Minggu, 17 Mei 2020

Warna Proses Kreatif Menulis Nezar Patria

Wawancara di grup facebook Apresiasi Sastra (APSAS) Indonesia
Nezar Patria, kelahiran Sigli, Nanggroe Aceh Darussalam 5 Oktober 1970, seorang wartawan, aktivis, dan penyair. Sekarang menjabat pemred The Jakarta Post; sejak tahun 2016, bergabung di koran berbahasa Inggris tersebut untuk platform digital, lalu awal 2018 ditugaskan memimpin versi cetaknya. Sebelumnya, wartawan di Majalah Berita Mingguan Tempo (1999-2008), tercatat salah satu pendiri portal VIVA.co.id (2008-2014), dan redaktur pelaksana. Tahun 2014-2016, jadi wakil pemimpin redaksi CNN Indonesia (Digital).

Karya jurnalistik investigasinya pernah memenangkan Tolerance Prize dari International Federation of Journalist (IFJ) bekerja sama European Council, Manila 2004. Jadi Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 2008-2011, dan terpilih sebagai Anggota Dewan Pers, dua periode (2013-2019). Alumni Fakultas Filsafat UGM (lulus 1997), mendapat gelar M.Sc dari The London School of Economics (LSE), Inggris, untuk Studi Politik dan Sejarah Internasional, tahun 2008.

Selain organisasi jurnalis, kerap terlibat di berbagai riset politik. Akrab tema politik sejak masa mahasiswa, terutama aktif dalam gerakan mahasiswa pro demokrasi awal 1990-an hingga Reformasi 1998. Di masa itu sebagai Sekretaris Jenderal Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), sebuah organisasi mahasiswa yang masuk daftar hitam rezim Orde Baru. Di dunia riset, kini tercatat selaku Dewan Redaksi di Jurnal Prisma, diterbitkan LP3ES. Pernah menjadi periset paruh waktu di International Crisis Group (ICG) Asia Tenggara (2004-2012).

Bersama Tia Setiadi, tahun 2017 mendirikan Circa di Yogyakarta; penerbit indie yang aktif menerbitkan buku fiksi dan non-fiksi bertema seputar jurnalisme, sastra, dan filsafat. Buku terbarunya sendiri ada dua; yang non-fiksi bertajuk “Keputusan Sulit Adnan Ganto” (Circa, 2017, ditulis bersama almarhum Rusdi Mathari), sebuah biografi seorang bankir yang jadi penasehat ekonomi bagi tujuh menteri pertahanan RI. Buku kedua, sehimpun puisinya yang dimuat Harian Kompas dan Koran Tempo, diterbitkan Diva Press, berjudul “Di Kedai Teh Ah Mei” (2018).
***
Nurel Javissyarqi: “Sebagai pemantik awalan saya bertanya Mas Nezar Patria, 1. Sejauh perjalanan yang sampean tempuh, apakah sebelumnya sudah pernah ‘nyemplung’ di dunia sastra, barangkali saat SMA atau jauh sebelum itu? 2. Menurut sampean, apakah kata-kata yang telah tergurat, sangat mempengaruhi kehidupan sang penulisnya? 3. Adakah hubungan rasa senyawa di antara kata dengan darah-daging perjuangan? Jikalau ada, seperti apakah pergumulannya, dan bagaimana menentukan waktu yang tepat, agar kata-kata tidak buyar dari ruhaniah maknanya, meski melewati rentang waktu peristiwa, dst...”
***

(I)
Nezar Patria: “Saya mengenal sastra saat duduk di bangku SMP. Bagian sekolah yang menarik perhatian saya ialah perpustakaan. Saya bisa menghabiskan jam waktu istirahat saya di ruang baca, menikmati berbagai macam bacaan, dan terutama yang mengasyikan adalah membaca buku-buku terbitan Balai Pustaka dan Pustaka Jaya. Saya membaca cerita klasik sastra Indonesia, dari Salah Asuhan, sampai karya A.A. Navis. Saya juga membaca sejumlah karya sastra terjemahan dari pengarang seperti Victor Hugo, Alexander Dumas, Dickens, dan Karl May.”

“Selain itu, di masa SMP, saya menggemari cerita di Majalah Kawanku dan Hai. Saya punya kebiasaan nongkrong di kedai loper koran di dekat sekolah, di pinggir pasar Peunayong, Banda Aceh. Si pemilik kedai seorang mahasiswa, dan ayah saya waktu itu berlangganan harian Kompas kepadanya. Karena harian terbitan Jakarta itu tiba siang hari di kota saya, maka sambil menunggu koran tiba, saya punya kesempatan membaca koleksi majalah dan komik di kedai itu.”

“Pemiliknya tak keberatan, dia malah senang, karena kadang saya membantunya menjaga kedai itu, kalau dia ada urusan lain, dan harus meninggalkan kedai selama dua sampai tiga jam. Pada saat itulah, saya masuk ke dunia cerita, entah membaca cerpen di majalah, koran mingguan, atau komik. Saya menikmati komik Indonesia, dari Hasjmi (Gundala), Wid NS, sampai dengan komik silat seperti serial Panji Tengkorak. Di rumah, saya juga punya koleksi lengkap komik Mahabrata, Bratayudha, dan Parikesit karya R.A. Kosasih.”

“Tetapi yang cukup mengesankan, buku-buku cerita di perpustakaan itu. Di sana saya mengenal lebih banyak puisi Charil Anwar, W.S. Rendra, Wing Kardjo, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, dan Linus Suryadi AG (terutama berkat Linus yang menjadi editor seri antologi puisi Indonesia modern, Tonggak, saya mengenal lebih banyak puisi karya penyair berbagai daerah). Pendeknya, saya berburu aneka buku terbitan Pustaka Jaya, Balai Pustaka, dan penerbit lainnya, baik puisi maupun prosa.”

“Dunia bacaan saya kemudian meluas sewaktu SMA. Saya mulai menggemari seri Sherlock Holmes dari Sir Conan Doyle, lalu membaca roman karya Mochtar Lubis, terutama Jalan Tak Ada Ujung serta Harimau-Harimau. Saya juga membaca Nikolai Gogol “Jiwa-Jiwa Mati”, lalu Dostoevsky “Kejahatan dan Hukuman”, Arthur Koestler “Darknest at Noon”, Orwell “Animal Farm”, Herman Hesse ”Siddharta”, Yukio Mishima “Kuil Kencana”, dan lain-lain. Kemudian, secara tak sengaja saya menemukan novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer (PAT) di rak buku paman saya. Buku itu kelihatan disimpannya hati-hati, dan dia mengatakan kepada saya, buku itu terlarang, jadi tak boleh sembarangan. Saya membacanya dengan antusias, masuk ke dalam imajinasi masa kolonial, dan frustasi mencari sekuel selanjutnya. Kelak ketika berkuliah di Yogyakarta, saya baru mendapatkan Tetralogi PAT secara lengkap. Di masa mahasiswa, saya beruntung bisa mambaca lebih banyak lagi, karena akses yang lebih luas, juga pergaulan antar kawan mahasiswa yang punya minat sastra, politik, sejarah, dan filsafat.”

“Saya mulai menulis puisi sejak SMA, tapi tak pernah mengirimkannya ke media manapun. Saya merasa puisi lebih cocok, lebih ekspresif dan bisa membahasakan apa yang berdentang di jagad batin. Sewaktu mahasiswa, saya masih menulis beberapa puisi, dan hanya dimuat di antologi terbitan perkumpulan mahasiswa. Setelah bekerja sebagai wartawan, saya kian sering menulis features, dan itu artinya lebih banyak bergulat dengan penulisan non-fiksi, tapi punya kedekatan dengan prosa. Baru setelah beberapa waktu belakangan, kembali lagi menulis puisi.”

(II)
Nezar Patria: “Ini maksudnya kata-kata yang ditumpahkan ke dalam karya seperti prosa dan puisi ya? Mungkin, setiap individu punya pengalaman berbeda. Saya hanya bisa menulis puisi, jika menemukan ‘momen puitik’. Momen itu bisa terjadi dengan tiba-tiba, misalnya lagi melihat selembar kartu pos, lalu teringat seseorang dan pengalaman bersamanya. Atau sedang sendirian di bus kota, atau berhenti di sebuah halte yang kosong, dan melihat sebuah botol kosong di bangku halte. Semua itu pemantik-pemantik di dunia obyektif, yang kemudian mempengaruhi dunia subyektif saya dengan beragam pengalaman yang mengendap di alam bawah sadar.”

“Rangsangan dari dunia obyektif itu memancing bawah sadar bekerja, lalu semua isi bagasi pengalaman keluar dalam bentuk kata-kata, yang membentuk imaji, bunyi, dan makna yang diwakilinya. Kata-kata bisa keluar begitu saja tanpa bisa ditahan, dan kemudian baru saya menyusunnya, agar memenuhi kaidah puisi. Kadang kala saya terkejut dengan hasilnya, kata-kata bisa bergerak dengan ajaib, menajamkan apa yang saya rasakan, atau bahkan melompat keluar memberikan horizon baru, dan juga makna baru. Misalnya ketika saya melihat sepotong gambar tentang seorang tawanan yang akan dieksekusi di Suriah. Saya terenyuh, mungkin karena saya pernah punya pengalaman yang sama. Sepotong gambar itu menggugah saya dengan ‘momen puitik’, dan lantas saya menuliskannya jadi puisi. Demikian sejumlah puisi lahir dengan berbagai macam perjumpaan antara realitas obyektif dan dunia obyektif saya. Dari sini, saya kira puisi lahir dengan sedikit banyaknya dipengaruhi oleh latar belakang subyektif si penyair; penghayatannya atas peristiwa, luka dialaminya, kebahagiaan yang dipetiknya, dan juga kemarahan.”

Nurel Javissyarqi: “Maaf Mas Nezar Patria, kalau pertanyaan kedua di atas, atau kata-kata saya tersebut sulit ditangkap maksudnya. Bahasa lainnya begini: Apakah karya yang sudah tercipta, misalkan puisi yang telah jadi, kelak, atau nantinya, bisa menentukan arah takdir sang penulisnya, dapat ‘menujum’ masa depan pengarangnya, atau menjelma sorot cahaya terang atas keyakinan-keyakinan lebih besar, dari masa awal ciptaan itu sebelumnya, (mungkin pertanyaan ini tidak logis, tapi dapatlah dinamai istilah lain), yakni, apakah karya yang telah terjadi itu, bisa mempengaruhi jawaban maupun menentukan pilihan atas persoalan si penyair di masa depannya, contoh kitab-kitab suci mempengaruhi umat yang mempercayai atau meyakininya, tentu dengan kadar lebih rendah bobotnya, dibandingkan kitab suci.... (jadi, pertanyaan saya bukanlah kata ‘dipengaruhi,’ tapi dengan kata ‘mempengaruhi’). Namun begitu, jawaban sampean tetap menjadi masukan berharga bagi saya, matur suwon sanget...”

Nezar Patria: “Saya tidak tahu, apakah puisi bisa sedahsyat itu meramal masa depan penyairnya, mungkin satu dua puisi yang diciptakan seorang penyair pada masa lalu, tiba-tiba dirasakan cocok dengan situasinya sekarang. Tapi saya kira itu kebetulan saja. Puisi mungkin punya efek magis dan mistis, tapi tentu ia bukan berfungsi seperti kitab suci yang dipercayai untuk memandu jalannya kehidupan. Banyak kebetulan yang ditemukan sebagai sebuah post-factum, bukan sebuah ramalan. Puisi merekam apa yang terjadi di jagad batin penyair dalam mencerap dunianya, dan karena sublimasi atas realitas, maka puisi terasa awet melintasi ruang dan waktu. Kita baca puisi Chairil di tahun 1940-an, dan mungkin masih bisa merasakan semangat yang sama di zaman sekarang.”

Nurel Javissyarqi: “Terima kasih atas jawabannya Mas Nezar Patria, mungkin nanti bisa dilanjut dengan yang lain, suwon...”

Nezar Patria: “Sami-sami.”

(III)
Nezar Patria: “Saya rasa ini juga berbeda di antara para penyair atau penulis, tergantung seberapa jauh dia terlibat, dan berjarak dengan peristiwa atau pengalaman. Ada penyair yang punya simpati kuat atas perjuangan rakyat, entah di negeri sendiri atau di belahan dunia lain. Dia tergerak oleh rasa empati, dan merasa menjadi bagian dari perjuangan itu. Puisi yang lahir bisa jadi sangat kuat, tapi kita masih bisa merasakan jarak penyair dengan dunia yang ditulisnya. Namun ada juga penyair yang terlibat dalam dinamika pergerakan itu, menjadi bagian organik, dan karya-karyanya tampak orisinil menjadi bagian dari apa yang ditulisnya. Kita bisa membaca dunia orang pinggiran, dan cita-citanya untuk kehidupan lebih baik, dari puisi Wiji Thukul misalnya. Kita bisa merasakan bagaimana hasrat cinta Pablo Neruda bertemu dengan pengalaman pribadi perjuangannya, dan juga metafora yang kuat dari solidaritasnya untuk kebebasan orang-orang teraniaya. Pengalaman itu saya kira, bahan baku yang tak habis-habisnya, dia masuk ke bawah sadar si penyair, dia bisa bangkit kapan saja ‘momen puitik’ datang memanggilnya.”
***
(IV)
Cak Bono: “Mas Nezar Patria, berkenaan dengan wabah covid-19 ini. Sepertinya, pasca pandemi ini, produksi, konsumsi, dan distribusi dari teks, baik sastra maupun jurnalistik, akan menemukan new normalnya masing-masing. Jika demikian, kira-kira seperti apa roadmapnya? Seberapa cepat, dan sejauh mana pergeserannya? Apakah akan terjadi disrupsi?”

Nezar Patria: “Dunia belajar banyak dari pandemi ini, setidaknya mengakui, bahwa pencapaian peradaban manusia saat ini, ternyata masih rentan dengan serangan wabah. Betapapun, pencapaian teknologi Abad 21, masih mungkin membuat manusia berinteraksi via platform digital, dan terhubung lewat internet. Hal ini mungkin tak dialami oleh generasi awal Abad 20, saat Spanish Flu merebak pada 1918, dan merenggut nyawa lebih 50 juta jiwa. Bakal ada kesadaran baru post-covid-19, bahwa kita harus menerima koeksistensi hidup bersama ancaman wabah, dan karenanya kerja sama antar bangsa menjadi semakin penting. Kita lihat sebelum wabah menerjang, dunia sedang melakukan tata ulang dengan munculnya nasionalisme sempit di sejumlah negara di Eropa, dan konservatisme di AS. Perang Dagang China-AS, salah satu manifestasinya. Setelah covid-19, mungkin kita akan bertemu dengan new normal, bahwa kerentanan peradaban manusia di tengah wabah harus diatasi dengan kerja sama antar bangsa. Bahwa dunia informasi digital berjasa tetap menjaga interaksi manusia meskipun dalam isolasi, yakni kesehatan menjadi agenda prioritas agar bisa selamat, hubungan eksploitatif manusia atas alam harus ditinjau ulang, yaitu kerawanan pangan bisa mengancam, dan sama beratnya dengan ancaman virus. Tentu saja sastra juga jurnalisme akan berubah, pusat-pusat informasi lebih menyebar, dan komunitas-komunitas mengambil peran masing-masing dalam jejaring global. Meskipun begitu, platform digital semisal FB dan Google, tetap bermain sebagai pelaku utama, dan mendefiniskan mana yang penting atau tidaknya di dalam soal distribusi informasi melalui rezim algoritma. Dalam hal ini, media-media harus mencari ekosistem tersendiri, yang lebih independen dari platform raksasa. Kita belum tahu apa yang terjadi di depan, tetapi jelas pengalaman paruh pertama tahun 2020 ini, akan berpengaruh pada perkembangan dunia ke depan.”

Cak Bono: “Komprehensip, dan tidak muluk-muluk. Yang menarik, tentang mewaspadai juga mengantisipasi Dominasi Rezim Algoritma, pemain Big data yang sudah mapan. Ini akan menjadi hal yang patut dicermati, terutama berkaitan dengan otoritas regional gaya lama, yang mungkin masih cenderung bermain pada wilayah statusquo, tetapi, diluar dunia maya. Kebutuhan untuk hidup, senyatanya sandang, pangan, dan papan adalah tantangan paling berat. Kira-kira sejauh mana kontribusi dunia digital jejaring global dalam hal memproduksi ketahanan sandang, pangan, papan dalam situasi new normal ini. Sementara untuk distribusi, sepertinya akan sangat membantu, terutama dengan mudahnya koneksi antara supplier dan konsumen. Selanjutnya, sejauh mana pola konsumsi masyarakat terhadap produksi ‘teks,’ baik jurnalistik maupun sastra? Menanggapi bahwa komunitas dibawah rejim algoritma, yang meskipun bebas akan terbatasi atau dibatasi juga oleh (mungkin) diskursus setingan pemilik modal. Terima kasih atas pencerahannya yang bernas dan lugas.”

Nezar Patria: “Sama-sama Mas.”

(V)
Wawan Eko Yulianto: “Bang Nezar Patria, kalau ada titik dalam hidup yang membuat abang bisa menulis dengan lancar dan nyaman, serta tidak ada takut sama sekali, ketika dibutuhkan untuk menulis, kapan itu? Makasih.”

Nezar Patria: “Kalau sedang mendapat letikan ide, dan mungkin juga disebabkan oleh sesuatu yang emosional. Kadang kita menulisnya dengan jemari tangan gemetar, menahan luapan perasaan.”
(VI)
Andrenaline Katarsis: “Satu buku karya Mas Nezar Patria yang saya suntuki waktu zaman kuliah dulu, tentang ‘Hegemoni Antonio Gramsci’ penerbit Pustaka Pelajar kalau ndak salah. Sungkem untuk buku itu, Mas...”

Nurel Javissyarqi: “Matur suwon sanget Mas Andrenaline Katarsis sudah mampir...”

Nezar Patria: “Andrenaline Katarsis, Terima kasih Mas, sudah mau membaca buku itu.”
***

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati