Sabtu, 18 September 2010

Tokoh yang Menghilang dalam Cerpen

Agus Noor
http://pelitaku.sabda.org/

Belakangan, makin sulit kita menemukan tokoh dalam cerpen. Situasi ini bahkan sudah terasa sejak 15 tahun lalu, kira-kira. Tentu saja, dalam setiap cerpen, selalu ada tokoh, setidaknya ada nama-nama tokoh. Tetapi mereka bukan tokoh-tokoh yang memiliki karakterisasi yang kuat, atau setidaknya seperti yang dinyatakan Goenawan Mohamad, “tokoh yang mampu untuk tersisa dalam kenangan setelah kita selesai membacanya”. Tiba-tiba saya kangen sekali dengan tokoh-tokoh semacam Open (Jalan Lain ke Roma, Idrus) Inem (Inem, Pramudya Ananta Toer), Bawuk (Umar Kayam), Orez (Orez, Budi Darma), kakek penjaga surau (Robohnya Surau Kami, AA Navis), Rintrik yang buta (Jantung Tertusuk Panah, Danarto).

Karakterisasi tokoh-tokoh itu begitu kuat, unik, hingga terkadang saya yakin bahwa mereka adalah tokoh-tokoh yang sungguh-sungguh hidup dan nyata. Tokoh yang bisa disentuh. Tokoh yang berdarah daging, dengan seluruh denyut kehidupan mereka yang kuat. Tokoh dengan karakterisasi yang unik menarik. Tokoh yang oleh Iwan Simatupang dinyatakan sebagai “variant dari genus manusia”.

Sebuah cerita pada dasarnya ialah kisah tentang tokoh, begitu Kuntowijoyo pernah berujar. Elemen cerita seperti latar, alur, konflik, tentu saja tak bisa diabaikan.

Tetapi tragic comedy dalam cerita, akhirnya selalu tentang tokoh. Untuk itulah diperlukan pelukisan yang meyakinkan tentang tokoh dalam sebuah cerita, seperti dinyatakan Edward Jones. Sudah barang tentu, untuk mencapai itu diperlukan ruang penceritaan yang lapang untuk melukiskan karakterisasi. Kuntowijoyo pernah mengatakan itu, di mana ketika ruang penceritaan makin sempit, seperti pada cerpen koran, maka pemerian tokoh pun menjadi terbatas. Barangkali, inilah yang membuat tokoh-tokoh dalam cerpen koran kemudian hadir dengan samar-samar, seolah tak punya sosok. Cerita kemudian seperti memiliki sifat “tipis tokoh”, seperti pernah digelisahkan Goenawan Mohamad,

Tentu saja, tipisnya tokoh-atau bahkan menghilangnya tokoh-dalam cerita bukan semata-mata perkara teknis ruang penceritaan semata. Barangkali ia memang menjadi persoalan estetis dan “ideologis” dalam penceritaan, yang dikembangkan banyak penulis. Dan in bisa kita lacak melalui gagasan “antitokoh”, antihero, yang mulai terlihat kuat dalam sastra kita sejak tahun ‘70-an. Dalam cerpen kita, hal itu sangat kentara pada cerpen Iwan Simatupang dan Putu Wijaya. Pada Iwan, konsepsi antitokoh itu tentu saja bisa dirunut sumbernya pada pergulatan pemikiran seputar absurdisme dan eksistensialisme. Di mana tokoh-tokoh hero tak lagi dibutuhkan. Cerita tak lagi membutuhkan para pahlawan. Tindakan heroisme hanya melahirkan tragedi kemanusiaan yang makin memperpuruk eksistensi tokoh itu. Karena itu, yang penting kemudian bukan siapa tokohnya, tetapi apa gagasannya. Tokoh-tokoh Iwan kemudian hadir sebagai tokoh yang getir, aneh, penuh pergulatan eksistensial, tetapi bukan tokoh yang berdarah daging. Darah dan kematian bukan sekadar berkaitan dengan tubuh yang konkret, tetapi lebih menyangkut soal gagasan pikiran.

Konsepsi antitokoh membawa konsekuensi dalam hal penokohan, yakni bagaimana cara tokoh-tokoh itu dihadirkan dalam cerita. Sebagaimana bisa kita lihat dalam cerpen-cerpen Putu Wijaya yang seolah mengabaikan tokoh begitu saja, di mana karakterisasi nyaris menjadi tak penting lagi, sebagaimana diperlihatkan dengan tak pentingnya nama-nama tokoh dalam cerpennya. Tokoh bernama Merdeka, Kribo, Budi, atau Amin bisa muncul dalam banyak cerpen yang berbeda. Tak penting siapa (nama) tokohnya, yang penting adalah pandangannya yang lengkap tentang “suatu subyek” dengan sudut pandang, cara penangkapan dan pengungkapannya yang berbeda, seperti yang ditulis Putu sendiri dalam Cerpen. Konsekuensi dari pilihan “ideologis” penceritaan seperti itu, maka subyek tema menjadi yang utama. Itulah yang digeber habis-habisan oleh Putu, seperti dalam kumpulan cerpennya, Yel. Tokoh terkubur dalam percakapan. Karena dengan percakapan itulah muncul “pekabaran yang dibawanya, daya pukai, daya magic, tamsil, ibarat”. Menjadi tidak mustahil bila kemudian nama tokoh pun menjadi tak terlalu penting, hingga Putu sering hanya menyebut tokohnya dengan “seorang perempuan”, “wartawan itu”, “seorang kawan”, “Pak RT”, dan semacamnya.

Hal serupa dilakukan Budi Darma yang juga banyak meniadakan nama tokoh, sebagaimana dalam cerpen Laki-laki Setengah Umur, Dua Laki-laki, Tiga Laki-laki Terhormat. Tokoh tak bernama membuat tokoh dalam cerpen itu seperti tak berada di dunia nyata. Ini menjadi strategi literer Budi Darma untuk memasuki dunia “jungkir balik”, dunia absurd di mana pertautan logis menjadi tidak penting. Yang menarik, pada Budi, karakterisasi tokoh justru menjadi penting: seolah-olah dengan membawa ke latar dan situasi yang jungkir balik, kita justru bertemu dengan karakter yang unik dan ganjil. Dunia yang ganjil membentuk tokoh yang ganjil. Pada Putu, tak pentingnya nama-identitas tokoh karena yang terutama adalah gagasan. Sementara pada Budi, menghilangkan nama tokoh dilakukan justru sebagai ikhtiar menghadirkan watak: kelicikan, keculasan, berahi. Bukan tubuh daging tokoh yang penting, tetapi wataklah yang lebih utama.

Saya teringat pada tokoh Madame Schlitz dalam cerpen Istriku, Madame Schlitz, dan Sang Raksasa Umar Kayam. Tokoh yang hadir begitu detail ciri-ciri fisiknya, perilakunya. Bahkan kita bisa “mendengar” bagaimana suaranya saat berbicara.

Itulah tokoh paling mengesankan yang pernah ditulis Kayam, menurut saga. Mengesankan karena tokoh itu tidak berpretensi sebagai gambaran tokoh yang mengacu pada tokoh sosiologis semacam Sri Sumarah dan Bawuk, tetapi karena tokoh itu sepenuhnya fiktif, yang terasa nyata hanya karena kepiawaian bercerita. Tokoh yang sepenuhnya main-main, tokoh yang ‘nonsens’ karena memang “apa yang diceritakan Kayam dalam cerpen itu hanya ih hal-hal yang ‘nonsens’ saja”, seperti dinyatakan Arief Budiman. Tapi justru di situlah ia sepenuhnya menjadi tokoh fiktif yang unik.

Bermain-main ‘menciptakan’ tokoh seperti itu makin langka dalam cerpen kita. Ketika tokoh-tokoh dalam cerita semakin sosiologis (di mana tokoh hadir sebagai representasi realitas sosial) dan hadir dalam teknik penceritaan yang ‘realis’, membuat kita tak lagi menemukan tokoh unik melalui cara penokohan yang unik. Tidak mengherankan bila kebanyakan tokoh-tokoh dalam cerpen kita kemudian menjadi tipologis, dengan cara penokohan yang bagai sapuan-sapuan garis besar riwayat atau identitas tokoh. Kita kehilangan detail penokohan.

Tapi, barangkali memang tokoh sudah tak terlalu penting dalam cerpen kita, sebagai kelanjutan dari apa yang dilakukan Putu. Ketika tokoh tak terlalu hadir dalam cerita, maka yang lebih menggejala kemudian terra, alur, dan suasana. Cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku Seno Gumira Ajidarma adalah contoh cerita yang memesona meski tak ada penggambaran tokoh yang detail. Dalam cerita itu hanya disebut nama seorang gadis bernama Alina yang dikirimi sepotong senja oleh tokoh aku. Bagaimana wajah Alina, apakah berjerawat, berapa usianya, apa pakaian kesukaannya, bagaimana rambut aku, cara berjalannya, tidak menjadi penting. Yang penting adalah suasana dan alur kisah yang penuh kegemparan itu.

Persoalannya, ketika cerpen cenderung ingin menghadirkan diri sebagai gambaran realitas sosial seperti kebanyakan cerpen kita hari ini, hilangnya tokoh justru membuat cerita menjadi tidak meyakinkan. Dan di sinilah paradoks cerpen yang dipenuhi tendensi sosiologis. Pada satu sini ia ingin dianggap sebagai gambaran sosial, tetapi ia tak mampu menghadirkan “tokoh yang lengkap secara sosiologis”.

Adakah ini hanya lantaran keterbatasan ruang penceritaan? Ataukah ada kecenderungan estetis yang harus kits telisik lebih cermat lagi? Misalkan, itu adalah gambaran makin tak bisa ditemukanmva genus manusia yang konkret dalam realitas keseharian bangsa ini? Tak ada lagi hero, bahkan antihero yang unik spesifik, karena yang ada adalah watak-watak yang memiliki kecenderungan yang seragam, mirip para penyiar radio yang dari Sabang sampai Merauke sama dan standar cara berbicaranya. Itulah gambaran “tokoh reproduktif”, tokoh yang seakan-akan diproduksi secara massal dan muncul dalam banyak cerita yang berbeda tetapi sama karakternya.

Di sini saya langsung teringat Alina dan Sukab, yang sering muncul dalam hanyak cerpen Seno Gumira Ajidarma. Juga tokoh Alit, yang nyaris selalu ada dalam cerpen AS Laksana. Apakah yang digagas oleh dua penulis itu, dengan menghadirkan tokoh bernama sama dalam cerpen-cerpen mereka? Bahwa tokoh tak terlalu penting dipermasalahkan?

Dalam cerpen Seno, Alina dan Sukab kadang terasa tak penting sosoknya, karena itu tak terlalu detail penokohannya. Bahkan, Sukab kerap muncul dengan identitas yang berbeda. Begitu pun Alit, yang hadir seakan-akan hanya sebuah kesan, seakan tokoh yang hanya ada dalam pikiran, yang gambarannya serupa ingatan dan kenangan.

Apakah tokoh-tokoh itu dihadirkan untuk mengingatkan betapa kini tokoh dalam kebanyakan cerpen kita memang tiada lain hanyalah bayangan yang samar-samar? Kita seperti tak pernah menemukan manusia!

Agus Noor, Prosais
Sumber: Kompas, Minggu, 24 September 2006

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati