Jumat, 13 Maret 2009

Pentas Teater Mandiri Zero Pertempuran di Balik Kain

F Dewi Ria Utari
http://www.korantempo.com/26 Feb2004

Putu Wijaya mementaskan Zero. Kisah ditata seperti campuran mimpi dengan kenyataan, untuk menggugah rasa.

Pertunjukan perdana Putu Wijaya tahun ini dibuka dengan kehadiran Chen Xiao, seorang aktor teater asal Taiwan. Ia mengawali pementasan Zero dengan menarik seutas tali tambang yang terikat di sebuah tiang. Chen Xiao yang bertubuh gempal dan berkepala botak itu menarik kuat-kuat tali itu ke tengah panggung, menuju semacam gumpalan kain berwarna putih.

Peran Chen Xiao di nomor Zero ini cukup penting. Karena ia menjadi satu-satunya aktor yang muncul utuh sebagai manusia dan berbicara--juga sebagai manusia. Ini merupakan penghormatan tersendiri bagi Chen Xiao di tengah para aktor senior Teater Mandiri yang bermain bersamanya di Teater Utan Kayu, Jumat (20/2) dan Sabtu (21/2).

Keberadaan Chen Xiao dilatarbelakangi pementasan Zero di Taiwan pada acara Asia Meet Asia tahun lalu. Dari pertunjukan itulah, Putu Wijaya mengajak Chen Xiao untuk ikut bermain dan ia khusus terbang ke Indonesia untuk tampil di Teater Utan Kayu.

"Keterlibatan Chen Xiao lebih disebabkan kecenderungan kami yang senang berkolaborasi. Karena dari kolaborasi itu, akan muncul ketegangan, konflik yang bisa menjadi teror bagi kelompok kami sendiri tentang bagaimana menempuh bentuk yang sudah jadi dengan kemunculan orang yang baru. Konflik dan ketegangan penting bagi kami karena pertunjukan bukanlah untuk mengulang latihan, tapi untuk menyelesaikan masalah yang ada di kelompok kami," ujar Putu Wijaya seusai pementasan hari pertama.

Dari keseluruhan jalannya pementasan yang berdurasi 45 menit, sejatinya kehadiran Chen Xiao berderajat sama dengan pemain lainnya. Meski ia muncul dengan sosok kemanusiaannya, Chen Xiao merupakan bagian dari sebuah struktur pementasan, suatu elemen yang jika digantikan oleh aktor lainnya pun, pertunjukan itu tetap bisa berjalan.

Seperti biasa, pertunjukan Teater Mandiri yang disutradarai Putu Wijaya, berjalan dalam suasana eksperimental. Penonton tidak akan menemukan sebuah kisah yang naratif, verbal, bahkan realis.

Putu kerap mementaskan karya yang kental unsur artistiknya untuk membangun simbol-simbol yang ditebarkan di atas panggung. Menggugah rasa, lebih penting bagi sutradara kelahiran Puri Anom Tabanan, Bali, 11 April 1944, itu ketimbang menuturkan secara literer.

Kecenderungan ini bisa ditandai sejak awal pertunjukan Zero. Dalam gelap, muncul sosok-sosok manusia. Perlahan cahaya muncul, dan tampak kain putih berukuran besar bergerak-gerak memenuhi panggung. Lantas, muncul Chen Xiao menarik tali tambang yang tertambat di tiang panggung. Ia menariknya ke arah gumpalan kain.

Adegan selanjutnya ditebari metafor. Seorang perempuan berpupur putih, mengenakan mahkota semacam ranting-ranting putih dengan bunga kamboja, muncul dari balik gumpalan kain sambil menari dengan gaya Bali. Beberapa kali ia menarik tali tambang, lantas mengikatnya ke arah gumpalan kain itu, seolah-olah ingin mengendalikan gerakan liar makhluk kain itu.

Keberadaan gumpalan kain itu sendiri juga kadang membentuk imaji tertentu. Sekitar lima pemain lelaki di bawahnya bergerak-gerak membentuk sosok--kadang binatang atau makhluk tak bernama. Sosok ini diperkuat dengan penggunaan topeng di atas tonjolan-tonjolan yang diciptakan gerakan para pemain di balik kain itu. Dari gerakan itu, penonton mendapatkan keberadaan makhluk tak berbentuk tetapi berwajah.

Keganjilan itu berbaur dengan permainan slide yang disorotkan di dinding, gumpalan kain putih, bahkan langit-langit. Slide itu bergambar foto-foto pertunjukan Teater Mandiri sebelumnya dan gambar sebuah mata menangis yang diambil Putu Wijaya dari sampul depan majalah Tempo edisi perdana 1998. "Saya suka sekali gambar itu, karena begitu kuat pesannya tanpa harus menjadi verbal," kata Putu Wijaya.

Selama 45 menit, Putu Wijaya menerjang indra penonton dengan musik yang ingar-bingar, imaji-imaji ganjil, kadang serupa Barong dan Rangda, makhluk-makhluk mistis yang hidup di tradisi Bali, dan ambiguitas di sana-sini.

"Memang ribut, sepertinya tidak ada fokus, tapi sebenarnya ada fokus, karena di mana-mana sebenarnya fokus. Inilah pembauran mimpi dan kenyataan," ujar Putu Wijaya.

Semuanya itu menyusun sebuah tema tentang nol (zero), sebuah ketiadaan, kekosongan. Tema itu diwujudkan dalam gumpalan kain yang bisa diinterpretasikan semacam rahim atau telur, yang memakan semuanya: kekerasan (dalam pertunjukan ini diwujudkan dengan senapan), kekacauan, keganjilan, dan keributan.

Kekosongan yang memakan semua hal itu (seperti lubang hitam di angkasa), sebenarnya menggambarkan semacam narasi dari Putu tentang ajakan melakukan peperangan di dalam diri sendiri.

"Kita memang tak bisa menghentikan peperangan, tapi lewat pertunjukan ini, saya mengajukan tawaran untuk menjadikan konflik itu sebagai masalah pribadi, tanpa harus memakan korban," ujar peraih Fulbright Artist in-Residence di Universitas Wisconsin, Universitas Cornell, dan Universitas Wesleyan ini.

Atas ide ini, Putu cukup efisien mengetengahkannya dalam pertunjukan nonverbal yang berlangsung selama 45 menit. Meski bahasa tutur yang muncul hanya sepotong dan itu pun dalam bahasa Taiwan, penonton mudah memahami keinginan Putu menenggelamkan kekerasan dalam sebuah ruang hampa di balik kain.

Bahkan kesan meniadakan, membuat kosong, membuat nol itu bisa dilihat dari akhir pementasan yang berlangsung cair. Tiba-tiba para pemain menghentikan pergulatan di balik kain, dan berkata satu sama lain, "Udah deh!", "Bubar-bubar", "Capek nih". Seolah mereka ingin membuat tawar kembali pertunjukan yang tadinya berlangsung serius dan "seram" itu.

Pilihan bentuk pertunjukan teater yang menghindari suasana verbal ini memang tak harus dilakukan dengan meniadakan kata-kata. Beberapa pemakaian simbol yang telah disepakati keberadaannya secara umum pun bisa terjebak dalam situasi yang verbal, lumrah, dan biasa. Dalam hal ini, tendensi untuk memasuki wilayah itu (meski tak terlalu terperosok) bisa dilihat dari penggunaan bedil sebagai properti, dan kemunculan aktor Wendy Nasution yang meneriakkan kata "ibu" dengan mimik menangis.

Putu mengakui bahwa bagaimanapun ia tetap menginginkan karyanya dimengerti. Karenanya, ia membutuhkan beberapa idiom yang jelas kesepakatannya, untuk dijadikan pijakan bagi penonton guna memahaminya. "Seperti halnya ketika banjir, orang kan perlu batu pijakan untuk melalui genangan air," ujar Putu Wijaya.

Alasan itu cukup dimengerti, dan dalam pertunjukan Zero, Putu Wijaya berhasil menempatkannya secara minimalis, sehingga tak mengganggu semangat eksperimentalis dari pertunjukannya. Penempatan ini memperlihatkan kematangan Putu Wijaya sebagai seorang sutradara senior yang memperlakukan penonton sebagai pihak intelektual yang bebas mencerap dan meliarkan imajinasinya.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati