Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Belakangan ini, di kalangan sastrawan muda ada kecenderungan untuk menyoroti dan mencoba memberi penjelasan tentang kritik akademis secara keliru. Kritik akademis dipahami sebagai kegiatan yang hanya terjadi di lingkungan sebuah lembaga yang bernama perguruan tinggi. Di sana, kritik sastra dianggap sekadar berujud sebuah makalah ilmiah, penelitian atau karya ilmiah yang berupa skripsi, tesis atau disertasi.
Pemahaman kritik sastra secara demikian, juga lantaran banyak di antara sastrawan yang tidak mau membaca, bahkan tidak mau tahu dengan kritik-kritik akademis itu. Secara apriori, mereka beranggapan bahwa kritik akademis hanya diperlukan untuk kalangan akademi dan tidak untuk sastrawan. Akibatnya, mereka buta terhadap fungsi dan hakikat kritik tersebut.
Selain itu, kesalahpahaman mereka itu juga disebabkan oleh adanya anggapan bahwa kritik sastra sebagai bentuk kesewenang-wenangan akademis. Dengan dasar ilmiah, karya sastra diperlakukan seperti jasad tak berjiwa, dan kritikus melakukan anatomi atas jasad itu dengan cara memenggal-menggal setiap bagian karya sastra. Akibatnya, tugas kritik akademis seolah-olah hanya melakukan pencabikan-pencabikan atas sebuah teks sastra; ia begitu kering, tidak berjiwa, dan sangat teknis!
Sementara itu, di kalangan kaum akademi sendiri, tidak sedikit yang --juga secara apriori- beranggapan bahwa kritik sastra akademis adalah pekerjaan yang hanya boleh dilakukan oleh kaum akademisi saja. Orang yang berada di luar itu, dianggapnya tidak mempunyai kewenangan untuk melakukannya. Tentu saja anggapan ini juga keliru. Siapapun dengan latar belakang pendidikan apapun, boleh saja menulis kritik akademis, sejauh persyaratan untuk itu dipenuhi.
Kesalahpamahan yang muncul dari kalangan akademis yang seperti itu disebabkan oleh adanya anggapan bahwa kritik sastra dipandang sebagai bagian dari kegiatan yang mesti mengikuti kurikulum. Dan mereka yang berada di luar itu, dianggap tidak punya cukup pengetahuan tentang itu. Pandangan ini sesungguhnya muncul dari "kupernya" wawasan yang lalu berujud dalam bentuk arogansi intelektual. Mereka terlalu bangga dengan teori-teori Barat berikut metode ilmiahnya yang njlimet dan kaku. Akibatnya, teori dan metodologi ditempatkan di atas segala-galanya. Oleh karena itu, pihak yang berada di luar kalangan akademis dinilai sebagai tidak cukup cakap untuk melakukan penelitian atau analisis terhadap karya sastra. Benarkah anggapan ini?
***
Dilihat dari banyak segi, pandangan tersebut tentu saja tidak seluruhnya benar. Seorang mahasiswa yang mengambil jalur skripsi, atau peserta program pascasarjana, memang diwajibkan untuk menulis skripsi atau tesis (kritik akademis) sebagai tugas akhirnya. Ia kemudian mesti mempertahankan apa yang ditulisnya di hadapan sidang penguji. Untuk program sarjana (Strata-1) salah seorang di antara penguji itu, sedikitnya harus bergelar doktor. Inilah tuntutan dunia akademi. Sebuah prosedur yang mesti dijalankan lantaran pertimbangan ilmu pengetahuan. Jika tidak demikian, maka ilmu pengetahuan akan mandek; tidak berkembang! Dari karya-karya seperti itu pula, diharapkan muncul sesuatu yang baru; entah pendekatan, teori atau pemaknaan atas karya sastra yang diteliti.
Apa yang ditulis dalam skripsi (S-1), tesis (S-2), atau disertasi (S-3)? Apa pula yang membedakan masing-masing karya ilmiah tersebut? Mari kita periksa.
Skripsi adalah tugas akhir mahasiswa S-1 (jenjang sarjana) yang di dalamnya ada penerapan satu atau beberapa teori sebagai landasan untuk menganalisis teks-teks sastra atau salah satu aspek yang berkaitan dengan dunia sastra. Lewat teori itu diharapkan ada penjelasan dan analisis mendalam yang memungkinkan kekayaan teks atau masalah yang tersembunyi dalam dunia sastra, dapat terungkapkan.
Tesis adalah tugas akhir mahasiswa S-2 (jenjang magister) yang di dalamnya satu atau beberapa teori terbuka untuk dipertanyakan kembali. Untuk sampai ke sana, penulis tesis perlu menganalisis teks-teks sastra secara komprehensif, menyeluruh dengan berbagai aspeknya. Ia tidak hanya mengungkap kekayaan teks atau membongkar sejumlah masalah yang masih tersembunyi, tetapi juga menempatkannya dalam teori-teori atau metodologi yang digunakannya, dalam konteks sosio-kultural atau perjalanan sejarahnya.
Disertasi adalah tugas akhir peserta program S-3 (jenjang doktor) yang di dalamnya teori-teori tidak hanya dipertanyakan kembali tetapi juga dicari atau dirumuskan teori-teori baru. Oleh karena itu, dalam disertasi selalu ada usaha untuk memanfaatkan ilmu-ilmu lain, di luar ilmu sastra.
Jika kemudian karya-karya seperti itu dirasakan terlalu kaku atau amat teoretis dan njlimet , sehingga orang di luar bidang itu tidak dapat memahaminya dan masyarakat umum sama sekali tidak tertarik, tujuannya memanglah bukan untuk itu. Ia ditulis, selain tuntutan prosedural dan formal, juga untuk ilmu pengetahuan itu sendiri. Oleh karena itu, kritik akademis sering juga disebut sebagai kritik sastra ilmiah. Sungguhpun demikian, harap dicamkan, bahwa karya-karya tersebut pada hakikatnya merupakan apresiasi kritis atas karya sastra dan sastrawannya. Jadi, terlepas dari hasil penelitiannya, karya itu tetap memberi penghargaan yang tinggi atas karya yang diteliti.
Demikianlah, ketiga karya ilmiah itu merupakan tuntutan yang harus dipenuhi jika seseorang hendak menyelesaikan jenjang pendidikannya. Ketiga karya ilmiah itu adalah tuntutan yang berkaitan dengan kurikulum. Selain skripsi, tesis atau disertasi, kritik akademis bisa juga berupa hasil penelitian atas inisiatif orang per orang. Dalam karya inilah, siapapun boleh melakukannya meskipun ia bukan dari kalangan akademi.
Sejumlah esai dalam majalah Horison yang ditulis Budi Darma atau penulis lainnya, esai dalam Jurnal Kalam atau yang dimuat dalam majalah-majalah ilmiah, sebenarnya termasuk salah satu bentuk kritik akademis. Demikian pula esai-esai Goenawan Mohamad yang kemudian dihimpun dalam buku Seks, Sastra, Kita dan Kesusastraan dan Kekuasaan atau penelitian tentang minat baca siswa yang dilakukan Taufiq Ismail, "Benarkah Kini Bangsa Kita telah Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis?" sesungguhnya masih termasuk ke dalam bentuk kritik tersebut. Jadi, kritik akademis bukan hanya skripsi, tesis, atau disertasi, melainkan karya-karya lain yang di dalamnya diterapkan metode-metode ilmiah, meskipun itu tidak diungkapkan secara eksplisit.
***
Demikianlah gambaran umum tentang kritik akademis. Tentu saja uraian ini terlalu ringkas untuk menjelaskan persoalan yang sebenarnya cukup kompleks. Oleh karena itu, kita juga perlu mencermati secara langsung karya-karya seperti itu agar kita dapat memperoleh gambaran mengenai perbedaannya dengan kritik sastra umum atau kritik sastra apresiatif.
Untuk memberi gambaran yang berbeda dengan kritik umum atau kritik apresiatif, marilah kita mencermati duduk persoalan yang terjadi dalam kritik akademis. Persoalan mendasar yang sering kali menjadi titik berangkat dalam kritik akademis adalah masalah konsep, yaitu rumusan yang mencoba menjelaskan pengertian tertentu, baik yang berkaitan dengan sesuatu yang kongkret atau yang abstrak. Konsep tema dalam karya sastra, misalnya, yang dirumuskan sebagai pokok persoalan yang hendak disampaikan pengarang, sesungguhnya merupakan rumusan dari sesuatu yang abstrak. Konsep-konsep dalam karya sastra, umumnya merupakan penjelasan terhadap sesuatu yang abstrak. Pernyataan "Puisi adalah Puisi" atau dalam lingkup yang lebih luas, "Sastra adalah Sastra", misalnya, sesungguhnya merupakan rumusan abstrak yang masih perlu penjelasan lebih lanjut. Dalam kritik akademis, pernyataan itu perlu diuraikan secara ilmiah karena ia mengimplikasikan dua persoalan besar dalam pendekatan sastra (:kritik sastra).
Yang pertama, pendekatan yang menolak perkaitan karya sastra dengan dunia di luar teks, yaitu faktor-faktor historis, biografis, filosofis dan sosio-kultural. Pasalnya, dalam pendekatan ini, karya sastra dipandang dan diperlakukan sebagai dunia yang otonom. Ia mesti diteliti dan dianalisis lewat pendekatan yang memahami hakikat sastra sebagai karya imajinatif. Dunia dalam karya sastra dianggap hanya berlaku dalam dirinya sendiri. Pendekatan ini berpusat pada struktur karya itu sendiri yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan pendekatan intrinsik atau pendekatan struktural. Sedangkan yang kedua menekankan perkaitan teks sastra dengan dunia yang berada di luar itu atau dikenal juga dengan pendekatan ekstrinsik.
Mengingat karya sastra merupakan kenyataan struktural, maka ia tidak lebih sebagai sebuah struktur. Lalu apa pula yang dimaksud dengan struktur? Ia merupakan sebuah bangunan atau sistem yang disusun atas sejumlah unsur yang saling berkaitan dan bersifat fungsional. Artinya, unsur yang satu berfungsi mendukung unsur yang lainnya dan setiap unsur mempunyai peranan, fungsi, dan kedudukannya sendiri. Sebutlah novel, puisi, atau drama itu sebagai sebuah bangunan yang bernama rumah. Maka, unsur-unsurnya yang menyebabkan ia disebut rumah, antara lain, pintu, jendela, tembok, fondasi, genting, dsb. Bersifat fungsional, lantaran setiap unsur itu saling berkaitan dan mempunyai fungsinya sendiri. Pintu dan jendela, misalnya, punya fungsinya sendiri yang tidak dapat digantikan oleh tembok atau genting.
Alur, tema, latar, atau unsur karya sastra lainnya, juga mempunyai fungsi dan kedudukannya sendiri. Oleh karena itu, penganalisisan unsur-unsur itu, dalam peranan dan fungsinya membangun struktur karya sastra. Atas dasar pemikiran inilah, maka cara penganalisisan karya sastra yang demikian disebut sebagai pendekatan struktural.
Cleanth Brooks, tokoh New Criticism yang disegani dan berpengaruh di antara rekan-rekan sealirannya, sangat menganjurkan pendekatan struktural yang demikian. Menurutnya, memperlakukan puisi sebagai puisi adalah penekanan yang tepat. Oleh karena itu, ia menolak dua metode kritik yang dianggapnya mengelirukan sifat puisi yang kekal dan universal.
Pertama, metode kritik yang hanya menekankan pesan (mesage hunting). Dalam bahasa populer, ia menolak kritik yang hanya mengejar tema. Karena penekanannya pada usaha mengungkapkan tema, maka metode ini sering kali mengesampingkan unsur lain dalam tataran kritiknya. Bahkan, tidak jarang pula tergelincir pada penjelasan filosofis atau sosiologis. Akibatnya, karya sastra sebagai kenyataan struktural, hanya dilihat dari satu aspek saja. Pada gilirannya, kekhasan karya sastra yang bersangkutan terkubur dalam deskripsi dan analisis tematis.
Kedua, metode kritik yang mengungkapkan puisi ke dalam bentuk parafrase. Metode kritik ini sebagian besar sekadar menjelaskan larik-larik puisi ke dalam deskripsi naratif. Parafrase menjadi kisah tentang tema puisi. Kedua hal itu, menurut Brooks, justru malah menyembunyikan kekayaan dan kedalaman makna puisi. Itulah sebabnya, diperlukan metode kritik yang tepat dan sesuai dengan hakikat puisi. Dalam kritik sastra kita, pendekatan struktural atau disebut juga pendekatan intrinsik, dapat dikatakan sejalan dengan gagasan Brooks.
Berbeda dengan pendekatan yang disarankan Brooks, pendekatan yang dikemukakan Grebstein justru sangat mempertimbangkan adanya perkaitan karya sastra dengan berbagai faktor eksternal. Dasar pemikirannya berangkat dari anggapan bahwa karya sastra tidak lahir secara serta merta. Ia lahir dari sebuah proses yang rumit yang melibatkan dunia yang mengelilingi sang kreator. Ada faktor sosio-kultural yang melatarbelakanginya. Ada pula sistem produksi yang juga ikut mempengaruhinya.
Selain itu, ia juga lahir dari pelibatam berbagai faktor psikologis ketika proses kreatif itu terjadi. Dalam kritik sastra, pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan ekstrinsik, yaitu penganalisisan karya sastra yang menghubungkaitan teks sastra dengan faktor sosio-budaya, psikologi, sejarah, atau filsafat.
Meskipun Grebstein mengklasifikasikan kritik sastra ke dalam lima kategori pendekatan, yaitu pendekatan struktural, psikologis, sosio-kultural, arketipe, dan filosofis, sesungguhnya kita masih tetap dapat menyederhanakannya ke dalam dua pendekatan besar yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik. Pendekatan struktural atau formal dapat kita masukkan ke dalam pendekatan intrinsik. Pendekatan psikologis, sosio-kultural, arketipe (kepurbaan), dan filosofis, dapat kita masukkan ke dalam pendekatan ekstrinsik.
Lalu apa yang melatarbelakangi gagasan pendekatan ekstrinsik ini. Dua hal penting dapatlah dikemukakan di sini. Yang pertama, berangkat dari kenyataan sosiologis bahwa pengarang adalah anggota masyarakat. Ia lahir dan dibesarkan dalam lingkungan sosial yang langsung atau tidak, ikut mempengaruhi sikap, pemikiran, ideologi dan visi kepengarangannya. Oleh karena itu, lewat pendekatan itu, karya sastra akan dapat dipahami secara lebih lengkap, lantaran ia juga mengungkapkan berbagai faktor sosio-kultural. Meskipun pendekatan ini mengaitkan teks dengan faktor di luar karya sastra, teks sastra tetap diperlakukan sebagai yang utama, sedangkan ilmu lain ditempatkan sebagai 'alat bantu' belaka.
Kedua, secara lebih luas konteks pembicaraan ini ditempatkan ke dalam kerangka sistem sastra makro. Jadi, yang pertama masuk kategori sistem sastra mikro --sebutlah pendekatan intrinsik- dan yang kedua sistem sastra makro --pendekatan ekstrinsik. Dalam sistem sastra makro yang disoroti adalah kepengarangan sebagai sebuah profesi; karya sastra sebagai hasil produksi; dan pembaca sebagai penerima dan penikmat karya sastra. Jadi, pembicaraan 'sastra koran', misalnya, termasuklah ke dalam salah satu bagian sistem sastra makro; surat kabar atau majalah sebagai sarana terjadinya reproduksi karya sastra. Mari kita periksa duduk persoalannya.
***
Dalam konteks sistem pengarang, pengarang dilihat sebagaimana anggota masyarakat lainnya. Ia lahir, dibesarkan, dan memperoleh pendidikan dalam lingkungan masyarakat tertentu. Seorang pengarang yang berlatar belakang masyarakat Jawa, misalnya, niscaya lebih mudah mengungkapkan gagasannya mengenai sesuatu yang memang sudah dikenalnya sejak kecil. Ia juga memperoleh pendidikan, agama dan kepercayaan tertentu. Semua ini, niscaya langsung atau tidak, akan terlihat juga dalam karya-karyanya. Selain itu, dalam sistem pengarang ini, dilihat juga apakah kepengarangannya sebagai profesi yang utama atau sebagai pekerjaan sambilan. Jadi, dalam sistem pengarang yang dilihat adalah semua hal yang melingkari diri pengarang.
Dalam sistem pembaca, yang dilihat adalah semua tanggapan (tertulis) pembaca terhadap karya sastra. Mencermati semua tanggapan pembaca, akan sampai pada kesimpulan mengenai pendidikan, agama, dan latar belakang budaya si pembaca. Dari sana akan terlihat pula penafsiran dan pemaknaan pembaca terhadap karya sastra. Meskipun demikian, sistem pembaca dalam sistem sastra makro, tidak sama dengan resepsi sastra. Jika resepsi sastra melihat pemaknaan dan horison harapan pembaca terhadap karya sastra tertentu, maka dalam sistem pembaca yang dilihat tidak hanya itu, melainkan juga latar belakang pendidikan, agama, dan ideologi pembaca.
Sementara itu, dalam sistem produksi, yang dilihat adalah bagaimana karya itu diproduksi, dipublikasikan, dan didistribusikan; apakah melalui sebuah penerbit dalam bentuk buku atau melalui majalah. Lalu, siapa pemilik penerbit itu, bagaimana ideologi dan kebijaksanaan penerbitannya, apakah itu semua berpengaruh pada teks karya sastra yang diterbitkannya. Jika karya sastra itu dipublikasikan melalui majalah atau surat kabar, bagaimana pula misi dan ideologi media massa itu, siapa sasaran pembacanya, siapa pula redakturnya, bagaimana pula honor yang diterima pengarangnya. Berbagai pertanyaan lain tentu saja dapat kita ajukan. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang diselidiki dalam sistem ini.
Sebagai contoh, kita dapat melihat perbedaan karya-karya sastra yang diterbitkan atau dipublikasikan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) tahun 1960-an dengan lembaga di luar itu yang juga pada masa itu menerbitkan karya-karya sastra.
***
Begitulah, kritik akademis lebih merupakan penelitian yang mendalam mengenai berbagai aspek kesusastraan. Oleh karena itu, pertanggungjawaban ilmiahnya menjadi salah satu hal yang tidak boleh diabaikan, bahkan terterima atau tidaknya kritik itu, sangat bergantung pula pada pertanggungjawaban ilmiahnya. Itulah salah satu ciri yang khas yang membedakannya dengan kritik sastra umum atau kritik apresiatif.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar