Selasa, 10 Maret 2009

Nabi Tanpa Wahyu

Hudan Hidayat
http://www.jawapos.com/

Dalam upayanya meredam filsafat dan ideologi penciptaan yang saya ajukan, yakni keyakinan saya bahwa penceritaan ketelanjangan dibolehkan oleh Kitab Suci, dan Kitab Suci pun telah mendemonstrasikan melalui kisahnya sendiri (“pornografi” Adam dan Hawa), Taufiq Ismail melancarkan serangan balik dengan menggesernya ke dalam upaya stigma akan tendensi sastra: sastra SMS – Sastra Mazhab Selangkangan – atau sastra FAK – Fiksi Alat Kelamin – (Jawa Pos, 17 Juni 2007). Inilah upaya yang mengingatkan saya akan cara-cara Lekra menggempur lawan-lawannya dulu, dengan menyebut mereka "Manikebu".

Terasa bagi saya serangan balik Taufiq sangat mematikan. Dengan semangat anti-dialog dan anti-wacana, Taufiq seolah petinju yang memukul lawannya dengan tinju "kalang-kabut". Atau seolah banjir bandang yang menyerbu permukiman manusia tanpa nurani – nurani sastra. Dalam SMS-nya pada saya, Taufiq menyebut tentang "kebakaran budaya", yang penyebabnya antara lain sastra SMS atau sastra FAK, yang "bersama VCD porno dan situs seks internet... ikut merangsang perkosaan, menyebarkan penyakit kelamin menular, aborsi dan (minimum) masturbasi".

Begitulah serangan balik Taufiq Ismail yang mematikan itu. Dan saya merasa terkunci: saya mewacanakan kemungkinan melukiskan ketelanjangan dalam sastra, sepanjang ketelanjangan itu berfungsi untuk sesuatu yang lebih tinggi. Tetapi Taufiq berkelit akan kemungkinan sebuah tafsir. Ia lebih suka berteriak seolah “nabi tanpa wahyu”, yang mengacukan kepalannya pada fenomena sastra yang berseberangan dengan dirinya. Maka, bagaimana bila Taufiq malas berpikir akan kemungkinan tafsir, tapi serentak dengan itu gemar menghujat fenomena sastra yang disebutnya sastra SMS atau sastra FAK.

Kategori yang dibuat Taufiq dengan men-stigma sastra SMS atau sastra FAK, menimbulkan persoalan dalam cara kita memandang dunia sastra. Termasuk cara kita berlogika dalam dunia sastra. Seperti SMS Goenawan Mohamad kepada saya, "Akan lebih berharga jika polemik yang timbul bukan seperti teriakan ‘copet!’, ‘lonte lu!’, atau ‘babi!’ Serangan terhadap satu tendensi dalam sastra akan lebih berharga jika dikemukakan dalam cara kritik sastra: dengan telaah, argumentasi, penalaran yang kuat, gaya menulis yang meyakinkan atau menggugah." Karena itu, bagi saya, mematahkan kecenderungan sastra tanpa telaah sastra, tampak seakan "tujuan menghalalkan cara".

Pertanyaan untuk Taufiq, sudahkah dia membaca buku-buku penulis yang diserangnya dengan gencar itu? Apakah boleh pelukisan ketelanjangan di dalam buku-buku itu? Apakah ketelanjangan di sana bukan sebuah ancang-ancang, untuk meraih makna kesepian atau ketuhanan? Di sinilah Taufiq tidak bisa menghindar dari filsafat penciptaan dan ideologi penciptaan yang saya ajukan. Menghindarinya sambil memukul langsung fenomena itu sebagai sastra FAK, adalah ibarat hakim tuli dalam satu sidang.

Sang hakim tidak mau mendengar alasan mengapa sang terdakwa "melakukan persetubuhan". Sang hakim hanya berpegang pada saksi-saksi, yang mungkin dirinya sendiri. Saksi yang tidak melihat keseluruhan rangkaian kejadian. Saksi yang hanya melihat scene persetubuhan. Lalu mengatakan telah terjadi persetubuhan. Padahal yang terjadi sebaliknya: bukan persetubuhan, tapi pemerkosaan. Di mana sang wanita diperkosa, bersetubuh bukan atas kemauannya.

Inilah prototipe sang hakim otoriter. Dia sudah bukan hakim lagi. Tetapi menjadi pemerkosa juga. Pemerkosa terhadap hak korban untuk berbicara.

Saya berpendapat, sastra yang disebut Taufiq sastra FAK itu, bukan sastra FAK atau sastra SMS. Sebutlah novel Saman karya Ayu Utami atau cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu. Mereka bukan “sastra FAK”. Saman memang bukan karya sastra sekuat klaim tokoh di sampul belakang buku Saman. Tetapi bukan sastra FAK. Di sana, tubuh diangkat mengatasi tubuh. Meski tak terlalu meninggi. Karena itu, menyebutnya sebagai sastra FAK adalah ibarat memandang malam tak bercahaya. Padahal di angkasa ada juga cahaya. Sebuah generalisasi yang menyesatkan.

Demikian juga dengan cerpen-cerpen Djenar. Ambillah misal cerpen Menyusu Ayah di Jurnal Perempuan atau Melukis Jendela di majalah sastra Horison. Di kedua cerpen ini Djenar memang menyebutkan alat kelamin, tapi alat kelamin itu sekadar pintu masuk untuk makna lain. Yakni, penderitaan sang anak yang menjadi korban kekerasan keluarga. Darinya menyembul simpati akan korban kekerasan. Bukan nafsu seks dalam konteks "sastra mazhab selangkangan" yang dituduhkan Taufiq.

Lihatlah, betapa mengharukan bagaimana seorang anak di dalam cerpen Menyusu Ayah harus memetamorfosakan dirinya menjadi lelaki, demi terhindar dari kekerasan kaum lelaki. Atau lambang "jendela" dalam cerpen Djenar Melukis Jendela. Sebuah kehendak untuk berpindah dari kehidupan kini yang menyesakkannya. Tapi jendela yang dibayangkan itu pun menelan dirinya. Dengan hasrat berpindah dan hilangnya tokoh Mayra ke dalam “jendela” lain, seolah Djenar hendak mengatakan, "Dengarlah, tak ada yang sempurna di bumi!" Jadi cerpen itu sebuah metafora (dan karena itu para redaktur Horison yang muda-muda dan cerdas itu memuatnya). Maka, di mana “FAK” atau "Sastra Mazhab Selangkangan" di kedua cerpen itu?

Demikian juga kalau kita membaca cerpen Mariana Amiruddin di Jawa Pos, Kota Kelamin, yang timbul bukan hasrat seks tetapi simpati akan manusia modern yang lelah mengatasi hipokrisi, yang selalu ditutup rapat seolah kelamin yang dibalut pada tubuh manusia.

Taufiq menyebut Ayu dan Djenar sebagai pelopor “sastra FAK”. Definisinya sederhana. Yakni, sastra yang ada atau berputar pada kelamin. Tanpa mau melihat ada transendensi. Tetapi Taufiq a historis. Sebab, kalau seperti itu definisi sastra “FAK”, mengapa Taufiq tidak menggugat novel Belenggu (yang ditolak Balai Pustaka karena moral selingkuhnya), atau novel Telegram dan Olenka. Bahkan puisi-puisi Rendra (yang memuja genital wanita) dan puisi Amuk Sutardji Calzoum Bachri – sebuah pencarian ketuhanan dengan lambang kucing, tetapi tak juga bisa menghindar dari menyebut nama alat kelamin laki-laki di dalam lariknya.

Khusus novel Telegram Putu Wijaya dan Olenka Budi Darma, baik tokoh "aku" maupun Fanton bertindak gila-gilaan dengan hidup. Fanton bahkan merebut istri orang (Olenka) dan menidurinya tiap ada kesempatan. Olenka diperlakukannya seolah peta. Tangannya menyusur ke segenap tubuh Olenka dan kemudian berhenti di satu lubang: "Ini jalan ke surga!"

Tokoh "aku" lebih gila lagi. Dia membayangkan bersetubuh dengan ibunya yang "telah" mati. Sambil mereguk bir (ini minuman kerun kesukaanku, lho Pak), dia menyetubuhi ibunya dalam mimpi. Tetapi toh nasib kedua novel ini mendapat tempat terhormat dalam sastra Indonesia. Mengapa? Karena ada transendensi. Walau pada Olenka, hemat saya, transendensi di sana terkesan takluk pada "dunia". Dengan lanturan yang bersandar pada "dunia", meski berhasil pada bentuk, membuat Olenka seolah inlanderisasi dalam sastra Indonesia. Olenka tak mampu mencari sumber orientasi sendiri.

Fenomena penulis "tubuh" ini sudah dibelokkan kapitalisasi pasar, dengan menggesernya ke soal seolah melulu seks dalam blow-up opini. Konon, karena begitulah rating yang disukai masyarakat: seks. Dan, orang seperti Taufiq, yang seharusnya melawan kapitalisasi opini sastra seperti itu, dengan menunjukkan bahwa substansi sastra mereka bukan melulu seks, malah ikut-ikutan menunggang gelombang. Dunia sastra yang pernah membesarkannya, "diselewengkannya" ke dalam arus besar yang disebutnya "Gerakan Syahwat Merdeka". Padahal sastra yang ditulis itu bukanlah semata "syahwat merdeka". Tetapi "syahwat" sebagai sampiran untuk kemerdekaan manusia. Kemuliaan manusia. Persis seperti novel Sendalu yang bertaburan alat dan nafsu kelamin yang ditulis Chavchay Syaifullah, tetapi dengan motif memperjuangkan perempuan sebagai korban perkosaan. Atau tokoh pelacur dalam cerpen Ahmadun, Pintu, yang mengoyak-ngoyak pakaiannya sendiri di dalam masjid, demi kehendak untuk telanjang (suci) saat menghadap Tuhannya.

Saya disebutnya sebagai komponen “sastra FAK” (pastilah Mariana Amiruddin juga). Apakah dasarnya? Karena kami menulis novel Tuan dan Nona Kosong? Karena saya dan Mariana melepaskan payudara, vagina, dan penis dari tempatnya dan benda-benda itu berkitar-kitar mengunjungi penonton?

Memang benar kami melukiskan hal-hal yang demikian. Tetapi, “sastra FAK”-kah itu? Tengoklah sekali lagi: betapa benda-benda itu cara kami menghampiri Tuhan. Seperti dalam irama lain (cerpen Lelaki Ikan dan Tongkatku, Musa) saya menyapa Tuhan. Lihatlah seorang lelaki di dalam novel itu melompat ke udara sambil berkata, "Tuhan tidak seperti kita kira. Jadi mari kita rayakan hidup ini. Jangan benci kami!"

Tuan Taufiq, barangkali seniman memang mengidap kegilaan. Tetapi kegilaan yang meninggi untuk menjangkau Tuhan. Menjangkau Tuhan dengan lambang dan sampiran, sehingga sastra menjadi dunia metafora yang sedap untuk dibaca. Mencerahkan manusia.
Duh, nasib seekor hh.

19 Juni 2007

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati