Kamis, 19 Agustus 2021

Menulis Wajah Rinus

untuk Evi Nunhala
 
Felix K. Nesi *
Jawa Pos, 21 Juni 2020
 
SESUDAH misa hari Minggu yang kudus itu, Rinus bertanya apakah saya bisa membantu ia memukuli Danker.
 
Danker yang mana, saya bertanya, yang sopir oto Widuri atau tukang bangunan dari Malaka?
 
“Yang sopir,” Rinus menjawab.
 
“Apa yang ia lakukan kepadamu?”
 
“Ia mencolek pantat Evi, dua hari lalu. Evi marah, tetapi ia bilang, ‘Pantatmu bagus, lalu kenapa? Mau lapor saudaramu yang banci itu?’”
 
“Danker bilang begitu?” saya bertanya.
 
“Tanya Evi kalau tak percaya,” ia menunjuk Evi dengan kepalanya.
 
Saya menoleh, mengikuti anggukannya. Di pintu kapel orang beriringan, tua dan muda, memeluk Alkitab atau menggendong anak-anak. Dari samping patung Bunda Maria, Evi yang mengawasi kami menganggukkan kepala sambil melirik ibunya. Ibunya tidak melihatnya—ia sedang berbicara kepada seorang ibu lain dengan bibir mencibir, mungkin tentang pakaian seseorang yang kurang pantas.
 
Saya berpaling, melihat langkah saya. Matahari meninggi, mengintip jalanan lewat pundak orang-orang beriman. Bayangan kami berkejaran dengan langkah kaki. Dedaun kering yang basah oleh hujan subuh bergerisik saat beradu dengan sepatu-sepatu gereja.
 
“Bagaimana?” Rinus bertanya.
 
“Kau butuh tiga orang untuk memukuli seorang sopir,” saya berkata. “Sopir menyimpan kunci roda dekat pintu dan punya seorang konjak [1].”
 
“Saya akan mengajak Jofu.”
 
“Joni Nafu?” saya bertanya. “Ia lari dari Tangerang sesudah membunuh preman pasar. Kau tidak akan mengajak pembunuh untuk memukuli orang, kecuali kau siap melihat mayat.”
 
“Bagaimana dengan Yuven?”
 
“Yuven anak Maubesi?”
 
Ia mengangguk.
 
“Bisa. Tetapi, jika sopir itu adalah Danker, kau akan butuh empat orang untuk menghajarnya.”
 
Rinus menarik napasnya.
 
“Dia melecehkan Evi. Mempermalukan saya. Saya akan tetap menghajarnya, dengan atau tanpa kalian.”
***
 
Ibu Evi adalah wali baptis Ursula, adik saya yang bungsu. Keluarga kami sangat dekat, terlebih sesudah ayah mereka meninggal. Kami berbagi rasa yatim yang sama. Sesekali Ursula menginap bersama Evi, sesekali Evi datang ke rumah. Saya mencintai mereka dan akan selalu membela mereka.
 
Namun, siapa yang tidak kenal Danker? Nama aslinya Daniel, ia samarkan menjadi Danker untuk memberi kesan angker. Tahun 1992 ia dibawa dari Dili oleh seorang tentara dan dibesarkan di kodim. Seperti umumnya anak haram Kodim, ia malas sekolah dan rajin berkelahi. Namanya busuk dari kota sampai ke desa-desa.
 
Itulah kenapa, sebelum membuat keputusan, saya menelepon Om Isak.
 
“Rinus ingin memukul Danker.”
 
“Danker si tukang batu? Pukuli saja, siapa yang mau membelanya?”
 
“Bukan. Danker yang sopir Widuri.”
 
Om Isak tidak menjawab.
 
“Bajingan itu mencolek pantat saudarinya dan menyebut ia banci.”
 
“Tunggu. Siapa itu Rinus?”
 
Saya kesulitan menjelaskan siapa itu Rinus. Nama keluarga dari ayahnya tidak terlalu dikenal di kota ini. Di zaman kerajaan, mereka hanyalah rakyat jelata. Sesudah Timor bergabung dengan Indonesia pun, mereka tetap jelata.
 
Namun, Om Isak mengenal ibu Rinus. Ayah dari ibu Rinus bermarga Sufa, ia pernah menjadi anggota dewan. Saya bilang, ibu Rinus adalah wali baptis Ursula. Mereka sudah seperti keluarga bagi kami, seharusnya Om Isak juga menganggapnya keluarga, membelanya.
 
“Saya tidak suka ada masalah.” Hanya itu kata Om Isak.
***
 
Di Timor Barat, yang benar-benar mengontrol hidupmu bukanlah ayah atau ibumu. Tetapi, ia adalah atoin amaf, yaitu saudara laki-laki dari ibumu. Kau hidup untuk mematuhi mereka, bertuhan kepada mereka. Saat kau lahir, mereka yang berurusan dengan ari-arimu. Saat kau mati, mereka yang menutup matamu. Jika mereka tak datang saat putus napasmu, tak akan ada yang memandikan mayatmu, tak akan ada yang menggali kuburmu. Kau akan membusuk di tempat tidur, dimakan serangga dan kutukan.
 
Itulah kenapa saya menelepon Om Isak. Ia satu-satunya saudara ibu, dan ia punya pengaruh di kota ini. Ia memenangkan sahabatnya, seorang preman pasar, menjadi bupati dua periode. Ia pandai bernegosiasi dan mengenal semua orang di kota, dari tukang pukul sampai polisi, kontraktor sampai tentara perbatasan.
 
Namun, Om Isak kelihatannya tidak begitu suka pada ide memukuli Danker. Sebagai anak kodim, walau hanya haram, Danker punya pengaruh. Banyak orang yang akan bekerja untuknya.
 
Malam berikutnya, sudah agak larut ketika saya pulang dari toko buku. Kota menjadi lebih dingin sejak pohon turi berbunga. Kabut tipis jatuh pukul delapan dan orang-orang enggan keluar dari rumah. Toko-toko tutup lebih awal, hanya warung orang Sabu yang buka sampai larut. Di gang dekat rumah, empat tukang ojek berdiang sambil membicarakan sesuatu yang membuat saya berhenti.
 
Saya bilang selamat malam, apakah saya boleh ikut berdiang?
 
“Mari, Kakak Penulis,” yang paling besar mempersilakan. “Apakah ada bacaan baru yang bagus?” Ia berbasa-basi.
 
Saya menggeleng. “Pengarang sekarang lebih suka bergosip daripada menulis. Mereka hanya menghasilkan sampah yang membosankan.”
 
Mereka tertawa. Seseorang menuangkan sopi dan menyodorkannya kepada saya. Saya minum sekali tenggak dan mengembalikan sloki. Satu putaran sopi dan kami tidak berbicara. Hanya suara jangkrik dan putih kabut yang mengelilingi. Mereka masih ingusan ketika saya sudah kebut-kebutan dengan sepeda motor—mereka kelihatan sungkan duduk satu api dengan saya.
 
“Apa yang kalian bicarakan tadi?” Saya bertanya sesudah beberapa jenak.
 
“Rinus ingin memukuli Danker,” seseorang berkata, senang bahwa suasana menjadi cair.
 
“Dia pasti mampus kena hajar, hahah,” yang lain menyambung.
 
“Dari mana kalian tahu?” saya bertanya.
 
“Ia mengajak Yuven, kemarin. Yuven belum kasih jawab.”
 
“Si Anjing Yuven,” seseorang menyambung, “menambal ban bocor saja dia tidak sanggup. Dia akan semaput kena hantam kunci roda.”
 
“Apakah kalian mau membantu Rinus?” saya bertanya.
 
“Membantu memukuli Danker? Huh. Siapa yang cukup gila untuk memukuli anak kodim?”
 
“Ya, saya tidak mau berkelahi. Zaman ini, satu kali pukul bisa langsung kena pasal.”
 
“Kecuali…” yang lain menyambung,” kecuali kalau Rinus bergaul di tempat ini. Tak perlu diminta, pasti kita bantu. Tetapi, dia jarang main di sini. Berdiang, minum-minum… Hari-hari di rumah saja. Kalau melihat kita, lagaknya seperti kita pencuri. Jika ada masalah begini, siapa mau membantu?”
 
Saya mengapresiasi keputusan mereka dan berpamitan.
 
“Kakak,” seseorang memanggil, ”sesekali masukkanlah kami ke dalam cerita.”
 
Saya mengangguk. Bukan masalah besar untuk memasukkan empat pengecut ke dalam cerita pendek saya.
***
 
Ursula pulang sekolah ketika saya sedang memberi minum sapi. Wajahnya pucat seperti habis bertemu Soeharto.
 
“Kakak kenal Denjer?” ia bertanya.
 
Siapa itu?
 
“Konjak oto Widuri.”
 
Saya menggeleng.
 
“Dia bilang ke saya, ‘Kasih tahu kakakmu yang penulis itu untuk menjauh dari masalah. Atau…’”
 
“Atau apa?” saya bertanya.
 
“Atau tangannya tidak akan bisa lagi dipakai menulis.”
 
“Dia bilang begitu?”
 
Ursula mengangguk.
 
“Berapa umurnya?”
 
“Enam atau tujuh belas.”
 
Bangsat!
 
Saya telepon Rinus.
 
“Konjak Widuri itu masih anak-anak,” saya berkata.
 
“Semua konjak adalah anak-anak,” Rinus menjawab. “Tetapi, mereka ingin menjadi sopir. Mereka tidak takut mati untuk membela sopir.”
 
“Sudah dapat berapa orang?” saya bertanya.
 
“Yuven menolak, tidak bisa ikut. Atoin amaf-nya penyelundup motor, berteman baik dengan komandan perbatasan. Dia tidak mau ada masalah dengan anak tentara.” Diam sejenak. “Tetapi, Jofu bersedia.”
 
“Kau ajak Jofu?”
 
“Memangnya mau ajak siapa lagi?” Ia terdengar sengit. “Tidak ada anak gang yang mau membantu.”
 
Saya terdiam.
 
“Kau ikut?” ia bertanya.
 
“Saya ikut. Jauhkan Jofu dari barang tajam. Siap lerai jika keadaan jadi kacau.”
***
 
Kepala saya seperti kena tikam setiap kali mencoba mengurutkan kembali kisah ini. Sakit bukan main. Tidak ada satu pun rencana yang berjalan dengan baik. Danker pasti membayar sangat mahal. Atau Jofu yang telah berutang banyak kepadanya.
 
Samar saya dengar suara Evi, menangis. Ursula duduk di depan saya. Ia sudah bosan menangis dan mengomel. Ibu terlalu sedih untuk datang ke rumah sakit. Ia hanya berkirim pesan dengan Ursula. Om Isak marah besar dan tidak mau mendengar apa-apa.
 
Kami mencegat oto Widuri sebelum pukul enam sore, di depan sekolah pertanian. Cara terbaik untuk memukuli orang adalah menjelang magrib. Kau akan punya cukup waktu untuk menghajarnya dan bisa kabur begitu hari mulai gelap. Malam akan memberimu cukup waktu untuk kabur –kau bahkan bisa menyeberang ke Timor Leste.
 
Hampir magrib, Jofu tidak juga kelihatan. Tetapi, Rinus tidak sabar lagi.
 
“Dengan atau tanpa Jofu, kita akan tetap menghajar Danker.”
 
Rinus telah membawa dua rantai sepeda motor, panjang dan masih berminyak, ia tumpuk di dekat kakinya. Jaga-jaga kalau Danker keluar dengan kunci roda, katanya.
 
Saya tidak membawa apa-apa. Saya hanya akan mengurus konjaknya, binatang setengah umur yang telah mengancam saya. Saya akan bikin dia menyesal telah mengincar jari seorang penulis.
 
Oto lain pergi dan pulang, tetapi Widuri belum juga kelihatan. Sopir-sopir dan konjak-konjak berwajah cemas melihat kami berdiri di tepi jalan, dengan rantai motor bertumpuk di rerumputan. Bukan tidak mungkin angin meniup kabar dan Danker telah tahu bahwa kami ingin mencegatnya. Jofu belum juga kelihatan. Mungkin buron itu takut kena tangkap.
 
Rinus sudah tidak peduli. Ia tetap akan menghajar Danker.
 
Saat oto Widuri akhirnya muncul dari pertigaan warung bakso, Rinus berdiri di tepi jalan dan memberi tanda stop. Saya bersiap menghajar si konjak. Danker yang menyetir tidak berhenti baik-baik. Ia melaju sedikit lebih cepat, lalu membanting setir ke kiri dan mengerem mendadak.
 
Saya melompat ke samping. Rinus memutar cepat dan sempat memukuli Danker di balik pintu. Saya lihat wajah Danker kena sambar tinju. Pokpak! Tetapi, Danker mendorong pintu dengan keras dan Rinus terlempar ke jalanan. Dan yang keluar dari pintu utama oto itu adalah alasan Jofu tidak muncul-muncul.
 
Jofu turun dari oto sesudah konjak dan tiga orang berandal lain melompat ke luar. Konjak dan tiga orang berandal itu langsung mengeroyok saya. Samar saya lihat Jofu dan Danker mengelilingi Rinus. Danker memegang kunci roda, Jofu membawa pisau komando. Rinus yang terjatuh tidak sempat lagi mengambil rantainya.
 
Membayangkan apa yang akan terjadi, marah dan panik membuat saya kalap. Tetapi, empat orang bajingan setengah umur itu membuat saya tidak berdaya. Saya dihajar dari kiri dan kanan, bertubi-tubi. Seseorang menghantam tengkuk saya dengan batu. Seorang lain menghancurkan jari-jari saya. Kini kepala saya perih bukan main setiap kali saya mencoba mengurutkan kembali apa yang terjadi. Saya tidak akan melupakan wajah Rinus. Erangan terakhirnya dengan pisau di jantung. Saya ingin menuliskannya sekarang, menuliskan wajahnya, sebagai ingatan terakhir. Tetapi, saya tidak bisa menggerakkan jari-jari saya.
 
Oetimu, 2020
 
KETERANGAN: [1] Konjak (Melayu Timor): kondektur

*) FELIX K. NESI, Emerging sopi-maker, tinggal di Bitauni, NTT. Bukunya berjudul Orang-Orang Oetimu (2019). http://sastra-indonesia.com/2021/08/menulis-wajah-rinus/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati