Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=107
(Ia bernama Jala Suta, kata legenda;
lahirnya dikala kedua orang tuanya mengarungi selat Sunda.
Gelombang saksi upacara suci, matahari puncak kedewasaan,
sedang warna perak rembulan, menemani renungannya.
Sementara bintang-gemintang ia petik bagi pelajaran).
(I) Awan hitam arang di atas selat Sunda;
air bergolak, gelombang memburu memecahkan udara,
dewa-dewi di angkasa saling khianat, negri kahyangan goncang;
bintang-gemintang satu-persatu berguguran menjelma bola api,
lautan mendidih, ikan-ikan pada mati.
Ini prahara pernah diramalkan; jantung langit pecah,
dada samudera tumpah, di musim tak jelas waktunya.
(II) Telah menjadi ketentuan,
kapal kecil terpontang-panting merasakan gejolak kiamat;
itu kapal satu-satunya, selamat dari bencana.
(III) Ibu Fatimah mengandung sembilan bulan kerinduan,
berlayar dengan suaminya, Ahmad;
cemas, ribuan petir mencengkeram kulit bergetar,
sayap-sayap malaikat maut siap menenggelamkan.
(IV) Sedikit demi sedikit,
tuan Ahmad membuang muatan kapal;
ibunda Fatimah meringis kesakitan, dan tak berapa lama,
hujan beserta cambuk kilat menghantam udara,
menikam gelombang memecahkan ombak.
(V) Ada yang melesat, cahaya putih kebiru-biruan
jatuh menimpa tubuh kapal; bersamaan itu Jala Suta terlahir,
sempurna dirinya dibarengi tarian nafas angkasa di sekitarnya.
(VI) Awan tadinya menutup selat Sunda,
cepat menyebar ke tepi-tepi cakrawala,
petir malu tangisan bayi,
ombak membabi-buta normal kembali;
hujan reda, air tak lagi mendidih,
bintang-gemintang membiak lagi, begitulah kisahnya.
(VII) Kapal telah melewati selat Sunda,
takdir selamat digariskan menuju tanah Dwipa.
Kala itu pulau Jawa tengah terjadi pergolakan kekuasaan,
saling sikut pengaruh, peraturan adat tak lagi dijalankan;
agama semacam dongeng kengerian,
di telinga anak-anak beranjak raksasa.
Sedang nasib alim-ulama hilang wibawa;
para pastur, biksu dan romo tak lagi berkhotbah.
(VIII) Cepat-lambat Jala Suta dewasa,
di negri sedang panas-panasnya;
sinar matahari bagai bara menempa lempeng baja,
kemarau menderu-melanda gunung ke lembah,
wabah penyakit menjelma malaikat maut kedua.
Orang-orang saling bunuh-menikam,
berebutan air untuk ladang-ladangnya;
aparat pemerintah tak sudi menggubrisnya,
kaum saudagar berubah lintah darat semua.
(IX) Kelaparan melanda raya,
sering terjadi perampokan di mana-mana;
para janda banyak hilang harta benda, malam tak jadi tentram,
penculik seperti hantu gentayangan, tiada tempat aman di sana;
para pemimpin berpesta-pora, para perampok menjarah,
para politisi menjilat, berlidah ular kepala srigala.
(X) Jala Suta menyaksikan kesemrawutan itu,
bersedih hati, bathin terdorong berhasrat merubahnya;
namun bagaimana anak Fatimah dapat melakukannya?
Sementara bapaknya telah meninggal dunia,
sang ibunda dijangkit penyakit lupa;
seluruh rambutnya beruban, gigi-giginya pada tanggal,
hanya memakan bubur mengunyah kinang,
berdzikir dikeseharian, mengharap Yang Kuasa,
agar Jala Suta kelak dijadikan anak budiman.
(XI) Doa-doa terbang berasap kemenyan,
ibunda Fatimah menyusul suaminya;
mata terpejam, mati dengan tenang.
Bathin Jala Suta hancur, lahar tumpah di dadanya;
ia kubur ibundanya berhujan airmata,
beserta mendung ia beranjak pulang,
dan ruh sang ibu telah naik tangga
serupa merpati putih penghuni surga.
(XII) Siang itu alas Roban bau amis,
darah tercecer kuda-kuda bergelimpangan;
para perampok yang dikepalai Surendros mengamuk,
harta saudagar Cina yang melewati hutan itu dirampas paksa,
anak gadisnya bernama Ci’a, dilarikan Surendros ke dalam gua.
(XIII) Namun siang terik itu berubah gelap pekat,
awan hitam arang berbondong menutupi alas Roban;
Suta datang diiringi cambuk kilat menyerang Surendros,
serasa memukul angin, keduanya saling tabrak kadigjayaan,
Ci’a menggigil ketakutan, berbaju sobek teriris derita perawan.
(XIV) Jala Suta dan Surendros lemas, terkuras seluruh tenaga,
karna Suta lebih muda, cepatlah pulih kekuatannya;
Surendros balik memburu membabibuta,
laksana banteng kupingnya tersumbat tanah,
sedang anak samudra gesit mengelak meloloskan diri,
bagaikan ikan sili atau belut putih.
Saat tangan Surendros menghantam pohon asam,
batang gosong, bebuah rontok, daun-daun melayang;
waktunya tepat tak disia-siakan Jala Suta,
menikam perut lawan dengan keris pemberian leluhurnya.
(XV) Surendros terkapar bersimbah darah,
Suta bergegas mendekai Ci’a, dan berkata lembut;
“anak manis, keparat itu telah binasa,
kau boleh pergi sekarang juga.”
“tapi orang tuaku bagaimana tuan?” ;sahut Ci’a,
“mari kita keluar” Jala Suta mengajak keluar Ci’a dari mulut gua.
(XVI) Menyaksikan Surendros membangkai,
para begundal bersiap-siap menyergap Jala Suta,
namun dengan senyum langit Suta berucap kata;
“lihatlah awan di angkasa sana, petir berkilatan,
semuanya kan pergi jikalau aku menghendaki.”
“menjauhlah saudaraku, tugasmu telah usai”
;Jala Suta memerintahkan awan-gemawan
menyebar ke sudut-sudut cakrawala.
Anak buah Surendros menyaksikan petir-awan pergi perlahan,
mereka ciut nyali; serentak memohon ampun kepada anak Selat.
(XVII) Jala Suta, sosok utusan di hadapan mereka.
“cepat!, lepaskan ikatan di tubuh saudagar itu”
;kata anak Fatimah.
Lalu Ci’a beranjak berlari memeluk orang tuanya.
(para pengawal saudagar itu banyak tersungkur,
lainnya terluka parah).
(XVIII) Barang dagangan dikemasi,
lantas pergi membawa kereta kuda yang masih bisa ditumpangi.
Ci’a dan orang tuanya berpamitan; ada senyum Suta dibawa Ci’a,
mereka terus melanjutkan perjalanan, keluar dari alas Roban.
(XIX) Kini Jala Suta kepala perampok
dari anak-anak buah Surendros;
bertolak dari riuh-gemuruh alas ke kota,
menggoncangkan orang-orang pemerintah,
yang menumpuk harta hasil korupsi, dan
merampas paksa kekayaan lintah darat,
yang memeras keringat rakyat jelata.
(XX) Anak buah Jala Suta makin banyak,
kilas bertemu gerombolan perampok lain,
beradu kekuatan dan selalu menang;
ia terkenal di kalangan Samin karena loman,
di mata pejabat serta yang dirugikan, ia sosok tak waras.
(XXI) Suatu malam di lereng gunung Merapi sebelah selatan,
Jala Suta memimpin rapat, pada intinya;
ingin memberontak pada pemerintah.
Paranggi, bekas pemimpin rampok,
menganggukkan kepala tanda setia,
disusul para bekas pemimpin dan anak-anak buahnya.
Malam itu juga strategi pemberontakan dirancang,
dewa-dewi bimbang, bulan sabit sebagai saksinya.
(XXII) Di waktu tepat ditentukan,
alam telah bersiap-siap menerima goncangan;
para kelelawar itu memporandakan kekuasaan,
dahan reranting pohon bergoyang menghempas,
buah-buah jambu berguguran diterkam kebisingan.
Dan para penguasa tak kalah hebat,
bak burung gagak menjaga wilayahnya,
bertarung habis-habisan di udara pekat.
Anak-anak buah Jala Suta banyak jadi bangkai,
semisal disambar angin taupan menggelombang,
terpukul mundur ke tepian pantai pelarian;
pun Suta, lari tunggang-langgang dari gelangang.
(XXIII) Hari sial baginya, anak dilahirkan selat Sunda;
kabur menunggang turangga membawa luka,
lengan kirinya tertusuk panah,
dan anak-anak buahnya semangat pecah,
berserakan bagai bebatuan kali tak bermakna.
(XXIV) Warna fajar menyapu timur raya,
tersungkur badan di tepian telaga;
kabut naik embun berguguran,
ia diangkat seorang putri ke punggung kuda,
dibawanya jasad sekarat itu ke sebuah rumah.
(XXV) Kebetulan,
ibunda sang putri penolong Jala Suta seorang tabib;
tujuh hari ia sekarat, hari ke delapan siuman,
luka-luka di tubuh berangsur sembuh.
(XXVI) Ucapan kali pertama Jala Suta dari ketaksadaran;
“di manakah aku ini? Siapa kau penolongku?”
Putri lemah-lembut itu berucap jawab;
“tuan dalam kediamanku, aku membawa tuan kemari,
tuan pingsan di tepian telaga di dekat sini.”
“Siapa namamu gadis cantik?” ;tanya lelaki selat Sunda,
“aku tiada memiliki nama selain Dewi.”
Jala Suta lanjut bicara;
“kau memang pantas menyandang sebutan itu,
bolehkah aku menambahnya menjadi Dewi Tunjung Biru?
Sepertinya kau layak itu, segeraian angin ombak rambutmu.”
(sang putri itu tersenyum, mengangguk tanda setuju).
(XXVII) Hari berikutnya sebagaimana adanya;
Ibunya Tunjung Biru menanyakan kesehatan Suta,
seluruh anggota tubuhnya dalam kondisi membaik,
digerakkan leluasa, jiwa pun bersemangat kembali,
berselang dari cerai-berainya anak-anak buahnya.
(XXVIII) Pagi nan elok kata pujangga,
serpihan kabut menjelma butiran embun,
lantas gugur beraturan;
kicauan burung menembangkan kenangan,
ketika wajah mentari molek berseri-serasi,
sayap kekupu terbang ringan menggoda hati,
di antara bunga-bunga di tepian telaga hari.
(XXIX) Jala Suta tertegun di atas gundukan batu,
gemerincing air mengaliri lembah pesawahan itu;
Dewi Tunjung Biru mencuci pakaian,
mata keindahan saling resap merasakan,
menikmati kelopakan kembang teratai;
kedua insan saling tatap memandang
merangkum senyum kebahagiaan,
hanya kecewa yang sanggup hentikan.
Lalu datanglah semboyan;
“akulah Jala Suta, memberontak
adalah siasatku menghormati nenek moyang.”
3 Oktober 2000 Yogyakarta, Kadipaten Kulon.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 18 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar