Agus Noor
http://pelitaku.sabda.org/
Belakangan, makin sulit kita menemukan tokoh dalam cerpen. Situasi ini bahkan sudah terasa sejak 15 tahun lalu, kira-kira. Tentu saja, dalam setiap cerpen, selalu ada tokoh, setidaknya ada nama-nama tokoh. Tetapi mereka bukan tokoh-tokoh yang memiliki karakterisasi yang kuat, atau setidaknya seperti yang dinyatakan Goenawan Mohamad, “tokoh yang mampu untuk tersisa dalam kenangan setelah kita selesai membacanya”. Tiba-tiba saya kangen sekali dengan tokoh-tokoh semacam Open (Jalan Lain ke Roma, Idrus) Inem (Inem, Pramudya Ananta Toer), Bawuk (Umar Kayam), Orez (Orez, Budi Darma), kakek penjaga surau (Robohnya Surau Kami, AA Navis), Rintrik yang buta (Jantung Tertusuk Panah, Danarto).
Karakterisasi tokoh-tokoh itu begitu kuat, unik, hingga terkadang saya yakin bahwa mereka adalah tokoh-tokoh yang sungguh-sungguh hidup dan nyata. Tokoh yang bisa disentuh. Tokoh yang berdarah daging, dengan seluruh denyut kehidupan mereka yang kuat. Tokoh dengan karakterisasi yang unik menarik. Tokoh yang oleh Iwan Simatupang dinyatakan sebagai “variant dari genus manusia”.
Sebuah cerita pada dasarnya ialah kisah tentang tokoh, begitu Kuntowijoyo pernah berujar. Elemen cerita seperti latar, alur, konflik, tentu saja tak bisa diabaikan.
Tetapi tragic comedy dalam cerita, akhirnya selalu tentang tokoh. Untuk itulah diperlukan pelukisan yang meyakinkan tentang tokoh dalam sebuah cerita, seperti dinyatakan Edward Jones. Sudah barang tentu, untuk mencapai itu diperlukan ruang penceritaan yang lapang untuk melukiskan karakterisasi. Kuntowijoyo pernah mengatakan itu, di mana ketika ruang penceritaan makin sempit, seperti pada cerpen koran, maka pemerian tokoh pun menjadi terbatas. Barangkali, inilah yang membuat tokoh-tokoh dalam cerpen koran kemudian hadir dengan samar-samar, seolah tak punya sosok. Cerita kemudian seperti memiliki sifat “tipis tokoh”, seperti pernah digelisahkan Goenawan Mohamad,
Tentu saja, tipisnya tokoh-atau bahkan menghilangnya tokoh-dalam cerita bukan semata-mata perkara teknis ruang penceritaan semata. Barangkali ia memang menjadi persoalan estetis dan “ideologis” dalam penceritaan, yang dikembangkan banyak penulis. Dan in bisa kita lacak melalui gagasan “antitokoh”, antihero, yang mulai terlihat kuat dalam sastra kita sejak tahun ‘70-an. Dalam cerpen kita, hal itu sangat kentara pada cerpen Iwan Simatupang dan Putu Wijaya. Pada Iwan, konsepsi antitokoh itu tentu saja bisa dirunut sumbernya pada pergulatan pemikiran seputar absurdisme dan eksistensialisme. Di mana tokoh-tokoh hero tak lagi dibutuhkan. Cerita tak lagi membutuhkan para pahlawan. Tindakan heroisme hanya melahirkan tragedi kemanusiaan yang makin memperpuruk eksistensi tokoh itu. Karena itu, yang penting kemudian bukan siapa tokohnya, tetapi apa gagasannya. Tokoh-tokoh Iwan kemudian hadir sebagai tokoh yang getir, aneh, penuh pergulatan eksistensial, tetapi bukan tokoh yang berdarah daging. Darah dan kematian bukan sekadar berkaitan dengan tubuh yang konkret, tetapi lebih menyangkut soal gagasan pikiran.
Konsepsi antitokoh membawa konsekuensi dalam hal penokohan, yakni bagaimana cara tokoh-tokoh itu dihadirkan dalam cerita. Sebagaimana bisa kita lihat dalam cerpen-cerpen Putu Wijaya yang seolah mengabaikan tokoh begitu saja, di mana karakterisasi nyaris menjadi tak penting lagi, sebagaimana diperlihatkan dengan tak pentingnya nama-nama tokoh dalam cerpennya. Tokoh bernama Merdeka, Kribo, Budi, atau Amin bisa muncul dalam banyak cerpen yang berbeda. Tak penting siapa (nama) tokohnya, yang penting adalah pandangannya yang lengkap tentang “suatu subyek” dengan sudut pandang, cara penangkapan dan pengungkapannya yang berbeda, seperti yang ditulis Putu sendiri dalam Cerpen. Konsekuensi dari pilihan “ideologis” penceritaan seperti itu, maka subyek tema menjadi yang utama. Itulah yang digeber habis-habisan oleh Putu, seperti dalam kumpulan cerpennya, Yel. Tokoh terkubur dalam percakapan. Karena dengan percakapan itulah muncul “pekabaran yang dibawanya, daya pukai, daya magic, tamsil, ibarat”. Menjadi tidak mustahil bila kemudian nama tokoh pun menjadi tak terlalu penting, hingga Putu sering hanya menyebut tokohnya dengan “seorang perempuan”, “wartawan itu”, “seorang kawan”, “Pak RT”, dan semacamnya.
Hal serupa dilakukan Budi Darma yang juga banyak meniadakan nama tokoh, sebagaimana dalam cerpen Laki-laki Setengah Umur, Dua Laki-laki, Tiga Laki-laki Terhormat. Tokoh tak bernama membuat tokoh dalam cerpen itu seperti tak berada di dunia nyata. Ini menjadi strategi literer Budi Darma untuk memasuki dunia “jungkir balik”, dunia absurd di mana pertautan logis menjadi tidak penting. Yang menarik, pada Budi, karakterisasi tokoh justru menjadi penting: seolah-olah dengan membawa ke latar dan situasi yang jungkir balik, kita justru bertemu dengan karakter yang unik dan ganjil. Dunia yang ganjil membentuk tokoh yang ganjil. Pada Putu, tak pentingnya nama-identitas tokoh karena yang terutama adalah gagasan. Sementara pada Budi, menghilangkan nama tokoh dilakukan justru sebagai ikhtiar menghadirkan watak: kelicikan, keculasan, berahi. Bukan tubuh daging tokoh yang penting, tetapi wataklah yang lebih utama.
Saya teringat pada tokoh Madame Schlitz dalam cerpen Istriku, Madame Schlitz, dan Sang Raksasa Umar Kayam. Tokoh yang hadir begitu detail ciri-ciri fisiknya, perilakunya. Bahkan kita bisa “mendengar” bagaimana suaranya saat berbicara.
Itulah tokoh paling mengesankan yang pernah ditulis Kayam, menurut saga. Mengesankan karena tokoh itu tidak berpretensi sebagai gambaran tokoh yang mengacu pada tokoh sosiologis semacam Sri Sumarah dan Bawuk, tetapi karena tokoh itu sepenuhnya fiktif, yang terasa nyata hanya karena kepiawaian bercerita. Tokoh yang sepenuhnya main-main, tokoh yang ‘nonsens’ karena memang “apa yang diceritakan Kayam dalam cerpen itu hanya ih hal-hal yang ‘nonsens’ saja”, seperti dinyatakan Arief Budiman. Tapi justru di situlah ia sepenuhnya menjadi tokoh fiktif yang unik.
Bermain-main ‘menciptakan’ tokoh seperti itu makin langka dalam cerpen kita. Ketika tokoh-tokoh dalam cerita semakin sosiologis (di mana tokoh hadir sebagai representasi realitas sosial) dan hadir dalam teknik penceritaan yang ‘realis’, membuat kita tak lagi menemukan tokoh unik melalui cara penokohan yang unik. Tidak mengherankan bila kebanyakan tokoh-tokoh dalam cerpen kita kemudian menjadi tipologis, dengan cara penokohan yang bagai sapuan-sapuan garis besar riwayat atau identitas tokoh. Kita kehilangan detail penokohan.
Tapi, barangkali memang tokoh sudah tak terlalu penting dalam cerpen kita, sebagai kelanjutan dari apa yang dilakukan Putu. Ketika tokoh tak terlalu hadir dalam cerita, maka yang lebih menggejala kemudian terra, alur, dan suasana. Cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku Seno Gumira Ajidarma adalah contoh cerita yang memesona meski tak ada penggambaran tokoh yang detail. Dalam cerita itu hanya disebut nama seorang gadis bernama Alina yang dikirimi sepotong senja oleh tokoh aku. Bagaimana wajah Alina, apakah berjerawat, berapa usianya, apa pakaian kesukaannya, bagaimana rambut aku, cara berjalannya, tidak menjadi penting. Yang penting adalah suasana dan alur kisah yang penuh kegemparan itu.
Persoalannya, ketika cerpen cenderung ingin menghadirkan diri sebagai gambaran realitas sosial seperti kebanyakan cerpen kita hari ini, hilangnya tokoh justru membuat cerita menjadi tidak meyakinkan. Dan di sinilah paradoks cerpen yang dipenuhi tendensi sosiologis. Pada satu sini ia ingin dianggap sebagai gambaran sosial, tetapi ia tak mampu menghadirkan “tokoh yang lengkap secara sosiologis”.
Adakah ini hanya lantaran keterbatasan ruang penceritaan? Ataukah ada kecenderungan estetis yang harus kits telisik lebih cermat lagi? Misalkan, itu adalah gambaran makin tak bisa ditemukanmva genus manusia yang konkret dalam realitas keseharian bangsa ini? Tak ada lagi hero, bahkan antihero yang unik spesifik, karena yang ada adalah watak-watak yang memiliki kecenderungan yang seragam, mirip para penyiar radio yang dari Sabang sampai Merauke sama dan standar cara berbicaranya. Itulah gambaran “tokoh reproduktif”, tokoh yang seakan-akan diproduksi secara massal dan muncul dalam banyak cerita yang berbeda tetapi sama karakternya.
Di sini saya langsung teringat Alina dan Sukab, yang sering muncul dalam hanyak cerpen Seno Gumira Ajidarma. Juga tokoh Alit, yang nyaris selalu ada dalam cerpen AS Laksana. Apakah yang digagas oleh dua penulis itu, dengan menghadirkan tokoh bernama sama dalam cerpen-cerpen mereka? Bahwa tokoh tak terlalu penting dipermasalahkan?
Dalam cerpen Seno, Alina dan Sukab kadang terasa tak penting sosoknya, karena itu tak terlalu detail penokohannya. Bahkan, Sukab kerap muncul dengan identitas yang berbeda. Begitu pun Alit, yang hadir seakan-akan hanya sebuah kesan, seakan tokoh yang hanya ada dalam pikiran, yang gambarannya serupa ingatan dan kenangan.
Apakah tokoh-tokoh itu dihadirkan untuk mengingatkan betapa kini tokoh dalam kebanyakan cerpen kita memang tiada lain hanyalah bayangan yang samar-samar? Kita seperti tak pernah menemukan manusia!
Agus Noor, Prosais
Sumber: Kompas, Minggu, 24 September 2006
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar