Senin, 27 September 2010

Sang penyair dan sang panglima [W.S. Rendra]

Goenawan Mohamad
http://majalah.tempointeraktif.com/

PADA suatu malam Agustus 1970 W.S. Rendra ditahan. Ia, bersama 10 orang lain, bersemadi di petak rumput di tengah Jalan Thamrin, Jakarta. Malam itu beberapa ratus mahasiswa menyiapkan secara massal aksi “Malam Tirakatan”, sementara gabungan pasukan bersenjata bermaksud menggagalkannya. Bentrokan kekerasan dikhawatirkan.

Rendra dan yang lain-lain telah berhasil membujuk para mahasiswa (di pimpin Arief Budiman) untuk mundur saja, dan sebagai ganti menawarkan diri untuk melakukan semadi dan tirakatan di tempat yang telah ditetapkan.

Fihak penguasa agaknya menyangka Rendra dkk sebagai demonstran yang bandel, dan ia ditahan 20 jam. Walaupun dalam interogasi yang dilakukan malam itu seorang tahanan menamakan tindakan mereka sebagai “tumbal” buat mencegah terjadinya bentrokan antara mahasiswa dan tentara, sedikit sekali difahami motif Rendra dkk malam itu.

Dalam suasana bertentangan, orang yang tak mengabungkan diri memang sering sulit direngerti. Apalagi oleh mereka yang fanatik. Dan cerita Mastodon & Burung Khondor adalah tentang semua itu.

Ada militer yang berkuasa dan melaksanakan pembangunan, ada mahasiswa yang melakukan perlawanan revolusioner dan ada seorang penyair yang menentang kedua hal itu sekaligus.

Ditaruh dalam latar nun jauh di Amerika Latin, cerita bikinan Yogya ini dengan sangat efektif sebenarnya berbicara tentang Indonesia. Atau mungkin lebih tepat: tentang pandangan Rendra mengenai sekitarnya dan dirinya.

Tokoh Jose Karosta, sang penyair, tidak silap lagi adalah semacam potret-diri. Kata “semacam” perlu dicantumkan di situ, jika kita terbiasa mengartikan potret-diri adalah seperti yang dibikin Affandi. Sebab bila Affandi mendramatiskan ketidak-elokan paras, Rendra memproyeksikan sebuah ideal dalam diri Jose Karosta. Bila Affandi tak tertarik untuk kontur, dalam tokohnya Rendra justru seperti membubuhkan aureole.

Jose adalah penyair yang dikagumi dan dikitari orang banyak, suka gadis semampai, suka eksperimen kesenian, pembaca sajak yang merangsang urat syaraf”, radikal dan suka mempertanyakan, “tidak memerlukan lembaga” dan boleh dibilang anti-politik dan anti revolusi tapi merupakan musuh bagi yang berkuasa dan menindas.

Terkadang terlintas gambaran yang nyaris kenabian dalam tokoh ini: dalam Bab V, Jose Karosta berada di atas bukit membacakan doa puitis, dikelilingi oleh para pengikutnya, sementara orang-orang yang ditindas dan dihinakan datang mengadu.

J.K. hampir berarti Jesus Kristus. Buat membangkitkan perlawanan rakyat kepada pemerintah kaum revolusioner bahkan menganggap penting untuk mengusahakan agar Karosta ditangkap. Mungkin di sini paralelisme antara Kristus dan Karosta tak terlalu kentara, walaupun bila kita mendasarkan perbandingannya dengan drama penyaliban yang pernah disusun Rendra di tahun 1963, Cinta Dalam Luka.

Tapi setidaknya sang penyair begitu penting, hingga di bagian akhir drama ini ia bisa mengancam kaum pemberontak: “Kalau sesuatu terjadi pada diri saya, barisan revolusi akan terpecah dua”. Katolik.

Sebenarnya tak perlu terlalu jauh untuk meninjau bayang-bayang kekristenan lakon ini. Pun tak teramat relevan buat mencoba mempertalikannya dengan lakon Paraguay Tercinta yang dipentaskan Rendra di tahun 1961 — juga tentang cita-cita keadilan & kemerdekaan, revolusi, dan kekuasaan kelembagaan (agama) di Amerika Latin.

Tapi yang patut dicatat ialah bahwa bagaimanapun Rendra kini tak lagi Katolik, ia masih bisa terus dengan imaji dan lambang pemikiran religius yang tumbuh melalui artikulasi Katolik. Ia tak bisa lain apabila ia hendak otentik, jujur dengan dirinya sendiri. Latarbelakang Katoliknya telah membantunya menciptakan sajak-sajak yang bagus.

Dan tak seorang penyairpun dapat begitu saja menanggalkan mithos-mithos yang menemaninya sejak kecil dalam pertumbuhan dirinya. Dunia kanak yang penuh dongeng dan amsal yang indah adalah perbendaharaan yang sah. Demikianlah kita lihat dalam Mastodon Rendra, dengan latarbelakang Katoliknya — apalagi Katolik Jawa bisa menampilkan fikirannya tentang dialektik antara badan dan roh, dengan tegas, yakin, wajar.

Dan lewat tokoh Jose Karosta jelas luka di mana Rendra berdiri: ia menghargai badan, tapi ia memihak roh, tak memilih lembaga dan kekuasaan. Dalam bahasa Injil, hal-hal terakhir itu milik Caesar. Mungkin karena perbendaharaan pengalamannya dengan agama Kaolik pula maka pilihan latar Amerika Latin untuk lakonnya ini merupakan pilihan yang lumrah bagi Rendra. Seperti halnya pilihan latar India dalam lakon Manusia Baru bagi Sanusi Pane yang menganut theosofi.

Tapi tentu tidak itu saja. Ada satu hal yang lebih penting: masalah Indonesia di tahun 1930-an memang mirip dengan masalah India pada saat itu, ketika lakon Manusia baru diciptakan. Masalah Indonesia di tahun 1970-an lebih mirip dengan masalah Amerika Latin, katakanlah Brazilia, ketika Mastodon digubah.

Tak mengherankan bila perbandingan antara Indonesia dengan Brazilia oleh seorang sastrawan lain pernah pula dilakukan Beb Vuyk mengemukakan itu dengan pandangan lain dalam bukunya yang mutakhir, Een Broet in Brazil.

Tapi bagi saya karya Rendra lebih menarik, karena seraya tak menyebut apa-apa tentang Indonesia, ia telah merumuskan masalah kita yang aktuil. Di satu fihak ada pertumbuhan ekonomi yang dalam lakon ini disebutkan dengan cara yang sengaja dilebih-lebihkan: 260%. Tapi di lain fihak penderitaan rakyat kecil tak berubah, bahkan memburuk.

Kata-kata Jose Karosta bukan saja menunjukkan kepandaian Rendra dalam metafor, tapi juga menampakkan persepsi dan pengetahuannya yang kuat tentang masalah sosial:

“Aku memberi kesaksian, bahwa dibangunnya pabrik-pabrik untuk kepentingan modal asing tidak berarti mengurangi jumlah pengangguran”, katanya Dan:

“Saya memberi kesaksian bahwa pemerintah telah bersungguh-sungguh membina tenaga tidak untuk mobilitas, tetapi untuk kekukuhan, tidak untuk dinamis, tetapi untuk teguh dan angker, tidak untuk mencipta barisan semut-semut yang bekerja, tetapi barisan gajah-gajah yang suka serba mempertahankan” Rakyat. Para gajah itulah yang kemudian dibayangkannya akan jadi mastodon-mastodon, yang akan “memusnahkan alam secara lahap”.

Dan siapakah burung khondor? Burung itu adalah lambang rakyat, juga diri penyair sendiri dan kawan-kawannya — atau lebih tepat: sukma mereka. “Dari pagi sampai siang, rakyat negeriku bergerak-gerak menggapai-gapai. Dari siang sampai sore, mereka menjadi onggokan sampah. Dan di malam hari, mereka terbanting di lantai dan sukmanya menjadi burung khondor”.

Meskipun tak selamanya jelas, Rendra - seperti dalam sajak-sajaknya yang dulu — menggunakan imaji “burung” untuk sesuatu yang bebas, dekat dengan alam, penuh mimpi, dan heroik.

“Beribu-ribu burung khondor, berjuta-juta burung khondor gumpalan-gumpalan awan burung khondor, bergerak menuju ke puncak gunung yang tinggi. Dan di sana mendapat hiburan dari sepi, karena hanya sepi yang mampu menghisap dendam dan sakit hati”.

Sepi, dan bukan revolusi. Yang membedakan pandangan Rendra dengan kaum Marxis atau Kiri Baru ialah bahwa sang penyair tidak mempercayai revolusi.

“Aku percaya pada jalarnya perubahan berdasarkan perkembangan kematangan kesadaran. Perubahan yang mendadak yang ditimbulkan oleh revolusi hanya akan menghasilkan perubahan semu”.

Apalagi bila kaum revolusioner menang, dalam lakon ini dipimpin oleh kaum mahasiswa, mereka akan jadi diktator dan rakyat tetap menderita.

Tak mengherankan bila Rendra pernah dikutip mengatakan lakonnya ini “anti-Revolusi”. Ia nampaknya kembali pada cerita Zeus dan Prometheus dalam mithologi Yunani: mereka berdua menumbangkan tirani, tapi kemudian Zeus menjadi tiran dan Prometheus yang membela kemerdekaan menjadi hukuman.

Sang penyair, sang intelektuil, dan pembela kehidupan rohani adalah Prometheus. Setelah kaum revolusioner hampir menang, Jose Karosta yang meskipun merupakan musuh rezim militer justru dibuang ke luar negeri. Kaum revolusioner telah jadi Zeus.

Di sini Rendra mengingatkan kita kembali pada pemikiran yang hidup di kalangan seniman dan cendekiawan penandatangan Manifes Kebudayaan di tahun 1963, yang menentang utopisme dari revolusi, menentang Politik Sebagai Panglima dan memandang komitmen kaum seniman kepada masyarakatnya sebagai yang dirumuskan Herbert Read: “the politics of the unpolitical” atau “politik” tanpa pamrih kekuasaan.

Mereka ingin selalu berada di luar kekuasaan sebagai salah satu pengontrolnya. Bagi mereka inilah peran dan tugas intelektuil. Fikiran-fikiran Arief Budiman, salah satu perumus Manifes, dengan jelas berpola pada sikap itu, berdasarkan dialektik badan dan roh yang serupa.

Rendra, yang selalu dengan rendah-hati mengatakan bahwa ia banyak dipengaruhi tulisan Arief, kini mengungkapkannya lewat Mastodon. Sukadji. Belum bisa dikatakan di sini bahwa lakon ini merupakan karya yang gemilang.

Rendra mungkin bisa dianggap melakukan “kesalahan” Albert Camus dalam Les Justes (diterjemahkan Arief Budiman sebagai Teotis) yang pernah dipentaskan di Taman Ismail Marzuki beberapa waktu yang lalu juga tentang konflik antara pilihan kekerasan dengan tanpa-kekerasan di kalangan pejoang keadilan.

Maksud saya: peran-peran lebih menarik sebagai penubuhan ide-ide daripada sebagai watak-watak yang berkembang. Tapi harus selalu diingat bahwa teater Rendra harus dinilai setelah dipentaskan - sebab dia adalah seorang maestto di situ.

Tapi setidaknya dari naskah saja sudah bisa dinilai bahwa ini merupakan langkah Rendra yang penting, bukan untuk riwayatnya sendiri setelah teater minikata, tapi untuk riwayat teater Indonesia dalam masyarakatnya.

Saya termasuk orang yang percaya bahwa teater kita akan mendapatkan tempat yang lebih penting dalam kehidupan publik dibandingkan dengan novel, berdasarkan kenyataan kebudayaan Indonesia sendiri.

Apalagi bila dalam teater itu pula publik menemukan dan menjadi lebih peka terhadap dunia mereka yang intim. Untunglah, bahwa Mastodon pada akhirnya tak jadi korban larangan Kepolisian Yogya dan korban alasan “proseduril” dari Rektor UGAMA Prof.

Sukadji ketika hendak dipentaskan di kampus. Untunglah, bahwa Pangkopkamtib sendiri, Jend. Sumitro, dan Kol. Leo Ngali dari Kodam VII, mengijinkan Rendra untuk terus.

Hanya kenyataan bahwa sebuah lakon teater perlu diputuskan nasibnya oleh seorang Panglima dari Pemerintah Pusat, dan seorang pemimpin universitas menunjukkan ketidak-pastian sikap menghadapi perkara itu, pada hemat saya bukanlah kenyataan yang sedap.

Saya menyenangi fikiran-fikiran Prof. Sukadji. Mudah-mudahan dalam soal Mastodon orang akan memanfaatkannya.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati