Senin, 27 September 2010

Kenapa Albert Camus Absurd?

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=636


Dalam bukunya “The Rebel” yang diindonesiakan Max Arifin, terbitan Bentang 2000. Di sana aku membaca pendapatnya: “Manusia adalah satu-satunya makhluk yang menolak untuk menjadi dirinya.”

Bagiku, ia sosok pelancong jauh yang tidak mudah dikibulin para pengembara sebelumnya. Jika boleh menentukan faham, merupakan jajaran sastrawan kelas wahid. Di hadapannya; filsuf, sejarawan juga kaum pelaku total menghidupi nafas kesusastraan, yang tak sekadar berindah-indah dalam penciptaan karya.

Mengkonstruksi ulang faham Hegel, menyelamatkan cinta butanya Karl Marx pada masyarakat tertindas. Mengekang gerak awan merah surealis, agar selepas jalannya revolusi, tidak menambah runyam mendirikan bentuk-bentuk kediktatoran anyar lebih anarkis. Menyadari nihilisme juga sanggup, tepatnya memiliki hasrat perusak yang punya sifat kekejaman serupa.

Camus dengan jiwa “tergopoh,” ingin menempatkan kaki-kakinya di lahan sejarah yang diyakininya sebagai fitroh alami, yakni absurd. Tersebab hati mudah terbolak-balik, kerap pangling menemukan silang-sengkarut. Dalam kondisi tertentu di ruang-ruang berbeda atas tekanan suhu udara, yang sering dipermainkan perubahan mengintriki manusia.

Kadang aku melihatnya menyerupai nabi Isa menghidupkan tubuh sudah mati, dalam kelahiran kedua mereka diajaknya berbincang menerus. Di sana penggalian sunyi, peristiwa puitik dimainkan segugus gagasan cantik, yang menawarkan pertimbangan jeli tinimbang orang kesurupan.

Kesadaran menawan menciptakan dirinya di ambang tragedi, terus was-was mengolah ruang-waktu demi selalu genap pun ganjil sepadan. Ia tak katakan benar atau keliru pun tidak memutuskan hukuman, sebelum memiliki alasan pribadi. Di langit membiru, ia mengajak merenungkan nasib anak-anak manusia yang didera jarak masa dengan tongkat absurditas, menapaki lelangkah berat menuju pengakuan, bahwa hidup memang simalakama.

Tanpa sungkan aku pernah menyusuri sungai nalarnya, yang menambah keyakinan dalam melengkapi gairah buku esaiku pertama: ”Trilogi Kesadaran” (Kajian Budaya Semi, Anatomi Kesadaran & Ras Pemberontak), walau tampak masih terburu.

Herbert Read dalam mengantari bukunya mengeluarkan keyakinan: “The Rebel” ialah sebuah buku yang hanya muncul di Perancis. Dan dengan sok menjijikkan hidup, “Trilogi Kesadaran,” hanya lahir di bumi Nusantara.

Dengan bacaan meluas, Camus seakan tak punya sifat kefanatikan. Selalu mengukur batas capaian, tiada ingin lepas merasai wujud keberjamanan yang dikenyamnya. Menentukan batas kemampuan insan, yang di mata orang luar dapat dianggap plin-plan. Tapi tidakkah kita selalu diuji coba diri sendiri setiap waktu?

Kalau tak ingin mandek dalam ketumpulan pun kecerdasan menggelikan mata? Adalah orang aneh di sisi jalan, kita di jarak tertentu terkagum pula bisa menertawakan. Yang pendiam sedikit kesulitan didekati berbagai kepura-puraan.

Maka selisih waktu perubahan watak peranan dijadikan penelitian dalam karya-karyanya dan esai-esainya yang tak memiliki pribadi mengejutkan. Sebab pada derajad tertentu, keterkejutan beban nasib terbentuk, sudah sangat berdaya ganggu luar biasa.

Kata “tergopoh” di atas, wujud spontanitas murni yang berangkat dari fikiran waras, selalu dipanasi penyelidikan, mencurigai nilai-nilai, apakah sejarah ataupun bersumber agama. Betapa kodrat insani yang rapuh, perasaan tak mampu menggembol keseluruhan, terjadilah (absurd). Serupa awal penerimaan bacaan atau kedipan pertama menjulurkan kasih sayang.

Ia bukan pembangun argumentasi beralasan menyelamatkan diri sebelum bertindak, nalar beningnya menghantarkan pilihan mengagumkan. Corak yang dapat dibahasakan sebagai kesadaran spiritual. Tiada kesamaan dengan orang licin berbagai manipulasi, menjebak dengan perangkap nilai, meski diterima khalayak umum, lebih-lebih kaum fanatik.

Pernah kubayangkan, jika Camus hidup di masa Nietzsche, tak akan terjadi bencana besar yang ditimbulkan perang dunia kedua yang dipelopori Hitler, seminimal mengurangi kesumatnya. Tetapi aku insaf, kesadarannya hadir selepas jauh mengoreksi huru-hara revolusi Perancis, serta bukan kaca pantul Voltaire, cermin pesimistis dipecahkan terlebih dulu, sebelum melayarkan pandangannya.

Atau demikian kerusakan di bumi diseimbangkan irama lain dan ini menyelaraskan harmoni. Meski di persimpangan kerap muncul kepentingan yang tak masuk akal, hasrat lebih yang juga pembawaan makhluk bernama manusia.

Dengan ruh keseluruhan berontaknya menyeleksi ulang pelbagai perolehan jaman sebelumnya, demi dikemukakan kembali. Ialah tak menyodorkan jawaban, tapi tanda tanya besar membuat mereka menggigil lekas berpulang, pada kemurnian paling mendasar. Bukan mencanangkan insan adiluhung impian banyak orang, namun meleburkan diri bermusik didengungkan alam ganjil terjamah pembeda, mampu membelah di atas dinamikanya yang paripurna.

Ia menyadari absurditasnya berasal pecahan bintang nihilisme Nietzsche yang berkembang secara mandiri, mendewasakan bentuknya untuk faham diyakini. Jangan-jangan ia tak punya hantaman mematikan, bagi rahang orang Jerman itu. Yang menyebut ateis lebih bermoral daripada yang agamis tanpa kendali. Dan faham lebih beringas menyudutkan agama sebagai candu mematikan, tercebur jurang dekadensi moral kerinduan di tepian masa pancaroba.

Aku percaya, telah lewati penelitian seksama pun resikonya berat, jika berhadapan langsung dengan nihilisme, sebelum benar-benar matang sebintang terang berdaya sorotan lebih sedari pendahulunya. Begitu dirinya bersikap, menghadapi tukang ramal berkumis tebal penyokong ras arya tersebut.

Di titik ini, Camus bermain perihal masa depannya laksana sulapan. Aku melihat agak bergeser sedari absurditas yang diusungnya, atau begitu kala menghadapi dukun filsuf. Tapi seyogyanya mengeluarkan alat-alat bedah yang steril, agar penyakit yang ditangani tidak merantak menjalar mengganggu penyelidikan, pun diagnosanya bisa dipertanggungjawabkan lebih mandiri.

Atau di sinikah strateginya, memaksa Nietzsche bunuh diri dengan pisaunya sendiri, seperti dikatakan di awal bagian Penegasan Mutlak:

“Sejak saat manusia meletakkan Tuhan di bawah penilaian moral, ia mengikis-Nya dari dalam hatinya sendiri. Dan apa yang menjadi dasar moralitas itu? Tuhan ditolak atas nama keadilan, tetapi dapatkah gagasan keadilan itu difahami tanpa gagasan dari Tuhan? Sampai di sini, apakah kita tidak berada dalam daerah absurditas? Absurditas adalah konsep yang ditemukan oleh Nietzsche sendiri.”

Pada tipe apapun; absurditas, eksistensialisme, nihilisme, tetap memiliki ruang pembusukan, tempat pasif merusak kejadian pencipaan mendebarkan. Menghabisi nikmatnya persetubuhan jiwa dan raga, menghambat gemuruh ruh pemberontakan dalam diri.

Semua beresiko terperangkap lubang buaya kemandekan, pembodohan dilakukan orang-orang waras, tapi ingin lebih dengan hidup ugal-ugalan. Para penyerangnya tidak jauh, biasanya anak turun yang diberontak.

Kalau setiap aliran berkumandang atas kesederhanaan masing-masing, bisa dimungkinkan dalam lingkaran roda terarah. Punya rotasi sendiri yang menjaga gravitasi ialah selamat bermawas diri. Hanya mandek tak bergerak, puas kebodohannya, girang kecerdasannya, lalai menjemput ajal, abai mempersiapkan menuju bilik nafas kebugaran nirwana.

Aku teringat musabab bunuh dirinya Yasunari Kawabata, yang mencium faham ketakmampuannya, setelah bintang Nobel terpecahnya. Tak sanggup menghidupi serpihannya menjelma gemintang terbaru, senada nasibnya supernova.

Riwayat ledakan akhir suatu faham sepatutnya membentuk formasi gemintang anyar, sebab kelahirannya niscaya. Jika tak ingin bedah caesar, pula biarlah mendekati kematangan demi melengkapi nafas-nafasnya di alam kehidupan. Jikalau dihentikan, akan datang pemberontak yang punya keinginan serupa, mempreteli kursi-kursi tanggung berayun-ayun terpuaskan. Membawa palu, gergaji serta api keabadian sepadan, dipastikan terbakar berhala-berhala kejayaan.

Selamatlah yang bersanggup seimbangkan kabut kejiwaan, memperbaharui niat menggagalkan senyuman kemayu atas kesadaran tertinggi. Yang diberkahi kemampuan menguak kejadian bersusah payah, guna tak terjadi huru-hara. Atau lenyapnya faham, diganti yang lebih bisa mengayomi jaman dikandungnya.

Lamongan, Jawa 25 September 2010

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati