Darah dibalas darah dan kematian dibalas kematian. Begitulah semua ini bermula.
Jauh sebelum peperangan itu dimulai, lahirlah seorang bayi perempuan dari rahim perempuan Dayak bernama Nyai Nunyang di pedalaman Kalimantan Tengah. Tepatnya Kuta Bataguh (benteng yang diperkuat), Pulau Kupang, Kapuas, Kalimantan Tengah. Penduduk di bantaran Sungai Kapuas menyambut kelahiran bayi perempuan itu ramah dan kompak, serta pesta tujuh hari tujuh malam. Semua pankalima bangsa Dayak di seantero Kalimantan diundang hadir dalam pesta itu. Bahkan, beberapa tetua adat diminta untuk mendatangkan ruh-ruh Tatu Hiang (leluhur). Dalam pelaksanaannya, Nyai Nyunyang mempersilakan penduduk desa dan juga tamu undangan untuk menghabiskan makanan dan tuak yang telah dipersiapkannya. Sempung, sang suami, turut bahagia atas kelahiran sang anak dan meriahnya pesta. “Semoga nasib baik menyertaimu, Nak!” Sempung berucap pelan. Hampir tak kedengaran. Dan, pesta makin meriah ketika beberapa penari masuk ke dalam lingkaran dan menghentak-hentakan kakinya ke tanah, maka terdengarlah gemirincing gelang kaki yang terbuat dari tembaga itu.
“Sempung! Mari menari denganku!” teriak seorang pangkalima perang yang berasal dari Sungai Seruyan. Dengan izin sang isteri, Sempung pun turun dari beranda rumah panggung, dan menari bersama panglima itu. Di atas beranda, seraya mengelus-elus sang anak, Nyai Nyunyang semringah menatap sang suami. Sementara di bawah rumah panggung anak laki-laki Dayak yang masih kecil-kecil itu dengan seksama memperhatikan jalannya pesta. Seorang anak, Sangalang (keponakan Nyai Nyunyang), diam-diam menyembunyikan bambu yang berisi tuak di pinggangnya. Rupanya, sejak pesta dimulai sampai pertengahan ini, mereka secara bergiliran menenggak tuak itu. Dan, mabok. Singkawang, kawan Sangalang, berjalan sempoyongan saat ia mencoba keluar dari kolong rumah panggung itu. Dan hanya beberapa langkah dari kolong rumah, Singkawang terperanjak ke tanah. Semua anak, termasuk Sangalang, berhamburan dari kolong rumah panggung itu. Para tamu undangan yang menyaksikan kejadian itu tertawa gelak-gelak. Tak lepas dari Nyai Nyunyang. Ia pun tertawa tergelak-gelak pula.
Di penghujung pesta, di hari ketujuh, sebelum pagi tiba dan menyemburkan cahaya jingganya itu, para penduduk desa telah sibuk mengangkat satu-satu para pangkalima yang mabok di tempat pesta dan para tamu undangan yang tergelepar di tepian Sungai Kapuas. Pesta yang melelahkan. Nyai Nyunyang dan Sempung meminta para penduduk desa berkumpul di tepi Sungai Kapuas. Tamu yang datang tak hanya dihormati ketika ia datang, tetapi juga ketika ia pergi. Itulah tradisi leluhur yang dipertahankan oleh bangsa Dayak dari generasi ke generasi. Semua tamu undangan telah pulang. Begitu pun dengan penduduk desa; ada yang pulang ke rumah, ada yang menjala ikan, dan ada yang pergi ke pehumaan (ladang).
Bayi yang dilahirkan Nyai Nyunyang empatbelas tahun lalu kini tumbuh menjadi Perempuan Dayak yang sangat-sangat cantik. Dan kecantikan Perempuan Dayak terdengar hingga ke pulau sebrang. Membuat adik dari seorang Raja Laut alias Raja Sawang dari kerajaan Solok (Sulu) yang terletak di Pulau Mindanao (Filipina Bagian Selatan) bernama Nawang begitu penasaran. Maka ia pun berangkat menuju ke Kuta Bataguh bersama dua orang pengawal setianya Daeng Dong dan Dayong Boloang. Setiap tamu yang datang musti dihormati. Begitulah pesan Tatu Hiang bangsa Dayak. Maka, Nyai Nyunyang dan Sempung pun mengadakan upacara penyambutan tamu di halaman rumahnya. Minum-minum tuak dan menari Manasai (tarian penyambutan tamu) adalah jantung dari upacara itu. Sakral hukumnya! Tak ada yang boleh mengganggu-gugat!
Di hadapan Nawang, Perempuan Dayak bersikap kokoh, kuat, ramah, dan tegar, dan sesekali menerbitkan senyuman pada Nawang. Sentak, Nawang pun terpesona. “Lelaki mana yang tidak merasakan seperti apa yang kurasakan ini?! O! Perempuan Dayak, aku musti mendapatkanmu tak bisa tidak!” gumam Nawang dalam hati. Upacara selesai, Nawang beserta dua pengawal setianya dan prajuritnya dipersilakan masuk ke dalam rumah yang telah disiapkan Nyai Nyunyang.
“Nyai Nyunyang yang terhormat dan bijaksana,” Nawang membuka percakapan, “Bagaimana caranya agar aku bisa meminang Perempuan Dayak, anakmu itu?”
“Nawang yang gagah, beribu maaf kuhaturkan. Anakku telah kutunangkan dengan sepupunya Sangalang. Beribu maaf.”
“Apa maksudmu, Nyai?”
“Dengarlah baik-baik, Nawang yang gagah. Anakku telah kutunangkan dengan sepupunya Sangalang. Keputusan itu sudah bulat dan tak bisa diganggu-gugat.”
“Tapi, Nyai, aku, aku jatuh hati pada Perempuan Dayak, anakmu. Katakanlah! Berapa emas yang harus kuberikan untuk menebus anakmu.”
Mendengar ucapan sarat hinaan itu, Nyai Nyunyang marah.
“Jaga ucapanmu, Nawang! Sudah kukatakan padamu, Anakku telah kutunangkan dengan sepupunya Sangalang!”
“O, maaf. Maaf, Nyai. Bukan maksudku,” Nawang merasa bersalah. Bersalah besar.
“Cukup!”
“Nyai Nyunyang yang terhormat dan bijaksana, ampunilah aku!”
“Enyah kau, Nawang!” ucap Nyai Nyunyang dengan bijaksana.
Beberapa penjaga rumah masuk ke dalam ruangan lengkap dengan mandau di pinggang mereka.
Nawang yang merasa bersalah akhirnya pergi dari Kuta Bataguh malam itu juga.
“Nyai tak apa?” tanya seorang penjaga.
“Aku tak apa. Kembalilah berjaga.”
Malam yang mengecewakan bagi Nawang. Namun dalam hatinya ia bertekad akan kembali ke Kuta Bataguh. “Perempuan Dayak musti jadi isteriku. Tak bisa tidak!” tekad Nawang.
Perempuan Dayak yang tak tahu perkara itu, Nawang hendak meminangnya, mengisi hari-hari seperti biasanya; berlatih sendeng (ilmu bela diri khas bangsa Dayak), belajar membuat mandau pada seorang pandai besi, dan ikut berburu. Orang-orang di Bantaran Sungai Kapuas sangat-sangat sayang pada Perempuan Dayak itu. Mereka menjaganya melebihi mereka menjaga diri mereka sendiri. Sementara Sangalang masih dalam mengayau (berburu kepala musuh) bersama kawan-kawannya.
Beberapa hari kemudian, Nawang bersama dua pengawal setianya kembali datang ke Kuta Bataguh. Tanpa membuang-buang waktu ia langsung menghadap Nyai Nyunyang. Namun kali ini Nawang memaksa Nyai Nyunyang untuk mempertemukan dirinya dengan Perempuan Dayak itu. Permintaan itu pun dikabulkan Nyai Nyunyang. Nawang dan dua pengawal setianya itu menghampiri Perempuan Dayak yang sedang belajar menganyam rotan di Bentang. Dan dengan sikap kokoh, kuat, dan tegar, serta senyuman Perempuan Dayak menerima kedatangan Nawang.
“Ibuku sudah menceritakan semuanya padaku, Nawang. Tapi, jawabanku sama dengan jawaban Ibuku. Aku telah bertunangan. Dalam bangsa-ku, sangatlah dilarang untuk menyakiti hati pasangannya. Dan aku, menjaga adat istiadat itu. Jadi, apapun dan bagaimanapun cara yang kau lakukan, semuanya sia-sia. Aku takkan menyakiti hati pasanganku.”
Mendengar ucapan Perempuan Dayak, Nawang malu bukan kepalang. Dan rasa malu itu membuatnya gelap mata. Ia terus-menerus memaksa Perempuan Dayak untuk menerima lamarannya. Namun tidak semudah mencuci tangan sehabis makan dengan daun kemangi, begitu saja hilang baunya, Perempuan Dayak tetap kokoh pada pendiriannya; ia takkan menyakiti hati pasangannya, Sangalang.
“Cukup, Nawang! Aku takkan berubah haluan!” ucap Perempuan Dayak dengan nada sedikit tinggi.
Di sinilah awal peperangan itu.
Nawang yang gelap mata terus memaksa dan mencoba meraih tangan Perempuan Dayak, dan hal itu membuat Perempuan Dayak merasa dilecehkan sebagai Perempuan Dayak. Dengan sigap Perempuan Dayak itu mengambil Duhung Raca Hulang Jela (senjata pusaka yang matanya berbentuk tombak) terbuat dari sanaman matikei (besi yang mudah bengkok, tetapi mampu memotong besi) yang tergantung di dinding, lalu dengan cepatnya menikam Nawang yang tak menyangka akan serangan mendadak itu.
Melihat Nawang yang roboh bermandikan darah, pengawal setianya Daeng Dong dan Dayoh Boloang marah. Dan kemudian diikuti seluruh pasukan yang turun dari kapal mengamuk menuntut balas. Namun aksi mereka sia-sia saja, Perempuan Dayak yang sudah gelap mata dibantu warga Kuta Bataguh nyaris membantai seluruh pasukan musuh. Sisa pasukan musuh yang menyerah diampuni dan dijadikan jipen (budak)—konon, setelah kematian Nawang, seorang Raja Utara bernama Raja Nyaliwen juga datang ke Kuta Bataguh untuk melamar Perempuan Dayak itu, tetapi nasib yang sama seperti Nawang adalah hadiah untuk Raja Nyaliwen itu. Mati.
“Kalian tak bisa meremehkan kami!” teriak Perempuan Dayak.
Kematian Nawang seperti hembusan angin; tak terlihat, tetapi dapat dirasakan. Itulah yang membuat sang kakak, Raja Sawang, berniat membalas kematian sang adik. Darah dibalas darah dan kematian dibalas kematian.
Mendengar bahwa akan ada pembalasan dendam dari Raja Sawang, Nyai Nyunyang khawatir pada Perempuan Dayak. Ia pun jatuh sakit dan membawanya naik ke Sorga alias mati. Dalam kesayuan yang teramat dalam, Perempuan Dayak dan semua penduduk desa mengadakan upacara ritual kematian sang ibu. Di sela-sela kerumunan, Perempuan Dayak menitikan air mata.
Upacara kematian selesai.
Tiga hari kemudian, Perempuan Dayak menyadari bahwa situasi dirinya dan penduduk desa Kuta Bataguh terancam. Ia pun kemudian mengirimkan Totok Bakaka semacam sandi berupa Lunju Bunu, yaitu, sebatang tombak yang pada bagian matanya diberi kapur sirih sebagai tanda meminta bantuan karena ada bahaya besar mengancam. Totok Bakaka itu dikirim kepada adiknya Bungai serta saudara sepupunya Tambun, Rambang, dan Ringkai di Tumbang Pajangei yang kemudian diteruskan ke seluruh kampung di sepanjang Sungai Kapuas; Murung, Kahayan, dan Katingan.
Tak tanggung, ada duapuluh lima pangkalima serta pasukannya berjumlah kurang lebih lima ribu orang yang membantu Perempuan Dayak dalam mempertahankan Kuta Bataguh. Setelah semua berkumpul di Kuta Bataguh, Rambang, dan Ringkai seperti kebiasaan Suku Dayak dalam menentukan semua langkahnya, meminta petunjuk dengan memanggil burung elang lewat upacara manajah antang (upacara meminta petunjuk pada burung elang). Burung elang yang datang itu bernama Antang Kabukung Kawus yang berdiam di Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting, hulu Sungai Kahayan. Dari arah datangnya dan patinju (tempat hinggap burung elang yang ditentukan untuk sesuatu maksud) yang dihinggapinya, elang itu meramalkan bahwa mereka akan menang.
“Aku bersumpah! Aku akan mencuci rambutku dengan darah Raja Sawang!” ucap Perempuan Dayak di hadapan mereka yang bersedia membantunya.
Ramalan itu benar! Pasukan Raja Sawang takluk dalam peperangan itu. Tak terhitung jumlah yang gugur dalam peperangan seharian penuh itu.
Setelah perang itu usai serta mayat-mayat dikuburkan baik-baik, dilaksanakan upacara membersihkan tanah air mendinginkan negeri, maksudnya agar bumi kembali sejuk dan tetumbuhan kebun ladang memberikan hasil lagi, sebab telah tertumpah darah panas akibat perang itu. Sekaligus dilaksanakan pula upacara meneguhkan hati para pemimpin pertempuran dan seluruh mereka yang telah berperang, tujuannya meminta ampun kepada-Nya terhadap perbuatan membunuh manusia dalam perang itu. Sebelum mengadakan pesta itu, Perempuan Dayak mengundang semua bangsa Dayak dari seluruh Kalimantan. Dalam pesta itu sudah berkumpul kurang lebih tigapuluh lima wakil bangsa Dayak. Pesta yang meriah dan penuh kesayuan.
“Saudara-saudaraku, terima kasih atas bantuan kalian. Aku akan membalas jasa kalian,” ucap Perempuan Dayak persis sang ibu, Nyai Nyunyang.
Sesudah kedua upacara itu dilaksanakan, Rambang lalu mengusulkan dilangsungkan saja perkawinan Sangalang dan Perempuan Dayak.
“Saudara-saudara? Bagaimana kalau pernikahan Sangalang dan Nyai Undang segera dilaksanakan saja? Mumpung semua keluarga masih berkumpul serta agar tidak ada lagi lamaran orang yang membuat permasalahan.”
Usulan Rambang disetujui para pangkaliman dan penduduk desa Kuta Bataguh. Dan malah bukan hanya satu pasangan saja melainkan empat pasangan yang juga akan menikah, yakni, Bungai dengan Karing, Tambun dengan Burou, Ringkai dengan Timpung, serta Rambang sendiri dengan Lamiang. Seluruh keluarga Lambung (Maharaja Bunu), Lanting (Maharaja Sangen), dan Karangkang (Maharaja Sangiang) berkumpul ke Kuta Bataguh, untuk menyelenggarakan pernikahan lima pasangan itu. Dan kau tahu, Saudara? Pesta itu berlangsung selama empat puluh hari empat puluh malam. Bukan main meriahnya.
Dan jauh di Pulau Kantan, Mangku Djangkan menggelar pesta besar. Ia menikahkan Njaring, anak Ingoi, dengan Manjang, anaknya sendiri. Pesta kali ini dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam lamanya.
Yogyakarta, April 2017 http://sastra-indonesia.com/2021/08/perempuan-dayak/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar