Soni Farid Maulana
Pikiran Rakyat, 18 Juni 2010
Tumbuh dan berkembangnya sastra Indonesia pada satu sisi,
tidak lepas dari peran H.B. Jassin, yang pada zamannya menempatkan diri sebagai
kritikus sastra. Apa yang ditulis, H.B. Jassin saat memberikan ulasan terhadap
apa yang telah dibacanya itu, sebagaimana dikatakan novelis Mochtar Lubis dalam
buku H.B. Jassin 70 Tahun (1987) tidak membunuh, melainkan memberikan motivasi.
Tujuannya adalah, agar di kemudian hari, sastrawan yang diulas karyanya itu
bisa menulis lebih baik lagi.
Baik H.B. Jassin maupun Mochtar Lubis, keduanya telah
dipanggil Allah SWT. Keduanya, pada sisi yang lain, telah pula memberikan
sumbangan yang cukup berarti bagi pertumbuhan moral dan intelektual di negeri
ini. Paling tidak, lewat novel ataupun sejumlah esai yang ditulisnya, Mochtar
Lubis, telah memberikan penyadaran kepada bangsa dan negara ini agar jangan
segan-segan melawan ketidakadilan, termasuk melawan korupsi yang hingga kini wabahnya
semakin menjadi-jadi.
Sedangkan H.B. Jassin, selain meninggalkan sejumlah buku
esai yang ditulisnya, telah pula mewariskan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B.
Jassin, yang hingga kini keberadaannya masih terus dimanfaatkan, baik oleh para
pelajar, mahasiswa, ataupun para peneliti asing yang datang ke Indonesia untuk
mendalami apa dan bagaimana sastra Indonesia dari zaman ke zamannya. Pusat
dokumentasi sastra tersebut berlokasi di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta,
yang peresmiannya dilakukan oleh Gubernur DKI Jaya, Ali Sadikin pada 30 Mei
1977.
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, yang juga dikenal sebagai
penyair terkemuka saat ini, dalam percakapan singkat di Komunitas Salihara,
tempo hari mengatakan, apa yang dikerjakan H.B. Jassin selama ini tak bisa
dipandang sebelah mata. Ketekunannya merawat taman sastra Indonesia pada
zamannya, telah banyak melahirkan sastrawan. Salah seorang sastrawan, yang
mendapatkan perhatian serius dari H.B. Jassin adalah Chairil Anwar. Selain itu,
tentu saja berdirinya PDS H.B. Jassin, layak didukung oleh berbagai pihak.
Kepentingannya bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk hari mendatang.
Berkait dengan hal tersebut di atas, percakapannya dengan
penulis, lewat jejaring sosial Facebook (10/6), kritikus sastra Maman S.
Mahayana, yang kini menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies,
Seoul, Korea, me-ngatakan, ketika H.B. Jassin masih hidup, ia setiap hari
mengkliping semua tulisan apa pun yang berkaitan dengan sastra. Koran-koran
atau majalah yang dikirim ke PDS, diperiksa satu-satu. Jika ada tulisan yang
berkaitan dengan sastra, ia akan menandainya, dan kemudian mengkliping tulisan
itu. Termasuk juga catatan apa pun yang dilakukan sastrawan.
“Sebagai contoh, di PDS H.B. Jassin, masih tersimpan
catatan Chairil Anwar yang ditulis pada bekas bungkus rokok. Isinya, Chairil
Anwar menya-takan bahwa ia datang ke rumah Pak Jassin, tetapi tidak ada orang.
Oleh karena itu, ia berterima kasih karena telah menghabiskan makanan di lemari
Pak Jassin dan sekaligus memberi tahu bahwa Chairil meminjam salah satu buku
koleksi Pak Jassin. Itu catatan tidak penting. Akan tetapi Pak Jassin
menyimpannya. Bukankah sekarang catatan itu menjadi berharga dan kita sekarang
tahu, bahwa Chairil memperlakukan rumah Pak Jassin seperti rumahnya sendiri,”
ujar Maman.
Sekarang, menurut Maman lebih lanjut, PDS H.B. Jassin
lebih berfungsi sebagai perpustakaan sastra. Sebagai pusat dokumentasi sastra
(Indonesia) memang PDS H.B. Jassin paling lengkap dan khusus. “Sayang,
kelebihan itu tidak diikuti oleh komitmen serius para pegawainya. Misalnya,
bagaimana PDS H.B. Jassin proaktif mengirimi semacam surat pemberitahuan kepada
sastrawan dan dewan kesenian di seluruh Indonesia agar me-ngirimkan
karya-karyanya. Jika tidak bisa membeli, minimal, mencatatkan nama dan data
publikasi supaya dapat dicatat dan didokumentasikan di PDS H.B. Jassin. Begitu
juga, seharusnya PDS H.B. Jassin mengirimi surat ke perguruan tinggi yang ada
fakultas sastranya agar mengirimkan data para penulis skripsi. Dengan demikian,
akan diketahui, karya siapa saja yang pernah diteliti atau dijadikan skripsi
mahasiswa. Meskipun begitu, usaha PDS H.B. Jassin sekarang untuk selalu
welcome, terbuka untuk setiap peluncuran atau diskusi buku, tanpa dipungut uang
sewa tempat dan hanya sewa kursi dan biaya seperlunya, merupakan sumbangan yang
berharga bagi penyemarakan kehidupan sastra. Itu hal positif yang dilakukan PDS
H.B. Jassin. Juga usahanya mendatangkan sastrawan jika ada tamu dari sekolah
atau perguruan tinggi supaya ada dialog antara sastrawan dan pelajar atau
mahasiswa merupakan hal yang bagus,” ucap Maman S. Mahayana, yang juga dikenal
sebagai dosen di Jurusan Sastra Indonesia, di Universitas Indonesia (UI) Depok,
Jawa Barat.
Tentang PDS H.B. Jassin dewasa ini sering dijadikan
tempat peluncuran buku oleh para sastrawan dari berbagai kota di Indonesia,
memang tidak salah. Salah satu contoh, penyair Susy Ayu pada 19 Juni 2010
meluncurkan buku puisi Rahim Kata-kata dengan pembicara penyair Eka Budianta.
Antologi puisi tersebut merupakan antologi puisi pertama yang ditulis oleh Susy
Ayu. Sebelumnya, novelis sekaligus cerpenis Kurnia Effendi dan kawan-kawan
meluncurkan antologi cerita pendek Tukang Bunga dan Burung Gagak di tempat yang
sama.
Dengan adanya PDS H.B. Jassin, banyak sastrawan yang
merasa beruntung untuk mendokumentasikan apa yang telah ditulisnya itu di
tempat tersebut. Apa sebab? Karena yang didokumentasikan oleh PDS H.B. Jassin
bukan hanya berupa buku yang sudah terbit, tetapi yang berupa manuskrip,
klipingan koran, dan bahkan surat-surat pribadi pun didokumentasikannya.
Sejumlah majalah sastra yang kini tidak terbit lagi, seperti Kisah dan Zenith,
ada di sana. Di Bandung, salah seorang kritikus sastra yang sering memanfaatkan
PDS H.B. Jassin adalah Jakob Sumardjo.
Pada bagian lain, Maman S. Mahayana, mengungkapkan, jasa
penting almarhum H.B. Jassin, yang meninggal dunia pada 11 Maret 2000 lalu,
bagi bangsa dan negara Indonesia selain mendokumentasikan karya-karya sastrawan
Indonesia khususnya, dan luar negeri pada umumnya, adalah kedekatannya dengan
sejumlah besar sastrawan Indonesia memungkinkan H.B. Jassin mengenal secara
pribadi, melakukan komunikasi, dan memperoleh kepercayaan besar dari hampir
semua sastrawan Indonesia. Di samping itu, belum banyaknya para pengulas karya
sastra menjadikan H.B. Jassin seolah-olah satu-satunya kritikus Indonesia
terpercaya pada zamannya.
“Ketekunan dan kecintaan H.B. Jassin menjadikan tulisan
Jassin, seperti yang dapat kita baca pada Kesusastraan Indonesia dalam Kritik
dan Esei, cenderung apresiatif. Itulah yang menyebabkan banyak sastrawan
Indonesia yang berharap agar karya-karyanya dapat diulas H.B. Jassin. Oleh
karena itu, ketika bermunculan kritikus lain, seperti M.S. Hutagalung, S.
Effendi, M. Saleh Saad, atau Boen S. Oemarjati, nama H.B. Jassin yang telanjur
menjulang tinggi. Bahkan ketika muncul kritik aliran Rawamangun, di kala-ngan
sastrawan, nama H.B. Jassin telanjur begitu besar. Maka pengaruh Kritik Aliran
Rawamangun cenderung ber-kisar di kalangan dunia akademik. Kritik apresiatif
model Jassin, sayangnya tidak secara gencar diikuti oleh kaum akademisi. Oleh
karena itu, posisi Jassin tetap seperti tak tergantikan,” ujar Maman
menjelaskan.
Namun demikian, menurut Maman lebih lanjut, sekarang
tentu saja problemnya sudah berbeda dengan zaman H.B. Jassin. Pertama,
sentralitas Jakarta sudah tidak berlaku lagi. Kedua, kritik apresiatif yang
muncul di berbagai surat kabar dan majalah, juga tidak lagi terpusat di media
massa Jakarta. Ketiga, berbagai pendekatan dan model kritik sudah jauh lebih
canggih dan beragam. Bahwa nama Jassin sampai sekarang tetap dianggap sebagai
kritikus berwibawa, itu lebih disebabkan oleh pemitosan yang dilakukan
sastrawan sendiri, mengingat dunia akademik seperti asyik masyuk dengan kritik
akademis dan tidak mau coba lebih rajin memperkenalkan kritik apresiatif.
“Jika kita cermati semua tulisan Jassin yang berupa
kritik, sesungguhnya H.B. Jassin tak menyodorkan model kritik yang khas dan
canggih. Jassin sama sekali tidak coba melandasi kritiknya berdasarkan teori
atau pendekatan yang kemudian menjadi konsep teoretik, sebagaimana yang
dilakukan Aliran Rawamangun, atau Dami N. Toda pada karya-karya Iwan Simatupang
atau Abdul Hadi W.M. yang coba merumuskan konsep estetik Angkatan ’70. Sekali
lagi, saya tegaskan: Kritik Jassin adalah kritik apresiatif, seperti yang
terjadi di berbagai surat kabar dan majalah sekarang. Jadi, jika ada anggapan
kritik sastra Indonesia sekarang ini seperti mengalami kemadekan, pandangan itu
selain lantaran tidak tahu konsep kritik, juga tidak membaca secara cermat
kritik-kritik Jassin dan coba membandingkannya dengan kritik yang berkembang di
lingkungan kampus. Begitulah, jasa terbesar Jassin sesungguhnya bukan pada
kritik, melainkan pada usahanya melakukan pendokumentasian karya,” ucap Maman,
yang saat ini tengah merampungkan kumpulan esainya tentang puisi Indonesia
modern.
Sementara itu, penyair, cerpenis, yang juga dikenal
sebagai jurnalis, Kurniawan Junaedhie, mengatakan, kehadiran H.B. Jassin pada
zamannya sangat penting, apalagi pada saat itu belum ada jaringan internet.
Data-data yang dikumpulkan H.B. Jassin tentang sastra Indonesia, bisa kita
nikmati sekarang antara lain berkat jasa H.B. Jassin.
“Ini mungkin guyon, ’kesalahan’ H.B. Jassin, sebagai
kritikus dan paus sastra kita, adalah menobatkan Chairil Anwar sebagai tokoh
Angkatan ’45. Ini yang mengakibatkan citra penyair jadi harus seperti Chairil
Anwar sampai sekarang, yakni hidup bohemian, gondrong, acak-acakan dan
sebagainya. Kalau saja H.B. Jassin memilih tokoh lain, mungkin saja, citra
kepenyairan kita akan lain ceritanya,” ujar Kurniawan sambil tertawa ngakak.
Tentu saja, keunggulan Chairil Anwar menulis puisi tidak dibantah Kurniawan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar