Jumat, 02 Januari 2009

Lelaki Berselimut Kafan

Rakhmat Giryadi
http://sastraapakah.blogspot.com/

Setelah bertahun-tahun menjadi buronan, akhirnya seorang lelaki yang sudah tua keluar dari persembunyiannya. Hari itu adalah hari pertama ia keluar dari persembunyiannya. Lelaki yang dulu gagah perkasa, kini sudah reot. Batuknya seperti terompet. Tubuhnya menyebar bau bacin. Di bawah bayang-bayang gedung pencakar langit, ia berjalan mengendap-endap seperti tikus dengan koreng di tubuhnya.

Orang-orang menghindar sambil menutup hidung. Tong sampah dikorek-koreknya. Ia berebut nasi busuk dengan tikus got dan kucing liar. Seekor anjing menggertaknya. Tangan tua itu tak sempat menyentuh nasi yang penuh lalat. Nyawanya hampir lepas. Lapar, kembali mencakar-cakar perutnya. Sarung kumalnya dibebatkan diperutnya yang ceking.

Di tengah perutnya yang melilit-lilit, ia ingat masa keemasannya dulu. Orang-orang, meminta tabik. Segalanya telah dimiliki. Tetapi kini, keperkasaannya telah dimakan lumut yang terus menjalari tembok kekuasaannya. Sedikit demi sedikit tembok itu runtuh dan hanya tinggal lumut dan ilalang tumbuh subur di antara reruntuhannya.

“Dimana ada penjara untuk saya!” serunya di tengah kota yang penuh dengan asap hitam.

Kepada orang berbaju merah lelaki itu bertanya. Orang berbaju merah itu malah lari terbirit-birit. Orang berbaju kuning ngumpet di dekat rimbun pohon. Orang berbaju hijau berdoa semoga dia tidak dihampiri. Orang berbaju biru bergaya seperti penjual obat. Orang-orang yang berbaju hitam, mengiba-iba. Orang berbaju abu abu meraih hati dengan sekedar menunjukan jalan, meski jalan itu tidak tahu berarah ke mana.

Lelaki itu terus menyusuri trotoar bobrok. Bunga-bunga bogenvil tumbuh tak terawat. Di sebuah etalase toko ia melihat gambar wajahnya terpampang di sampul buku. “Ya, saya menyesal seperti dirimu, anjing! Saya ingin bertaobat. Antarkan saya pada polisi, atau kalau kau tau antarkan saya ke neraka biar saya dihukum-Nya. E..tapi surga juga boleh,” katanya, sambil pergi begitu saja.

Beberapa meter dari etalase toko yang kacanya pecah di sudutnya, ia melihat pamflet-pamflet tertempel di tiang-tiang listrik, tembok-tembok, sekat-sekat pembatas tanah kosong, kios-kios kecil. Warnanya buram. Tetapi ia masih mengenali foto yang ditempel dengan tulisan: BURONAN RAKYAT. Tulisan itu hampir tidak bisa dieja. Karena disana-sini telah dicoret-coret dengan cat semprot.

“Silahkan tangkap saya, Pak Polisi! Tolong antar saya ke penjara!” serunya pada seorang Polisi yang sedang menilang kendaraan bermotor. Polisi itu tak menggubrisnya. Uang damai segera dimasukan ke kantong celananya.

“Pak Polisi tunjukan saya, di mana kantor, Anda? Tangkaplah saya! Sayalah koruptor yang Anda cari-cari!” katanya dengan penuh harapan.

“Koruptor? Di negeri ini koruptor bukan penjahat. Tetapi profesi! Pergilah sana!" kata Polisi, sembari tersenyum kecil.

Lelaki bau tanah itu segera pergi. Keningnya berkerut. Kerutannya mempertegas garis ketuaannya. Ia sedang memikirkan kata-kata polisi tadi : Koruptor bukan penjahat. Korupsi sudah menjadi profesi.

Lebih kaget lagi, ketika mata lelaki itu melihat fotonya ditempel di tembok-tembok rumah, tiang penyangga jalan layang, tembok mal, plaza, hotel, motel, condominium, kantor polisi, gedung dewan, gedung kejaksaan. Bahkan ada yang dibuat spanduk, baliho berukuran raksasa. Poster-poster itu masih kelihatan baru. Disana tidak lagi tertulis BURONAN RAKYAT, tetapi, KEMBALILAH PAHLAWANKU!.

Sayang tak seorang pun yang mengenali dirinya. Foto yang dipampang itu foto seratus tahun yang lalu, atau berapa abad yang lalu atau entah tahun yang keberapa. Entahlah. Orang-orang besar gampang lupa dengan waktu yang telah berlalu. “Saya seorang pahlawan?” tanyanya kepada diri sendiri.

Ia tidak percaya dengan kata-kata dalam poster itu. Seorang koruptor yang telah menghabiskan trilyunan rupiah dianggap pahlawan? Apakah dunia sudah terbalik. “Ah, ini jebakan. Ini sindiran. Saya tidak percaya. Hukumlah saya, Pak Polisi. Saya sudah bosan dengan pelarian ini!” serunya, di tengah hiruk pikuk bunyi klakson dan umpatan para sopir mikrolet. Atau erangan anak-anak kecil mabuk lem.

Orang-orang tertawa melihat polah tingkah lekaki itu yang mengaku sebagai koruptor. Anak-anak kecil yang lupa sekolah mengira lelaki itu badut sirkus yang kehilangan rombongannya. Mereka bersorak riang. Kaleng yang biasa untuk mengemis mereka pukuli dengan uang logam. Lalu-lintas berhenti total. Para sopir dan penumpang berjoget di atap mobil.

Orang-orang yang menghuni gedung bertingkat juga berjoget. Sebuah helikopeter jatuh menabrak tower. Diketahui, pilotnya juga ikut berjoget di atas baling-baling. Pertunjukan itu dilaporkan langsung oleh 100 stasiun TV dalam dan luar negeri. “Ini sihir Inul Daratista, Anisa Bahar, Trio Macan. Semua menjadi ‘Kucing Garong.’” Teriak seorang reporter TV swasta sembari mengguncangkan pantatnya.

"Sayalah koruptor!” Tangkaplah saya," teriak lelaki tua itu.

Sedetik kemudian, kata-kata lelaki tua itu menyebar keseluruh negeri dan menyebar menjadi tagline baru. “Kita semua koruptor. Tangkaplah kita!” teriak orang seluruh negeri, sembari berjoget.

Seorang Polisi muda, mengerutkan kening. Sejurus matanya menatap lelaki yang berpakaian compang-camping. Bau bacin menebar keseluruh penjuru ruangnya.

“Sudahlah. Kenapa ragu-ragu. Sayalah yang menghabiskan uang negara trilyunan itu. Saya sudah bosan hidup dalam pelarian,” katanya sambil menyerahkan kedua tangannya untuk diborgol. Seribu kamera wartawan TV membidik adegan itu. Sedetik kemudian TV-TV menyetop siarannya. “Breaking News!” orang-orang mematung, melihat adegan yang mengharukan itu. Tetapi belum sempat air mata menetes, acara itu telah berganti lawak. “Ha..ha..ha..! Ternyata Srimulatan, to ini tadi!”

Keesokan harinya lelaki bahu tanah itu datang lagi ke kantor Polisi. “Hai orang gila mau apa lagi!” bentak Polisi muda.

Lelaki tua itu tak memperdulikannya. Ia menunjukan poster pada Polisi yang berpostur tambum. “Ini adalah saya. Saya ingin menyerahkan diri. Tangkaplah!” katanya dengan nada bergetar.

“Haaaa…haaaa….haaaa…!” Polisi itu tertawa lebar, selebar-lebarnya. Teman-temanya yang tahu, segera ikut tertawa. Siang itu, siang yang paling aneh. Ada seorang datang menyerahkan diri dan mengaku sebagai boronan kelas kakap. Tak biasanya ada penjahat yang menyerahkan diri begitu saja. Aneh sekali. “Haaaa..haaaaa…haaa!” kantor Polisi itu menjadi riuh.

Kotapun juga riuh penuh gelak tawa seperti gedung Srimulat tahun 1970-an. Orang-orang tertawa mendengar cerita anekdot itu. “Adu pungguk merindukan bulan. Kasihan deh aku, istruku datang bulan,” kata seorang eksekutif muda yang baru saja menikah.

“Tidak nyambung, blas!”
“Seperti dagelan!”
“Dia berbakat jadi politikus!”
“Semestinya, kamu pergi ke panti jompo atau bunuh diri saja,” ledek Polisi yang berkumis, ketika hari perlahan-lahan gelap dan lampu-lampu kota berpendar, menyambut malam.

Orang-orang berlarian seperti berkejaran dengan gelap. Mobil berdesak-desakan. Klakson berteriakan. Lengkingan peluit Polisi tak pernah berhenti. Adzan magrib seperti muncul dari lorong-lorong gaip kemudian menghilang begitu saja. Orang-orang tak mendengarnya. Di telingannya tersumbat handfree. Mobil-mobil bergoyang ke kiri dan ke kanan mengikuti irama housemusic. Dua atau tiga mobil saja yang terbang, mengikuti alunan seruling Sunda yang mendayu-dayu. Setiap senja, orang-orang mempersiapakan upacara adatnya sendiri-sendiri. Mereka para pertapa agung di sudut-sudut mal-mal, di kafe-kafe, bar-bar, pub, atau karaoke. Mereka para penyembah dewa malam. Dewa para pemabuk.

Sementara, lelaki bau tanah itu, berjalan seperti bajaj. Dilihatnya poster yang masih dalam genggamanya. Diejanya huruf demi huruf. Tetapi ia tak pernah menemukan arti dari tulisan itu. Yang ia tahu dan yakin, bahwa foto itu adalah dirinya. Tapi bagaimana orang-orang mau tau bahwa ia adalah buronan yang dicari-cari sebelumnya?
Sejarahpun telah menimbun namanya. Anak-anak sekolah telah membaca sejarah dengan cara terbalik. Bahwa sejarah mencatat nilai-nilai luhur. Sejarah adalah riwayat orang-orang besar. Tidak ada gembel, pecundang yang masuk dalam catatan sejarah. Buku-buku sejarah tetap seperti situs-situs purba yang menyimpan rahasianya. Anak-anak tidak tahu di balik lipatan-libatan buku sejarahnya ada darah pengingkaran.

“Bakar! Bakar saja!” teriak Pemimpin Kota, melihat noda darah di buku-buku sejarah.

Maka ribuan buku dibakar. Otak anak-anak dibaycline sampai putih bersih dan tidak amis. Maka sejarah telah lenyap. Anak-anak dan juga jutaan orang di kota ini dibuatkan sejarah baru. Sejarah yang tidak menimbun bau anyir darah.

“Orang-orang sudah pada pikun dengan sejarahnya,” kata lelaki tua itu sembari menyandarkan tubuhnya pada tembok berlumut. Bau pesing menusuk hidungnya. Seekor kucing garong, melompat dari tempat sampah. Giginya yang tajam, menggondol orok bayi yang busuk, dibuntal tas plastik warna hitam.

“Generasi baru dimatikan. Dibuang di tempat sampah. Generasi lama dibiarkan terkapar dengan segunung dosa di pundaknya,” desah lelaki itu. Sesaat kemudian terdengar dengkurnya. Orang-orang kota masih dengan darahnya yang meluap-luap.

“Urip gur mampir ngombe!” teriak anak muda sembari menuangkan vodka ke sloki yang dibuat dari potongan botol air mineral.
***

Suatu hari, menjelang magrib, lelaki itu pergi ke masjid. Ditemuinya ta’mir masjid. Ia katakan padanya, bahwa ia ingin menyerahkan diri sebagai buronan. Tak lupa ia menyodorkan poster yang dibawanya.

Ta’mir yang sudah tua dan sering dipanggil Pak Haji itu, berkata sambil menutup hidungya. “Kalau mau menyerahkan diri bukan di sini tempatnya, Pak, tetapi ke kantor Polisi,” sarannya.

Di gereja, di pura, di vihara, ia deterima dengan saran yang sama. Dilembaga peradilan tertinggi ia malah disuruh bertaubat dulu dan kemudian pergi ke panti jompo, atau terkadang digelandang Satpol Pamong Praja ke Dinas Sosial. Di kantor-kantor media massa ia dimasukan di kolom anekdot dan dibuat tertawaan para pemirsa dan pembaca. “Seorang lelaki kere, ingin merubah sejarah bangsa besar!” kata pakar sejarah dan politik di kaca-kaca televisi.

Ibu-ibu menangis sesenggukan. Berita tentang lelaki tua tadi seperti cerita opera sabun. “Dia pasti akan menang di endingnya nanti,” komentar ibu rumah tangga sembari mengunyah popcorn kesukaannya sebelum iklan-iklan lain mempengaruhi seleranya.

Lelaki tua itu bingung, ia tidak tahu harus berserah diri pada siapa. Ia pergi menyusuri kota yang disergap gelap malam. Ia melihat orang-orang seperti hidup bahagia. “Apakah mereka juga orang suci?” tanya lelaki itu dalam hati.

Di sudut yang lain orang-orang saling membunuh, hanya untuk merebutkan recehan. Sementara di TV-TV menyiarkan aksi pembunuhan itu secara langsung. Pemuda-pemuda dan remaja tanggung bertepuk dada. “Keren abis!”

Di kantor Polisi lelaki tua itu kembali ditertawakan. “Memangnya apa yang Bapak perbuat?” tanya seorang Polisi, sembari menjalankan bidak caturnya.
“Korupsi,” kata lelaki itu bergetar.

“Seorang koruptor itu, paling tidak bertampang tegar. Tidak memelas. Pakai dasi. Bawa mobil berkelas. Datang ke Polisi di dampingi dua atau tiga pengacara bonafide. Gembel semacam engkau apa yang dikorupsi? Skak! Mati!” dua Polisi itu kembali tertawa.

Kini, hanya tinggal satu tempat yang bisa ia tuju, rumahnya. Rumah yang telah lama ditinggalkannya dengan seluruh isinya. Lelaki bahu tanah berjalan menuju rumahnya. Namun sebenarnya ia ragu-ragu, karena ia pun sudah lupa bentuk rumahnya. Yang dia ingat hanya kata-kata kenanga. Atau Jl. Kenanga.

Setelah berhari-hari berjalan, lelaki itu baru menemukan Jl. Kenanga. Sebuah jalan yang penuh dengan pohon bunga kenanga. Lelaki itu mereka-reka ingatannya. Tak satupun yang ia ingat. Hanya bau harum bunga kenanga itulah yang meyakinkan dirinya bahwa di jalan itulah ia pernah tinggal.

Dan mobil mewah itu masih berjajar-jajar di sepanjang jalan. Hanya saja orang-orang yang hilir mudik di jalan itu semua berpakaian serba hitam dan berkaca mata hitam. Ribuan wartawan dari koran dan televisi tampak bergerombol di depan pintu gerbang. Di sepanjang pagar rumah yang tinggi itu, berjajar karangan bunga ucapan duka cita.

“Siapa yang meninggal dunia?” tanya lelaki itu, pada seorang yang baru turun dari BMW seri terbaru. Orang itu hanya menjawab singkat : “Eyang!”

Lelaki tua itu melihat foto yang dihias dengan bunga beraneka warna, dipajang dekat pintu gerbang rumah. Foto itu seperti dirinya. Bahkan sangat mirip. Di bawah foto itu ada tulisan, ‘Telah Meninggal Dunia Eyang Kakung yang Tercinta, dalam usia 100 tahun. Semoga Arwahnya Diterima Di Sisi Tuhan YME.’

“Kalau dia telah mati, lalu saya ini siapa? Hidup dan mati ternyata begitu dekat. Dekat sekali!” kata lelaki itu, sembari membetulkan sarungnya yang persis kafan.

Surabaya, Desember 2006.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati