Kamis, 20 Desember 2012

Presiden Malioboro

Emha Ainun Nadjib *
Oase Kompas, 17 Des 2012

SYUKUR kepada Tuhan yang memperkenankan saya berjumpa dengan Umbu Landu Paranggi. Satu-satunya orang yang pernah digelari sebagai Presiden Malioboro oleh media massa, kalangan intelektual, aktivis kebudayaan, 42 tahun yang lalu. Di zaman ketika orang masih mengerti bagaimana menghormati keindahan. Di kurun waktu tatkala manusia masih punya perhatian yang jujur kepada rohani, masih menjunjung kebaikan dan masih percaya kepada kebenaran.
Kemudian sebagai ”jebolan Universitas Malioboro”, hampir setengah abad saya lalui ”jalan sesat”, dan kini saya terjebak di kurungan peradaban di mana manusia mengimani kehebatan, bertengkar memperebutkan kekuasaan, mentuhankan harta benda, bersimpuh kepada kemenangan, serta memompa-mompa diri untuk mencapai suatu keadaan yang mereka sangka keunggulan.

Secara teknis saya mengenal Umbu sebagai pemegang rubrik puisi dan sastra di Mingguan Pelopor Yogya yang berkantor di ujung utara Jalan Malioboro, Yogyakarta. Bersama ratusan teman-teman yang belajar menulis puisi dan karya sastra, kami bergabung dalam Persada Studi Klub. Puluhan tahun kemudian saya menyadari bahwa saya tidak berbakat menjadi penyair, dan ternyata yang saya pelajari dari Umbu bukanlah penulisan puisi, melainkan ”kehidupan puisi”, demikian menurut idiom Umbu sendiri.

Antara Tugu hingga Kraton, terdapat empat jalan. Pertama, Margoutomo, terusannya, sesudah rel KA, bernama Malioboro. Jalan lanjutannya adalah Margomulyo, kemudian dari Kantor Pos hingga Kraton adalah Jalan Pangurakan. Sekarang jalan itu bernama Jalan Mangkubumi dan Jalan Jenderal Ahmad Yani: wacananya, filosofinya, kesadaran sejarahnya, sudah mengalami perubahan dan penyempitan, dari falsafah karakter manusia ke catatan romantisme sejarah. Hari ini bahkan Malioboro adalah pariwisata, kapitalisme dan hedonisme pop.

Wali pengembara

Ketika berdiri, kepemimpinan kesultanan Yogya meyakini bahwa setiap manusia sebaiknya memastikan dirinya menempuh jalan utama. Tafsir atas jalan utama sangat banyak. Bisa pengutamaan akal dan budi, bukan menomorsatukan pencapaian kekuasaan, kesejahteraan ekonomi, atau eksistensialisme ngelmu katon alias kemasyhuran yang pop dan industrial. Bisa juga jalan utama adalah ”berbadan sehat, berbudi tinggi, berpengetahuan luas, berpikiran bebas”, atau apa pun yang intinya memaksimalkan peran kemanusiaan untuk fungsi rahmat bagi seluruh alam semesta.

Untuk menguji diri dalam pilihan jalan utama, maka Malioboro berasal dari ”malio-boro”. ”Malio” artinya jadilah wali, mengelola posisi kekhalifahan, menjadi wakil Tuhan untuk memperindah dunia, mamayu hayuning bawana. Malioboro artinya jadilah wali yang mengembara (boro): mengeksplorasi potensi-potensi kemanusiaan, penjelajahan intelektual, eksperimentasi kreatif, berkelana di langit rohani. Nanti akan tiba di jalan kemuliaan (margo-mulyo). Dalam idiom Islam, yang diperoleh bukan hanya ilham (inspirasi) dari Tuhan, tapi juga fadhilah (kelebihan), ma’unah (keistimewaan), dan karomah (kemuliaan).

Di ujung Jalan Margomulyo, orang menapaki Pangurakan. Jiwanya sudah ”urakan” (ingat Perkemahan Kaum Urakan-nya Rendra di awal 1970-an?): sudah berani mentalak kepentingan dunia dari hatinya, ya dunya ghurri ghoirii, laqat thalaqtuka tsalatsatan: wahai dunia, rayulah yang selain aku saja, sebab kamu sudah kutalak-tiga. Bahkan diri sendiri sudah ditalak, karena diri sejati adalah kesediaannya untuk berbagi, kerelaannya untuk menomorsatukan orang banyak. Parameter manusia bukanlah siapa dia, melainkan seberapa pengabdiannya kepada sesama.

Kekasih Umbu

Ah, tetapi itu terlalu muluk. Untuk Presiden Malioboro ini saya kembali saja ke sesuatu yang kecil dan sepele.

Menjelang tengah malam, di tahun 1973, Umbu datang ke kamar kos saya dan mengajak pergi. Sebagaimana biasa saya langsung tancap, berjalan cepat mengejar langkah Umbu yang panjang-panjang. Hampir tiap malam kami jalan kaki menempuh sekitar 15 sampai 20 km di jalanan Yogya. Sebulan dua bulan sekali kami mengukur jarak Yogya ke Magelang, ke Klaten, ke Wates, ke Parangtritis, dengan jalan kaki, atau duduk saja di trotoar sesudah toko-toko tutup hingga pagi para pelajar berangkat sekolah.

Umbu mengajak saya mlaku, bukan mlaku-mlaku. ”Jalan”, bukan ”jalan-jalan”. Ada beda sangat besar antara ”ngepit” dengan ”pit-pitan”, antara naik sepeda dengan bareng-bareng bersepeda gembira.

Malam itu Umbu menerobos Keraton Yogya bagian tengah dari arah barat, menempuh jarak sekitar 3 km. Umbu mengajak berhenti di warung kecil seberang THR. Duduk. Pesan teh nasgithel, berjam-jam tidak bicara sepatah kata pun, ah-uh-ah-uh sendiri-sendiri, hingga pukul empat fajar hari. Beberapa kali dengan dua jari Umbu mengambil batangan rokok di kedalaman sakunya tanpa menoleh ke saya–jangankan mengeluarkan bungkusnya dan menawarkan agar saya juga menikmatinya.

Ketika jam empat tiba, Umbu bergumam lirih, ”Coba lihat keluar, Em…”. Saya bertanya, ”Lihat apa, Mas?”, dia menjawab, ”Perhatikan nanti ada bus malam dari Malang masuk Yogya”. Saya melompat keluar, berdiri, berjaga-jaga di tepi jalan. Sebab saya mengerti, busnya tidak penting, tapi kota Malang itu sakral baginya. Ia berkait erat dengan kekasih hatinya.

Umbu sedang sangat jatuh cinta kepada seorang pelukis mahasiswi ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) asal Malang, gadis hitam manis, kurus, bergigi gingsul. Umbu mengambil saya sebagai tenaga outsourcing gratisan untuk mengerjakan program-program cintanya. Job description saya mengamati rumah tempat ia kos, posisi kamarnya, arah pintunya, rute kegiatannya, dan yang terpenting meneliti apakah si gadis pernah memakai rok. Sebab rata-rata pelukis wanita berpakaian lelaki. Kalau sempat melihatnya pakai rok, harus didata apakah maksi, midi ataukah mini. Ketika pada suatu malam minggu saya diperintahkan untuk bertamu ke rumah gadis itu sebagai ”duta cinta”, jauh malam sesudahnya saya diinterogasi: ”Apakah dia nemuin Emha pakai rok? Bagaimana bentuk kakinya?”

Ketika mendadak bus malam ”AA” meluncur dari arah selatan, saya kaget. Langsung saya teriak dan berlari memberitahu Umbu. Tapi dia tidak menunjukkan perilaku seperti lelaki yang jatuh cinta dan rela berjam-jam menunggu kekasihnya tiba. Di dalam warung Umbu tetap menundukkan wajah, mengisap rokok, tidak bereaksi kepada teriakan saya. Justru ketika suara bus menderu, wajahnya makin menunduk.

Semula saya pikir si kekasih akan turun di depan THR karena kencan dengan Umbu. Ternyata kemudian saya ketahui bahwa si kekasih bukan sedang naik bus dari Malang ke Yogya. Umbu hanya menikmati nuansa bahwa jalur Malang-Yogya itu paralel dengan jalur cinta yang sedang dialaminya.

Kehidupan puisi

Beberapa tahun kemudian Umbu pindah tinggal di Bali. Demikian juga si kekasih rohaninya, diperistri oleh seorang tokoh di Bali, kelak Tuhan memanggilnya ketika bermain surfing di pantai, sebagaimana Umbu sepanjang hidupnya surfing di atas gelombang demi gelombang, tanpa pernah mungkin bertempat tinggal di atas gemuruh lautan.

Siapa pun pasti menyebut percintaan Umbu itu platonik, pengkhayal, hidup tidak di dunia nyata. Dunia yang gegap gempita ini memang tidak nyata bagi Umbu. Maka ia tidak pernah memburu wanita itu untuk disentuh dan diperistrikannya. Sampai hari ini Umbu mengayomi anak-anak muda belajar menulis puisi, tapi Umbu sendiri menjauhi eksistensi sebagai penyair. Di tahun 1973 puluhan puisinya akan dimuat oleh Majalah Horison, elite media sastra di era 1970-an. Umbu diam-diam masuk ke percetakan di mana majalah itu dicetak, mencuri puisi-puisinya sendiri, dan menyembunyikannya sampai hari ini. Umbu sangat curiga kepada kemasyhuran dan popularitas.

Sejak 50 tahun silam meninggalkan harta kekayaan dan kekuasaannya sebagai Pangeran di Sumba. Di pinggiran Denpasar ia menempati rumah tepi hutan karena ia menghormati temannya yang membikinkan rumah itu. Umbu tiap saat berjalan kaki menjauh dari segala sesuatu yang semua orang di muka bumi mengejarnya. Ia menyebut seluruh keputusannya itu dengan idiom ”kehidupan puisi”. Saya mengenalinya sebagai ”zuhud”: berpuasa dari kemewahan dan gegap gempita dunia. Ia meninggalkan harta, kekuasaan, wanita, kemasyhuran, dan menyimpan uang dalam bungkusan plastik dipendam di tanah.

Di mana-mana orang riuh rendah mengejar dunia, tetapi di mana-mana pun orang ribut curhat tentang dunia. Ke mana pun saya pergi, ke delapan penjuru angin, dari bawah sampai atas, pada segmen dan level sosial yang mana pun, yang terutama saya dengar dan disampaikan kepada saya adalah keluhan-keluhan tentang dunia: kemiskinan, kesulitan mencari nafkah, susahnya dapat kerjaan, seretnya usaha.

Terkadang saya balik tanya, dengan terminologi agama: ”Lha kamu hidup ini mencari dunia atau akhirat?” Kalau ia menjawab ”mencari dunia”, saya tuding ”salahmu sendiri dunia kok dijadikan tujuan”. Kalau jawabannya ”mencari akhirat”, saya katakan ”kalau kamu mencari akhirat kenapa mengeluhkan dunia”.

Sayangnya Tuhan menyatakan–dan mungkin memang sengaja menskenario demikian–”kebanyakan manusia tidak mau berpikir”, atau minimal ”banyak di antara manusia yang tidak menggunakan akal”. Karena kemalasan mengolah logika dan sistem rasio, orang menyangka dunia dan akhirat itu dua hal yang berpolarisasi, berjarak, dan bahkan bertentangan. Orang ketakutan menyikapi dunia kritis karena mengira kalau mencari akhirat maka tak akan mendapatkan dunia. Orang mengira kalau tidak habis-habisan kejar uang maka ia tidak memperoleh uang.

Mengejar uang adalah pekerjaan dunia, pekerjaan paling rendah. Bekerja keras adalah pekerjaan akhirat, di mana dunia adalah salah satu tahap persinggahannya untuk diolah. Orang yang fokusnya bekerja keras memperoleh lebih banyak uang dibandingkan orang yang fokusnya adalah mengejar uang. Orang yang mencari dunia, mungkin mendapatkan dunia, mungkin tidak. Orang yang mengerjakan akhirat, ia pasti dapat akhirat dan pasti memperoleh dunia.

Begitu kumuh dan joroknya situasi umat manusia berebut dunia. Dan begitu indah dan bercahayanya ”kehidupan puisi” Umbu. Suatu hari saya mohon izin untuk membuktikan bahwa keindahan sesungguhnya adalah puncak kebenaran dan kebaikan. Peradaban manusia sampai hari ini menjalankan salah sangka yang luar biasa terhadap keindahan.

*) Emha Ainun Nadjib, penyair tinggal di Yogyakarta.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/12/presiden-malioboro.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati