S Yoga
http://www.suarakarya-online.com/
Pada beberapa Ahad yang lalu, ada dua buah tulisan yang cukup menarik dan saling bersinggungan, yakni tulisan Hudan Hidayat (HH) "Nabi tanpa Wahyu" di Jawa Pos dan Viddy AD Daery "Gerakan Sastra Anti Neoliberalisme" di Republika.. Kedua tulisan itu merupakan polemik sastra yang hangat saat ini. Masing-masing bersikukuh atas "pledoinya".
Sekedar mengingat kembali tulisan HH adalah balasan tulisan Taufiq Ismail (TI) yang menanggapi tulisan HH sebelumnya "HH dan Gerakan Syahwat Merdeka", Jawa Pos, 17/6/2007, yang merupakan respon. TI atas tulisan HH yakni, "Sastra yang Hendak Menjauh dari Tuhannya", Jawa Pos, 6/5/2007, yang menyinggung pidato kebudayaan TI di TIM yang sok moralis, dalam rangka "membasmi" gerakan sastra syahwat merdeka, yang kemudian oleh TI disebut sebagai sastra SMS (Sastra Mazhab Selangkangan) atau sastra FAK (Fiksi Alat Kelamin).
Sedang yang termasuk dalam kubu ini menurut TI, di antaranya adalah Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu dan HH. Dalam tulisannya TI lebih cenderung menilai karya sastra secara eksternal.
Sedangkan tulisan Viddy AD Daery, bila dicermati berada satu kubu dengan TI, di mana Viddy mengemukakan (hal ini merupakan politik sastra) bahwa sekarang ini ada sebuah ideologi yang dinamakan sastra neoliberalisme, yang di antaranya dikembangkan oleh komunitas TUK, yang di dalamnya ada Ayu Utami. Menurutnya TUK telah mengembangkan karya-karya yang nonsens (tidak penting), porno-praxis (mendewakan tubuh dan seks) dan cenderung anti peran agama (sekuler). Sebagai tandingannya adalah gerakan anti sastra imperalisme dan anti neoliberalisme, oleh Wowok Hesti Prabowo yang merupakan tokoh Komunitas Sastra Indonesia dan presiden penyair buruh. Termasuk juga dalam kubu ini oleh Viddy dimasukkan Forum Lingkar Pena (FLP) dengan sastra dakwahnya.
Namun karya-karya FLP ini, termasuk karya-karya komunitas Wowok, apakah sudah memenuhi kaidah sastra atau justru lebih berat kepada pesan dakwahnya yang menyenangkan dan pesan perjuangan buruhnya sebagai agen perubahan, atau malah jatuh kepada pesan yang verbal, hal ini tentu saja masih bisa diperdebatkan lagi.
Bila dicermati sebenarnya polemik ini sudah lama terjadi, namun objeknya saja yang lain. Dan juga dengan gerakan-gerakan sastra yang baru. Yakni bermula dari tarik menarik antara seni untuk seni atau seni untuk masyarakat, yang dululnya merupakan konsep dari Horace, dulce et utile, seni dan kegunaan.
Memang pada awal mulanya antara sastra, filsafat dan agama tidak bisa dipisahkan, tidak jauh-jauh kita mengambil contoh, sebagaian dari orang-orang Jawa, khususnya yang sudah sepuh-sepuh hingga kini masih mengamalkan beberapa serat yang ditulis oleh para pujangga yang berkaitan dengan kehidupan, Serat Wulangreh, Serat Wedhatama, Serat Centhini, misalnya. Sedang di Eropa dikenal karya-karya sastrawan Yunani seperti Aeschylus dan Hesiod yang dianggap bisa digunakan sebagai pedoman hidup.
Namun seperti apa yang disampaikan Plato, pada akhir abad ke-19, munculah konsep seni untuk seni, yang mampu membuat perubahan pada fungsi sastra. Apalagi pada abad 20 muncul doktrin puisi murni. Pada periode Renaisans, penyair dan cerpenis Edgar Allan Poe mengkritik konsep bahwa puisi bersifat dikdaktis. Kita juga mengenal bahwa karya-karya sastra kita lama, seperti serat-serat sebagian besar bersifat didaktis. Tentu saja hal ini disesuaikan dengan kebutuhan atau peradaban masyarakat pada saat itu.
Dalam kaitannya dengan polemik sastra yang sekarang sedang kita hadapai. Sebenarnya kubu HH, Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu dan komunitas TUK ini berada pada konsepsi mengeksplorasi kebebasan berepresi atau seni untuk seni, dengan kaidah-kaidah sastra yang mereka anut. Di mana berkecenderungan kisah dan kesan menjadi pokok utama daripada pesan dan moral. Sedangkan kubu TI (Horison), Viddy AD Daery, Wowok Hesti Prabowo dan FLP berada pada seni untuk masyarakat. Di mana berkecenderungan bahasa menjadi alat penyampian pesan dan agen perubahan. Budi Darma dalam sebuah esainya pernah menyampaikan bahwa "Tidak Diperlukan Sastra Madya" yang kurang lebih menyatakan bahwa karya sastra harus dinilai dari kaidah-kaidah (esetika sastra) yang ada dan bukan pada hal-hal diluar karya sastra. Dengan demikian karya sastra haruslah ditinjau dari bentuk dan isi, atau seni dan kegunaanya secara seimbang. Karena karya sastra yang cenderung mementingan isi atau kegunaan akan jatuh pada "propaganda" yang nilai sastranya tentu saja lebih rendah.
Dalam hal ini, tentu saja berkaitan dengan sastra SMS dan FAK yang ditudingkan TI apakah antara bentuk dan isi sudah seimbang. Kesatuan organis, perimbangan permainan dan kesungguhan dalam karya sastra sudah terjalin. Apakah pelukisan adegan erotis, "cabul" bila dihilangkan mempengaruhi tema dan jalan cerita. Atau sama sekali tidak mempengaruhi tema, integritas, gaya, suasana dan jalan cerita.
Mengenai standar pornografi tentu saja setiap zaman memiliki ukuran-ukurannya sendiri. Misal roman Armjn Pane, Belenggu, pada tahun 1940 tidak sedikit orang merasa tersingung kesadaran susilanya oleh adegan tokoh utama dokter Sukartono yang menghadapi pasien perempuan yang tersingkap kainnya sehingga tampak bagian pahanya. Namun sekarang hal itu sama sekali tidak menyinggung moral. Bahkan roman ini diajarkan di sekolahan-sekolahan.
Di dalam sejarah sastra dunia kita telah mengetahui pernah terjadi penindakan pemerintah terhadap pengarang dan karya sastra yang didakwa isinya telah melanggar moral umum.
Di Perancis pengarang Gustave Flaubret pernah dipanggil kemuka hakim untuk mempertanggungjawabkan penulisan romannya Madame Bovary yang dianggap tidak sopan. Demikian juga pemerintah Inggris dan Amerika telah melarang terbitnya Ulysses karangan James Joyce dan Lady Chatterley's Lover karangan D.H. Lawrence yang menguar masalah homoseksual dan lesbian dengan alasan yang sama. Namun demikian seiring berjalannya waktu karya-karya tersebut ternyata medapatkan kedudukan yang terhormat dan menjadi karya klasik, kelas satu.
Khazanah karya seni yang berhal ihwal kelamin sendiri, kita, pada masa lalu sudah menggenalnya, misal candi Sukuh, Borobudur juga ada hal ihwal berhubungan antara lelaki dan wanita, dalam serat Centhini bahkan digambarkan bagaimana harus bermain, hari apa sesuai wetonnya dan ciri-ciri wanita dengan hal ihwal perempuan, juga serat Gatholoco dan Darmogandhul.
Secara sosiologis ketakutan-ketakutan masyarakat dalam perkembangan peradaban hal ini umum terjadi dan dilakukan oleh lapisan-lapisan masyarakat yang ada. Tentu saja perlu dipahami bahwa dalam masyarakat yang memiliki diverifikasi atau spesifikasi-spesifikasi majemuk atau heterogen maka akan terjadi kelonggaran-kelonggaran ikatan komunal dan akan terjadi ikatan-ikatan komunal yang lebih sempit lagi bahkan mungkin cenderung individual. Hal ini tidak bisa dipungkiri akan membawa dampak ke dalam aspek-aspek kehidupan, termasuk juga dalam karya sastra.
Ada sebuah analogi yang menarik yang disampaikan oleh seorang sastrawan, beliau pernah bercerita bahwa dulu karya sastra memiliki wilayah yang lebih luas, yakni masyarakat umum, misal Belenggu. Kemudian karya-karya yang bercorak subkultur, misal Pengakuan Pariyem. Dan skupnya mengecil lagi menjadi kampus, misal Cintaku di Kampus Biru. Kemudian mengecil lagi ke wilayah SMA, dengan Lupus dan fenomena ciklit. Dan kalau dirunut akan mengecil lagi ke wilayah keluarga, dan mengecil lagi ke urusan ranjang. Artinya sastra pada era sekarang memiliki wilayah-wilayahnya sendiri dan pengikut-pengikutnya sendiri. Diluar karya itu bermutu atau tidak.
Dalam perkembangan semacam ini informasi dan globalisasi sudah tidak bisa dibendung. Dan ikatan sosial menjadi lemah, beda ketika masyarakat masih homogen. Terjadilah kekhawatiran-kekhawitran oleh lapisan-lapisan masyarakat tertentu berkaitan dengan karya sastra perkelaminan. Umumnya lapisan masyrakat yang khawatir adalah golongan lapisan atas, bisa pejabat, dewan dan elite-elite masyarakat yang lain, yang merasa memiliki wewenang untuk menjaga moral bangsa.
Namun disisi lain seringkali mereka hanya berpura-pura dan melakukan perselingkukan atau porno aksi secara sembunyi-sembunyi, ingat skandal Maria Eva, dan zaman Victoria. Di sisi lain masyarakat lapisan bawah yang memandang seks secara terbuka dan egaliter terus diwaspadai sebagai lapisan masyarakat yang dianggap kurang bermoral. Namun justru mereka memandang seks secara santai.
Ada lagi lapisan masyarakat yang secara umur ikut kebakaran jenggot karena sastra perkelaminan ini. Ini bisa diwakili oleh golongan sepuh yang merasa bahwa sastra semacam ini akan merusak moral bangsa. Dan lapisan sastrawan muda karena jiwa ekspresinya masih menggebu-gebu, berkarya secara terbuka, bebas dan tidak terlalu mempedulikan nilai-nilai moral yang berkembang di masyarakat. Ini sesuai dengan semangat mudanya yang suka memberontak. Lapisan yang lain adalah penjaga moral atas nama agama dan di sisi lain adalah kaum sekuler. Komposisi semacam ini bukanlah fenomena pada saat sekarang saja. Dari dulu sudah ada, jadi terlalu jauh menghubungkan dengan sastra imperalisme dan neoliberalisme. Yang imperalisme dan liberal sejak dulu sudah terjadi, hanya bentuknya lain.
Karya sastra seperti yang kita ketahui, adalah suatu kesatuan yang organis yang mengandung kepaduan gaya, suasana dan cerita. Kesatuan itu terdukung oleh tema yang pokok. Dari asas estetik ini kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa selama adegan yang menguraikan secara terperinci perbuatan seks merupakan unsur yang organis di dalam kesatuan karya sastra sehingga jika ditiadakan akan mengganggu dan merusak kepaduan gaya, suasana dan cerita, maka tidak berhaklah kita menunduh karya sastra itu tuna susila atau hanya bersifat populer. Sebaliknya di dalam karya yang bersifat pornografi adegan-adegan seks dapat dihilangkan tanpa mengganggu atau pun merusak kepaduan gaya, suasana dan cerita. Dan kita simak saja karya yang dianggap sastra SMS dan FAK itu ada pada kriteria yang mana.
Kesenangan yang diperoleh dari membaca karya sastra misal Saman-Ayu Utami, Jangan Main-Main dengan Kelaminmu-Djenar Maesa Ayu dan Keluraga Gila-Hudan Hidayat, mestinya bukan kesenangan fisik, namun lebih tinggi lagi yakni kontemplasi. Namun kalau hal ini tidak tercapai maka kita mempertanyakan mutu karya sastra tersebut. Karena perlu dipahami karya sastra yang baik adalah mampu memperkaya rohani, bukan menjerumuskan. Sehingga mampu mencerahkan batin dan pikiran akan kehidupan ini. Meski cara penyampiannya bisa jadi bertentangan dengan nilai moral yang ada. Seperti kita minum jamu, rasanya pahit tapi untuk obat. ***
* Penyair tinggal di Situbondo, Alumnus Sosiologi FISIP Unair
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar