Minggu, 07 Februari 2021

KESADARAN EKSISTENSI DAN MANUSIA SEBAGAI PERISTIWA (II)

Catatan Kesan atas Novel “Ngrong” Karya S. Jai

A. Syauqi Sumbawi *
 
Spiritualitas dan Manusia sebagai Peristiwa
 
Kebebasan, itulah yang dijalani ketika Randu menjadi orong-orong. Hal yang sama juga ketika dia mencebur (kembali) dalam relasi dan kegiatan seni budaya di Surabaya. Berhenti sejenak di sini, kehadiran novel “Ngrong” ini cukup penting menjadi catatan mengenai proses berkesenian di kota tersebut, baik pengarang sendiri maupun para seniman lainnya—dengan nama tercantum— di bidang sastra, rupa, musik, teater dan sebagainya. Terutama bagi kalangan di luar kota. Dan tentu saja catatan tersebut dari sisi pengalaman S. Jai sendiri.
 
Kemudian pada suatu malam acara pembacaan puisi di sebuah kafe dekat makam Peneleh dalam rangka peringatan menjelang empatpuluh hari kematian seorang penyair, Randu dan Ratih bertemu secara tak sengaja. Pertemuan dengan latar narasi tentang kematian dan puisi, diungkapkan sebagai berikut:
 
Kematian kukira tak pernah bisa didekati sungguh atau dijauhi, sekalipun aku bersandar di pagar makam Peneleh. Pun kematian juga tak dapat ditangkap dengan tangan masa lalu atau masa depan. Barangkali memang kuakui dan kurasakan berada di makam Peneleh ini, aku seperti melancongi kematian di masa silam. Pertanyaannya, apakah ini benar-benar penting bagiku, kini? Bukankah ini sekadar perihal sejarah?
 
Lantas tentang puisi, nyatalah benar aku tersedot energi puisi. Hanya saja aku tak secerdas puisi itu sendiri menyingkap sebagai suatu alasan keberadaan. Aku tak bisa menguraikan, terlebih perihal misteri kerinduanku pada suatu perjumpaan—entah dengan apa dan siapa, yang fatalnya baru terbit sejak kejumudan menguasai diriku belakangan ini. (hlm. 217-218)
 
Kematian dan sejarah yang menyiratkan kenangan yang tak berubah, puisi dan kerinduan yang kental dengan daya spiritualitas, serta dorongan dalam diri yang sulit dijelaskan—semacam keyakinan pada takdir yang kerap terabaikan—, dimana kesemuanya seperti menghadirkan jawaban atas keberadaan. Dan itu adalah Ratih Keswari.
 
Sejak malam itu, kerinduan yang menggumpal selama duapuluhtiga tahun perlahan mencair. Membasahi dua jiwa yang kering, dimana keduanya terikat dalam ikatan pernikahan tanpa dasar cinta. Bersama Ratih, Randu seperti menemukan cinta sejatinya. Tak lagi melihat dirinya seperti orong-orong, melainkan seekor burung jantan yang terkurung dalam sangkar. Dia gembira karena ada seekor burung betina menclok dan menemaninya.
 
Mengetahui sepasang burung saling bersahut kicauan di halaman rumah, si istri lantas membuka pintu sangkar. Membebaskan Randu dari ikatan pernikahan dengannya.
 
Akan tetapi, Ratih bukanlah seekor burung. Dia adalah belantara yang penuh misteri. Dalam lingkaran spiritualitas—majlis dzikir yang diikutinya—Ratih ibarat belantara yang belajar berdamai dengan diri sendiri, untuk menjadi yang semestinya. Belantara yang merindukan kicau burung. Tidak hanya Randu, tapi untuk semua, yang menandakan keberadaannya yang damai.
 
Yah, inilah gambaran imajiner saya mengenai apa yang terjadi pada Randu dan Ratih setelah pertemuan kembali itu. Gambaran ini sengaja saya kemukakan mengingat sub-bahasan salah satunya mengenai spiritualitas, dimana burung kerap menjadi simbol. Tapi, burung ini bukan burung yang itu. Ups! He7x.
 
Ah, hanya bercanda. Maklumlah, saya perlu bercanda ketika menuliskan bagian ini. Menyesuaikan dengan muatan psikologis “si burung” Randu yang mlelek, biaya’an, dan pencolat-pencolot ketika bersama Ratih. Keadaan dan suasana seperti ini hanya terjadi ketika bersama Ratih. Selain dari itu adalah kemurungan, ngelangut, ndleming, seperti suasana yang terasa dari bunyi vokal (u) dari panggilan namanya “Randu”. Dari sebuah buku, itu yang pernah saya baca mengenai pembahasan suasana dalam puisi. Maklumlah, banyak juga puisi bertebaran di bagian ini. Kalau tidak percaya, silahkan anda tuntaskan membaca novel ini. Bahkan, Ratih pun adalah puisi. Randu mengungkapkannya dalam dialog, misalnya sebagai berikut:
 
“Karena kau bukan seperti Dewi Mus. Juga bukan Dewi Mus. Kau bukan penyair. Tapi bagiku kau adalah puisi itu sendiri.”
“Sembarang.”
“Hehehe… gampang.” (hlm. 242)
 
“Aku mencintaimu bukan karena sosokmu, Ratih. Aku mencintaimu sebagaimana puisi. Kau adalah puisi. Sebagaimana pada sejarah aku tak menyukai tokoh, namun aku mengagumi peristiwa, keadaan, dan suasananya.” (hlm. 247)
 
“Apa maksudmu karena kita sama-sama telah punya keluarga?”
“Oh, bukan. Itu bukan masalah. Itu takdir yang lain, Randu.”
“Lalu? Apa?” desakku.
“Coba tengok masa lalumu, tak jauh dari hari ini.”
“Oalah. Jangan kau permalukan aku, ah. Ini artinya aku berubah karena telah tumbuh benih baru dalam perjalanan hidupku, karena menemukanmu, Ratih.”
“Masak? Apa sebetulnya ini bukan karena kita telah menemukan diri sendiri?”
“Hmmm… Sembaranglah. Suka-suka.”
“Oh iya, aku lupa. Bilang saja kamu telah menemukan puisi!”
(hlm. 256-267)
 
Ratih adalah puisi. Randu tersedot energi Ratih, yang saat itu berada dalam lingkaran spiritualitas. Dan ungkapan ‘Apa sebetulnya ini bukan karena kita telah menemukan diri sendiri?” mengingatkan kita pada sebuah hadits yang masyhur dalam dunia tasawuf, ‘man arofa nafsahu faqod arofa rabbahu’—barangsiapa mengenal dirinya, maka dia (bisa) mengenal Tuhannya—.
 
Pada episode kebersamaan Randu dan Ratih berikutnya, terutama setelah saling bertukar cerita, narasi tentang dunia tasawuf kemudian mengalir dalam novel ini. Kisah para nabi, para wali, dan para sufi diungkapkan, baik dalam bentuk cerita rakyat (wali di Jawa-Madura) maupun tentang pencarian menuju Dzat wajibul wujud. Beberapa tokoh sufi periode klasik, misalnya Jalaluddin Rumi, Rabi’ah al-Adawiyah, Al-Ghazali, hadir dalam narasinya.
 
Semua itu merupakan inisiatif Ratih. Dia melihat bahwa keterasingan dan kondisi kering spiritual yang dialami oleh Randu, disebabkan oleh pemahaman agama yang tidak seimbang antara yang lahir dengan yang batin. Hal ini disebabkan sejak kecil selalu dikenalkan dengan visi agama yang hitam-putih. Antara dosa dan pahala. Surga dan neraka. Sebagaimana kecenderungan dalam masyarakat. Dan kini, apa yang diupayakan itu telah berproses. Randu mulai mendekat pada spiritualitas. Juga hikmah.
 
Itulah yang diharapkan oleh Ratih setelah pertemuan kembali itu. Bukan menjadi kekasih yang diikat dalam pernikahan, sebagaimana harapan Randu. Karena kehadiran Ratih hanya untuk menjelaskan cintanya, yang membuatnya sulit berdamai dengan diri sendiri. Dia tak ingin menjadi apa-apa dalam hidup Randu. Hanya semacam puisi.
Usai semua yang terjadi, termasuk lepasnya hubungan dengan yang lain, Randu pun merasa bebas. Merdeka bersama cintanya. Dia tak peduli dengan nilai dan identitas yang diberikan orang lain. Tak akan mencari lagi memaknai keberadaannya. Hal tersebut diungkapkan pada bagian akhir (epilog) novel ini, yaitu:
 
Setelah hampir 10 tahun, aku memutuskan keluar dari rong. Aku pindah dari rumah indekos tempatku selama itu menepi dan menyepi. Aku belum berpikir hendak menuju ke mana. Namun aku tidak pernah takut menjadi gelandangan, bahkan dengan mbambung menjadi gedibal. Terlebih Ratih telah menyediakan segenap dirinya rumah bagiku. Ketika meninggalkan gang dan tempat persembunyianku selama ini, aku tak lagi sepenuhnya merasa diri selaku sosok manusia. Mungkin semacam lelaki. Barangkali semacam puisi yang berdiri di tepi gang. Bukan milikku, tapi milik Ratih. Kami boleh jadi telah lebur… (hlm. 387)
 
Randu telah lebur. Begitu juga Ratih. Bukan lagi sebagai eksistensi. Bukan lagi keadaan-keadaan atau suasana-suasana. Tapi ketahuilah, sebelum manusia terlibat dalam ilmu pengetahuan, filsafat, cipta puisi dan sebagainya, mereka lebih dulu curiga, yakni peristiwa. Kauniyah.
 
“Ngrong” dan Referensi (Karya) Sastra
 
Secara umum, novel ini menghadirkan manusia dalam upaya perjuangan meraih dan memaknai eksistensi dirinya. Kondisi kering spiritual dan aburditas hidup menjadi buhul dari keterasingan yang dialaminya. Pelarian diri adalah cara termudah, hingga memilih orong-orong sebagai esensi dari keberadaannya, sekaligus jalan pengasingan. Bersama kebebasan orong-orong, dia siap menyongsong masa depannya, yang tak lain adalah kepunahan. Akan tetapi, kehadiran seseorang menghidupkan kenangan dan benih cinta pada dirinya. Benih cinta yang belum sempat terjelaskan di masa lalu. Cinta yang menariknya pada energi puisi dan spiritualitas.
 
Kehadiran novel ini agaknya dimaksudkan S. Jai sebagai kritik terhadap filsafat eksistensialisme dan absurdisme, yang barangkali dilihatnya sebagai pemikiran yang belum selesai. Melalui tokoh Randu, dia seperti menunjukkan kepada kita bahwa fase terakhir dari perjalanan kesadaran manusia, sebagaimana yang dijelaskan oleh Muhammad Iqbal, yaitu mistik, ketika sumber-sumber terakhir dari hukum di kedalaman hati nuraninya “menggerakkan” pendewasaan manusia.
 
Hal lain yang menarik dalam novel ini adalah diungkapkannya karya-karya sastra lain dengan muatan tema yang katakanlah serumpun, yakni perjuangan hidup manusia. Keterasingan, kebebasan, dan sebagainya. Di antaranya adalah novel/ roman Belenggu karya Armijn Pane, Metamorphosis karya Franz Kafka, Arus Balik karya Pramudya Ananta Toer, Kitab Lupa dan Gelak Tawa karya Milan Kundera. Khotbah di Atas Bukit karya Koentowijoyo, dan banyak lagi. Selain bisa menjadi referensi (bagi pembaca), agaknya beberapa karya tersebut dimaksudkan oleh S. Jai semacam tinjauan pustaka, atau penelitian-penelitian terdahulu, sebagaimana karya ilmiah, semisal skripsi, tesis, atau disertasi. Saya menduga, hal tersebut dilakukan agar pembaca bisa tahu di mana posisi novel “Ngrong” di antara novel-novel tersebut.
 
Lepas dari keberadaannya sebagai karya utuh, inilah catatan pembacaan saya. Dan sebelum perbedaan pendapat mengenai novel ini terjadi di antara pembaca—termasuk saya—, baiknya hal tersebut didahului dengan membaca novel ini hingga tuntas. Mumpung masih hangat. Setelah itu kita bisa saling bersetuju. Bisa sependapat dengan catatan ini. Bahkan, bisa berbeda pendapat. Tidak masalah. Karena berbeda, bukan suatu dosa. Bahkan, perbedaan adalah rahmat. Tidak lain, agar di antara kita tumbuh semacam kasih sayang. Bukan begitu, puan dan tuan?!
***
 
*) Ahmad Syauqi Sumbawi, sastrawan kelahiran Lamongan 28 April 1980. Menulis cerpen, puisi, novel, esai, kritik, dll. Sebagian karyanya dipublikasikan di media massa. Puisi-puisinya terkumpul dalam antologi: Dian Sastro For President; End of Trilogy (Insist, 2005), Malam Sastra Surabaya; MALSASA 2005 (FSB, 2005), Absurditas Rindu (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Laki-Laki Tanpa Nama (DKL, 2007), Gemuruh Ruh (2007), Kabar Debu (DKL, 2008), Tabir Hujan (DKL, 2010), Darah di Bumi Syuhada (2013), Pesan Damai di Hari Jumat (2019), Menenun Rinai Hujan (2019). Dan beberapa cerpennya dapat dibaca pada kumpulan: Sepasang Bekicot Muda (Buku Laela, 2006), Bukit Kalam (DKL, 2015), Di Bawah Naungan Cahaya (Kemenag RI, 2016).

Sementara antologi tunggalnya: Tanpa Syahwat (Cerpen, 2006), Interlude di Remang Malam (Puisi, 2006), dan #2 (SastraNesia, Cerpen 2007). Novel-novelnya yang telah terbit: Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (2007), Waktu; Di Pesisir Utara (2008), dan “9” (2020). Sedangkan bukunya dalam proses cetak ulang “#2,” dan Limapuluh (kumpulan puisi) segera hadir. Selain menulis, juga berkebun, dan mengelola Rumah Semesta Hikmah, dengan kajian dibidang sastra, agama dan budaya, di dusun Juwet, Doyomulyo, Kembangbahu, Lamongan. http://sastra-indonesia.com/2020/09/kesadaran-eksistensi-dan-manusia-sebagai-peristiwa-ii/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati