Djoko Saryono *
/1/
Secara harfiah dan umum istilah katastrof(i/a) [catastrophe] bermakna bencana atau puncak malapetaka yang secara niscaya mengakibatkan atau menyebabkan pelbagai keguncangan mahadahsyat terhadap tata atau keteraturan (great disruption of order). Bahkan menimbulkan keterputusan (discontinuity), yang di dalamnya terkandung rangkaian krisis yang mulai terpetakan dan didapatkan jalan keluarnya.
Sebelum digunakan di pelbagai bidang seperti sekarang, setahu saya, istilah katastrofi tersebut sudah dipakai oleh Aristoteles dalam buku Poetics yang terbit Abad III Sebelum Masehi. Dalam Poetics, sebermula istilah katastrofi digunakan untuk menyebut tahapan alur cerita drama tragedi Yunani setelah klimaks atau puncak konflik pada satu pihak dan pada pihak lain sebagai tanda berakhirnya cerita.
Dalam drama tragedi Yunani, katastrof ditandai oleh ditemukannya jalan penyelesaian (resolusi) atas klimaks atau puncak konflik pada satu sisi dan pada sisi lain lazimnya ditandai oleh matinya tokoh utama secara tragis dan atau traumatis sebagai bagian akhir cerita (yang merupakan puncak bencana dalam drama tragedi). Inilah yang disebut katastrofi atau denouement dalam struktur dramatik tragedi Yunani.
Lihat saja lakon-lakon Sophocles, sang maestro drama-drama tragedi Yunani, semisal Oedipus Sang Raja, Oedipus di Colonus, dan Oedipus Berpulang, bahkan juga Antigone dan Electra. Betapa tragis dan traumatisnya kematian sang tokoh utama Oedipus, bahkan jalan hidup Oedipus. Di samping itu, juga tokoh-tokoh lain terutama ratu Jocasta, Antigone, dan Eelectra. Struktur dramatik pentalogi tragedi masyhur tersebut sungguh-sungguh menyuguhkan rangkaian bencana dahsyat, mencekam, menegangkan, meremukkan, dan tragis yang harus dijalani dan dialami oleh Oedipus (selain Jocasta, Antigone, dan Electra, bahkan warga kerajaan Thebes).
Ujungnya, kematian Oedipus yang teramat menyesakkan dada dan traumatis. Jalan dan ujung kematian yang sungguh tak tertanggungkan. Namun, seiring dengan itu, kehidupan warga Thebes mengalami katarsis, yaitu sebuah pencucian diri yang membuahkan pembaharuan ruhaniah dan pelepasan diri dari ketegangan tak tertanggungkan. Inilah intisari siklus katastrofi dalam lakon Sophocles.
/2/
Sesudah itu, dengan makna relatif sejajar atau paralel, istilah atau makna katastrofi tersebut dipakai untuk menyebut bermacam-macam bencana mahadahsyat atau malapetaka tak tertanggungkan dan tak terbahasakan yang menguncang tata atau keteraturan alam semesta, bumi, ekologi, dan atau kebudayaan manusia. Misalnya, sekarang sudah makin lazim digunakan istilah katastrofi geologis, katastrofi kosmis, katastrofi alam [tsunami atau badai Tornado, katastrofi lingkungan, katastrofi iklim, katastrofi manusia [genosida], dan katastrofi ekonomi dan finansial.
Pelbagai istilah frasal tersebut menggambarkan malapetaka atau bencana mahadahsyat yang berdaya merusak, menghancurkan, meruntuhkan, dan atau memunahkan. Bidang ilmu geologi, astronomi, klimatologi, dan ilmu lingkungan sekarang paling serius memakai istilah atau makna katastofi untuk menyebut bermacam bencana kosmis, galaksi, bumi, dan lingkungan yang luar biasa dahsyat yang mengakibatkan guncangnya atau rusaknya tata atau keteraturan kosmis, alam semesta, bumi, dan atau lingkungan.
Di samping itu, istilah katastrofi juga digunakan untuk menggambarkan bencana yang menciptakan ketidaksetimbangan, ketakselarasan atau kekacauan, bahkan berdampak menghancurkan, meruntuhkan, dan atau memunahkan tata-semesta (kosmologi), tata-bumi, tata-lingkungan, tata-sosial, dan bahkan tata-kebudayaan. Mungkin dalam imajinasi kita, sebuah katastrofi geologi, katastrofi bumi, dan katastrofi ekologis-lingkungan seperti perang Baratayudha: bukan hanya menghancurkan semesta, tetapi juga membinasakan kehidupan semua makhluk di bumi.
Temuan kajian bidang geologi, astronomi, ekologi, arkeologi, mitologi, naratif, dan bahkan juga sejarah kebudayaan telah menggambarkan malapetaka luar biasa atau bencana kosmis-ekologis-lingkungan mahadahsyat sudah berkali-kali terjadi dan berlangsung sepanjang sejarah (umur) alam semesta khususnya bumi. Secara ringkas hal tersebut dapat disebut katastrofi kosmis-ekologis-lingkungan.
Hal tersebut sudah beratus-ratus kali terjadi. Di samping itu, telah berlangsung dengan tingkat atau skala kedahsyatan dan kerusakan berbeda-beda dalam sepanjang umur jagat raya yang sudah jutaan tahun. Namun, terbukti jagat raya atau bumi kita tidak hancur lebur dan luluh lantak untuk kemudian berakhir (kiamat) begitu saja, melainkan memulai kembali dan memperbaharui diri secara evolutif-kreatif-inovatif
Buku The Upside of Down: Catastrophe, Creativity, and the Renewal of Civilazation karya Thomas Homer-Dixon (2006, Island Press, Washington) dan buku Encyclopedia of Disarters: Enviromental Catastrophes and Human Tragedies (2008, Greenwood Press, London) memberikan ilustrasi bagaimana katastrofi merusak dan menghancurkan bagian-bagian tertentu dari alam semesta (planet), bumi, dan ekologi-lingkungan. Selain itu, juga memunahkan atau membinasakan manusia beserta kebudayaan dan peradabannya. Namun, kemudian menumbuhkan diri, memperbaharui diri, dan membangkitkan diri kembali.
Setelah mengalami katastrofi kosmis-ekologis-lingkungan, sudah tentu pertumbuhan kembali dan pembaharuan diri (bagian-bagian tertentu) jagat raya atau bumi memakan waktu lama. Di samping itu, juga berbeda-beda (tidak sama) dalam rentangan umur jagat raya atau bumi. Hal tersebut tampaknya merupakan perintah historis kehidupan alam semesta, bumi, dan lingkungan pada satu sisi dan pada sisi lain merupakan perintah historis kemanusiaan, kebudayaan, dan peradaban
/3/
Berbagai informasi geologis, astronomis, ekologis, arkeologis, historis-kultural, mitologis, dan atau naratif memperlihatkan bahwa katastrofi kosmis-ekologis-lingkungan telah menimbulkan rangkaian tragedi kosmis-ekologis-lingkungan (sekaligus rangkaian trategi kemanusiaan). Seperti rangkaian tragedi lakon drama Yunani yang bersifat siklis, rangkaian tragedi kosmis-ekologis-lingkungan tersebut berlangsung secara siklis, yaitu sebuah kejadian berangkai-ulang (simak buku The Cycle of Cosmic Catastrophe karya Richard Firestone, Allen West, and Simon Warwick-Smith, 2006, Bear and Company, Vermont).
Disebut demikian karena dalam sepanjang umur alam semesta terutama galaksi dan bumi (yang sudah terentang jutaan tahun) sudah pernah terjadi berbagai macam malapetaka atau bencana kosmis-ekologis-lingkungan mahadahsyat tak tertanggungkan dan tak terbahasakan. Hal ini mengakibatkan tiga hal pokok. Pertama, kolapsnya dan luluh lantaknya bagian-bagian alam semesta, bumi, ekologi, dan lingkungan. Kedua, kolapsnya dan musnahnya beratus-ratus kebudayaan dan peradaban di pelbagai penjuru dunia atau bumi. Ketiga, punahnya pelbagai golongan manusia (bisa ras, etnis, dan lain-lain) yang menghuni muka bumi atau malah umat manusia pada umumnya.
Tiga hal tersebut senantiasa bertali-temali sehingga katastrofi kosmis-ekologis-lingkungan tidak melulu menempuh jalan tunggal. Namun, juga selalu menimbulkan dampak multi-wajah, multi-arah, dan multi-sektor yang saling berkaitan erat [terutama antara alam semesta (bumi), kebudayaan, dan umat manusia]. Sekadar contoh, katastrofi supervulkano gunung Toba tua (74.000 tahun lalu) tak hanya meruntuhkan atau merusak tata alam semesta, melainkan (secara serempak) juga menghancurkan atau memunahkan kebudayaan dan manusia di berbagai belahan dunia.
Demikian juga, sekadar contoh yang dekat dengan kita, katastrofi letusan vulkanik Gunung Tambora (1815 M) tak hanya menguncangkan keteraturan tata-alam secara global. Tetapi, juga telah membinasakan atau memunahkan manusia dan kebudayaan di sekitarnya (terutama manusia dan kebudayaan Bima/Mbojo. Bahkan juga pertambangan-purba emas di sekitar wilayah Batu Hijau yang sekarang menjadi Newmont-Sumbawa).
Selain daya dan kemampuan alam semesta terutama bumi ‘menyembuhkan diri sendiri’ secara alamiah-organik, daya dan kemampuan manusia yang tersisa dalam katastrofi kosmis-ekologis-lingkungan tersebut akan sangat menentukan munculnya, tumbuhnya, bangkitnya, dan atau berkembangnya kebudayaan dan peradaban baru sesudah terjadinya tragedi kosmis-ekologis-lingkungan. Di sinilah kita dapat menyaksikan siklus hancur-bangkitnya dan punah-tumbuhnya umat manusia atau golongan manusia beserta kebudayaan dan peradabannya.
Dengan cukup gamblang hal tersebut sudah dipaparkan dalam buku The Upside of Down: Catastrophe, Creativity, and the Renewal of Civilazation karya Thomas Homer-Dixon (2006, Island Press, Washington) dan buku Encyclopedia of Disarters: Enviromental Catastrophes and Human Tragedies (2008, Greenwood Press, London). Kedua buku tersebut secara analitis telah memaparkan betapa tiap-tiap katastrofi kosmis-ekologis-lingkungan atau bencana mahadahsyat senantiasa mengakibatkan tragedi kebudayaan dan manusia. Di samping itu, juga kreativitas-inovasi manusia yang masih tersisa (tak ikut punah) menentukan pembaharuan, pertumbuhan, dan perkembangan kebudayaan dan peradaban baru.
Selain itu, dalam tiga bukunya yang sangat mengesankan, yaitu Guns, Germs, and Steel (2013), Collapse (2014), dan The World until Yesterday (2015), Jared Diamond telah mengisahkan perkara jatuh-bangunnya dan punah-tumbuhnya beratus-ratus kebudayaan dan peradaban di bumi akibat katastrofi kosmis-ekologis-lingkungan. Pada sisi lain, juga daya dan kemampuan manusia membangun, membangkitkan, (dan kemudian memajukan kembali) kebudayaan dan peradabannya melalui pelbagai revivalisasi, revitalisasi, atavisasi, rejuvinasi, dan kreasi-inovasi kebudayaan dan peradaban.
Temuan Jared Diamond dalam Collapse (2014) memperlihatkan bahwa lima faktor yang lazim meruntuhkan atau menumbangkan kebudayaan dan peradaban. Kelimanya adalah (a) kerusakan alam dan lingkungan, (b) perubahan iklim bumi, (c) pengaruh peradaban musuh, (d) pengaruh peradaban sahabat, dan (e) yang terpenting tanggapan masyarakat terhadap masalah alam semesta dan lingkungan.
Hal tersebut menunjukkan, siklus tragedi katastrofi kosmis-ekologis-lingkungan selalu berkorespondensi dengan tragedi manusia sekaligus tragedi kebudayaan dan peradaban. Di samping itu, juga selalu diikuti oleh transformasi alam semesta (bumi, ekologi, lingkungan, dan lain-lain) sekaligus transformasi manusia beserta kebudayaan dan peradabannya. Di sini seperti terbentuk dialektika antara penghancuran dan pembaharuan, perusakan dan pemulihan, pemusnahan dan pertumbuhkembangan bagian-bagian tertentu dari alam semesta, bumi, dan lingkungan sekaligus manusia beserta kebudayaan dan peradabannya.
Sebab itu, dapat dikatakan, katastrofi kosmis-ekologis-lingkungan tidak pernah berlangsung singular, linier, dan mengikuti hukum kausalitas tunggal; melainkan berlangsung secara sirkular-siklis dan multi-kausalitas. Hukum linieritas, singularitas, dan kausalitas-tunggal tampaknya tidak berlaku dalam punah-tumbuhnya dan runtuh-bangkitnya kebudayaan dan peradaban yang ada di sepanjang sejarah bumi dalam kaitannya dengan katastrofi kosmis-ekologis. Sejarah kebudayaan dan peradaban manusia tidak pernah lurus dan tunggal maju ke depan (linier, singular, dan progresif). Tetapi, justru selalu penuh tikungan tajam (linguistic turn) dan bahkan terpatah-patah (diskontinu) dan menyebar secara acak (multipolar, multiversal).
Dalam sepanjang kehidupan bumi kita dapat menemukan tikungan dan patahan sejarah kebudayaan-kebudayaan dan peradaban-peradaban besar-ternama yang dikenal oleh manusia. Kata para ahli, kita menyaksikan diskontinuitas kebudayaan dan peradaban sekaligus multipolaritas—multiversalitas siklus kebudayaan dan peradaban. Demikianlah, sekadar contoh, kita bisa menemukan tikungan tajam dan patahan sejarah kebudayaan dan peradaban di Sumeria, Persia, Yunani, Cina, Timur Tengah, Eropa, Amerika Latin (Aztec, Maya), dan lain-lain.
Tikungan tajam dan patahan sejarah kebudayaan dan peradaban tersebut senantiasa meninggalkan puncak-puncak pencapaian kebudayaan dan peradaban, yang sekarang lazim kita kemodernan (modernitas). Ini mengimplikasikan, masing-masing kebudayaan dan peradaban di bumi, sebelum tumbang-tumpas dihempas katastrofi kosmis-ekologis-lingkungan, selalu memiliki kemodernan (modernitas) masing-masing, yang bisa mirip, bisa pula berbeda. Karena itu, dalam sepanjang umur kehidupan alam semesta (bumi), sesungguhnya dapat kita temukan pelbagai kemodernan kebudayaan dan peradaban (modernitas) sehingga di bumi terdapat multi-modernitas (bukan mono-modernitas), trans-modernitas, multi-versalitas (bukan uni-versalitas) dan transversalitas.
Implikasinya, dalam sepanjang umur jagat raya ada bermacam-macam modernitas baik secara historis-geologis maupun geokultural. Di sinilah kita bisa mengatakan ada modernitas Sumeria (Babylonia), modernitas Aztec, modernitas India Kuno, modernitas Cina Kuno, modernitas Yunani Kuno, modernitas Abbasiyah, dan lain-lain. Modernitas pada masa lampau tersebut dapat disebut sebagai paleomodernitas [paleomodernity] (saya meminjam istilah dari John David Ebert, The Age of Catastrophe, 2012, hlm. 17). Dalam pada itu, modernitas-modernitas pada masa sekarang yang bertebaran di pelbagai penjuru bumi (yang tumbuh dan berkembangnya sesudah katastrofi kosmis-ekologis-lingkungan tertentu) dapat disebut sebagai multimodernitas atau transmodernitas [transmodernity] (saya pinjang istilah dari Enrique Dussel dan Maria Rosa Rodriques).
Sudah barang tentu modernitas kebudayaan dan peradaban yang dimaksud tidak sama dengan modernitas dalam pengertian-pemahaman kita sekarang (yang sangat bercorak eurosentris-kontinental, singular, linier, dan posivistis). Namun, masing-masing kebudayaan dan peradaban yang dimaksud dapat disebut modern.
Tantangan dan tugas para ahli dan peneliti berbagai bidang ilmu (di sini geologi, astronomi, arkeologi, ilmu sejarah, antropologi, sosiologi, dan lain-lain) untuk menggali dan merumuskan sosok atau karakteristik modernitas-modernitas yang pernah ada di bumi kita. Di sinilah kita perlu membangun ilmu-ilmu baru (hybrid science) karena bidang ilmu lama yang sangat disipliner dan partikular tidak akan sanggup merumuskan secara komprehensif corak-corak modernitas di berbagai zaman dan tempat (tak heran Gayatri Spivak menulis buku The Death of Disciplines).
/4/
Berhubung kehidupan di bumi ini mustahil bermula dari creatio ex nihilo, ada kemungkinan besar bangkit-tumbuh-kembangnya kebudayaan dan peradaban tertentu setelah katastrofi kosmis-ekologis-lingkungan didasarkan atas tapak-tapak atau tilas-tilas kebudayaan dan peradaban modern yang pernah ada sebelumnya di samping didasarkan atas kreasi-inovasi baru umat manusia. Di sinilah modernitas (puncak pencapaian) pelbagai kebudayaan dan peradaban yang pernah ada di bumi saling memberi kontribusi bagi kebudayaan dan peradaban bumi.
Saling bergantung, saling pengaruh, silang budaya, dan saling menyerbuki (fertilisasi budaya) kebudayaan dan peradaban dalam rangka revitalisasi, rejuvinasi, atavisasi, revivalisasi, konservasi, dan atau transformasi kebudayaan dan perabahan merupakan hal lumrah dan tak terelakkan dalam sejarah. Dalam kenyataan konkreat sehari-hari, tidak ada kemurnian dan keaslian kebudayaan dan perabadan modern di pelbagai penjuru bumi. Kebudayaan dan peradaban modern di suatu tempat, ruang, lokasi atau kawasan merupakan sedimentasi pelbagai kebudayaan dan peradaban – yang terlebur atau terpadu di dalam mangkok kebudayaan dan peradaban tertentu.
Meminjam konsep Jaques Derrida, semua modernitas kebudayaan dan peradaban selalu saling berkontaminasi sehingga tidak perlu dipulangkan kepada kemurnian dan keaslian. Kemurnian dan keaslian hanyalah ilusi atau utopia orang-orang yang tak berpijak di bumi, senantiasa selalu mengawang-awang di alam fantasi, yang kemudian menjadi politik identitas chauvinistik yang dibayangkan kekal dan abadi. Jika ditelaah secara cermat, serat-serat atau sedimentasi-sedimentasi pelbagai kebudayaan dan peradaban tertentu dapat menginformasikan bahan-bahan “bangunan” kebudayan dan peradaban yang berkonstribusi membentuknya.
Saling-memberi, saling-menyerbuki, saling-menumbuhkan, dan saling-mewariskan itulah yang memungkinkan bangkit dan berkembangnya suatu kebudayaan dan peradaban setelah dilanda tragedi kosmis-ekologis-lingkungan. Di sinilah umat manusia tidak layak jumawa, angkuh, dan congkak. Tetapi, senantiasa harus rendah hati dan saling-menghormati dan saling-menghargai. Ekstresmisme, eksklusivisme, narsisme, dan sikap-sikap anti-sosial bisa jadi merupakan akar kerapuhan dan kerusakan kelangsungan kehidupan di bumi. Dalam jangka panjang – langsung atau tak langsung – hal tersebut menyumbang bagi terjadinya tragedi kosmis-ekologis-lingkungan sekaligus patahan sejarah kebudayaan dan peradaban.
Untuk itu, pandangan-pandangan dan pikiran-pikiran yang condong merasa paling benar atau benar-sendiri dan anti-sosial ekologis dan anti-sosial kultural harus ditolak. Kita harus menumbuhkan pikiran dan pandangan saling mengakui, saling menghormati, dan saling menghargai demi kelangsungan kehidupan di bumi agar tragedi kosmis-ekologis-lingkungan tidak memusnahkan umat manusia pada masa depan. Berani? Mari kita selamatkan bumi, kita rawat bersama alam semesta.
***
____________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
http://sastra-indonesia.com/2020/03/katastrofi-tragedi-kosmis-ekologis-dan-patahan-sejarah-kebudayaan/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar