Selasa, 05 Oktober 2010

Sastra Indonesia, Satu Abad yang Sia-sia

Ribut Wijoto
Radar Surabaya (3/10/2010)

Bagaimanakah kondisi kesusastraan Indonesia 25 tahun ke depan? Pertanyaan ini penting dan mendesak untuk dijawab. Jawaban dapat berguna untuk menentukan visi dan dasar kreativitas kesusastraan saat ini.

Ke depan, secara alamiah, bahasa Indonesia akan terpinggirkan. Sastrawan Indonesia tidak akan lagi menulis dalam bahasa Indonesia. Sastrawan akan memilih menulis dalam bahasa Inggris. Mengapa? Beberapa gejala dapat diketengahkan.

Pada keluarga kelas menengah ke atas, saat ini, orang tua lebih suka mendidik anaknya untuk berbicara bahasa Inggris. Dalam kehidupan kesehariannya, orang tua membiasakan anaknya berbincang-bincang bukan dengan bahasa Indonesia tetapi dengan bahasa Inggris. Dalam bidang pendidikan formal pun, orang tua memilih memasukkan anaknya ke sekolah yang menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar. Lihat saja, dalam dua tahun terakhir, orang tua rela mengeluarkan biaya lebih besar demi memasukkan anaknya ke sekolah berstandar internasional.

Apa pengaruhnya? Jelas sekali, anak menjadi lebih pandai berbahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia. Tidak hanya pandai, anak terkondisikan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama. Sebagai bahasa ibu. Tidak hanya saat mengungkapkan pendapat, dalam bermimpi pun, anak akan berbicara dan berpikir dalam bahasa Inggris. Jika sudah begini, ke depan, tidak bisa diharapkan mereka akan mampu dan mau menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia.

Kondisi berbeda terjadi dalam keluarga kelas menengah ke bawah. Keluarga etnis Jawa misalnya. Orang tua membiasakan anaknya berbicara dalam bahasa Indonesia. Bukan dalam bahasa Jawa. Alasannya sederhana, agar anak bisa lebih maju dibanding orang tuanya. Biasanya, orang tua berbicara sesama mereka masih dalam bahasa campuran, Jawa-Indonesia. Namun kepada anaknya, orang tua selalu menggunakan bahasa Indonesia.

Kondisi berbeda ini lambat laun akan berubah. Tidak hanya keluarga kelas menengah ke atas yang membiasakan anaknya berbicara bahasa Inggris dalam keseharian. Keluarga kelas menengah ke bawah pun akan tergerak untuk melakukan pilihan yang sama. Mengapa? Soalnya, keluarga kelas yang lebih bawah secara psikologis menganggap cara hidup kelas di atasnya sebagai lebih maju. Artinya, pilihan keluarga kelas menengah ke atas bakal menjadi tren. Menjadi sesuatu keharusan.

Secara alamiah, dalam 25 tahun ke depan, ketika anak-anak ini telah remaja bahkan dewasa, kesusastraan Indonesia tidak lagi ditulis dalam bahasa Indonesia. Kesusastraan akan ditulis dalam bahasa Inggris. Sastrawan yang masih menulis dalam bahasa Indonesai dapat digolongkan “memelihara” atau “mempertahankan” budaya bangsa. Tentu saja jumlahnya minoritas dibanding sastrawan yang menulis dalam bahasa Inggris. Sama seperti kondisi sekarang, beberapa sastrawan masih menulis dalam bahasa daerah. Semisal Jawa, Bali, atau Sunda. Jumlah mereka tidak banyak di antara melubernya sastra berbahasa Indonesia. Ke depan, sastrawan berbahasa Indonesai –tidak kurang tidak lebih- nasibnya akan sama. Marjinal.

Perpindahan bahasa dalam sastra tentu sebuah gejala yang sangat serius. Sebab bahasa adalah kendaraan sekaligus ruh dari sastra itu sendiri. Pengaruhnya bisa sangat gawat. Bisa mengarah ke positif bisa pula negatif. Oleh karenanya, pengaruh-pengaruh tersebut harus segera diantisipasi. Setidak-tidaknya pengaruhnya dikenali. Terutama pengaruh buruknya.

Yang paling menakutkan, ke depan, karya sastra berbahasa Indonesia hanya akan mendiami rak-rak museum. Sama seperti karya sastra para pujangga Jawa. Kehilangan pembacanya, penulisnya, dan kehilangan aktualitasnya.

Lihat saja, sejarah sastra Indonesia sekarang. Apakah sastra Indonesia dipahami sebagai kelanjutan dari sastra Jawa (tradisional). Tidak. Sastra Indonesia memiliki keterputusan fundamen dari sastra lama. Sastra Indonesia sekarang dipahami sebagai sastra modern hasil adopsi dari sastra dunia (Barat). Maka muncul bentuk puisi, cerpen, novel, maupun naskah drama. Kesemuanya bukanlah pencanggihan atau hasil pengembangan dari sastra Jawa. Kesemuanya muncul secara alamiah sebagai respon dari perkembangan zaman.

Begitu pula dengan sikap sastra Indonesai terhadap sastra Melayu. Walaupun bahasa Indonesia berasal dari Melayu, sastra Indonesia bukan berasal dari pencanggihan sastra Melayu. Pengaruh sastra Melayu, bisa jadi, cukup berhenti pada karya puisi Amir Hamzah. Sejak Chairil Anwar hingga Mardi Luhung, sastra Indonesia lebih suka mengembara ke khazanah sastra dunia daripada keelokan sastra Melayu. Chairil pun secara terus terang mengatakan, “kami adalah ahli waris kebudayaan dunia”.

Tampaknya, 25 tahun ke depan, sastrawan Indonesia mungkin masih membaca karya sastra berbahasa Indonesia. Tapi dengan satu syarat. Karya sastra tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Sastrawan Indonesia sudah tergagap-gagap memahami karya sastra berbahasa Indonesia. Soalnya dalam keseharian, sastrawan dan masyarakatnya telah berpindah ke bahasa Inggris. Bahkan, bisa jadi, karya sastra berbahasa Indonesia hanya dianggap sebagai bagian dari kekelaman masa lalu. Ketika para sastrawan beserta masyarakatnya dinilai belum melebur ke dalam kebudayaan dunia (universal). Ketika sastrawan dianggap masih terjebak dalam hal ihwal nasionalisme. Bahasa Indonesia, bisa jadi, akan “diolok-olok” sebagai “belum beradab”.

Bila kondisi ini terjadi, sejarah sastra Indonesia bakal mengalami dua kali keterputusan. Pertama, keterputusan dari sastra tradisional (sastra berbahasa daerah). Kedua, keterputusan dari sastra nasional (sastra berbahasa Indonesia). Akibatnya, sastra Indonesia akan kembali muda. Dalam artian, sastra yang tradisinya baru tercipta tidak lebih dari 25 tahun.

Ada lagi pengaruh yang lebih mengerikan. Kinerja dan hasil keringat para sastrawan sejak Marah Rusli hingga Binhad Nurohmat akan menjadi sia-sia. Sebatas disikapi sebagai masa lalu yang kelam. Begitu pula dengan kecermelangan puisi Sapardi Djoko Damono, keliaran puisi Gunawan Mohamad, kebinalan puisi Acep Zamzam Noor, apalagi lirisitas puisi Amir Hamzah. Kesemuanya akan sia-sia. Kesemuanya tidak dianggap sebagai bagian dari kesusastraan 25 tahun ke depan, yakni kesusastraan Indonesia yang ditulis dalam bahasa Inggris.

Sastra berbahasa Indonesia kelihatannya hanya berusia satu abad. Dimulai sekitar tahun 1920-an dan berakhir sekitar tahun 2020-an. Inilah kondisi satu abad sastra Indonesia yang sia-sia.

Tidak semua memang akan sia-sia. Beberapa karya sastra berbahasa Indonesia masih mampu bertahan dari gilasan zaman. Karya sastra tahan zaman ini mungkin akan diwakili oleh prosa Pramoedya Ananta Toer. Mengapa? Karena karya Pramoedya memiliki struktur yang kuat (kompleks). Alurnya, penokohannya, latarnya, maupun tema-tema yang diunggahkan. Bahkan dalam cerpen pun, Pram membuat struktur prosa yang utuh. Memang yang disebut cerpen dalam karya Pram, sangat berbeda dengan cerpen yang marak berkembang saat ini, yakni cerpen koran. Cerpen Pram bisa sampai 30 atau 40 halaman. Padahal tren cerpen di koran, maksimal hanya 8 halaman. Maka, cerpen koran buru-buru menghentikan cerita ketika penokohan belum terbentuk. Cerpen selesai ketika cerita belum sempat membangun plot. Nasib cerpen-cerpen koran ini, tampaknya ke depan, dianggap sebagai pemblajaran anak kecil semata.

Ada satu parodi yang menggoda untuk diketengahkan. Dalam sastra Jawa, ada dikenal istilah “pujangga terakhir”, yakni Ronggowarsito. Lantas, siapakah yang layak menyandang gelar “pujangga terakhir” sastra Indonesia. Bisa jadi, jawabannya adalah Afrizal Malna. Pertimbangannya, Afrizal sematalah yang terakhir melakukan perubahan radikal terhadap kesusastraan berbahasa Indonesia. Afrizal mampu menciptakan tradisi puisi yang secara kasat mata terbedakan dengan tradisi puisi sezamannya. Sebuah penciptaan tradisi puisi seperti yang dilakukan Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bahri.

Oleh sebab sudah diketahui, 25 tahun ke depan, sastra bakal ditulis dalam bahasa Inggris dan kondisi itu membuat keterputusan dengan sejarah sastra, muncul satu pertanyaan responsif yang perlu dibahas. Bagaimana mengantisipasi perubahan besar tersebut?

Pertama, perubahan ke arah sastra berbahasa Inggris tidak bisa dihindari. Penyebabnya, pelan tapi pasti, masyarakat Indonesia akan beralih dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris.

Kedua, sastrawan sekarang harus mulai belajar menulis dalam bahasa Inggris. Artinya, sekalian saja kondisi 25 tahun ke depan tersebut dihadirkan saat ini. Sastrawan tidak menulis untuk tahun sekarang. Tetapi, sastrawan menulis untuk zaman di masa depan. Toh, di Indonesia, media massa yang menerima karya sastra berbahasa Inggris sudah ada. Atau kalau memang percaya diri, karya berbahasa Inggris tersebut dikirimkan ke media massa di luar negeri.

Negara tetangga kita pun, Malaysia dan Singapura, keduanya telah memulai tradisi penulisan sastra berbahasa Inggris. Daripada semakin terlambat, tradisi sastra berbahasa Inggris harus dimulai dari sekarang.

Ketiga, harus ada usaha yang getol untuk menerjemahkan karya sastra berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Kegiatan ini tidak bisa ditunda karena senyampang para sastrawannya masih hidup. Senyampang masyarakatnya masih terbiasa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.

Jika sampai terlambat, jumlah orang yang ahli bahasa Indonesia keburu langka. Padahal jumlah karya sastra yang harus diterjemahkan begitu bejibun. Bayangkan saja, tiap minggu puluhan koran menayangkan puisi atau prosa baru. Tiap minggu, selalu terbit buku kumpulan puisi baru. Bila ditotal, dalam satu abad usia sastra Indonesia, karya yang diproduksi bisa sampai ratusan juta judul.

Perubahan kondisi kesusastraan Indonesia 25 tahun ke depan tentu saja tidak hanya dalam tataran bahasa. Beragam faktor lain turut memberi pengaruh. Semisal perubahan struktur masyarakat, pemikiran filsafat, temuan-temuan teknologi, perkembangan sastra di Barat. Kesemuanya perlu mendapat porsi untuk menentukan sikap menghadapi masa depan sastra Indonesia.

_______, Studio Teater Gapus, 2010

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati