Kamis, 23 April 2020

CHAIRIL ANWAR ATAU SUTARDJI CALZOUM BACHRI

Maman S. Mahayana *

Chairil Anwar telah menjadi sejarah. Puisi-puisinya dipandang telah berhasil menghancurkan konsep bentuk konvensional; persoalan seputar larik dan bait, tidak lagi menjadi syarat sebuah puisi. Ia juga menawarkan kemungkinan pemanfaatan bahasa sehari-hari sebagai sarana ekspresi yang memberi ruang yang lebih luas bagi penyair. Dengan begitu, penyair leluasa dan bebas mengumbar gagasan kreatifnya.

Pengaruhnya memang segera kelihatan. Puisi seperti dapat mewakili kegelisahan penyair atas berbagai problem sosial budaya yang terjadi di sekitarnya. Puisi tidak lagi bercerita tentang dunia di entah-berantah. Model bahasa masa lalu yang menjadi dasar puitika Pujangga Baru, makin surut ke belakang dan seperti barang antik yang dipajang di ruang tamu, sekadar penyedap pandangan atau pengindah ruangan, tetapi tak dapat digunakan untuk urusan rumah tangga. Ia menjadi sesuatu yang penting, tetapi tak fungsional menerjemahkan fakta sosial dalam kehidupan real.

Langkah Chairil Anwar sesungguhnya tidak sendirian. Ia membangun komunitas yang kemudian menghasilkan sebuah gerakan estetik. Pada pertengahan 1946, atas usaha Chairil Anwar, sejumlah seniman antara lain, Asrul Sani, Baharuddin, Basuki Resobowo, Henk Ngantung, Rivai Apin, M. Akbar Djuhana, Mochtar Apin, dan M. Balfas, bertemu dan coba merealisasikan pendirian perkumpulan kebudayaan (kunstkring) Gelanggang Seniman Merdeka. Ada persoalan ideologis di belakang pembentukan perkumpulan ini. Semangatnya membuat sintesis atas simpang-siur konsepsi kebudayaan Indonesia yang terjadi dalam Polemik Kebudayaan.

Pada tanggal 19 November 1946, lahirlah preambul Gelanggang. Isinya seolah-olah menyuarakan ?lan baru dengan menolak semangat Pujangga Baru dan menggantikannya dengan kesadaran membangun kebudayaan Indonesia atas usaha dan kemampuan sendiri dengan tidak melupakan peninggalan kekayaan cultural nenek-moyang. Perkumpulan ini lalu mengklaim diri sebagai Generasi Gelanggang. Jelas, Chairil tidak bergerak sendirian. Gerakan estetik Angkatan 45, dirumuskan bersama sebagai bentuk perlawanan atas generasi sebelumnya, dan sekaligus sebagai kesadaran menyikapi terjadinya perubahan kehidupan sosial-politik di Tanah Air.

Dalam preambul Anggaran Dasarnya itu, dinyatakan bahwa Generasi Gelanggang lahir dari pergolakan roh dan pikiran yang sedang mencipta manusia Indonesia yang hidup. Generasi yang harus mempertanggungjawabkan dengan sesungguhnya penjadian bangsa ini. Oleh karena itu, ia harus melepaskan diri dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat yang lapuk. Ia juga harus berani menentang pandangan, sifat dan anasir lama itu untuk menyalakan semangat dan bara kekuatan baru. Semangat, elan, dan sikap Generasi Gelanggang ini lalu dirumuskan dalam sebuah surat terbuka yang diberi nama Surat Kepercayaan Gelanggang, bertarikh 18 Februari 1950, hampir setahun setelah Chairil Anwar meninggal.

Sebelum itu, Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani menerbitkan sebuah antologi bersama yang berjudul Tiga Menguak Takdir (1949). Seperti pisau bermata dua, buku ini secara idealis, menolak gagasan Alisjahbana tentang kemutlakan menatap Barat, dan di lain pihak sesungguhnya melanjutkan gagasan itu, meskipun dengan memberi tekanan pada harga diri untuk tidak menerima secara membuta-tuli semua yang datang dari Barat. Meskipun begitu, baik mukadimah Anggaran Dasar Generasi Gelanggang, maupun Surat Kepercayaan Gelanggang, secara jelas masih memperlihatkan adanya jejak pemikiran Alisjahbana. Dengan demikian, Generasi Gelanggang pada dasarnya justru melanjutkan kembali perjuangan Alisjahbana.

Dalam berbagai pembicaraan Angkatan 45, Surat Kepercayaan Gelanggang dianggap mewakili sikap pendirian dan wawasan estetik mereka. Dalam hal ini, meski dalam soal penerimaan pengaruh Barat, kita masih dapat menelusuri jejak Alisjahbana, demikian juga pandangan mengenai tradisi masa lalu yang dikatakan ?tidak ingat kepada me-laplap hasil kebudayaan sampai berkilat? tetapi memikirkan kebudayaan baru yang sehat,? angkatan ini tampak lebih reflektif dan berhasrat menggali kemampuan sendiri. Jadi, di satu pihak Angkatan 45 menolak estetika Pujangga Baru, dan di lain pihak meneruskan semangat Sutan Takdir Alisjahbana dengan kemasan yang lain.

Sejumlah besar puisi Chairil Anwar dan para penyair sezamannya, menunjukkan sikap ambivalesi itu. Persoalan bentuk memang berhasil dihancurkan, tetapi tokh tidak sedikit pula penyair, termasuk Chairil Anwar sendiri, yang masih memanfaatkan pembagian bait dan bentuk persajakan zaman Pujangga Baru. Dalam hal pencapaian estetik, Chairil Anwar berada di atas penyair sezamannya. Capaian estetik itu kemudian seperti trend baru dalam perpuisian Indonesia. Asrul Sani, Toto Sudarto Bachtiar, Dodong Djiwapradja, Ajip Rosidi, adalah beberapa penyair waktu itu yang berhasil dengan sangat baik mengembangkan kecenderungan itu.
***

Sampai tahun 1970-an, reputasi Chairil Anwar tetap menjulang sendiri seperti sebuah monumen yang tak tergoyahkan. Munculnya Sutardji Calzoum Bachri (SCB) awal tahun 1970-an, memang menggebrak jagat perpuisian, bahkan kesusastraan Indonesia. Tetapi kebesaran dan reputasi Chairil Anwar tetap terjaga dalam satu kotak dan SCB berada dalam kotak yang lain. Kredo puisi SCB yang diproklamasikan 30 Maret 1973, masuk pula dalam kotak itu. Berbagai tanggapan bermunculan, tetapi tidak ada yang coba membandingkan kebesarannya dengan Chairil Anwar. Bahkan A. Teeuw dan Umar Junus, menyebutkan puisi SCB, seperti POT atau SHANG HAI dan puisi SCB lainnya yang semodel dengan itu sebagai tak ada artinya.

Sejumlah penyair senior juga tiba-tiba seperti mengalami sindrom buah apel, yaitu ketika seorang melabeli anggur yang menggantung di atas kepalanya sebagai masam, karena ia tidak sanggup meraihnya. Sesungguhnya, sejauh manakah capaian estetik SCB? Relevankah kita mambandingkan monumen yang telah ditancapkan Chairil Anwar dengan monumen (: capaian estetik) SCB? Mari kita cermati lebih jauh, siapakah gerangan sosok Sutardji Calzoum Bachri itu?
***

Di manakah tempat SCB dalam panggung kesusastraan Indonesia. Begitu pentingkah peranannya sehingga kebesaran Chairil Anwar layak menjadi ukuran untuk melihat kebesaran SCB? Sekadar catatan kecil, tulisan ini coba mengungkap sisi lain sosok SCB dan capaian estetik yang ditancapkannya.

Sutardji Calzoum Bachri bukan prototipe penyair yang membangun kerajaannya di atas kepala penyair yunior. Ia tak membesarkan diri lewat serangkaian wacana dan diskusi omong kosong. Ia tak punya komunitas yang memanggul dan menggotong dirinya ke segala pelosok. SCB bukan penyair yang gemar menebarkan uang, budi-jasa, dan pengaruh, agar karyanya mendapat sanjungan dan puja-puji. SCB tak punya kerajaan dan komunitas. Ia sendirian, tanpa serdadu, tanpa anak buah yang menjilati pantatnya. Ia sendirian dan tak suka kasak-kusuk. SCB tak punya karyawan yang dapat seenaknya dicekoki, diintimidasi, dan ditakuti bayang-bayang pemecatan. Ia sungguh sendirian dan tak peduli pada apa pun yang berkaitan dengan jaringan, komunitas, armada dan pesekongkolan yang saling membesarkan.

O, Amuk, Kapak, dan kredonya yang fenomenal dan monumental, antologi cerpen, Hujan Menulis Ayam, esai yang bertebaran, puisi-puisi yang terbaru yang masih berserakan, dan aksi panggungnya ketika membaca puisi, cerpen, atau ketika menyampaikan kecerdasan gagasannya, itulah kerajaannya. SCB membangun kerajaannya semata-mata karena karya dan aksi panggungnya. Ia membangun republik puisi di atas karya sendiri. Fenomena SCB tiba-tiba bagai badai yang menghempaskan para birokrat dan makelar kesusastraan dan kebudayaan. SCB terbang bersama karyanya. Menciptakan gempa yang meruntuhkan bangunan lama. Di atas reruntuhan itu, karya-karyanya menjulang sendirian, tanpa saingan, menjadi monumen. Para epigon pun gagal. Para pembebek terperosok pada lubang yang digalinya sendiri. Maka, jika kemudian SCB memproklamasikan diri sebagai Presiden Penyair, itu sudah hukum estetika.

SCB melahirkan karya-karyanya sendiri yang menggelinding, melindas, melibas, menerabas, melompat-lompat, dan menerbangkan penyairnya melayang-layang di puncak gunung. Dari sanalah, mereka yang tak punya sayap, menciptakan sindrom buah apel. Dari sanalah mereka menyalahkan lantai lantaran tak bisa berdansa. Mereka gemas, kesel, iri, tetapi SCB dengan karyanya, tetap bergeming, dan sekaligus terus menggelinding, bergerak melingkar macam spiral.

Karya-karya SCB sungguh telah membesarkan penyairnya. Bahkan, membesarkan kharisma dan wibawa kesusastraan Indonesia secara keseluruhan. Kultur etnik tiba-tiba terangkat. Tradisi serempak jadi bahan pencarian. Tipografi jadi asesori penting. Kata-kata?bahasa segera jadi alat permainan dan sekaligus ukuran kualitas kesastrawanan. Puisi serta-merta menjadi pentas bergengsi. Pembacaan puisi segera bergerak, membentuk pementasan artistik yang bermartabat. Pembacaan puisi menjadi pagelaran produk budaya yang asyik ditonton!

Dalam pentas dunia, Sastra Indonesia kini tak lagi sebagai warga sastra dunia, melainkan menjelma bagian dari sastra dunia itu sendiri. Maka, ketika para pengamat sastra Indonesia ?dalam dan luar negeri?secara seksama mencermati karya-karya SCB berikut kiprah kesastrawanannya selama hampir empat dasawarsa ini, Chairil Anwar tiba-tiba surut ke belakang. Berada dalam cengkeraman ngiau Tardji.

Dari sudut pandang, perspektif dan pendekatan disiplin ilmu apa pun, melalui berbagai kajian yang telah dilakukan, hanya satu kesimpulan yang paling pas menempatkan Sutardji Calzoum Bachri:
Sutardji Calzoum Bachri lebih besar dari Chairil Anwar!

_____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
http://sastra-indonesia.com/2008/10/chairil-anwar-atau-sutardji-calzoum-bachri/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati