Rakhmat Giryadi
http://sastraapakah.blogspot.com/
Setelah bertahun-tahun menjadi buronan, akhirnya seorang lelaki yang sudah tua keluar dari persembunyiannya. Hari itu adalah hari pertama ia keluar dari persembunyiannya. Lelaki yang dulu gagah perkasa, kini sudah reot. Batuknya seperti terompet. Tubuhnya menyebar bau bacin. Di bawah bayang-bayang gedung pencakar langit, ia berjalan mengendap-endap seperti tikus dengan koreng di tubuhnya.
Orang-orang menghindar sambil menutup hidung. Tong sampah dikorek-koreknya. Ia berebut nasi busuk dengan tikus got dan kucing liar. Seekor anjing menggertaknya. Tangan tua itu tak sempat menyentuh nasi yang penuh lalat. Nyawanya hampir lepas. Lapar, kembali mencakar-cakar perutnya. Sarung kumalnya dibebatkan diperutnya yang ceking.
Di tengah perutnya yang melilit-lilit, ia ingat masa keemasannya dulu. Orang-orang, meminta tabik. Segalanya telah dimiliki. Tetapi kini, keperkasaannya telah dimakan lumut yang terus menjalari tembok kekuasaannya. Sedikit demi sedikit tembok itu runtuh dan hanya tinggal lumut dan ilalang tumbuh subur di antara reruntuhannya.
“Dimana ada penjara untuk saya!” serunya di tengah kota yang penuh dengan asap hitam.
Kepada orang berbaju merah lelaki itu bertanya. Orang berbaju merah itu malah lari terbirit-birit. Orang berbaju kuning ngumpet di dekat rimbun pohon. Orang berbaju hijau berdoa semoga dia tidak dihampiri. Orang berbaju biru bergaya seperti penjual obat. Orang-orang yang berbaju hitam, mengiba-iba. Orang berbaju abu abu meraih hati dengan sekedar menunjukan jalan, meski jalan itu tidak tahu berarah ke mana.
Lelaki itu terus menyusuri trotoar bobrok. Bunga-bunga bogenvil tumbuh tak terawat. Di sebuah etalase toko ia melihat gambar wajahnya terpampang di sampul buku. “Ya, saya menyesal seperti dirimu, anjing! Saya ingin bertaobat. Antarkan saya pada polisi, atau kalau kau tau antarkan saya ke neraka biar saya dihukum-Nya. E..tapi surga juga boleh,” katanya, sambil pergi begitu saja.
Beberapa meter dari etalase toko yang kacanya pecah di sudutnya, ia melihat pamflet-pamflet tertempel di tiang-tiang listrik, tembok-tembok, sekat-sekat pembatas tanah kosong, kios-kios kecil. Warnanya buram. Tetapi ia masih mengenali foto yang ditempel dengan tulisan: BURONAN RAKYAT. Tulisan itu hampir tidak bisa dieja. Karena disana-sini telah dicoret-coret dengan cat semprot.
“Silahkan tangkap saya, Pak Polisi! Tolong antar saya ke penjara!” serunya pada seorang Polisi yang sedang menilang kendaraan bermotor. Polisi itu tak menggubrisnya. Uang damai segera dimasukan ke kantong celananya.
“Pak Polisi tunjukan saya, di mana kantor, Anda? Tangkaplah saya! Sayalah koruptor yang Anda cari-cari!” katanya dengan penuh harapan.
“Koruptor? Di negeri ini koruptor bukan penjahat. Tetapi profesi! Pergilah sana!" kata Polisi, sembari tersenyum kecil.
Lelaki bau tanah itu segera pergi. Keningnya berkerut. Kerutannya mempertegas garis ketuaannya. Ia sedang memikirkan kata-kata polisi tadi : Koruptor bukan penjahat. Korupsi sudah menjadi profesi.
Lebih kaget lagi, ketika mata lelaki itu melihat fotonya ditempel di tembok-tembok rumah, tiang penyangga jalan layang, tembok mal, plaza, hotel, motel, condominium, kantor polisi, gedung dewan, gedung kejaksaan. Bahkan ada yang dibuat spanduk, baliho berukuran raksasa. Poster-poster itu masih kelihatan baru. Disana tidak lagi tertulis BURONAN RAKYAT, tetapi, KEMBALILAH PAHLAWANKU!.
Sayang tak seorang pun yang mengenali dirinya. Foto yang dipampang itu foto seratus tahun yang lalu, atau berapa abad yang lalu atau entah tahun yang keberapa. Entahlah. Orang-orang besar gampang lupa dengan waktu yang telah berlalu. “Saya seorang pahlawan?” tanyanya kepada diri sendiri.
Ia tidak percaya dengan kata-kata dalam poster itu. Seorang koruptor yang telah menghabiskan trilyunan rupiah dianggap pahlawan? Apakah dunia sudah terbalik. “Ah, ini jebakan. Ini sindiran. Saya tidak percaya. Hukumlah saya, Pak Polisi. Saya sudah bosan dengan pelarian ini!” serunya, di tengah hiruk pikuk bunyi klakson dan umpatan para sopir mikrolet. Atau erangan anak-anak kecil mabuk lem.
Orang-orang tertawa melihat polah tingkah lekaki itu yang mengaku sebagai koruptor. Anak-anak kecil yang lupa sekolah mengira lelaki itu badut sirkus yang kehilangan rombongannya. Mereka bersorak riang. Kaleng yang biasa untuk mengemis mereka pukuli dengan uang logam. Lalu-lintas berhenti total. Para sopir dan penumpang berjoget di atap mobil.
Orang-orang yang menghuni gedung bertingkat juga berjoget. Sebuah helikopeter jatuh menabrak tower. Diketahui, pilotnya juga ikut berjoget di atas baling-baling. Pertunjukan itu dilaporkan langsung oleh 100 stasiun TV dalam dan luar negeri. “Ini sihir Inul Daratista, Anisa Bahar, Trio Macan. Semua menjadi ‘Kucing Garong.’” Teriak seorang reporter TV swasta sembari mengguncangkan pantatnya.
"Sayalah koruptor!” Tangkaplah saya," teriak lelaki tua itu.
Sedetik kemudian, kata-kata lelaki tua itu menyebar keseluruh negeri dan menyebar menjadi tagline baru. “Kita semua koruptor. Tangkaplah kita!” teriak orang seluruh negeri, sembari berjoget.
Seorang Polisi muda, mengerutkan kening. Sejurus matanya menatap lelaki yang berpakaian compang-camping. Bau bacin menebar keseluruh penjuru ruangnya.
“Sudahlah. Kenapa ragu-ragu. Sayalah yang menghabiskan uang negara trilyunan itu. Saya sudah bosan hidup dalam pelarian,” katanya sambil menyerahkan kedua tangannya untuk diborgol. Seribu kamera wartawan TV membidik adegan itu. Sedetik kemudian TV-TV menyetop siarannya. “Breaking News!” orang-orang mematung, melihat adegan yang mengharukan itu. Tetapi belum sempat air mata menetes, acara itu telah berganti lawak. “Ha..ha..ha..! Ternyata Srimulatan, to ini tadi!”
Keesokan harinya lelaki bahu tanah itu datang lagi ke kantor Polisi. “Hai orang gila mau apa lagi!” bentak Polisi muda.
Lelaki tua itu tak memperdulikannya. Ia menunjukan poster pada Polisi yang berpostur tambum. “Ini adalah saya. Saya ingin menyerahkan diri. Tangkaplah!” katanya dengan nada bergetar.
“Haaaa…haaaa….haaaa…!” Polisi itu tertawa lebar, selebar-lebarnya. Teman-temanya yang tahu, segera ikut tertawa. Siang itu, siang yang paling aneh. Ada seorang datang menyerahkan diri dan mengaku sebagai boronan kelas kakap. Tak biasanya ada penjahat yang menyerahkan diri begitu saja. Aneh sekali. “Haaaa..haaaaa…haaa!” kantor Polisi itu menjadi riuh.
Kotapun juga riuh penuh gelak tawa seperti gedung Srimulat tahun 1970-an. Orang-orang tertawa mendengar cerita anekdot itu. “Adu pungguk merindukan bulan. Kasihan deh aku, istruku datang bulan,” kata seorang eksekutif muda yang baru saja menikah.
“Tidak nyambung, blas!”
“Seperti dagelan!”
“Dia berbakat jadi politikus!”
“Semestinya, kamu pergi ke panti jompo atau bunuh diri saja,” ledek Polisi yang berkumis, ketika hari perlahan-lahan gelap dan lampu-lampu kota berpendar, menyambut malam.
Orang-orang berlarian seperti berkejaran dengan gelap. Mobil berdesak-desakan. Klakson berteriakan. Lengkingan peluit Polisi tak pernah berhenti. Adzan magrib seperti muncul dari lorong-lorong gaip kemudian menghilang begitu saja. Orang-orang tak mendengarnya. Di telingannya tersumbat handfree. Mobil-mobil bergoyang ke kiri dan ke kanan mengikuti irama housemusic. Dua atau tiga mobil saja yang terbang, mengikuti alunan seruling Sunda yang mendayu-dayu. Setiap senja, orang-orang mempersiapakan upacara adatnya sendiri-sendiri. Mereka para pertapa agung di sudut-sudut mal-mal, di kafe-kafe, bar-bar, pub, atau karaoke. Mereka para penyembah dewa malam. Dewa para pemabuk.
Sementara, lelaki bau tanah itu, berjalan seperti bajaj. Dilihatnya poster yang masih dalam genggamanya. Diejanya huruf demi huruf. Tetapi ia tak pernah menemukan arti dari tulisan itu. Yang ia tahu dan yakin, bahwa foto itu adalah dirinya. Tapi bagaimana orang-orang mau tau bahwa ia adalah buronan yang dicari-cari sebelumnya?
Sejarahpun telah menimbun namanya. Anak-anak sekolah telah membaca sejarah dengan cara terbalik. Bahwa sejarah mencatat nilai-nilai luhur. Sejarah adalah riwayat orang-orang besar. Tidak ada gembel, pecundang yang masuk dalam catatan sejarah. Buku-buku sejarah tetap seperti situs-situs purba yang menyimpan rahasianya. Anak-anak tidak tahu di balik lipatan-libatan buku sejarahnya ada darah pengingkaran.
“Bakar! Bakar saja!” teriak Pemimpin Kota, melihat noda darah di buku-buku sejarah.
Maka ribuan buku dibakar. Otak anak-anak dibaycline sampai putih bersih dan tidak amis. Maka sejarah telah lenyap. Anak-anak dan juga jutaan orang di kota ini dibuatkan sejarah baru. Sejarah yang tidak menimbun bau anyir darah.
“Orang-orang sudah pada pikun dengan sejarahnya,” kata lelaki tua itu sembari menyandarkan tubuhnya pada tembok berlumut. Bau pesing menusuk hidungnya. Seekor kucing garong, melompat dari tempat sampah. Giginya yang tajam, menggondol orok bayi yang busuk, dibuntal tas plastik warna hitam.
“Generasi baru dimatikan. Dibuang di tempat sampah. Generasi lama dibiarkan terkapar dengan segunung dosa di pundaknya,” desah lelaki itu. Sesaat kemudian terdengar dengkurnya. Orang-orang kota masih dengan darahnya yang meluap-luap.
“Urip gur mampir ngombe!” teriak anak muda sembari menuangkan vodka ke sloki yang dibuat dari potongan botol air mineral.
***
Suatu hari, menjelang magrib, lelaki itu pergi ke masjid. Ditemuinya ta’mir masjid. Ia katakan padanya, bahwa ia ingin menyerahkan diri sebagai buronan. Tak lupa ia menyodorkan poster yang dibawanya.
Ta’mir yang sudah tua dan sering dipanggil Pak Haji itu, berkata sambil menutup hidungya. “Kalau mau menyerahkan diri bukan di sini tempatnya, Pak, tetapi ke kantor Polisi,” sarannya.
Di gereja, di pura, di vihara, ia deterima dengan saran yang sama. Dilembaga peradilan tertinggi ia malah disuruh bertaubat dulu dan kemudian pergi ke panti jompo, atau terkadang digelandang Satpol Pamong Praja ke Dinas Sosial. Di kantor-kantor media massa ia dimasukan di kolom anekdot dan dibuat tertawaan para pemirsa dan pembaca. “Seorang lelaki kere, ingin merubah sejarah bangsa besar!” kata pakar sejarah dan politik di kaca-kaca televisi.
Ibu-ibu menangis sesenggukan. Berita tentang lelaki tua tadi seperti cerita opera sabun. “Dia pasti akan menang di endingnya nanti,” komentar ibu rumah tangga sembari mengunyah popcorn kesukaannya sebelum iklan-iklan lain mempengaruhi seleranya.
Lelaki tua itu bingung, ia tidak tahu harus berserah diri pada siapa. Ia pergi menyusuri kota yang disergap gelap malam. Ia melihat orang-orang seperti hidup bahagia. “Apakah mereka juga orang suci?” tanya lelaki itu dalam hati.
Di sudut yang lain orang-orang saling membunuh, hanya untuk merebutkan recehan. Sementara di TV-TV menyiarkan aksi pembunuhan itu secara langsung. Pemuda-pemuda dan remaja tanggung bertepuk dada. “Keren abis!”
Di kantor Polisi lelaki tua itu kembali ditertawakan. “Memangnya apa yang Bapak perbuat?” tanya seorang Polisi, sembari menjalankan bidak caturnya.
“Korupsi,” kata lelaki itu bergetar.
“Seorang koruptor itu, paling tidak bertampang tegar. Tidak memelas. Pakai dasi. Bawa mobil berkelas. Datang ke Polisi di dampingi dua atau tiga pengacara bonafide. Gembel semacam engkau apa yang dikorupsi? Skak! Mati!” dua Polisi itu kembali tertawa.
Kini, hanya tinggal satu tempat yang bisa ia tuju, rumahnya. Rumah yang telah lama ditinggalkannya dengan seluruh isinya. Lelaki bahu tanah berjalan menuju rumahnya. Namun sebenarnya ia ragu-ragu, karena ia pun sudah lupa bentuk rumahnya. Yang dia ingat hanya kata-kata kenanga. Atau Jl. Kenanga.
Setelah berhari-hari berjalan, lelaki itu baru menemukan Jl. Kenanga. Sebuah jalan yang penuh dengan pohon bunga kenanga. Lelaki itu mereka-reka ingatannya. Tak satupun yang ia ingat. Hanya bau harum bunga kenanga itulah yang meyakinkan dirinya bahwa di jalan itulah ia pernah tinggal.
Dan mobil mewah itu masih berjajar-jajar di sepanjang jalan. Hanya saja orang-orang yang hilir mudik di jalan itu semua berpakaian serba hitam dan berkaca mata hitam. Ribuan wartawan dari koran dan televisi tampak bergerombol di depan pintu gerbang. Di sepanjang pagar rumah yang tinggi itu, berjajar karangan bunga ucapan duka cita.
“Siapa yang meninggal dunia?” tanya lelaki itu, pada seorang yang baru turun dari BMW seri terbaru. Orang itu hanya menjawab singkat : “Eyang!”
Lelaki tua itu melihat foto yang dihias dengan bunga beraneka warna, dipajang dekat pintu gerbang rumah. Foto itu seperti dirinya. Bahkan sangat mirip. Di bawah foto itu ada tulisan, ‘Telah Meninggal Dunia Eyang Kakung yang Tercinta, dalam usia 100 tahun. Semoga Arwahnya Diterima Di Sisi Tuhan YME.’
“Kalau dia telah mati, lalu saya ini siapa? Hidup dan mati ternyata begitu dekat. Dekat sekali!” kata lelaki itu, sembari membetulkan sarungnya yang persis kafan.
Surabaya, Desember 2006.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar