahnya), kakek-kakek yang ditembak mati Belanda karena radio gerilyanya, pengusaha peti mati yang tak laku-laku dan terpaksa mengobral mereka, dan seorang tattooist yang mengaku pernah melihat Muhammad dan buroqnya (dan tentu saja, tidak ada yang percaya). Semuanya orang-orang yang tersingkirkan, mereka yang dilumpuhkan oleh dunia sekitarnya atau mereka sendiri.
Di akhir Tabula Rasa, Raras (si lesbian tadi) berkata pada Violet (cintanya yang terlanjur dikremasi), ”Aku dilahirkan sebagai batu tulis kosong. Aku tabula rasa, aku adalah dogma dari aliran empiris dan aku terbentuk dari jalannya hidup.” (Tabula Rasa, hlm. 183) ”Terbentuk.” Bukan ”membentuk”. Manusia dalam Tabula Rasa tak punya daya cipta, terserah Tuhan mau mencoreti batu tulis-batu tulis kosong itu dengan apa, menghapus yang sudah dicoreti, atau menimpanya dengan garis-garis nasib baru sementara yang lama pun masih samar-samar terlihat di baliknya. Arti hidup tokoh-tokoh dalam Tabula Rasa (kalaupun ada artinya) disusun satu-satu dari pengalaman mereka, dari apa yang mereka alami di dunia ini, yang kasat mata. Ini memang terdengar seperti aliran empiris, versi sebelum Kristus, Aristotelian, bukan versi Locke, misalnya, yang memberikan hak alami pada manusia untuk mengarang hidupnya sendiri.
Tabula Rasa berakhir dengan Raras memohon, ”Temani aku, sebab sebenarnya aku takut sendiri.” Ini konsekuensi logis dari epistemologi novel ini, tentu Raras akan, sudah seharusnya, begitu takut sendiri, karena tanpa orang lain betapa sepi nanti jalan hidupnya, dan dengan begitu betapa sedikit makna yang bisa ia punguti sepanjang perjalanannya!
Nah, perbedaan pertama yang saya lihat antara Larutan Senja dan Tabula Rasa adalah bahwa karakter-karakter dalam 14 cerita pendek ini lebih berani daripada Raras & Co. Si penemu ”larutan senja” di akhir cerita berjudul sama mengancam bahwa kalau tuhan (ya, dengan t kecil) tidak mau mengakui bahwa ”sebagian ‘dunia’-mu adalah ciptaanku”, ia akan meneteskan ”Larutan yang akan membuat dunia tak sempurna, tak lagi indah!” ke dunia tuhan, dunia yang baru saja disempurnakan dengan ”larutan senja” yang dicuri tuhan dari si penemu itu. Karena tuhan tidak mau juga mengakui hak cipta si penemu, cerita ini tamat dengan ”dua orang anak manusia” yang ”menangis ketakutan” karena dunia mereka, yang tadinya sempurna, ditelan ”awan-awan bergulung, suasana … hitam,” hasil ramuan si penemu. Dua orang ini berdoa, ”Ya Tuhan (ya, dengan T besar—mereka berdoa kepada si penemu yang telah mengalahkan tuhan dengan t kecil!) apa salah kami hingga Kau (ya, dengan K besar) ciptakan bencana alam?” (Semuanya Larutan Senja, hlm. 43.) Manusia di sini bukan lagi tabula rasa ex nihilo yang baru akan ”terbentuk” kemudian. Ia ”membentuk”, ”mencipta”, Ia Tuhan itu sendiri. Lengkap dengan (paling tidak dua) umat yang mengakui kebesaran-Nya.
Saya tidak tahu apakah ini agenda Ratih Kumala secara sadar untuk menjungkirbalikkan tatanan dunianya sendiri. Saya rasa itu tidak penting. Yang penting adalah bahwa tatanan itu memang berubah.
Satu cerita lagi yang bagi saya akhirnya mengurai benang merah kumpulan cerpen ini adalah ”Anakku Terbang Laksana Burung”, cerpen yang ”diadaptasi dari Injil Mathius, Kitab Perjanjian Baru.” Ratih Kumala mengakhiri versi gospelnya, yang diceritakan oleh Perawan Maria (jadi The Gospel According to Mary the Virgin, bukan Mary Magdalene the Whore), di bagian pas kedua Maria itu mengunjungi kubur Yesus yang ternyata kosong. Malaikat yang turun dari langit menjelaskan (seperti yang dia lakukan dalam Mathius, Markus, Lukas, dan Yohanes), ”Dia telah bangkit,” dan Perawan Maria pun menurut, mengulangi kata-katanya pada Maria Magdalena, ”Ia telah bangkit.” Sebagai narator cerita ini kemudian ia melanjutkan, ”Saat itu aku tahu, anakku telah terbang.” (Semuanya Larutan Senja, hlm. 113.) Tahu. Maria tahu bahwa anaknya telah bangkit.
Saya tidak ingin membahas konsep ”bangkit” Ratih Kumala yang di sini kelihatannya campuran antara ”terbang” laksana burung dan ”moksa” laksana dewa (cf. Yohanes 20: 17, ”Kata Yesus kepadanya [Maria Magdalena], ‘Janganlah engkau memegang Aku terus, sebab Aku belum naik kepada Bapa …’”), tapi konsep ”tahu” Maria tadi sangat penting. Perbedaan paling mendasar antara cerpen ini dan The Gospel According to Matthew adalah bahwa dalam versi cerpen ini, according to Mary/-rk- (begitu Ratih Kumala menulis inisialnya di akhir cerita), Yesus tidak perlu membuktikan kebangkitannya. Tidak perlu marah-marah (”Ia mencela ketidakpercayaan dan keheranan hati mereka, oleh karena mereka tidak percaya kepada orang-orang yang telah melihat Dia sesudah kebangkitan- Nya.” (Markus 16: 14)), tidak perlu merasa tidak diperhatikan muridnya nama-Nya pun mereka lupa (”… datanglah Yesus sendiri mendekati mereka …Tetapi ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia.” (Lukas 24: 15-16)), tidak perlu meyakinkan seorang pun skeptis seperti Tomas (”Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” (Yohanes 20: 29)).
Saya sering berpikir bahwa The Gospel According to Jesus Christ, novel Saramago itu, adalah sebuah apokrifa, sebuah gospel sekuler, yang membuat kita percaya. Nah, ”Anakku Terbang Laksana Burung” ini rasanya bagi saya seperti apokrifa (mungkin harus ditulis di antara [kurung tegak] seperti teksteks Alkitab yang ”tidak terdapat dalam naskah-naskah yang dinilai paling baik atau kuno”) yang justru ultra-religius, sebuah gospel yang menuntut kita untuk percaya.
[Saya ingin tahu apakah -rksengaja memilih mengadaptasi Matius dan bukan Markus, Lukas, atau Yohanes karena di antara gospel-gospel itu Matius jugalah yang paling tidak peduli tentang keaslian, kemurnian cerita- ceritanya. Seperti ditulis dalam buku Pastur Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru, terbitan Kanisius: ”Dalam Mat tidak ada bekasnya bahwa penulis menjadi saksi mata (telinga) tentang apa yang diceriterakannya. Sebaliknya, ia menggantungkan diri pada tradisi sebelumnya (mrk, Q, dll.). Seorang saksi mata pasti tidak berbuat demikian. ... mrk dan Luk kadang-kadang nampaknya lebih asli dan murni daripada Mat. Ternyata Mat menyusun, mengatur dan mengartikan ucapan-ucapan Yesus dengan bebas sekali.” (Hlm. 87.)
Juga apakah dengan begitu arah pandangan -rk- dalam menulis cerita ini sama dengan arah pandangan Matius & Co. yang ”persis terbalik dari arah pandangan seorang sejarawan ... yang tidak mempunyai minat ‘historis’ [sehingga tidak perlu bukti] … [yang tidak ingin membawa pembaca] kepada Yesus dahulu, tetapi sebaliknya: Yesus dahulu dibawa kepada jemaat sekarang … [yang] berupa pewartaan yang mau membina, memperteguh dan menjernihkan iman kepercayaan yang diandaikan saja.” (Masih buku Groenen, hlm. 77.)
Apakah ”Anakku Terbang Laksana Burung” ingin membawa Yesus yang telah bangkit/ terbang entah ke mana kepada kita sekarang?]
Kedua perbedaan ini sangat penting karena dalam cerita-cerita yang lain di Larutan Senja kita pun ditantang untuk percaya tanpa ada bukti, ataupun kalau ada bukti, itu pun berupa bukti-bukti mistis yang membutuhkan kepercayaan tersendiri, ekstra, untuk percaya bahwa mereka memang bukti, bukan kebetulan-kebetulan saja, juga untuk tahu apa itu yang mau dibuktikan.
Dalam ”Gin Gin dari Singaraja” misalnya, si pencerita yang ”antara percaya tidak percaya” bahwa Gin Gin yang baru saja berkenalan dengannya di bus sebenarnya sudah meninggal tiga tahun lalu akhirnya percaya juga setelah kartu nama yang ia berikan ke Gin Gin waktu itu suatu pagi ia temukan ”tergeletak di bantal sebelah”. (Larutan Senja, hlm. 72.)
Untuk mempercayai logika sebuah cerita hantu kita dituntut untuk percaya hantu itu ada, bahwa Gin Gin yang tiga tahun lalu mati mendaki gunung sekarang sudah siap untuk turun gunung ke Singaraja untuk dingabenkan (akhirnya). Bagaimana kita harus percaya? Bukan dengan bukti tentu, karena kalau begitu kita akan selama- lamanya terombang-ambing antara percaya tidak percaya. Kita harus yakin saja.
Sistem kepercayaan ini juga pembalikan dari sistem yang dulu ada di Tabula Rasa. Tokoh- tokoh di situ mencoba untuk memperbaiki hidup (walau gagal terus) dengan prinsip: ”Tak pernah lagi kugubris suara hatiku, terlalu cengeng. Itu tidak membuatku kuat. Maka, aku mulai menggunakan otakku. Logikaku ternyata lebih bisa membawaku ke tahap hidup yang lebih baik.” (Tabula Rasa, hlm. 135.)
Destination: sebuah utopia Lockean? Bisa saja. Yang jelas trayek rute maskapai Tabula Rasa akhirnya tak pernah sampai ke situ.
Karena skeptisisme Ratih Kumala pada daya otak membahagiakan manusia itu sudah ada waktu itu pun. Contohnya waktu Galih pertama kali ketemu Krasnaya di Mausoleum Lenin: ”Sedetik kemudian hati —dan bukan akal—mendorongku untuk tak melepaskan pandangan dari dia. Tiba-tiba akalku memanggilku kembali, mengingatkanku akan pemenuhan rasa ingin tahu pada Lenin … Di jalan keluar baru aku sadar—dan ini saat—[sic] saat penuh di mana aku menggunakan akalku kembali [—] bahwa aku tak dapatkan keduanya: Lenin dan gadis itu.” (Tabula Rasa, hlm. 14)
Saya tidak tahu apakah sekarang ini hati yang digubris lagi, yang dituntut untuk percaya, supaya dunia dalam ceritacerita di Larutan Senja berputar; tapi paling tidak cerita-cerita itu kelihatannya memang berusaha menunjukkan, dengan serentetan kejadian, bahwa untuk membuat manusia jadi lebih kuat, diperlukan lebih daripada hanya otak.
Cerita terakhir di Larutan Senja juga tentang keyakinan (dan mereka yang tidak yakin). Qatrun/Cimeng setelah dewasa bermimpi melihat Nabi Muhammad yang ”penuh wibawa berdiri di atas buroq.” Wajah Muhammad tidak terlihat jelas (cf. Lukas 24: 16 tadi) tapi Qatrun melihat jelas buroq seperti apa, ”Seperti sampan yang panjang.” Waktu ditanya ustaznya, ”… bagaimana kau tahu Muhammad naik buroq, bukan naik sampan?” Qatrun menjawab, ”Tahu! Aku tahu, Ustaz! Itu buroq, bukan sampan.”
Sekali lagi, Cimeng, seperti Maria, seperti teman baru Gin Gin, tahu. Mereka yakin, sehingga tidak perlu bukti. Mereka bisa melihat, karena mereka percaya.
[Bahwa keyakinan saat ini sedang di atas angin dalam pertarungannya melawan otak/akal bukan hal yang terjadi tiba-tiba dalam fiksi Ratih Kumala. Kemungkinan bahwa mungkin keyakinanlah senjata pamungkas melawan otak/akal yang (mungkin—kita belum tahu sebenarnya untuk yakin itu kita perlu apa, hati? rasa?, tapi kelihatannya memang bukan otak/akal) berkongsi dengan nihilitas, kekosongan, ketabularasaan, mulai ditulisnya dalam Genesis, novel keduanya—yang nyaris nihil ada di pasaran. Pertarungan ini dalam Genesis diumpamakan sebagai perang batin Pawestri/Suster Maria Faustina untuk percaya atau tidak percaya. Dan, waktu ia pergi ke Ambon untuk menjadi biarawati di tengah-tengah konflik Acang vs. Obet, Suster Maria berpikir, “Perang di depan mataku adalah gambaran nyata perang batinku selama ini. Manusia dan manusia dan setan dan Tuhan?” (masih T besar). (Genesis, hlm. 124.)
Di sinilah, dalam kitab Kejadian versinya ini, dunia -rkyang dulunya hanya batu tulis kosong, nihil, mulai diisi. Pertama dengan keyakinan. Kemudian dengan Tuhan: ”Manusia tidak bisa melihat Allah, tetapi dia ada.” (Genesis, hlm. 43.)—yang mulai disetip lagi di halaman kedua dari terakhir: ”There is no God.” (Genesis, hlm. 201), dan kembali lagi di kalimat terakhirnya, ”Tuhan telah memberi, Tuhan telah mengambil.” (Genesis, hlm. 202.) Pekerjaan untuk mengisi hidup (dengan makna) di dunia -rkmemang kelihatannya begitu susah payah, penuh keraguan, sikap mendua, (ada atau tiada makna itu? Bisakah manusia menciptakannya? Bisa, tidak, ah bisa, ah, tidak.), tidak bisa tujuh hari langsung jadi, sudah tiga buku dan bertahun-tahun belum selesai juga, harus dengan perang!
Sekarang, dalam cerita-cerita di Larutan Senja ini, keyakinan (sedang) menang. Manusia bisa melakukan apa saja, asal ia percaya. Ia tidak hanya mampu menciptakan Tuhan, ia mampu mengecilkan(t-)nya, kemudian menggantikannya. Setelah itu terserah dia (Dia) hidup ini punya arti atau tidak.]
MIKAEL JOHANI disajikan dalam Meja Budaya, PDS HB Jassin, 1 September 2006.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar