Selasa, 10 Maret 2009

Karya Sastra dan Pencerahan

S Yoga
http://www.suarakarya-online.com/

Pada beberapa Ahad yang lalu, ada dua buah tulisan yang cukup menarik dan saling bersinggungan, yakni tulisan Hudan Hidayat (HH) "Nabi tanpa Wahyu" di Jawa Pos dan Viddy AD Daery "Gerakan Sastra Anti Neoliberalisme" di Republika.. Kedua tulisan itu merupakan polemik sastra yang hangat saat ini. Masing-masing bersikukuh atas "pledoinya".

Sekedar mengingat kembali tulisan HH adalah balasan tulisan Taufiq Ismail (TI) yang menanggapi tulisan HH sebelumnya "HH dan Gerakan Syahwat Merdeka", Jawa Pos, 17/6/2007, yang merupakan respon. TI atas tulisan HH yakni, "Sastra yang Hendak Menjauh dari Tuhannya", Jawa Pos, 6/5/2007, yang menyinggung pidato kebudayaan TI di TIM yang sok moralis, dalam rangka "membasmi" gerakan sastra syahwat merdeka, yang kemudian oleh TI disebut sebagai sastra SMS (Sastra Mazhab Selangkangan) atau sastra FAK (Fiksi Alat Kelamin).

Sedang yang termasuk dalam kubu ini menurut TI, di antaranya adalah Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu dan HH. Dalam tulisannya TI lebih cenderung menilai karya sastra secara eksternal.

Sedangkan tulisan Viddy AD Daery, bila dicermati berada satu kubu dengan TI, di mana Viddy mengemukakan (hal ini merupakan politik sastra) bahwa sekarang ini ada sebuah ideologi yang dinamakan sastra neoliberalisme, yang di antaranya dikembangkan oleh komunitas TUK, yang di dalamnya ada Ayu Utami. Menurutnya TUK telah mengembangkan karya-karya yang nonsens (tidak penting), porno-praxis (mendewakan tubuh dan seks) dan cenderung anti peran agama (sekuler). Sebagai tandingannya adalah gerakan anti sastra imperalisme dan anti neoliberalisme, oleh Wowok Hesti Prabowo yang merupakan tokoh Komunitas Sastra Indonesia dan presiden penyair buruh. Termasuk juga dalam kubu ini oleh Viddy dimasukkan Forum Lingkar Pena (FLP) dengan sastra dakwahnya.

Namun karya-karya FLP ini, termasuk karya-karya komunitas Wowok, apakah sudah memenuhi kaidah sastra atau justru lebih berat kepada pesan dakwahnya yang menyenangkan dan pesan perjuangan buruhnya sebagai agen perubahan, atau malah jatuh kepada pesan yang verbal, hal ini tentu saja masih bisa diperdebatkan lagi.

Bila dicermati sebenarnya polemik ini sudah lama terjadi, namun objeknya saja yang lain. Dan juga dengan gerakan-gerakan sastra yang baru. Yakni bermula dari tarik menarik antara seni untuk seni atau seni untuk masyarakat, yang dululnya merupakan konsep dari Horace, dulce et utile, seni dan kegunaan.

Memang pada awal mulanya antara sastra, filsafat dan agama tidak bisa dipisahkan, tidak jauh-jauh kita mengambil contoh, sebagaian dari orang-orang Jawa, khususnya yang sudah sepuh-sepuh hingga kini masih mengamalkan beberapa serat yang ditulis oleh para pujangga yang berkaitan dengan kehidupan, Serat Wulangreh, Serat Wedhatama, Serat Centhini, misalnya. Sedang di Eropa dikenal karya-karya sastrawan Yunani seperti Aeschylus dan Hesiod yang dianggap bisa digunakan sebagai pedoman hidup.

Namun seperti apa yang disampaikan Plato, pada akhir abad ke-19, munculah konsep seni untuk seni, yang mampu membuat perubahan pada fungsi sastra. Apalagi pada abad 20 muncul doktrin puisi murni. Pada periode Renaisans, penyair dan cerpenis Edgar Allan Poe mengkritik konsep bahwa puisi bersifat dikdaktis. Kita juga mengenal bahwa karya-karya sastra kita lama, seperti serat-serat sebagian besar bersifat didaktis. Tentu saja hal ini disesuaikan dengan kebutuhan atau peradaban masyarakat pada saat itu.

Dalam kaitannya dengan polemik sastra yang sekarang sedang kita hadapai. Sebenarnya kubu HH, Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu dan komunitas TUK ini berada pada konsepsi mengeksplorasi kebebasan berepresi atau seni untuk seni, dengan kaidah-kaidah sastra yang mereka anut. Di mana berkecenderungan kisah dan kesan menjadi pokok utama daripada pesan dan moral. Sedangkan kubu TI (Horison), Viddy AD Daery, Wowok Hesti Prabowo dan FLP berada pada seni untuk masyarakat. Di mana berkecenderungan bahasa menjadi alat penyampian pesan dan agen perubahan. Budi Darma dalam sebuah esainya pernah menyampaikan bahwa "Tidak Diperlukan Sastra Madya" yang kurang lebih menyatakan bahwa karya sastra harus dinilai dari kaidah-kaidah (esetika sastra) yang ada dan bukan pada hal-hal diluar karya sastra. Dengan demikian karya sastra haruslah ditinjau dari bentuk dan isi, atau seni dan kegunaanya secara seimbang. Karena karya sastra yang cenderung mementingan isi atau kegunaan akan jatuh pada "propaganda" yang nilai sastranya tentu saja lebih rendah.

Dalam hal ini, tentu saja berkaitan dengan sastra SMS dan FAK yang ditudingkan TI apakah antara bentuk dan isi sudah seimbang. Kesatuan organis, perimbangan permainan dan kesungguhan dalam karya sastra sudah terjalin. Apakah pelukisan adegan erotis, "cabul" bila dihilangkan mempengaruhi tema dan jalan cerita. Atau sama sekali tidak mempengaruhi tema, integritas, gaya, suasana dan jalan cerita.

Mengenai standar pornografi tentu saja setiap zaman memiliki ukuran-ukurannya sendiri. Misal roman Armjn Pane, Belenggu, pada tahun 1940 tidak sedikit orang merasa tersingung kesadaran susilanya oleh adegan tokoh utama dokter Sukartono yang menghadapi pasien perempuan yang tersingkap kainnya sehingga tampak bagian pahanya. Namun sekarang hal itu sama sekali tidak menyinggung moral. Bahkan roman ini diajarkan di sekolahan-sekolahan.

Di dalam sejarah sastra dunia kita telah mengetahui pernah terjadi penindakan pemerintah terhadap pengarang dan karya sastra yang didakwa isinya telah melanggar moral umum.

Di Perancis pengarang Gustave Flaubret pernah dipanggil kemuka hakim untuk mempertanggungjawabkan penulisan romannya Madame Bovary yang dianggap tidak sopan. Demikian juga pemerintah Inggris dan Amerika telah melarang terbitnya Ulysses karangan James Joyce dan Lady Chatterley's Lover karangan D.H. Lawrence yang menguar masalah homoseksual dan lesbian dengan alasan yang sama. Namun demikian seiring berjalannya waktu karya-karya tersebut ternyata medapatkan kedudukan yang terhormat dan menjadi karya klasik, kelas satu.

Khazanah karya seni yang berhal ihwal kelamin sendiri, kita, pada masa lalu sudah menggenalnya, misal candi Sukuh, Borobudur juga ada hal ihwal berhubungan antara lelaki dan wanita, dalam serat Centhini bahkan digambarkan bagaimana harus bermain, hari apa sesuai wetonnya dan ciri-ciri wanita dengan hal ihwal perempuan, juga serat Gatholoco dan Darmogandhul.

Secara sosiologis ketakutan-ketakutan masyarakat dalam perkembangan peradaban hal ini umum terjadi dan dilakukan oleh lapisan-lapisan masyarakat yang ada. Tentu saja perlu dipahami bahwa dalam masyarakat yang memiliki diverifikasi atau spesifikasi-spesifikasi majemuk atau heterogen maka akan terjadi kelonggaran-kelonggaran ikatan komunal dan akan terjadi ikatan-ikatan komunal yang lebih sempit lagi bahkan mungkin cenderung individual. Hal ini tidak bisa dipungkiri akan membawa dampak ke dalam aspek-aspek kehidupan, termasuk juga dalam karya sastra.

Ada sebuah analogi yang menarik yang disampaikan oleh seorang sastrawan, beliau pernah bercerita bahwa dulu karya sastra memiliki wilayah yang lebih luas, yakni masyarakat umum, misal Belenggu. Kemudian karya-karya yang bercorak subkultur, misal Pengakuan Pariyem. Dan skupnya mengecil lagi menjadi kampus, misal Cintaku di Kampus Biru. Kemudian mengecil lagi ke wilayah SMA, dengan Lupus dan fenomena ciklit. Dan kalau dirunut akan mengecil lagi ke wilayah keluarga, dan mengecil lagi ke urusan ranjang. Artinya sastra pada era sekarang memiliki wilayah-wilayahnya sendiri dan pengikut-pengikutnya sendiri. Diluar karya itu bermutu atau tidak.

Dalam perkembangan semacam ini informasi dan globalisasi sudah tidak bisa dibendung. Dan ikatan sosial menjadi lemah, beda ketika masyarakat masih homogen. Terjadilah kekhawatiran-kekhawitran oleh lapisan-lapisan masyarakat tertentu berkaitan dengan karya sastra perkelaminan. Umumnya lapisan masyrakat yang khawatir adalah golongan lapisan atas, bisa pejabat, dewan dan elite-elite masyarakat yang lain, yang merasa memiliki wewenang untuk menjaga moral bangsa.

Namun disisi lain seringkali mereka hanya berpura-pura dan melakukan perselingkukan atau porno aksi secara sembunyi-sembunyi, ingat skandal Maria Eva, dan zaman Victoria. Di sisi lain masyarakat lapisan bawah yang memandang seks secara terbuka dan egaliter terus diwaspadai sebagai lapisan masyarakat yang dianggap kurang bermoral. Namun justru mereka memandang seks secara santai.

Ada lagi lapisan masyarakat yang secara umur ikut kebakaran jenggot karena sastra perkelaminan ini. Ini bisa diwakili oleh golongan sepuh yang merasa bahwa sastra semacam ini akan merusak moral bangsa. Dan lapisan sastrawan muda karena jiwa ekspresinya masih menggebu-gebu, berkarya secara terbuka, bebas dan tidak terlalu mempedulikan nilai-nilai moral yang berkembang di masyarakat. Ini sesuai dengan semangat mudanya yang suka memberontak. Lapisan yang lain adalah penjaga moral atas nama agama dan di sisi lain adalah kaum sekuler. Komposisi semacam ini bukanlah fenomena pada saat sekarang saja. Dari dulu sudah ada, jadi terlalu jauh menghubungkan dengan sastra imperalisme dan neoliberalisme. Yang imperalisme dan liberal sejak dulu sudah terjadi, hanya bentuknya lain.

Karya sastra seperti yang kita ketahui, adalah suatu kesatuan yang organis yang mengandung kepaduan gaya, suasana dan cerita. Kesatuan itu terdukung oleh tema yang pokok. Dari asas estetik ini kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa selama adegan yang menguraikan secara terperinci perbuatan seks merupakan unsur yang organis di dalam kesatuan karya sastra sehingga jika ditiadakan akan mengganggu dan merusak kepaduan gaya, suasana dan cerita, maka tidak berhaklah kita menunduh karya sastra itu tuna susila atau hanya bersifat populer. Sebaliknya di dalam karya yang bersifat pornografi adegan-adegan seks dapat dihilangkan tanpa mengganggu atau pun merusak kepaduan gaya, suasana dan cerita. Dan kita simak saja karya yang dianggap sastra SMS dan FAK itu ada pada kriteria yang mana.

Kesenangan yang diperoleh dari membaca karya sastra misal Saman-Ayu Utami, Jangan Main-Main dengan Kelaminmu-Djenar Maesa Ayu dan Keluraga Gila-Hudan Hidayat, mestinya bukan kesenangan fisik, namun lebih tinggi lagi yakni kontemplasi. Namun kalau hal ini tidak tercapai maka kita mempertanyakan mutu karya sastra tersebut. Karena perlu dipahami karya sastra yang baik adalah mampu memperkaya rohani, bukan menjerumuskan. Sehingga mampu mencerahkan batin dan pikiran akan kehidupan ini. Meski cara penyampiannya bisa jadi bertentangan dengan nilai moral yang ada. Seperti kita minum jamu, rasanya pahit tapi untuk obat. ***

* Penyair tinggal di Situbondo, Alumnus Sosiologi FISIP Unair

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati