Senin, 08 Oktober 2012

MELAWAN DENGAN SEGALA KEMAMPUAN DAN KETAKMAMPUAN

Malkan Junaidi
 
Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” (Mama, Anak Semua Bangsa)

Membicarakan Pramoedya Ananta Toer bukan saja mengenang Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), Gadis Pantai, Arok Dedes, Bukan Pasar Malam, Mangir, dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, namun juga mencermati sosok yang terus mengepalkan tangan menentang ketidakadilan dan penindasan. Bukan sekadar menentang, tetapi melawan! Melawan pelecehan kemanusiaan.
Membicarakan Pram berarti juga mempertanyakan segala usaha memapankan sebuah ideologi melalui sistem edukasi, mekanisme distribusi dan sirkulasi informasi, serta kekuasaan politik dan hegemoni militer. Pram bukanlah sekedar representasi dari utopia literer, Pram menghabiskan lebih dari sepertiga usianya dalam keringat, darah, dan dinginnya jeruji penjara. Ia hidup di puncak-puncak ketegangan kolonialisme, rasialisme, dan autokrasi berkedok demokrasi. Yang dilakukan Pram bukan cuma serangkaian usaha melawan imperialisme oleh bangsa asing, namun juga imperialisme oleh bangsa sendiri. Saat bedil tak lagi ia percayai sebagai alat juang, ia mengangkat pena, mengobarkan dan mengabadikan pikiran-pikirannya. Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia, demikian keyakinannya.

Labelisasi sebagai tokoh sayap kiri yang gencar dilakukan terutama sejak Angkatan Darat memegang nyaris seluruh kendali pemerintahan terbukti efektif mendiskreditkan lelaki yang selama 14 tahun dalam rezim Orde Baru menjadi Tapol tanpa proses pengadilan ini. Bahkan pengakuan blak kotang tanpa tedheng aling-alingnya sebagai penyokong Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) --- dan di saat yang sama penegasannya bahwa di tubuh Lekra sendiri ia teralienasi --- menjelma argumen legitimatif bagi pihak-pihak di seberangnya (terutama mereka yang ambisius mem-PKI-kan Lekra) untuk menghabisi kreatifitas dan karir intelektualnya. Namun dialektika historis pada saatnya menjungkirbalikkan doktrin dan opini abal-abal macam apapun. Sekarang tampak jelas bahwa Pram tidaklah berdiri di atas isme sebagaimana selama ini disangkakan dan dituduhkan. Saat orang mengutuk pemerintah kolonial Belanda, misalnya, ia justru berkata Orang Belanda itu nggak suka kekerasan. Dia suka perdamaian, atau saat orang berpikir Pram pastilah pendukung fanatik komunisme, ia malah enteng saja bilang Sosialisme itu ideologi. Ideologi bisa membosankan. Kalau bosan ya ditinggalkan. Ganti ideologi yang lain, atau meski ia berkali-kali menyatakan pemerintahan Soeharto hanya menyusahkan hidupnya, dan bahwa Mereka ini murid-murid Jepang fasis! Buat mereka, yang penting kekuasaan dan senjata!, namun ia cukup mendukung sistem kepartaian ala orde baru, karena menurutnya sistem multipartai hanya bikin kacau.

Paradoks? Mungkin saja. Namun bukan alasan yang cukup untuk menyimpulkan Pramoedya sebagai sosok yang plin-plan. Pram sebagaimana kesaksian teman-teman dan tulisan-tulisannya sendiri adalah pribadi yang sangat teguh dalam memegang prinsip. Dalam Anak Semua Bangsa, melalui tokoh Mama ia menyampaikan Barang siapa tidak tahu bersetia pada azas, dia terbuka terhadap segala kejahatan: dijahati atau menjahati. Agaknya bagi satu-satunya penulis Indonesia yang pernah dinominasikan untuk menerima nobel kesusasteraan ini berprinsip sama sekali tak boleh menafikan sikap kritis dan progresivitas ideologis-intelektual-estetis. Pramoedya bukanlah timur atau barat, kapitalis atau komunis, kuno atau modern, liberal ataupun konservatif. Di mana pun ada malaikat dan iblis. Di mana pun ada iblis bermuka malaikat, dan malaikat bermuka iblis, katanya. Pram bukan sosok yang dikotomis dan linear, memadzhabkannya pada isme tertentu hanya akan meredupkan kemeriahan pemikirannya. Ia adalah manusia biasa, memang, namun juga yang berusaha untuk selalu setia pada katahati, di situ luar biasanya.

Pram melewatkan masa kecilnya dalam neraka kependudukan Jepang yang dilukiskannya sebagai “…kehidupan macet. Pasar tak ada lagi, toko-toko tutup, barang tak ada lagi. Harga-harga melonjak. Harga beras melonjak sampai tiga sen seliter.” Sebagai anak sulung ia mewujudkan rasa tanggung jawabnya pada adik-adiknya dengan berjualan tembakau, benang lawe, piring, dan sebagainya. Tahun 1945 masuk dinas kemiliteran dan bekerja di bagian perhubungan, namun memutuskan keluar pada tahun 1947 akibat tidak tahan melihat berbagai praktek korupsi dan kesewenang-wenangan militer pada waktu itu. Kalau menghadapi musuh mereka lari. Tapi kalau menghadapi bangsa sendiri kejamnya bukan main, katanya. Tahun 1950-an Pram tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra. Agaknya visi kebudayaan Lekra sangat bersesuaian dengan apa yang menggejolak di batinnya. Bahwa kebudayaan tak boleh hanya jadi suplemen dari kehidupan ekonomi dan politik. Pengekor tanpa tendensi atau diabaikan seperti makhluk tiada guna. Kebudayaan harus menjadi bidang utama yang menentukan bulat-lonjong- persegi raut Indonesia. Lekra memperjuangkan hidupnya tradisi riset intensif dalam kerja kepenulisan yang dikenal dengan istilah Turba (turun ke bawah); berbaur dan menyelami kehidupan tani-nelayan-buruh; golongan dan atau kelas yang disebut Presiden Soekarno sebagai Sokoguru Revolusi, lalu merefleksikannya secara memadai melalui karya sastra dan kerja budaya yang lain. Bahwa kebudayaan memiliki posisi tawar dan merupakan cara paling damai mengajak dan memobilisasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif mendongkel kekuasaan kolonial dan feodal yang menghambakan rakyat. Lekra membantah pendapat bahwa kesenian dan ilmu bisa terlepas dari masyarakat. Lekra menganjurkan untuk mempelajari dan memahami pertentangan-pertentangan yang berlaku di dalam masyarakat maupun di dalam hati manusia, mempelajari dan memahami gerak perkembangannya serta hari depannya. Lekra menganjurkan pemahaman yang tepat atas kenyataan-kenyataan di dalam perkembangannya yang maju, dan menganjurkan hal itu, baik untuk cara-kerja di lapangan ilmu, maupun untuk penciptaan di lapangan kesenian. Semboyan dan azas kerja kreatif Lekra “politik adalah panglima” muncul dari pemahaman bahwa politik tanpa kebudayaan masih bisa jalan, tapi kebudayaan tanpa politik tidak bisa sama sekali.

Semua ini berkecocokan dengan sejarah kehidupan dan pemikiran Pram, dan oleh karenanya senantiasa menjadikan Pram konsisten “memadukan kreativitas individual dengan kearifan massa” dalam kerja budayanya. Suara-suara dari kelas yang tersisih dan tertindas yang ia dengar sendiri dengan jelas di sepanjang hidupnya digaungkannya dengan keras dan lantang melalui cerpen, novel, dan artikelnya. Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya , tapi tentang surga, dan jelas tidak terjadi di atas bumi kita ini. Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya. Pram menulis seperti bernapas, tak kenal waktu dan tempat. Ia menulis karena percaya banyak hal yang tak bisa dicapai melalui penyelenggaraan partai politik, pabrik, ketentaraan, juga demonstrasi, bisa dicapai dengan kesusasteraan. Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan. Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai. Demikianlah keyakinannya atas kemampuan fungsional sastra dalam membawa perubahan dan memberikan makna lebih dalam hidup. Perampasan naskah, pembredelan buku, dan pelarangan menulis tak pernah menyurutkan semangat atau menciutkan nyalinya. Malahan sikap represif, menolak untuk menjadi dewasa semacam itu, sebagaimana terbukti di manapun, justru semakin mengibarkan namanya di kancah internasional. Dengan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing agaknya belum ada hingga kini tandingan sosok penulis nusantara yang sekaliber Pramoedya. Hingga menjelang wafat Pram tetap berusaha kreatif; selain rutin melakukan hobi bakar sampah, ia pun masih rajin mengkliping artikel-artikel dari koran. Berkurangnya pendengaran dan deraan kepikunan seiring senjanya usia agaknya bukan berarti redanya tekad untuk melawan dengan segala kemampuan dan ketakmampuan.

19 April 2012
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/malkan-junaidi/melawan-dengan-segala-kemampuan-dan-ketakmampuan/372681672774811

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati