Ribut Wijoto
http://terpelanting.wordpress.com/
Diam-diam, bahasa Indonesia menyimpan problem unik bagi sastra, mirip dongeng: problem kerapuhan. Sejak ditahbiskan sebagai bahasa nasional, terhitung sejak 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia makin hari semakin dewasa, dan megah. Selebihnya adalah kecemasan, kebimbangan, dan pergeseran tiada henti-henti. Penyair W. Haryanto, sarjana lulusan Sastra Indonesia Unair, ikut terlibat di dalamnya. Dan kampungku telah menolak semua peralihanledakan angin, sebentuk sabit; dimana bahasaku (mungkin) tak memberi ruang pada semua lambang, semua kehadiraan (puisi “Peralihan”, 2002).
Ada kemegahan dalam puisi W. Haryanto. Dalam satu satuan gramatik, semacam kalimat sederhana, tercakup berbagai khasanah. Tentang kampung yang menolak peralihan, angin yang meledak, sebentuk sabit, tentang lambang, tentang kehadiran. Sebuah kemegahan yang dibungkus oleh kecemasan; di mana bahasa, mungkin, tidak memberi ruang kepada semua lambang dan kehadiran.
Mengapa penyair W. Haryanto memiliki kegamangan terhadap bahasa? Kiranya, pengakuan A.A. Navis sedikit memberi gambaran problem kebahasaan sastrawan Indonesia. Tahun 1972, di Taman Ismail Marzuki yang melegenda, Navis memberikan ceramah bertajuk “Proses Penciptaan”: “Mungkin karena saya tidak banyak bergaul dengan orang-orang yang memakai bahasa Indonesia. Sehingga ketika saya menulis, saya berpikir dalam struktur bahasa Minangkabau, lalu menuliskannya ke dalam bahasa Indonesia”.
Bahasa Indonesia, bahasa yang berasal dari lingua franca, bahasa Melayu Pasar, dan sekarang menjadi bahasa resmi, memiliki ratusan juta pengguna. Hampir seluruh penduduk kelas menengah Indonesia, termasuk sastrawan, menguasai bahasa Indonesia. Hanya saja, keintiman berbahasa Indonesia bagi seluruh masyarakat sangat dipertanyakan. Bahasa Indonesia lebih sebagai bahasa resmi daripada bahasa keseharian. Pada perkembangannya, bahasa Indonesia bergerak jauh untuk semakin meninggalkan bahasa-bahasa daerah, bahkan bahasa Melayu. Kondisi yang berbeda dengan masa penjajahan Belanda dan Jepang. Ketika itu, bahasa Indonesia yang resmi masih mengacu kepada data empiris dari bahasa suatu masyarakat penutur; bahasa Melayu yang dipergunakan di Sumatra, terutama Sumatra Barat dan Riau. Sifat-sifat keseharian amat menonjol. Dapat dinyatakan, ketika itu, bahasa Indonesia merupakan “bahasa yang bersifat kultural”. Dan kini tragis, A.A. Navis yang berasal dari Minangkabau (Sumatra Barat) pun merasa tidak akrab dengan bahasa Indonesia. Keterputusan terjadi dalam perkembangan bahasa Indonesia. Wujud kemegahan bahasa Indonesia menjadi rapuh dari dalam. Perkembangan bahasa Indonesia selayak nasib “gadis” dalam ilustrasi puisi Chairil Anwar “gadis manis iseng sendiri”. Bahasa Indonesia yang dimaksudkan sebagai bahasa Nasional, sebagai identitas bangsa, terjebak dalam dimensi kesepian. Bahasa yang iseng sendiri. Sastra Indonesia, sastra berbahasa Indonesia, yang iseng sendiri (?).
Bahasa Indonesia mengalami keterputusan dengan masa silamnya sendiri. Karakter dasar bahasa Melayu sedikit demi sedikit terkikis, melemah, dan nyaris pudar. Keterputusan yang dapat ilustrasikan dari pergeseran arti pepatah Melayu “bahasa menunjukkan bangsa”. Ariel Heryanto dalam tulisan “Berjangkitnya Bahasa-bahasa di Indonesia” (Prisma, I tahun XVIII) menyatakan, terjadi perbedaan arti “bangsa” dalam pepatah tersebut. Kata “Bangsa” berarti pemahaman keturunan, dan latar belakang sosialisasi “keluarga” yang memberikan keturunan seseorang. Sekarang, kata “bangsa” dalam pepatah tersebut diartikan sebagai bangsa dalam pengertian politik. Misalnya bangsa Inggris, Sinegal, Argentina, atau Jerman.
Terdapat unggah ungguh atau tingkatan bahasa dalam bahasa Melayu, sama seperti dalam bahasa Jawa yang mengenal adanya kelas “krama inggil” (ragam tinggi), “krama madya” (ragam menengah), dan “ngoko” (ragam rendah). Rustam Effendi ketika menuliskan bait-bait puisi, bukan beta bijak perperi, pandai menggubah madahan syair, bukan beta budak negeri, mesti penuhi undangan mair, saat itu, dia sedang menggunakan ragam bahasa Melayu tinggi. Ragam bahasa yang hanya layak dimiliki oleh keluarga kerajaan dan masyarakat kelas menengah-atas. Di situ, bahasa menandai kelas sosial.
Sedang bahasa Indonesia, oleh semangatnya yang nasionalis dan kebersamaan, diarahkan pada sifat universalitas. Bahasa tidak mencerminkan kelas sosial, kalaulah ada, itu hanya pada beberapa kata sapaan. Sebuah bahasa ideal. Bahasa yang dipersiapkan untuk “persamaan nasib sosial” bagi masyarakat penggunanya. Bahasa Indonesia memang bahasa ideal. Sebuah bahasa yang perkembangannya teratur dan terkontrol. Sebuah bahasa ciptaan; diciptakan oleh lembaga Pusat Bahasa. Pemerintah. Masyarakat sekadar diposisikan sebagai pengguna. Hak-hak penentuan dan pergeserannya karakter dibatasi undang-undang. Pemerintah pun perlu repot-repot menandaskan “bahasa yang baik dan benar” atau “Ejaan yang disempurnakan” (EYD). Pernah juga, kebijakan pemerintah dikeluhkan oleh masyarakat. Dua tahun pertama pemberlakuan EYD (1972), media massa disesaki oleh kritik dan ketidaksenangan masyarakat. Alasan yang diajukan seputar ketidakbiasaan, penyayangan karena Bahasa Indonesia kehilangan karakter ejaan, dan yang paling pokok alasan dana. Penggantian ejaan berarti penggantian seluruh buku atau tulisan cetak yang tertulis dalam ejaan lama. Masyarakat keberatan dengan besarnya biaya yang mesti ditanggung. Namun seperti dugaan semua orang, sosialisasi (namanya “sosialisasi” dan bukannya “pemaksaan”) pemberlakuan EYD berjalan dengan langkah tegap tak tertahan. Masyarakat tinggal memakai, pemerintahlah yang memproduksi, mengoperasikan, dan menafsirkan bahasa Indonesia. Tidak hanya EYD, pemerintah juga mengurusi tata cara serapan. Kata-kata bahasa asing atau bahasa daerah yang layak menghuni bahasa Indonesia. Dan yang paling riskan, bahasa Indonesia diimunkan dari tema-tema khusus. Tema-tema yang dianggap mempersoalkan kesukuan, agama, ras, golongan. Aturan bahasa yang “kaku dalam operasional” namun “remang-remang dalam batasan”. H.B. Jassin pernah dikenai 1 tahun penjara karena membela cerpen yang dianggap meresahkan umat (kasus cerpen “Langit Makin Mendung” karangan Ki Panjikusmin).
Aturan-aturan yang dilesakkan dalam Bahasa Indonesia, seluruhnya dilakukan oleh pemerintah, berpengaruh besar bagi kepemilikan dan keintiman bahasa. Masyarakat menjadi asing terhadap bahasa. Bagi masyarakat, bahasa Indonesia seperti berputar-putar dalam kepala sendiri. Bergerak semakin jauh dari kehidupan masyarakat, semakin jauh dari kondisi bahasa kultural. Bahasa Indonesia menjadi rapuh dari dalam. Bahasa Indonesia yang asyik iseng sendiri. Sastra Indonesia yang iseng sendiri(?).
Sulit memastikan keterkaitan langsung antara sastra dan bahasa. Satu yang tidak bisa dipungkiri, sastra memanfaatkan bahasa sebagai materi pokok. Patut pula ditengok pikiran F.W. Bateson dalam buku English Poetry and the English Language (Oxford, 1934, hal. vi): “Tesis saya menyatakan bahwa pengaruh zaman pada sebuah puisi tidak dilihat dari penyairnya, tapi dari bahasa yang dipakainya. Sejarah puisi yang sebenarnya, menurut saya, adalah sejarah perubahan jenis bahasa yang dipakai dalam beberapa puisi yang ditulis secara berurutan. Dan hanya perubahan-perubahan inilah yang merupakan akibat dari tekanan sosial dan kecenderungan intelektual”. F.W. Bateson percaya, bahasa berpengaruh besar terhadap karya sastra. Misalnya pengaruh bahasa pada puisi; dasar irama tiap bahasa berbeda-beda. Irama dalam Bahasa Inggris sangat ditentukan oleh tekanan kata, kuantitas menyusul sebagai faktor penentu kedua, dan pembatasan jumlah kata juga memainkan peranan. Perbedaan irama antara kalimat yang terdiri dari satu suku kata, dan kalimat yang terdiri dari lebih satu suku kata, sangat menonjol. Di Cekoslowakia, batas jumlah suku kata adalah dasar irama, yang diikuti oleh tekanan yang teratur. Kualitas hanya merupakan variasi yang kadang-kadang dipakai. Di Cina, tinggi rendah suara adalah dasar irama; sedangkan di Yunani, kualitas merupakan prinsip untuk menyusun puisi. Tinggi rendah suara dan pembatasan jumlah kata merupakan unsur variasi. Sastra bahasa Melayu pun senantiasa memperhitungkan pola rima dan jumlah suku kata. Pantun, talibun, bidal, syair, mantra, gurindam dua belas; semuanya memiliki bentuk rima yang berbeda-beda.
Bagaimanakah bahasa dalam sastra Indonesia? Apakah terjadi keterputusan juga dengan sastra tradisional? Penyair Indra Tjahyadi pernah menuliskan puisi yang apik. Ziarah atas burung-burung, cahaya dari rasa sakit yang bertumpuk, yang baru digali dari setiap kubur, seperti ikalan-ikalan topan, atau impian seribu gadis, dan pelacur. Puisi “Katastrope” dari antologi Manifesto Surrealisme (FS3LP Surabaya, 2002). Indra Tjahyadi telah melakukan produksi bahasa secara maksimal. Entah, dari belahan tradisi mana asal puitik Indra Tjahyadi. Puisi tradisional yang paling mungkin untuk mendekati adalah mantra. Itu pun dengan berbagai reduksi dan penambahan aspek. Atau, Indra Tjahyadi justru sama sekali tidak mengambil dari tradisi mantra. Bisa diartikan, puisi “Katastrope” tidak memiliki pijakan sastra tradisional.
Dilihat dari padanannya dengan dunia yang dibangun, puisi “Katastrope” juga sangat tidak sesuai dengan kenyataan empirik. Segalanya datang dan pergi tanpa bisa dikenali. Satu-satunya fakta yang tersisa dalam puisi Indra Tjahyadi ialah fakta bahasa. Ditinjau dari segi kategori bahasa Indonesia, puisi tersebut benar; larik-larik yang menggunakan kata benda, kata kerja, kata sifat, kata sandang. Secara fungsi bahasa Indonesia, puisi Indra Tjahyadi tidak memenuhi persyaratan minimal sebuah kalimat, subyek + predikat; larik-lariknya hanya berposisi sebagai subyek, predikat tidak ada. Ditinjau dari segi peran, puisi “Katastrope” juga tidak sesuai dengan tindak bahasa yang benar, pelaku dan penyertanya tidak ada. Hanya saja, seluruh larik-lariknya menggunakan kata dari bahasa Indonesia. Segi kategori-nya pun benar. Meski tidak menemukan paduannya dalam realitas, dunia dalam puisi Indra Tjahyadi bisa dibayangkan oleh pembaca. Aspek tema menyusul di pembacaan selanjutnya.
Keseluruhannya menempatkan puisi “Katastrope” dalam wilayah fantasi, puisi fantasi. Puisi yang hanya bersandar pada fakta bahasa, tanpa acuan realitas, atau “puisi membentuk realitas” tersendiri. Realitas puisi yang tidak perlu berurusan dengan realitas empirik. Ini berseberangan dengan harapan Nirwan Dewanto tentang sastra ideal. Pada buku Senjakala Kebudayaan, seraya merujuk puisi Octavio Paz dan novel Gabriel Garcia Marquez, Nirwan menegaskan, sastra mesti “mengimajinasikan realitas” dan bukannya “menghancurkan realitas”. Nirwan benar, puisi Paz dan novel Gabriel memang bersandar pada realitas Amerika Latin, dan oleh sandaran yang diolah secara cerdas, dua sastrawan tersebut layak memperoleh hadiah Nobel. Pernyataan Nirwanlah yang bermasalah, ialah sastra mesti seperti Paz dan Gabriel. Mengedepankan sastra imajinasi dengan serta merta merendahkan sastra fantasi. Bagaimana dengan Labirin Impian karangan Jorge Luis Borges, karya sastra yang amat berciri fantasi, teks-teks yang amat menghancurkan realitas. Dan bersandar pada puisi Indra Tjahyadi yang lugas namun beringas, bisa jadi, bahasa Indonesia berpotensi besar menghasilkan sastra fantasi yang bermutu. Bisa jadi juga, bahasa Indonesia kurang berpotensi menghasilkan sastra imajinasi. Bahasa Melayu justru berposisi sebaliknya, sifat kultural-keseharian yang diemban oleh bahasa tersebut memungkinkan lahirnya sastra yang mengimajinasikan realitas.
Para sastrawan Indonesia sebelum tahun 1950-an patut bersyukur. Bahan mentah sastra, saat itu, bahasa Melayu, belum terlalu direcoki oleh aturan-aturan. Pembakuan bahasa yang dilakukan Ch. A. van Openhusyen (1856-1917) dalam buku Spraakkunst van het Maleisch yang cemerlang, tidak lebih dan tidak kurang, berasal dari pendataan bahasa tulis dan terutama bahasa lisan yang dipergunakan oleh masyarakat Melayu. Openhusyen tidak melesakkan aturan-aturan aneh yang membuat bahasa Melayu berlainan dengan bahasa keseharian.
Sastrawan Nusantara tinggal memilih salah satu ragam, bahasa Melayu tinggi atau bahasa Melayu rendah. Kedua telah mengandung unsur asosiatif yang tebal. Bahasa yang dibentuk oleh kata-kata bermuatan kultural-mitologis. Hampir setiap kata merangsang kesan kejiwaan, transendensi, kesenyapan, atau traumatik ingatan. Kata-kata memrepresentasikan tuah. Ini disebabkan; bahasa Melayu difungsikan, dipercaya, dan dihidupi masyarakat. Bahasa sebagai produk kebudayaan. Bahasa Melayu dipergunakan dalam bahasa tulis biasa pun hasilnya sudah cukup memberi kesan. Sastrawan tinggal menyisipkan gagasan atas bahasa.
Kondisi bahasa Melayu jauh berbeda dengan bahasa Indonesia. Usaha Pusat Bahasa yang mencanangkan “satu kata satu makna” menyudutkan bahasa sekadar media informasi. Tidak ada kesan, tanpa asosiasi, kering, dan kurang menyiratkan aspek kejiwaan. Bahasa yang jauh dari kenyataan empirik. Bahasa ditekankan sebagai alat komunikasi daripada sebagai produk kebudayaan. Karya sastra fantasi, yang secara sifat, jauh dari kenyataan menemukan “wilayah subur” bahasanya. Tentu bukan tanpa jebakan, mulut-mulut kegenitan sudah siap menganga dan siap melumat karya sastra menjelma karya sampah.
Belajar kepada Borges, sastra fantasi memang dimaksudkan miskin rujukan jiwa dan realitas. Karya sastra menekankan fakta bahasa, dan bukannya fakta empirik. Namun, fakta bahasa juga berarti fakta tradisi sastra. Karya-karya Borges sarat dengan mitologi dan pola-pola tradisi sastra yang telah pernah ada. Mitologi dan tradisi dipertaut-silangkan sampai menemukan bentuk baru. Pada cerpen “Jalan Setapak Bercecabang”, Borges mengadopsi kerumitan tradisi sastra Cina dan dipersilangkan dengan kejutan-kejutan naratif yang berpangkal dari tradisi sastra Populer-Detektif. Apakah sastra fantasi Indonesia sudah cukup mengeksplorasi khasanah tradisi sastra? Pendekatan cermat masih perlu lakukan.
Begitulah sastra, eksplorasi sastra senantiasa melibatkan masa silamnya. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, “Jasmerah”, seperti dipidatokan Presiden Soekarno tahun 1967. Segala jenis kanon sastra, tidak hanya sastra fantasi, penuh dengan libatan tradisi sastra sebelumnya, melibatkan juga aspek kultural dan kejiwaan manusia. Karya-karya William Shakespeare pun menjadi agung karena secara tepat mengolah kultur Eropa dan tradisi sastra Epik.
Tentang sastra Melayu, perlu dicatat proses kreatif sastrawan Abdullah bin Abdulkadir Munsy. Kepekaan jiwa estetik (negative capability) menuntun Abdullah giat mencatat kejadian hari sehari. Mempelajari kehidupan Barat dan menjalani petualangan-petualangan berbahaya. Untuk alasan proses kreatif, Abdullah berani bersimpangan dengan perintah sang ayah; larangan mempelajari bahasa Inggris. Kenyataannya, Abdullah bahkan turut membantu kaum missionaris menerjemahkan Injil. Ketika tiba menulis karya sastra, Abdullah pun bergelut bersama budaya dan tradisi sastra Melayu. Pada karya Hikayat Abdullah, ia mengecam perilaku raja-raja Melayu dengan menggunakan rujukan Islam. Di sana-sini Abdullah menyelipkan pantun, petuah, peribahasa. Tahu atau tidak tahu, kinerja Abdullah bin Abdulkadir Munsy berkesuaian dengan pernyataan Umberto Eco dalam Theory of Semiotics (1976): “Hubungan antara kode dan pesan, yang dengan begitu kode mengontrol pengeluaran pesan dan pesan baru merestruktur (menyusun kembali) kode, merupakan dasar bagi aspek ganda bahasa sebagai “kreativitas yang terikat aturan” dan “krativitas yang mengubah aturan”.
Bersandar pada Umberto Eco, kerapuhan bahasa Indonesia bukanlah kerapuhan yang langsung berpengaruh pada karya sastra. Saat ini, di tanah air, kerapuhan bahasa Indonesia adalah ruang yang menanti karakter dan gagasan dari sastra berbahasa Indonesia. Sama seperti yang terjadi pada bahasa-bahasa lain, perkembangan bahasa senantiasa melibatkan kinerja sastrawannya; bahasa Melayu diperkaya oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsy, bahasa Jerman pun tidak akan seperti sekarang tanpa karya-karya Goethe. Saat ini, di tanah air, kerapuhan bahasa Indonesia adalah ruang yang menanti karakter dan gagasan dari sastra berbahasa Indonesia.
________Studio Teater Gapus
Dijumput dari: http://terpelanting.wordpress.com/page/4/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar