Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/
Sastra dalam pelajaran kesusastraan ketika saya masih belajar di sekolah menengah, didefiniskan lewat padan katanya. Karena sastra berarti tulisan, maka kesusatraan adalah segala tulisan yang indah. Yang kemudian langsung menjadi khazanah sastra adalah buku-buku karya fiksi dan puisi.
Tetapi sampai kepada istilah sastra lisan, pengertian tersebut menjadi sedikit bingung. Secara harfiah, sastra lisan berarti tulisan yang diucapkan. Mesti ada wujud tulisannya dulu, agar bisa diucapkan. Namun pada prakteknya sastra lisan sejak lahir sudah merupakan tutur yang bukan perpanjangan dari tulisan. Kemudian memang tutur itu ditranskripsikan ketika mulai diposisikan sebagai kekayaan budaya. Namun ketika ekspresi lisan itu dibekukan dalam bentuk tulisan, kenikmatannya berbeda. Ia tak menjangkau seluruh eksistensinya ketika masih lisan.
Sebagai seorang penulis, saya tak memandang sastra sebagai hanya tulisan, tetapi sebagai pengertian, sehingga ia bisa disampaikan dengan tulisan maupun lisan. Tetapi juga bukan pengertian tok. Ia memiliki satu kelayakan yang membedakannya dengan pengertian yang bukan sastra. Sastra mengandung pemikiran dan perasaan kemanusiaan yang erat kaitannya dengan bahasa.
Semua ekspresi yang memakai bahasa sebagai basis kekuatannya bagi saya adalah sastra. Kalau ada pengertian yang lebih bagus dari itu, setiap saat saya bersedia mengkhianati pengertian yang sudah saya anut selama ini.
Karena upaya untuk terus-menerus menyempurnakan penggerebekan ke arah yang lebih sempurna, adalah bagian dari cita-cita sastra. Karena itulah dalam alam pikiran saya, sastra tak mengenal kontrak mati dengan satu isme atau idiologi, apalagi sikap politik. Kalau toh ada aliran dan idiologi sastra, itu adalah kebimbangan dan pengkhianatan kepada kesimpulan yang salah.
Melalui pemahaman tersebut, saya akan mencoba bicara tentang pemberdayaan sastra Indonesia.
Pengertian Indonesia Baru, bagi generasi 28, ketika Sumpah Pemuda (1928) dicetuskan, pasti sesuatu yang asing. Karena pengertian Indonesia sendiri sudah berarti baru. Pengertian itu mengandung cita-cita politik yang merupakan lompatan besar, mengubah teritorial Nusantara menjadi sebuah negara yang merdeka.
Pengertian “baru” dicantelkan kepada Indonesia, sesudah gerakan reformasi pada 1998. Ketika pengertian Indonesia menjadi terkontaminasi oleh kepemimpinan yang membawa Indonesia masuk ke dalam jurang penindasan hak-hak azasi manusia. Pengertian Indonesia baru sebenarnya sama saja dengan pengertian Indonesia dari generasi 28 –hanya saja dulu targetnya merdeka dari kolonialisme, kini merdeka dari penindasan rezim dari dalam sendiri. Pengertian baru mengandung makna scanning ulang, defragmentasi, reinstal dan format ulang terhadap hard disk Indonesia yang sudah eror.
Sastra memiliki kepentingan besar dalam kerepotan yang langsung menyangkut pemulihan terhadap hak-hak azasi manusia tersebut. Dan bagi sastra sendiri, sekaligus juga berarti pemulihan terhadap hak-hak azasinya sendiri. Karena dalam beberapa dekade gelap sebelum reformasi, sastra juga termasuk yang sudah diinjak-injak di bawah kepentingan politik dan ekonomi sekelompok penguasa.
Tak bedanya dengan keadilan dan kebenaran, sastra pun –sebagai bentuk pengucapan pikiran dan perasaan yang memakai bahasa -sudah dihajar habis-habisan. Karena bahasa merupakan bagian dari alat kontrol sosial yang sangat efektif di samping senjata. Bahasa telah menjadi balatentara rezim yang dengan ganasnya mendera rakyat.
Akibatnya sastra pun menjadi bukan saja mandul tetapi terutama sekali: berbalik sesat. Sastra yang indah itu berubah menjadi binatang buas yang mengunyah-ngunyah kemanusiaan itu sendiri.
Dalam keadaan yang terbalik itu, bahasa bukan lagi jembatan untuk mengucapkan pikir dan rasa antara manusia yang merdeka, tetapi polisi-polisi dan mesin virus yang menyebarkan ketakutan dan teror sehingga massa membeku. Ucapan tak bisa lagi dipercaya.
Kalimat bersiponggang dan memekakkan tetapi kosong. Khususnya pidato-pidato para pejabat. Kata-kata dan ungkapan rezim menjadi “safe deposite” yang menyembunyikan kejahatan-kejahatan. Sastra menjadi bromocorah. Sastra adalah bandit yang menguasai alam pikiran.
Karya sastra yang masih menyuarakan ekspresi yang jujur dan dulu dipelajari sebagai kesusastraan, atas nama kelangenan yang membuat orang malas, lantas dimasukkan ke bak sampah. Dianggap perangkat yang kedaluwarsa di tengah dunia yang sudah berteknologi tinggi.
Para pelajar ditipu mentah-mentah untuk lebih percaya kepada angka-angka yang kemudian dengan lihaynya disulap di dalam “dagang” yang membuat pelajar kebingungan. Teknologi pun kotor, karena hanya berisi khayalan, tetapi disembah seakan-akan itulah dewa penyelamat tyang akan membawa bangsa ke mimpi gemah-ripah-loh-jinawi.
Para ilmuwan melarikan diri dan bersembunyi di gua pertapaannya. Para sastrawan juga ikut ngacir berserakan ke sana-ke mari karena merasa hina dan berdosa terus menjadi pabrik tak berguna.
Mereka mengubah seragamnya menjadi politikus, pejabat, wartawan atau amtenar yang terasa lebih konkrit memikirkan realita dan kepentingan rakyat serta masa depan negara. Yang masih setia menjadi sastrawan hidupnya kumuh dan tak dapat tempat, kecuali bila berhasil menjadi “maling-maling” besar, sebagaimana Rendra. Tetapi banyak sekali di antaranya justru “menikmati” keadaan tak berdaya tersebut karena bisa menyembunyikan kemalasan dan ketidakmampuannya.
Sambil pura-pura berteriak kesakitan, sastrawan bersangkutan tidur dan melakukan masturbasi. Mereka mengaum mengaku sudah dipasung rezim yang berkuasa, tetapi setelah reformasi di mana semua orang boleh ngapain saja, mereka juga tetap tak berbuat apa-apa karena memang “dari sononya” sudah tak berdaya.
Kenyataan yang juga harus diakui, adalah di masa jayanya sensor, keberanian saja cukup membuat orang menjadi sastrawan. Dan sastra secara rahasia berubah artinya sebagai seni memaki, seni menghujat, seni menista, seni mencuri. Tak peduli nilai karyanya, asal nampak bersikap menyakiti dan mengganggu penguasa, terasa sebagai karya yang berdarah dan besar.
Sastra yang semestinya punya potensi untuk membangun manusia (baca:bangsa) dari dalam jiwanya, jadi bangkrut. Yang tinggal adalah sastra sebagai barang komoditi. Sastra menyediakan diri sebagai paket-paket hiburan untuk mengeloco anggota masyarakat yang impoten karena kekuasaan sudah mengontrol masyarakat sampai daerah-daerah pribadinya di atas tempat tidur.
Sebagai barang komoditi sastra ternyata cukup berhasil. Jumlah buku, presentasi membaca, serta para penulis, bertambah jumlahnya. Penerbit-penerbit menjamur, sebagian menjadi raksasa yang menghasilkan duit besar. Setiap hari ada saja buku baru yang terbit. Media massa berkembang pesat, sehingga para konglomerat mulai ikut malang melintas di usaha para kuli tinta itu. Jumlah majalah dan koran nasional dan lokal, apalagi sesudah reformasi membludak.
Eskspresi komersial yang mempergunakan bahasa sebagai kekuatannya berkembang pesat. “Sastra” terpacu secara kwantitas. Dalam soal kualitas pun bukan tidak ada karya hebat yang lahir. Banyak sastrawan baru lahir yang tak kalah pamornya dengan sastrawan tua.
Sementara sastrawan senior pun terus produktif. Pramudya masih menulis di samping Rendra, Goenawan Mohammad, Budi Dharma, Umat Khayam, Sutarji C Bachri, Taufiq ismail (sekedar menyebut beberapa nama), ditambah lapisan baru seperti Afrisal Malna, Seno Gumira Aji Darmo, Ayu Utami dan sebagainya.
Memang secara perorangan sastra Indonesia dalam keadaan keos masih normal-normal saja. Artinya di ruang hidupnya yang kecil masih ada satu dua kutu busuk yang terus bekerja dengan setia. Dan hasilnya bagus. Tetapi sebagai potensi kultural, sastra Indonesia sangat tidak berkekuatan.
Jangan mengukur kekuatan dari analisa seorang kritikus yang meskipun berhasil menerbitkan pikirannya ke dalam buku, karena buku itu tidak ada yang membaca. (Rata-rata satu judul buku sastra yang dicetak 1000-3000 eksemplar, tidak habis dalam 5 tahun. Meskipun memang buku Ayu Utami, belum lagi satu tahun sudah mengalami cetak ulang berkali-kali).
Sastra sebagai sebuah batalyon kekuatan, sudah memble, karena dari 200 juta lebih bangsa Indonesia, yang membaca dan memanfaatkan sastra sangat sedikit, nyaris memalukan. Dalam satu usaha informal dan pribadi, penyair Taufiq Ismail, melakukan wawancara pada kelompok pelajar dari seluruh dunia.
Ia menghasilkan tabel yang sangat mengejutkan. Ternyata antara 20 s/d 30 buku yang dibaca oleh setiap pelajar di berbagai dunia selama periodenya sebagai pelajar, pelajar Indonesia mencatat 0 buku.
Tak heran kalau banyak mahasiswa sebagai perpanjangan dari pelajar Indonesia, tak mampu mempergunakan bahasa. Sebagai akibatnya, skripsi sebagai karya akhir di perguruan tinggi juga tidak ada gunanya, karena memang tidak bisa ditulis oleh mereka yang tidak punya pengalaman mengolah bahasa. Karena kalau dipaksakan pun akan menjadi dagelan, sudah banyak kasus terungkap skripsi ditulis oleh para penyedia jasa skripsi.
Taufiq kemudian membuat lobby pada mereka yang berwenang di Bapenas. Dari hasil diskusi tersebut, didapat kesepakatan bahwa kekeliruan besar yang sangat mendasar sudah terjadi bertahun-tahun. Sastra tak mungkin hanya sastra. Sastra adalah perangkat yang berhubungan langsung dengan semua kegiatan. Kalau itu lumpuh, secara tidak langsung akan cacad pula sektor-sktor lain.
Dari peristiwa itulah kemudian mengucur biaya untuk membuat acara temu sastra dengan guru-guru sekolah. Dengan amat entusias para guru bahasa dari berbagai sekolah bertemu langsung dengan para sastrawan, mendengarkan, berdiskusi tentang sastra. Mereka nampak begitu rindu, banyak yang terkejut, melihat sastra begitu dekat dengan berbagai persoalan sehari-hari. Sastra sangat relevan dengan kegiatan mereka dal;am rangka pembelajaran anak-anak bangsa.
Kegiatan temu sastrawan itu semula hanya dilakukan di Jakarta itu kemudian meluas ke kegiatan se-Jawa Barat-jawa Tengah dan diharapkan kelak akan menjadi kegiatan di seluruh Indonesia. Kegiatan tersebut kemudian disambung dengan kegiatan sastrawan masuk sekolah yang mendapat dukungan dari Ford Foundation.
Saya tidak mengatakan bahwa itulah cara yang terbaik untuk mengatasi ketidakberdayaan sastra. Namun itulah salah satu contoh bahwa ketidakberdayaan di samping dibicarakan, harus segera diatasi dengan tindakan. Dan bentuknya bisa bermacam-macam. Mulai dari yang memerlukan biaya sampai yang tidak memerlukan apa-apa bahkan bisa mendatangkan duit.
Dalam pemahaman saya, yang harus menjadi agenda sastra dalam menyongsong Indonesia Baru adalah pemberdayaan sastra. Menjadikan Indonesia –dalam pengertian sastra -kembali memposisikan sastra sebagai alat yang setara dengan peralatan kehidupan lain seperti teknologi, ekonomi, politik dan sebagainya.
Sastra adalah sebuah profesi dengan para sastrawan profesional sebagai kawulanya. Pemberdayaan sastra adalah bagian bagian dari pemberdayaan seluruh sumber daya/potensi Indonesia. Dengan mobilisasi seluruh potensi itu kita mencoba untuk menggarap target besar yang selama ini sudah diformulasikan oleh ucapan: gemah ripah-loh jinawi lewat sektor dan tanggungjawab para profesional.
Pemberdayaan sastra boleh jadi sudah merupakan isyu sangat klise sekarang. Karena itu dengan mudah kemudian bisa ditafsirkan kepada kesempatan untuk menuntut pemerintah memberikan perlindungan berupa subsidi dan penghapusan sensor yang tak lebih dari sedekah atas dasar belas kasihan dan seringkali lebih banyak menguntungkan satu dua individu sastrawan –bukan pada sastra-nya.
Pemberdayaan sastra adalah termasuk upaya membebaskan sastra dari dominasi satu pribadi. Baik dia bernama Rendra, Pramudya, Goenawan, Sutardji, Chairil dan sebagainya. Pemberdayaan sastra ada usaha membebaskan sastra dari berbagai bentuk penindasan dan pengemisan. Sastra bukan saja untuk seluruh sastrawan, bukan saja untuk sastra, tetapi juga untuk seluruh manusia.
Sastra tak mungkin, tak sanggup dan tak akan sudi berdiri sendiri. Sastra tak memerlukan isolasi. Bahkan sastra yang terisolir pun selalu mencoba menerobos untuk memecahkan kerangkengnya. Sastra memiliki kepentingan mutlak untuk bekerjasama dengan seluruh sektor kehidupan dan perangkat negara karena dia ingoin berbicara kepada setiap manusia/warganegara tanpa mengenal batas tingkat sosial, kecerdasan dan kepangkatan.
Bentuk kerjasama itu adalah kerjasama profesional, atas dasar kegunaaan kegunaan timbal-balik, bukan pemerasan atau pencekokan.
Upaya pemberdayaaan sastra dengan demikian adalah upaya menempatkan sastra pada posisi yang tepat dalam simponi kehidupan, sehingga sastra sebagai “sembako batin” jelas garisnya. Sebagai kebutuhan batin hubungan antara sastra dengan masyarakat tidak lagi menjadi ketegangan dan kucing-kucingan tetapi saling membantu, saling mempergunakan dan saling menyempurnakan.
Pemberdayaan sastra, dalam jalan pikiran saya sama sekali bukan pemberantasan potensi sastra sebagai barang komoditi. Karena potensi sastra sebagai apa pun, harusnya tetap dipupuk sebagai bagian dari kekuatan sastra.
Pemberdayaan di sini harus diartikan sebagai upaya penyeimbangan dari berbagai kekuatan sastra tersebut, sehingga ia bisa hadir utuh dalam dalam kehidupan serta berkembang sehingga selalu dapat menjawab tantangan zaman. Dan itu tak perlu disimpulkan sebagai penentangan kepada “penguasa” –selama kekuasaan adalah alat yang menjalankan kedaulatan rakyat.
Pemberdayaan sastra yang dalam benak saya, mau tak mau adalah pemberdayaan sastrawan, untuk sementara. Dengan satrawan yang tak berdaya tak akan mungkin ada sastra yang berdaya. Tanpa keberdayaan sastrawan Indonesia, sastra yang tak berdaya tak akan bisa dibuat berdaya dengan suntikan dan doping macam mana pun. Karena kita tidak berpikir tentang pemberdayaan semu, sebagai slogan atau etalase dalam sebuah pameran. Peberdayaan yang saya maksud adalah bagaimana sastra menjadi hidup dan berkesinambungan.
Dengan sastrawan yang berdaya, tak akan mungkin sastra menjadi lumpuh. Zaman sastra sebagai hasil orang ngelamun sudah lewat. Sastra bukan lagi nina bobok atau ekstasi untuk membuat orang teler. Sastra adalah hasil pikiran yang tak kurang pentingnya dari berbagai percobaan fisika di laboratorium, tak kurang pentingnya dari ekploarasi pencarian sumber-sumber kekayaan bumi di lepas pantai. Tak kurang pentingnya dari disertasi dan seminar-seminar ilmiah tentang bermacam pokok masalah secara mendalam.
Di dalam sebuah pertemuan antara sastrawan Indonesia dan sastrawan Perancis yang diprakarasai oleh Lembaga Kebudayaan Perancis di Bentara Budaya pada tahun 1990-an, terucap perbedaan posisi sastra di Perancis dan Indonesia. Di Perancis kata mereka, sastra sama kedudukannya dengan ilmu pengetahuan. Dengan sendirinra para sastrawan juga setara harkatnya dengan para ilmuwan.
Kedudukan tersebut tentu bukan status sosial. Tetapi status sosial tersebut hanya kesimpulan dari apa adanya sastra dan para sastrawan. Sebagai akibatnya maka satrawan pun memikul tanggungjawab ilmu pengetahuan atas profesinya.
Sastrawan sebagai pabrik sastra, mesti lebih dulu berdaya. Dan itu tak bisa dicapai hanya dengan slogan, teriakan, yel-yel atau demo. Mustahil terjadi dengan surat sakti, besluit atau tekanan satu kekuatan raksasa. Itu harus terjadi dan mulai dari hati pemerdayaan sastrawannya sendiri, sehingga masyarakat memperoleh bukti yang nyata bahwa sastra memang berdaya.
Mobilisasi sastra adalah pemberdayaan sastrawan untuk merebut kepercayaan masyarakat, bahwa sastra adalah penyampung lidah nasib mereka. Dan itu bukan sesuatu yang mustahil, karena kita memiliki tradisi sastra yang tidak memalukan. Kita memiliki Mpu Walmiki, Mpu Kanwa, Prapanca, Ronggowarsito, Hamzah Fansuri, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, Raja Ali Aji, Ida Pedande Dau Rauh dan sebagainya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar