Sabtu, 18 September 2010

Teater Miskin dan Grotowski

Marhalim Zaini
http://www.riaupos.com/

KATA “miskin” dalam dunia seni teater (di Indonesia), bukanlah sesuatu yang baru, sebagaimana juga kata “miskin” untuk Indonesia sebagai sebuah bangsa. Ia seolah bersebati, tak hendak pergi.

Seolah telah menjadi sebuah identitas. Meski telah sejak lama pula ihwal kemiskinan dalam teater ini dirisaukan, dibincangkan, dicari cara pengentasannya, tetap saja, hingga kini pada kenyataannya teater masih miskin: miskin aktor, miskin sutradara, miskin kritikus, miskin penulis naskah, miskin penata artistik, miskin sarana-prasarana, miskin wacana, miskin gagasan-gagasan baru, dan sekaligus para pekerja teaternya pun miskin secara ekonomis.

Memang, kita tak serta merta dapat menutup mata bahwa ada pasang-surut dalam proses perjalanan sejarah teater (modern) Indonesia. Ada ketika demikian bergairah individu-individu pekerja teaternya, baik dalam penciptaan naskah lakon maupun dalam menggali potensi keaktoran (juga penyutradaraan) dengan memainkan naskah-naskah realisme (Barat). Kemunculan naskah berbahasa Melayu, “Lelakon Raden Beij Soerio Retno” yang ditulis F. Wiggers di awal abad IX misalnya —yang juga dapat menandai sejarah awal “realisme” masuk ke Indonesia— dapat memulai pencatatan tersebut. Nama-nama seperti Sanusi Pane, juga setelahnya Usmar Ismail dan Asrul Sani yang mendirikan ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia), tak dapat dilepas dari bagaimana proses generasi-generasi berikutnya lahir di antaranya Teguh Karya dan Wahyu Sihombing. Di Bandung, ada Suyatna Anirun dan Jim Adhilimas dengan kelompok STB-nya.

Pada priode berikutnya (tahun 1970-an) mungkin bolehlah kita bersepakat dengan Jakob Sumardjo yang menyebutnya sebagai “Zaman Emas Kedua Teater Indonesia.” Ada beberapa alasan yang mendasari Jakob. Di antaranya suasana berkreasi lebih bebas dari tekanan dan ketakutan politik, lalu iklim kondusif Taman Ismail Marzuki yang difokuskan sebagai Center of Excellence kesenian, selain peran pemerintah (khususnya DKI Jakarta yang waktu itu Gubernurnya Ali Sadikin) yang menyantuni kesenian dengan prinsip patronse. Hemat saya, alasannya mungkin bisa ditambah, karena di masa itu juga penulisan naskah drama demikian bergairah.

Proses pasang-naik semacam itu, bisa jadi juga terkait dengan euforia pekerja teaternya sendiri dalam merespon perkembangan awal teater modern di Indonesia. Meski kemudian, pada priode-priode setelahnya teater Indonesia memang mencatat sejumlah nama dan kelompok teater yang menonjol, dan cukup memberi pengaruh terhadap perkembangan teater berikutnya. Rendra, Putu Wijaya, Arifin C Noer, Nano Riantiarno, Rahman Sabur, Dindon, adalah beberapa nama yang ikut menancapkan tonggak-tonggak itu. Saya kira, juga tidak terlalu benar, jika kita hanya melihat sejarah dari satu sisi saja, dari satu titik arah pergerakan saja. Saya cukup percaya, selain Jakarta, kota-kota lain turut memberi sumbangan bagi berjalannya dinamika konstelasi perteateran di Indonesia. Hanya saja, ruang ekspose mereka terbatas, sehingga kadang, kesan yang kerap timbul hanya Jakarta-lah sebagai pusat sejarah. Terlepas dari pertanyaan, “peristiwa (teater) yang seperti apakah yang layak masuk dalam buku sejarah?”

Ya, itu realitas sejarah singkat. Bukan berarti kemudian, masa-masa “kejayaan” semacam itu membuat infra-struktur teater kita menjadi kokoh, dan kemiskinan hilang di muka bumi. Justru, hemat saya, karena lemahnya infra-struktur itulah yang membuat teater Indonesia berjalan dalam kegamangan-kegamangan. Banyak persoalan yang terbengkalai begitu saja, baik dalam tataran wacana maupun realitas praksis. Selain tentu, cukup banyak faktor eksternal yang tak kunjung kondusif untuk membantu memberi ruang bagi tumbuh-kembangnya teater sebagai salah satu “kekuatan” yang menopang “rumah-rumah” kebudayaan kita.

Di Riau, saya tak terlalu berani untuk menakar seperti apa pergerakan teater modernnya di masa lalu. Meski secara lamat-lamat, masih sempat sampai ke generasi kini gaung nama Idrus Tintin misalnya, atau saya sempat menyaksikan pertunjukan garapan alm. Dasry Al Mubary di Yogyakarta dan Pekanbaru, serta beberapa sedikit nama dari yang lain. Saya kira, infra-strukur teater kita di Riau memang belum terbangun. Kalau pun pernah ada tonggak-tonggak itu, agaknya masih rumpang. Ketiadaan kritikus teater (atau lebih sederhana: juru bicara) sebagai salah satu pilar infra-struktur itu, adalah satu soal yang menyebabkan akses informasi ihwal pertumbuhan dan perkembangan teater (di) Riau tak dapat dengan mudah terdeteksi di masa kini. Maka kemiskinan itu menjadi niscaya. Belum lagi, pilar-pilar lain seperti pekerja teaternya sendiri, yang masih belum tangguh berhadapan dengan berbagai godaan (juga cibiran). Atau para apresian (penonton teater) yang masih harus terus dikelola untuk bisa menghadirkan rasa rindu dan dengan setia menyaksikan pertunjukan teater. Atau, pilar lain, gedung yang semegah Anjung Seni Idrus Tintin itu, kini kita hanya bisa melihatnya dengan rasa miris, sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Gagah dalam Kemiskinan dan Grotowski

Tapi, baiklah. Itu bentangan problemnya. Tak kemudian optimisme menjadi letoi. Tak membuat pilihan berkesenian di panggung teater menjadi surut. Ada banyak kreativitas muncul justru ketika problem (kemiskinan) itu tak kunjung sirna. Saya jadi teringat petuah WS Rendra, yang sejak lama mencambuk para pekerja teater dengan lecutan, “kita harus gagah dalam kemiskinan.” Atau teringat pula saya bagaimana Putu Wijaya menggariskan konsep proses kreatif berteaternya dengan “berangkat dari apa yang ada.” Artinya, penyikapan terhadap kondisi teater yang miskin itu, adalah dengan melakukan berbagai penggalian konsep dan metode untuk dapat membangun kekuatan-kekuatan kreatif yang baru. Saya kira, di sini letaknya tantangan itu. Dan di sinilah pula saatnya si seniman menunjukkan ketangguhan dalam berkomitmen.

Lecutan Rendra dan konsep Putu Wijaya di atas, sesungguhnya sejalan dengan konsep “Teater Miskin” (Poor Theatre) yang diusung oleh seorang tokoh teater terkemuka dunia, Jerzy Grotowski. Jika Rendra “gagah dalam kemiskinan” dalam konteks proses kerja berteater secara mendasar yang terkait dalam berbagai infra-struktur, dan Putu lebih mengarah kepada proses kerja-kreatif seorang sutradara dan aktor, sementara Grotowski lebih mengembalikan “segalanya” pada kekuatan seorang aktor. Bersama kelompok Theatre Laboratory, Grotowski melakukan kerja-kerja eksperimental di bidang metode pelatihan aktor atau teknik akting.

Kerisauan Grotowski muncul terlebih ketika di saat itu kehadiran teknologi lewat media film dan televisi yang kemudian juga merambah ke dalam dunia teater, terutama melalui penataan cahaya, penataan musik, juga tata setting, justru menciptakan “kemegahan-kemegahan” artistik yang “berlebihan.” Sehingga, penyatuan antara aktor dan penonton dalam sebuah peristiwa teater—yang diyakininya sebagai “jantung teater”—tidak terjadi secara alami. Nah, Grotowski secara lantang menyebut, “inilah awal keruntuhan dunia teater.”

Maka melalui kerja-kerja riset artistik yang mendalam ia hendak merevitalisasi kaidah-kaidah dasar teater melalui kekuatan seorang aktor. Bahwa baginya, apa yang paling penting dalam sebuah peristiwa teater, dan yang membuat ia berbeda dengan menonton televisi, adalah “pertemuan” langsung antara aktor dan penonton. Ketika pertemuan ini terjadi, seorang aktor melalui media otot-otot wajah dan tubuhnya harus mampu menunjukkan ekspresi kemanusiaannya yang paling dalam. Artinya, bagi Grotowski, mestinya tak ada batas antara aktor sebagai individu dengan penonton yang kolektif. Maka di sanalah proses “pembentukan diri” keduanya terjadi. Penonton dapat menyerap “pesan” aktor dengan baik, dan aktor adalah cermin untuk dapat melihat dirinya sendiri.

Saya kira, kata “miskin” dalam konsep Gorotwski jika dimaknai secara lebih luas dan kontekstual, adalah counter terhadap berbagai “kemanjaan” pekerja teater kita. Jika soal dana yang kerap dikeluhkan (karena teater seolah membutuhkan berbagai perangkat yang mahal) maka konsep “Teater Miskin” dapat menjawabnya dengan sangat bijak. Tentu, sebelumnya, harus tertanam sebuah pemahaman, sebagaimana yang diungkapkan oleh Grotowski, “Teater Miskin tidak menjanjikan kepada para aktor kemungkinan sukses dalam satu malam. Teater ini menolak konsepsi borjuis tentang suatu standar hidup. Tetapi mengusulkan penggantian kekayaan material menjadi kekayaan moral sebagai tujuan utama hidup ini.”***

*) Sastrawan, tinggal di Pekanbaru.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati