Kamis, 19 November 2020

Menakar Jean-Paul Sartre

Sigit Susanto *
 
Hari ini, 21 Juni 2013, Jean-Paul Sartre berusia 108 tahun. Penulis dan filsuf eksistensialis itu usianya cukup melambung, mencapai 75 tahun (1905-1980). Novel “Muak“ (Der Ekel), yang lebih menyerupai catatan harian, adalah novel perdana Sartre yang ditulis tahun 1938. Isinya menyeret pembaca pada hiruk pikuk kehidupan borjuis yang kotor, kadang Sartre membubuhkan waktu atau hari di awal tulisan. Karya perdana biasanya sering berbentuk biografi. Sartre pun menceritakan tentang dirinya sendiri dengan bentuk “Aku-Pencerita.“ Mungkin lebih mudah bagi penulis pemula menceritakan dirinya. Setelah itu ia mulai menuliskan karya dari cerita orang lain atau lingkungannya. Buku ini mengingatkan saya pada “Buku Harian“ Anne Frank atau buku harian pada umumnya.
 
Awalnya Sartre sedikit saja tertarik politik. Apalagi ketika ia belajar di Berlin tahun 1933 tak pernah mempelajari politik. Melainkan ia mendalami karya Martin Heiddegger “Ada dan Waktu“ (Sein und Zeit) serta fenomenologi dari Edmund Husserl. Perkenalanannya dengan Simone de Beauvoir saat masih belajar filsafat tahun 1929 di Perancis telah tegas memisahkan antara filsafat dan politik. Sartre pernah mengajak kawin pasangan tetapnya ini, akan tetapi ditolak. Alasan Simone, tali perkawinan akan membuat tirani baru.
 
 Pada saat perang dunia II, Sartre hidup bergaya “Bohemian“ dan merasa terkoyak jiwanya. Apalagi setelah ia ditahan oleh Jerman. Ia mulai berpikir akan menjadi pemberontak. Di tengah pergolakan politik Eropa ia masih menyelesaikan buku gemuknya setebal 1156 halaman berjudul “Ada dan Tiada“ (Sein und das Nichts). Tak lama lagi ia selesaikan trilogi novelnya berjudul “Jalan Menuju Kebebasan“ (Die Wege der Freiheit). Dilanjutkan dengan karya dramanya berjudul “Lalat“ (Die Fliegen). Drama ini yang membawa kesuksesannya pertama kali di dunia panggung. Kemudian Sartre disibukkan dengan politik paska Nazi Jerman. Tema kebebasan dan tekanan menjadi titik sentralnya. Ia menulis karya berikutnya“Eksistensialisme adalah sebuah Humanisme“ (Der Existenzialismus ist ein Humanismus). Ia maksudkan, manusia terlempar ke dunia dapat dan harus mengurus dirinya sendiri. Sejak ia berkenalan dengan marxisme ada perubahan pikiran baru yakni, kebebasan individu dalam eksistensialisme itu harus diarahkan untuk kepentingan massa. Dan revolusi adalah satu-satunya cara menuju keadilan.
 
 Jejak Sartre selanjutnya mendirikan koran “Les Temps Modernes.” Sebuah media yang melangsir pemikiran-pemikiran Sartre dengan berbagai polemiknya. Usai Perang Dunia II ia tak mau tahu lagi dengan filsafat Perancis tentang kebebasan. Ia lebih suka dekat dengan anak muda dan menjadi pelopor gerakan. Berbagai pergolakan di Indochina, Korea, Vietnam membuat Sartre lebih tertantang untuk mendukung pembebasan atas penindasan. Ia memutuskan untuk aktif di Partai Komunis Perancis. Antara tahun 1962 dan 1965 setiap tahunnya ia diundang ke Rusia untuk membicarakan isu perdamaian dan hubungan penulis Rusia dan Eropa. Pada bukunya “Intelektual sebagai orang Revolusioner“ (Der Intelellektuelle als Revolusionär) menyebutkan, pada usia 25 tahunan itu ideal sebagai intelektual muda, kalau orang sudah mencapai usia 70 tahun, kemana-mana harus dipapah dengan kursi lipat.
 
Tahun 1964 muncul lagi karyanya berjudul “Kata-Kata“ (Die Wörter). Sartre pada buku ini bernostalgia dengan masa kanak-kanaknya. Pada kumpulan esainya berjudul “Apa itu Sastra?“ (Was ist Literatur?) Sartre dengan tegas memisahkan antara prosa dan puisi. Prosa dianggap sebagai piranti khusus menyuarakan kebenaran, sedang puisi bersanding dengan musik, lukisan dan patung yang menghindari pemakaian bahasa. Sebab itu jurnal “Les Temps Modernes“ sangat sedikit memuat puisi. Terkait dengan buku di atas Adorno menuduh, Sartre telah mendudukkan karya seni berdampingan dengan bangunan panteon yang akan meruntuhkan komoditas budaya. Di antara karya-karya Sartre yang paling menandingi ketebalan novel Dostojewsky, “Bruder Karamasow,“ yakni berjudul “Keluarga Idiot“ (Der Idiot der Familie). Buku dengan ketebalan sekitar 2000 halaman ini berupa analisis terhadap karya dan kehidupan Flaubert.
 
Sartre Kecil Menulis
 
 Setelah kematian ayahnya ia diasuh oleh kakek dan nenek serta ibunya. Kakeknya punya perpustakaan pribadi dan banyak karya sastra klasik. Sartre kecil berkutat dengan buku-buku tersebut. Pada usia 10 tahun ia berikrar ingin menjadi penulis. Paman Sartre, Emile menghadiahi mesin ketik kecil untuk Sartre. Tapi Sartre tak menggunakannya. Kemudian Madame Picard membelikan peta dunia, agar Sartre tak salah mempelajari geografi. Ketika Sartre sudah mulai menulis, komentar ibunya Anne-Marie, “…itu lebih baik, setidaknya ia tak membuat gaduh.“ Saat awal-awal bisa menulis ia akui dirinya bukan penulis terkenal, tapi ketika ia menulis seperti kena kram, pensilnya tak bisa berhenti, mengalir terus. Namun sering tak sampai akhir. Dalam benaknya berpikir, untuk apa sebuah cerita harus berakhir, kalau sejak awal sudah kehilangan jejak.
 
 Sartre pertama kali kagum dengan penulis Jules Verne, utamanya cerita petualangannya. Ia mengakui novelnya berisi cerita yang rumit. Teknik menulis Sartre dengan cara memasukkan semua bahan yang baik maupun yang jelek, dicampur menjadi satu. Lalu di sana-sini ia menyusupkan gagasan orang lain atau sebagai plagiator. Sartre punya kebiasaan tidak mau membaca ulang hasil karyanya. Biasanya tokoh bikinan Sartre seorang pahlawan yang melawan tirani. Ia berpendapat, ketika aku dalam kehidupan riel, aku memimpikan berlatih menulis terus, ketakutanku kalau saja talentaku tak ada gunanya.
 
Kakeknya bernama Karl menasihati, “…tak cukup hanya punya mata, tapi harus belajar bagaimana menggunakan, seperti Flaubert menganalisis karya Maupassant. Suatu saat Sartre menuju di bawah pohon. Di situ selama dua jam ia menulis khusus tentang pohon. Ia disiplin dalam menulis dan berujar, “Kalau sehari saja aku tidak menulis, lukaku makin menganga, tapi kalau aku menulis ringan, terbakar juga lukaku.“ Sartre suka menyitir ucapan dari Chateaubriand, “Aku sadari, kalau aku hanyalah sebagai mesin pembuat buku.“
 
Pernah Sartre jatuh sakit dan ketika mulai bisa menulis lagi, ia ingin menulis dengan tema laut dan pegunungan. Tapi tak ada penerbit yang mau menerima. Namun ketika ia menulis pada sebuah koran, banyak orang mencibirnya, bahkan penjual di warung yang membaca tulisannya tidak mau melayani. Nyaris ia sebagai musuh rakyat. Ketika usia makin merangkak, tepatnya di usia 50 tahun, ia menulis buku dan diterbitkan oleh penerbit terkenal Arthene Fayard. Buku itu berhasil dengan gemilang. 10.000 eksemplar habis dalam waktu dua hari. Akibatnya ratusan wartawan mencarinya, tapi ia tak ditemukan. Sartre membaca di koran, kalau dirinya dianggap penulis bertopeng, penyanyi dari Aurillac, penulis lautan. Sartre minggat tak jelas, bahkan penerbitnya juga tak diberi tahu alamatnya yang pasti.
 
Seluruh karya Sartre kalau dikumpulkan ada 25 buku, 18.000 teks esai, dan 300 ilustrasi gambar. Ia merasa seperti lahir kembali sebagai manusia utuh, berpikir, berbicara, bernyanyi, meledak. Ia merasa hidup ini tidak untuk dinikmati saja, tapi harus diseimbangkan. Lebih esktrem ia menganggap, masa depan lebih riel dari pada masa kini. Bila orang harus mati, maka kebenaran adalah jalan awalnya. Menulis adalah kebiasaannya, pensil ia anggap sebagai pedangnya. Kadang ia juga menyisipkan tulisan lamanya ke dalam bukunya, ia anggap sebagai aksi menyelundupan. Satu hal yang menarik, ia bilang, “Dalam menulis aku harus ada kemajuan, serius dan secara teratur ada kemajuan.“
 
Sartre merasa malu membaca karya Cervantes “Don Quijote.” Sebaliknya ia memahami karya Voltaire, Rousseau yang saat itu memerangi tirani. Orang sering menghubungkan masa kecil Jean Sartre mirip dengan Jean Rousseau. Ia juga kagum dengan Magelan dan Vasco da Gama, Dumas dan Karl May. Pada usia senjanya, ia pikir, sudah tak produktif seperti sebelumnya.
 
Pada Oktober 1964 ia termasuk dalam daftar calon peraih nobel sastra. Sartre mengirimkan surat kepada lembaga nobel pada 14 Oktober untuk dikeluarkan dari daftar. Alasan Sartre, ia tidak mau dinobatkan sebagai penulis terkenal dari lembaga kebudayaan barat yang akan memisahkan antara budaya barat dan timur. Namun surat itu tidak dibaca oleh panitia nobel. Akhirnya terlanjur diumumkan pada 22 Oktober 1964, tapi tetap saja ia menolaknya. Pada 15 April 1980 ia meninggal di Paris. Kepergian sang maestro eksistensialis itu dihadiri lebih dari 50.000 pelayat. Sampai akhir hayatnya ia tak memiliki rumah, istri dan anak.
***

*) Sigit Susanto, penulis buku trilogi Menyusuri Lorong-lorong Dunia. http://sastra-indonesia.com/2020/09/menakar-jean-paul-sartre/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati