Sabtu, 21 April 2012

Sam Pik – Ing Tay, Satu-satunya pengaruh Sastra Cina dalam Sastra Bali

IDG Windhu Sancaya
http://balipost.com/

…., pegat jani caritayang, dadi nampi dina Cing Bing// Masan anak masembahyang, ka kuburan, muride telah mapamit, kewala sang kalih enu, Sam Pik sareng Ni Nyonyah, madabdaban jani lwas manganggur, ada taman, kema lakuna malali.

Demikianlah bunyi salah satu adegan dalam Geguritan Sam Pik,–sebuah cerita yang berasal dari negeri China. Cerita tersebut digubah ke dalam bahasa Bali oleh Ida Ketut Sari dari Grya Sanur pada tahun 1915, hampir satu abad yang silam. Sumber penulisan Geguritan Sam Pik tersebut adalah sebuah cerita yang ditulis dalam bahasa Melayu oleh Boen Sing Hoo pada tahun 1885 Masehi,
dengan judul: “Tjerita dahoeloe kala di negeri Tjina, terpoengoet dari tjerita’an Boekoe Menjanji’an Tjina, Sam Pik—Ing Taij”. Dalam kutipan di atas dikisahkan tentang perjalanan I Babah Sam Pik dan Ni Nyonyah Ing Tay, ke sebuah taman pada hari raya Cing Bing, sebuah hari suci bagi pemeluk Khong Hu Cu. Ida Ketut Sari, penggubah Geguritan Sam Pik, rupanya sudah sangat akrab dengan komunitas Tionghoa yang bermukim di Sanur sejak abad XIX. Selain itu beliau juga mahir berbahasa Melayu, sehingga dengan mudah mentransformasikan cerita Sam Pik—Ing Tay dalam bahasa Melayu ke dalam bahasa Bali.

Asal-usul dan Perkembangan Cerita Sam Pik

Cerita Sam Pik—Ing Tay merupakan salah satu karya sastra Cina yang sangat populer di tanah air kita untuk masa lebih dari satu abad lamanya. Di Bali sendiri cerita Sam Pik—Ing Tay ini sangat populer. Sejak digubah pada tahun 1915, dan populer sebagai seni pertunjukan arja tahun 1930-an, dan sangat populer lewat pementasan drama gong Puspa Anom dari Banyuning pada dasa warsa 1970-an, cerita Sam Pik masih sangat populer hingga saat ini, khususnya di kalangan sekaa santi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sampai saat ini Cerita Sam Pik Ing Tay inilah merupakan satu-satunya pengaruh sastra Cina dalam kesusastraan Bali. Kenyataan ini cukup mengherankan, mengingat pengaruh kebudayaan Cina dalam kebudayaan Bali telah berlangsung sejak beberapa abad yang silam. Sejumlah orang bahkan secara salah kaprah menyebut bahwa barong landung di Bali sebagai Barong Sam Pik.

Menurut Profesor Tjan Tjoe Siem (mantan Dekan FSUI tahun 1956), cerita ini diperkirakan berasal dari abad ke-4 Masehi, tepatnya pada masa pemerintahan dinasti Chin Timur antara tahun 317–420 Masehi. Kisah Sam Pik—Ing Tay ini disebutkan terjadi pada masa pemerintahan raja Bok Tee, raja kelima dinasti Chin Timur, yang memerintah dari tahun 345 – 357 Masehi. Pada mulanya cerita ini adalah berupa cerita rakyat atau cerita lisan saja. Seperti lazimnya cerita-cerita rakyat, kisah ini anonim dan mempunyai beberapa versi. Claudine Salmon, seorang peneliti sastra Melayu—Tionghoa, mengatakan bahwa cerita Sam Pik—Ing Tay ini semula berbentuk balada, kemudian diterjemahkan dalam bentuk prosa. Setelah zaman dinasti Chin Timur, cerita ini kemudian berkembang pada zaman dinasti Sung awal, antara tahun 960—1279 Masehi. Selama masa pemerintahan dinasti Yuan (1279 – 1368) cerita yang semula berupa cerita rakyat atau cerita lisan ini mulai hadir dalam bentuk drama. Cerita ini terus berkembang dan mengalami penambahan dan diubah pada masa pemerintahan dinasti Ming (1368 – 1644), sehingga banyak hal-hal yang baik dalam cerita atau legenda itu telah hilang, dan beberapa versi cerita yang muncul kemudian telah berisi tambahan-tambahan yang artifisial, dimana cerita dibuat berakhir dengan happy, dengan cara menghidupkan kembali tokoh Sam Pik dan Ing Tay. Salah satu versi Geguritan Sam Pik dari Kerambitan, Tabanan juga menunjukkan hal yang sama. Dalam bentuk cerita lisan, akhir cerita tidak dikotori oleh hal-hal yang vulgar, tetapi dengan cara puitis, di mana tokoh Sam Pik dan Ing Tay dihadirkan dalam bentuk sepasang kupu-kupu atau burung, sebagaimana ditunjukkan dalam versi Geguritan Sam Pik karya Ida Ketut Sari.

Cerita yang terjadi pada zaman dinasti Ching Timur ini kemudian menjadi sangat terkenal pada masa pemerintahan dinasti Tang, antara tahun 618—906 Masehi. Motif-motif dalam cerita Sam Pik—Ing Tay yang tampak kemudian, atau seperti yang kita kenal sekarang, adalah motif-motif cerita yang dibentuk pada zaman dinasti Tang. Versi cerita Sam Pik-Ing Tay dari dinasti Tang ini dibuat oleh Zhang Du. Dari cerita yang dibuat Zhang Du inilah cerita Sam Pik-Ing Tay terus berkembang dengan berbagai variasi. Menurut Lu Gong, munculnya motif di mana Sam Pik dan Ing Tay berubah menjadi sepasang kupu-kupu, sebagaimana tampak dalam Geguritan Sam Pik, muncul pertama kali pada zaman dinasti Sung yang memerintah dari tahun 960 – 1279 Masehi. Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan, cerita Sam Pik—Ing Tay telah digubah dalam bentuk drama dan balada selama masa dinasti Sung dan Yuan (1279 – 1368). Selama masa pemerintahan dinasti Ming (1368 – 1644) dan dinasti Qing (1644 – 1911), cerita Sam Pik-Ing Tay dalam satu atau lain bentuk telah tersebar hingga ke luar Cina, seperti Korea, Jepang, dan Vietnam. Cerita Sam Pik—Ing Tay kemudian muncul sebagai cerita populer dan standar dalam bahasa Hokkian di provinsi Fujian—daerah Cina Tenggara. Dari daerah inilah cerita Sam Pik—Ing Tay kemudian dibawa keluar oleh para migran menuju Taiwan dan Asia Tenggara (Lu Gong dalam George Quinn, 1987), termasuk Indonesia.

Cerita yang Benar-benar Tejadi

Cerita Sam Pik—Ing Tay dianggap sebagai cerita yang benar-benar terjadi. Pandangan ini sejalan dengan pengertian orang Cina tentang sastra. Bagi bangsa Cina, sastra tidak mempunyai arti sebagaimana yang kita berikan pada istilah itu, sehingga Nio Joe Lan (1966) kemudian memberikan arti sastra sebagai sejarah yang diromanisasikan.

Menurut Lin Yu-tang, orang Cina membagi kesusastraannya menjadi dua, yaitu: (1) kesusastraan yang memberi pengajaran (kesusastraan yang menjadi “kendaraan kebenaran”), dan (2) kesusastraan yang bersifat menghibur (kesusastraan yang menjadi “pernyataan perasaan tergerak”). Kesusastraan dalam arti pertama adalah bersifat objektif dan bersifat memaparkan, dan kesusastraan dalam arti kedua adalah bersifat subjektif dan liris. Bagi orang Cina, sastra dalam arti yang pertama lebih bernilai—karena memajukan pikiran rakyat dan mempertinggi akhlak masyarakat—daripada sastra dalam arti yang kedua. Sebagaimana dikatakan Andries Teeuw, sastra Cina menganggap pentingnya sastra sejarah sebagai kategori naratif utama, di mana justru rekaan, fiction, dianggap rendah.

Berdasarkan pengertian sastra seperti itu tidaklah mengherankan bila cerita Sam Pik—Ing Tay dianggap sebagai cerita yang benar-benar ada (bersifat sejarah), bukan rekaan—meskipun dalam perkembangannya cerita Sam Pik—Ing Tay telah banyak mengalami perubahan dan berbagai tambahan dari waktu ke waktu.

Dua buah cerita Sam Pik—Ing Tay dalam sastra Melayu—Cina (Melayu – Tionghoa) secara tersurat mencantumkan keterangan bahwa cerita ini adalah swatoe tjerita jang telah kedjadian betoel di benoewa Tiongkok gubahan Oei Soe Tiong (1922), atau satoe tjerita jang terdjadi di djaman dahoeloe kala di Tingkok (anonim, tanpa tahun). Kesan bahwa cerita Sam Pik—Ing Tay ini dianggap sebagai cerita sejarah juga tampak pada tulisan Ahmad Setiawan Abadi (1990), sebagai berikut.

Menurut catatan-catatan sejarah kisah ini terjadi pada masa pemerintahan raja Bok Tee, raja kelima dinasti Chin Timur yang memerintah dari tahun 345-357 Masehi. Oleh karena kisah ini meliputi waktu sekitar 3—4 tahun saja dalam periode kehidupan Eng Tay dan San Pek, yaitu sejak Eng Tay berusia sekitar 17 hingga 20 atau 21 tahun, dan San Pek, 18 hingga 21 atau 22 tahun, maka boleh jadi Eng Tay dan San Pek lahir sebelum masa pemerintahan Bok Tee. …. sehingga sebagian kaum cendekiawan / terpelajar, termasuk San Pek dan Eng Tay, diduga telah dapat membaca buah-buah pikiran besar seperti yang terekam dalam Ngo Keng (Mandarin Wu Ching , atau ’Lima Klasik’), Su Si (’Empat Kitab’ ), Tao Te Ching, dan lain-lain.

Dalam perkembangan selanjutnya cerita Sam Pik—Ing Tay telah mengalami berbagai bentuk transformasi, dari bentuk cerita lisan, balada, prosa, drama, opera, hingga film (Prijono, 1956), dari bahasa Cina, Melayu, Jawa, Bali, Madura, Indonesia, sampai ke bahasa Inggris. Pada tahun 1954 di RRC sendiri cerita Sam Pik—Ing Tay diterbitkan dalam bentuk cerita bergambar dengan judul “Liang Shan Bo Yu Zhu Ying Tay”. Di samping itu cerita Sam Pik—Ing Tay juga tersebar luas ke beberapa bagian dunia, seperti Korea, Jepang, Taiwan, Vietnam, Indonesia, dan Inggris. Dalam versi Bali, cerita Sam Pik—Ing Tay telah disesuaikan dengan latar belakang sosial budaya Bali serta historis, khususnya dengan situasi di mana sekolah-sekolah modern sudah mulai banyak dibangun di seantero Bali, ketika Bali telah ditaklukkan seluruhnya oleh Belanda. Salah satu motif penulisan cerita Sam Pik—Ing Tay di tahun 1915 adalah mendorong orang-orang Bali untuk mau bersekolah.

IDG Windhu Sancaya, Dosen Fakultas Sastra Unud /04 Maret 2012 | BP

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati