F Dewi Ria Utari
http://www.korantempo.com/26 Feb2004
Putu Wijaya mementaskan Zero. Kisah ditata seperti campuran mimpi dengan kenyataan, untuk menggugah rasa.
Pertunjukan perdana Putu Wijaya tahun ini dibuka dengan kehadiran Chen Xiao, seorang aktor teater asal Taiwan. Ia mengawali pementasan Zero dengan menarik seutas tali tambang yang terikat di sebuah tiang. Chen Xiao yang bertubuh gempal dan berkepala botak itu menarik kuat-kuat tali itu ke tengah panggung, menuju semacam gumpalan kain berwarna putih.
Peran Chen Xiao di nomor Zero ini cukup penting. Karena ia menjadi satu-satunya aktor yang muncul utuh sebagai manusia dan berbicara--juga sebagai manusia. Ini merupakan penghormatan tersendiri bagi Chen Xiao di tengah para aktor senior Teater Mandiri yang bermain bersamanya di Teater Utan Kayu, Jumat (20/2) dan Sabtu (21/2).
Keberadaan Chen Xiao dilatarbelakangi pementasan Zero di Taiwan pada acara Asia Meet Asia tahun lalu. Dari pertunjukan itulah, Putu Wijaya mengajak Chen Xiao untuk ikut bermain dan ia khusus terbang ke Indonesia untuk tampil di Teater Utan Kayu.
"Keterlibatan Chen Xiao lebih disebabkan kecenderungan kami yang senang berkolaborasi. Karena dari kolaborasi itu, akan muncul ketegangan, konflik yang bisa menjadi teror bagi kelompok kami sendiri tentang bagaimana menempuh bentuk yang sudah jadi dengan kemunculan orang yang baru. Konflik dan ketegangan penting bagi kami karena pertunjukan bukanlah untuk mengulang latihan, tapi untuk menyelesaikan masalah yang ada di kelompok kami," ujar Putu Wijaya seusai pementasan hari pertama.
Dari keseluruhan jalannya pementasan yang berdurasi 45 menit, sejatinya kehadiran Chen Xiao berderajat sama dengan pemain lainnya. Meski ia muncul dengan sosok kemanusiaannya, Chen Xiao merupakan bagian dari sebuah struktur pementasan, suatu elemen yang jika digantikan oleh aktor lainnya pun, pertunjukan itu tetap bisa berjalan.
Seperti biasa, pertunjukan Teater Mandiri yang disutradarai Putu Wijaya, berjalan dalam suasana eksperimental. Penonton tidak akan menemukan sebuah kisah yang naratif, verbal, bahkan realis.
Putu kerap mementaskan karya yang kental unsur artistiknya untuk membangun simbol-simbol yang ditebarkan di atas panggung. Menggugah rasa, lebih penting bagi sutradara kelahiran Puri Anom Tabanan, Bali, 11 April 1944, itu ketimbang menuturkan secara literer.
Kecenderungan ini bisa ditandai sejak awal pertunjukan Zero. Dalam gelap, muncul sosok-sosok manusia. Perlahan cahaya muncul, dan tampak kain putih berukuran besar bergerak-gerak memenuhi panggung. Lantas, muncul Chen Xiao menarik tali tambang yang tertambat di tiang panggung. Ia menariknya ke arah gumpalan kain.
Adegan selanjutnya ditebari metafor. Seorang perempuan berpupur putih, mengenakan mahkota semacam ranting-ranting putih dengan bunga kamboja, muncul dari balik gumpalan kain sambil menari dengan gaya Bali. Beberapa kali ia menarik tali tambang, lantas mengikatnya ke arah gumpalan kain itu, seolah-olah ingin mengendalikan gerakan liar makhluk kain itu.
Keberadaan gumpalan kain itu sendiri juga kadang membentuk imaji tertentu. Sekitar lima pemain lelaki di bawahnya bergerak-gerak membentuk sosok--kadang binatang atau makhluk tak bernama. Sosok ini diperkuat dengan penggunaan topeng di atas tonjolan-tonjolan yang diciptakan gerakan para pemain di balik kain itu. Dari gerakan itu, penonton mendapatkan keberadaan makhluk tak berbentuk tetapi berwajah.
Keganjilan itu berbaur dengan permainan slide yang disorotkan di dinding, gumpalan kain putih, bahkan langit-langit. Slide itu bergambar foto-foto pertunjukan Teater Mandiri sebelumnya dan gambar sebuah mata menangis yang diambil Putu Wijaya dari sampul depan majalah Tempo edisi perdana 1998. "Saya suka sekali gambar itu, karena begitu kuat pesannya tanpa harus menjadi verbal," kata Putu Wijaya.
Selama 45 menit, Putu Wijaya menerjang indra penonton dengan musik yang ingar-bingar, imaji-imaji ganjil, kadang serupa Barong dan Rangda, makhluk-makhluk mistis yang hidup di tradisi Bali, dan ambiguitas di sana-sini.
"Memang ribut, sepertinya tidak ada fokus, tapi sebenarnya ada fokus, karena di mana-mana sebenarnya fokus. Inilah pembauran mimpi dan kenyataan," ujar Putu Wijaya.
Semuanya itu menyusun sebuah tema tentang nol (zero), sebuah ketiadaan, kekosongan. Tema itu diwujudkan dalam gumpalan kain yang bisa diinterpretasikan semacam rahim atau telur, yang memakan semuanya: kekerasan (dalam pertunjukan ini diwujudkan dengan senapan), kekacauan, keganjilan, dan keributan.
Kekosongan yang memakan semua hal itu (seperti lubang hitam di angkasa), sebenarnya menggambarkan semacam narasi dari Putu tentang ajakan melakukan peperangan di dalam diri sendiri.
"Kita memang tak bisa menghentikan peperangan, tapi lewat pertunjukan ini, saya mengajukan tawaran untuk menjadikan konflik itu sebagai masalah pribadi, tanpa harus memakan korban," ujar peraih Fulbright Artist in-Residence di Universitas Wisconsin, Universitas Cornell, dan Universitas Wesleyan ini.
Atas ide ini, Putu cukup efisien mengetengahkannya dalam pertunjukan nonverbal yang berlangsung selama 45 menit. Meski bahasa tutur yang muncul hanya sepotong dan itu pun dalam bahasa Taiwan, penonton mudah memahami keinginan Putu menenggelamkan kekerasan dalam sebuah ruang hampa di balik kain.
Bahkan kesan meniadakan, membuat kosong, membuat nol itu bisa dilihat dari akhir pementasan yang berlangsung cair. Tiba-tiba para pemain menghentikan pergulatan di balik kain, dan berkata satu sama lain, "Udah deh!", "Bubar-bubar", "Capek nih". Seolah mereka ingin membuat tawar kembali pertunjukan yang tadinya berlangsung serius dan "seram" itu.
Pilihan bentuk pertunjukan teater yang menghindari suasana verbal ini memang tak harus dilakukan dengan meniadakan kata-kata. Beberapa pemakaian simbol yang telah disepakati keberadaannya secara umum pun bisa terjebak dalam situasi yang verbal, lumrah, dan biasa. Dalam hal ini, tendensi untuk memasuki wilayah itu (meski tak terlalu terperosok) bisa dilihat dari penggunaan bedil sebagai properti, dan kemunculan aktor Wendy Nasution yang meneriakkan kata "ibu" dengan mimik menangis.
Putu mengakui bahwa bagaimanapun ia tetap menginginkan karyanya dimengerti. Karenanya, ia membutuhkan beberapa idiom yang jelas kesepakatannya, untuk dijadikan pijakan bagi penonton guna memahaminya. "Seperti halnya ketika banjir, orang kan perlu batu pijakan untuk melalui genangan air," ujar Putu Wijaya.
Alasan itu cukup dimengerti, dan dalam pertunjukan Zero, Putu Wijaya berhasil menempatkannya secara minimalis, sehingga tak mengganggu semangat eksperimentalis dari pertunjukannya. Penempatan ini memperlihatkan kematangan Putu Wijaya sebagai seorang sutradara senior yang memperlakukan penonton sebagai pihak intelektual yang bebas mencerap dan meliarkan imajinasinya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar