Sabtu, 08 Agustus 2020

In Memoriam tentang Mas Willy

Mbakyu, Aku Nyuwun Suntik

Butet Kartaredjasa *

jawapos

Di tengah kerumunan pelayat di Desa Citayam, Bogor, Jumat siang (7/8), sejumlah repor­ter muda yang kerap dilabeli ”wartawan” infotainment -saya tidak tahu apakah mereka bisa dikategorikan jurnalis atau sekadar pengulur mikrofon- tiba-tiba bertanya, ”Apa sih arti penting seorang Rendra kok orang-orang ngasih peng­hormatan luar biasa seperti ini?”

Saya terhenyak. Jika kekerasan dibenarkan, rasanya ingin menapuk cangkem lancang itu. Pertanyaan itu sekadar pancingan atau memang muncul dari kedunguan industri pertelevisian? Spontan saya menjawab, ”Hanya orang yang gegar otak atau tidak waras yang menganggap Rendra tidak penting!”

Saya seperti ingin marah mendengar pancingan bernada pelecehan tersebut. Meski bukan murid Rendra yang bertumbuh di komunitas Bengkel Teater, saya tak rela mendengar martabat, jasa, dan peran ”guru besar” teater Indonesia itu direndahkan.

Ribuan orang yang mengalir menjadi petakziah di rumah putrinya, Clara Sinta, di Pesona Khayangan, Depok, pada malam sebelumnya atau di markas Bengkel Teater Citayam siangnya jelas membuktikan bahwa Rendra adalah tokoh besar.

Dia adalah Budayawan dengan ”B” besar. Sebuah derajat yang posisinya bertakhta jauh di atas, jauh lebih tinggi dari sekadar seorang pekerja seni. Di dalam derajat yang mulia itulah tersimpan watak kebudayawanan yang menjadikannya bukan manusia pendendam. Tapi, manusia yang arif dengan jiwa yang sumeleh, penuh kebijaksanaan, dan menghormati setiap pertumbuhan.

Meski ruang pengabdiannya sebagai sutradara maupun aktor kerap diartikan hanya sebatas wilayah kesenian, pikiran-pikiran Rendra yang selalu dilandasi ketakjuban pada kejayaan dan kebesaran sejarah bangsanya tak berhenti hanya dalam perkara artistik dan rumusan-rumusan estetis. Pemikiran dan gagasannya melampaui dunia seni itu sendiri.

Melaksanakan Kata-Kata

Ditambah luasnya pengetahuan dan bekal literatur yang disantap dari waktu ke waktu, predikat ”seniman” terlalu kecil untuk disematkan ke dalam dirinya.

Dengan fasih Rendra bisa bertutur keunggulan budaya maritim yang di suatu masa pernah membikin bangsa ini sangat terhormat dan disegani bangsa-bangsa lain di dunia, tentang imperialisme ekonomi yang selalu cerdik berganti rupa dan mengakali negara dunia ketiga, tentang ketamakan kekuasaan yang bikin para pemimpin hidupnya keblinger, tentang kecemasannya pada generasi yang manja dan cengeng, tentang feodalisme bertopeng demokrasi yang terbentuk oleh masyarakat yang gemar jadi penjilat, dan sebangsanya.

Karena itulah, Rendra itu mahapenting. Penyair-aktor-sutradara-pemikir-deklamator kelahiran Solo tujuh puluh empat tahun lalu tersebut adalah manusia berkualitas empu yang setiap percikan pemikiran dan tindakan kebudayaannya memantik inspirasi bagi manusia-ma­nusia lainnya.

Saya menyebutnya Rendra salah satu genius yang pernah dilahirkan di bumi Indonesia. Ma­nusia yang dikaruniai aneka bakat dan -istimewanya- semua bakat itu bersinergi serta menjelma menjadi tindakan yang kemudian dilakoni dengan konsisten sepanjang hayatnya. Dia melaksanakan kata-kata dan pemikirannya.

Sebagai aktor panggung, siapa sih yang masih meragukan keunggulannya? Sebagai penyair, apa masih ada yang membantah kecermatannya memilih kata-kata dan meragukan perannya dalam perkembangan sastra modern Indonesia? Sebagai sutradara teater, saya tak yakin jika masih ada seniman maupun pengamat yang menafikan sumbangan kreatifnya bagi kebudayaan Indonesia.

Nyuwun Suntik

Saya mengenal Rendra ketika saya masih duduk di bangku SD. Awalnya, saya cuma mengenalnya sebagai lelaki gondrong salah seorang sahabat ayah saya (Bagong Kussudiar­dja) yang kebetulan juga ayah teman sepermain­an saya di SD Pangudi Luhur, Jogja.

Tiga anak Rendra dari Sunarti Soewandi -Tedi, Andreas, dan Daniel- bersekolah di sekolah yang sama. Kampung kami juga bertetangga. Om Rendra, begitu dulu saya memanggil, yang tinggal di Ketanggungan Wetan kerap tiba-tiba nongol di suatu malam, di rumah kami, di Kampung Singosaren Lor, Jogjakarta.

Setiap Om Gondrong itu datang, pasti nanti terdengar canda cekakakan para seniman. Kemudian akan terdengar satu permintaan yang rasanya masih terngiang di kuping, ”Mbakyu… aku nyuwun suntik!”

Yang disebut ”mbakyu” itu adalah ibu saya yang memang seorang bidan. Sebagai tenaga me­dis, tentu saja di rumah selalu ready-stock vitamin, jarum suntik, dan aneka obat-obatan. Pada 70-an ketika sistem pelayanan kesehatan belum selengkap sekarang, wajarlah jika rumah kami selalu jadi jujukan para seniman yang punya problem kesehatan.

Saya tak tahu persis apa yang kemudian disuntikkan. Yang pasti, setiap Om Gondrong yang rambutnya sepundak itu datang mengetuk pintu, ayah saya selalu menyambut dengan can­da riang yang berujung soal suntik-menyuntik. ”Arep njaluk suntik maneh ya?” Lalu terdengar tawa dua seniman itu berderai memecah malam.

Belakangan hari, setelah kerap mencuri-curi bacaan di perpustakaan ayah dan ikut nimbrung mem­baca majalah Basis, perkenalan dalam imajinasi terhadap Om Gondrong itu semakin intens. Melalui majalah Basis, juga majalah Tempo yang pernah menjadikan Rendra cover story pada 1970-an, laksana melakukan mediasi antara saya dan Rendra. Esai, puisi, liputan kegiatan Bengkel Teater yang kala itu menyelenggarakan Perkemahan Kaum Urakan di pesisir Parangtritis semakin mendekatkan saya dengan semangat dan pikiran-pikiran Rendra.

Apalagi ketika kemudian saya kerap digandeng ayah saya menonton mas-mas gondrong dan dekil berlatih teater di Bengkel Teater, Ketanggungan Wetan. Bahkan, ketika saya masih bercelana pendek berkesempatan nonton Rendra memerankan Hamlet di Teater Tertutup, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, rasanya saya semakin mengenal.

Sihir Keaktoran

Hampir empat jam saya melongo, terpesona oleh keaktoran lelaki bertubuh atletis, berambut sebahu warna perak, yang dengan artikulatif memerankan Hamlet. Penonton mbludag. Saya yang masih kanak-kanak adalah sebuah anonim di antara aktor-aktor tangguh Bengkel Teater. Rasanya susah banget menjangkau mereka, apalagi untuk mengenal dan bergaul memasuki dunia mereka.

Saya hanya mematri nama-nama mereka dalam ingatan, yang dalam perjalanan waktu akhir­nya mereka saya kenal sebagai sahabat-sahabat yang penuh kehangatan: Adi Kurdi, Edy Haryono, Fadjar Suharno, Iskandar Wawo­runtu, Iwan Burnani, Dahlan Rebo Paing, Udinsyah, Sitoresmi, Yati Angkoro, Udin Mandarin, Untung Basuki, Wawan Prahara, dan lain-lain.

Tapi, Rendra tetap bintangnya. Mungkin ka­rena auranya yang karismatis yang memancar. Itulah sihir keaktoran. Vokal yang khas dan bertenaga, dengan akting yang kadang mengundang tawa lantaran dimain-mainkan secara jenaka, menyisakan kekaguman dan gerutu dalam hati: ”Tunggu saja. Suatu saat nanti aku juga akan berdiri di atas panggung yang sama. Menjadi aktor.”

Impian pada masa kanak-kanak pada 70-an itulah agaknya menjadi magma yang mendidihkan semangat menempuh jalan keaktoran saya. Mas Willy, begitu kemudian saya ikutan menyapa Om Gondrong yang kini menjadi sesama aktor teater, diam-diam telah saya daulat menjadi ”guru” tanpa dia pernah tahu.

Saya memang tak pernah tercatat jadi murid yang takzim ngangsu kawruh di Bengkel Teater. Tapi, buku ”Rendra, Tentang Bermain Drama” menjadi pedoman menerjuni sebuah dunia impian, dunia seni peran, yang untungnya -setelah larangan pentas Rendra dicabut- saya selalu bisa mengonfirmasi bacaan itu melalui sejumlah lakon yang dipertunjukkan di kemudian hari: Sekda, Perjuangan Suku Naga, Lysistrata, Hamlet, Oedipus, dan lain-lain.

Karena itu, ketika 11 Mei lalu Mas Willy bersilaturahmi ke rumah saya lantaran tak bisa hadir pada malam pernikahan anak saya, muncullah gagasan menjelmakan buku yang banyak dijadikan pedoman aktor teater tersebut menjadi sebuah tindakan kebudayaan. Rendra ingin masuk kampus-kampus perguruan tinggi, bikin workshop, melatih, dan berbagi pengalaman tentang seni peran.

”Kapan Mas?”

”Oktober wae, setelah Lebaran. Kowe sing go­lek sponsor ya!”

Tapi, meski dikenal sangat bernyali melawan setiap bentuk penindasan dan selalu mendobrak ke­macetan yang merendahkan martabat kemanusiaan, Rendra tetap tak mampu melawan waktu. Rendra yang perkasa tetap manusia biasa. Keinginannya memuliakan kehidupan de­ngan berbagi pengetahuan didahului kehen­dak Yang Kuasa, setelah sebelumnya Mbah Surip, kawan karibnya yang lain, mendahului mengetuk pintu surga. Sekarang, surga telah menjadi milik mereka.

***

*) Butet Kartaredjasa, seorang seniman dan aktor kelahiran Yogyakarta, 21 November 1961. Pada tahun 1996, mendirikan Galang Communication, sebuah institusi periklanan dan studio grafis, kemudian mendirikan Yayasan Galang. Bergabung di Teater Kita-Kita (1977), Teater SSRI (1978-1981), Sanggarbambu (1978-1981), Teater Dinasti (1982-1985), Teater Gandrik (1985-sekarang), Komunitas Pak Kanjeng (1993-1994), Teater Paku (1994), Komunitas seni Kua Etnika (1995-sekarang), dan biasa memerankan pentas secara Monolog. Dst...

https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=10158634069030816&id=815285815

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati