IDG Windhu Sancaya
http://balipost.com/
…., pegat jani caritayang, dadi nampi dina Cing Bing// Masan anak
masembahyang, ka kuburan, muride telah mapamit, kewala sang kalih enu,
Sam Pik sareng Ni Nyonyah, madabdaban jani lwas manganggur, ada taman,
kema lakuna malali.
Demikianlah bunyi salah satu adegan dalam Geguritan Sam Pik,–sebuah
cerita yang berasal dari negeri China. Cerita tersebut digubah ke dalam
bahasa Bali oleh Ida Ketut Sari dari Grya Sanur pada tahun 1915, hampir
satu abad yang silam. Sumber penulisan
Geguritan Sam Pik tersebut adalah sebuah cerita yang ditulis dalam
bahasa Melayu oleh Boen Sing Hoo pada tahun 1885 Masehi,
dengan judul:
“Tjerita dahoeloe kala di negeri Tjina, terpoengoet dari tjerita’an
Boekoe Menjanji’an Tjina, Sam Pik—Ing Taij”. Dalam kutipan di atas
dikisahkan tentang perjalanan I Babah Sam Pik dan Ni Nyonyah Ing Tay, ke
sebuah taman pada hari raya Cing Bing, sebuah hari suci bagi pemeluk
Khong Hu Cu. Ida Ketut Sari, penggubah Geguritan Sam Pik, rupanya sudah
sangat akrab dengan komunitas Tionghoa yang bermukim di Sanur sejak abad
XIX. Selain itu beliau juga mahir berbahasa Melayu, sehingga dengan
mudah mentransformasikan cerita Sam Pik—Ing Tay dalam bahasa Melayu ke
dalam bahasa Bali.
Asal-usul dan Perkembangan Cerita Sam Pik
Cerita Sam Pik—Ing Tay merupakan salah satu karya sastra Cina yang
sangat populer di tanah air kita untuk masa lebih dari satu abad
lamanya. Di Bali sendiri cerita Sam Pik—Ing Tay ini sangat populer.
Sejak digubah pada tahun 1915, dan populer sebagai seni pertunjukan arja
tahun 1930-an, dan sangat populer lewat pementasan drama gong Puspa
Anom dari Banyuning pada dasa warsa 1970-an, cerita Sam Pik masih sangat
populer hingga saat ini, khususnya di kalangan sekaa santi. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan, sampai saat ini Cerita Sam Pik Ing Tay
inilah merupakan satu-satunya pengaruh sastra Cina dalam kesusastraan
Bali. Kenyataan ini cukup mengherankan, mengingat pengaruh kebudayaan
Cina dalam kebudayaan Bali telah berlangsung sejak beberapa abad yang
silam. Sejumlah orang bahkan secara salah kaprah menyebut bahwa barong
landung di Bali sebagai Barong Sam Pik.
Menurut Profesor Tjan Tjoe Siem (mantan Dekan FSUI tahun 1956),
cerita ini diperkirakan berasal dari abad ke-4 Masehi, tepatnya pada
masa pemerintahan dinasti Chin Timur antara tahun 317–420 Masehi. Kisah
Sam Pik—Ing Tay ini disebutkan terjadi pada masa pemerintahan raja Bok
Tee, raja kelima dinasti Chin Timur, yang memerintah dari tahun 345 –
357 Masehi. Pada mulanya cerita ini adalah berupa cerita rakyat atau
cerita lisan saja. Seperti lazimnya cerita-cerita rakyat, kisah ini
anonim dan mempunyai beberapa versi. Claudine Salmon, seorang peneliti
sastra Melayu—Tionghoa, mengatakan bahwa cerita Sam Pik—Ing Tay ini
semula berbentuk balada, kemudian diterjemahkan dalam bentuk prosa.
Setelah zaman dinasti Chin Timur, cerita ini kemudian berkembang pada
zaman dinasti Sung awal, antara tahun 960—1279 Masehi. Selama masa
pemerintahan dinasti Yuan (1279 – 1368) cerita yang semula berupa cerita
rakyat atau cerita lisan ini mulai hadir dalam bentuk drama. Cerita ini
terus berkembang dan mengalami penambahan dan diubah pada masa
pemerintahan dinasti Ming (1368 – 1644), sehingga banyak hal-hal yang
baik dalam cerita atau legenda itu telah hilang, dan beberapa versi
cerita yang muncul kemudian telah berisi tambahan-tambahan yang
artifisial, dimana cerita dibuat berakhir dengan happy, dengan cara
menghidupkan kembali tokoh Sam Pik dan Ing Tay. Salah satu versi
Geguritan Sam Pik dari Kerambitan, Tabanan juga menunjukkan hal yang
sama. Dalam bentuk cerita lisan, akhir cerita tidak dikotori oleh
hal-hal yang vulgar, tetapi dengan cara puitis, di mana tokoh Sam Pik
dan Ing Tay dihadirkan dalam bentuk sepasang kupu-kupu atau burung,
sebagaimana ditunjukkan dalam versi Geguritan Sam Pik karya Ida Ketut
Sari.
Cerita yang terjadi pada zaman dinasti Ching Timur ini kemudian
menjadi sangat terkenal pada masa pemerintahan dinasti Tang, antara
tahun 618—906 Masehi. Motif-motif dalam cerita Sam Pik—Ing Tay yang
tampak kemudian, atau seperti yang kita kenal sekarang, adalah
motif-motif cerita yang dibentuk pada zaman dinasti Tang. Versi cerita
Sam Pik-Ing Tay dari dinasti Tang ini dibuat oleh Zhang Du. Dari cerita
yang dibuat Zhang Du inilah cerita Sam Pik-Ing Tay terus berkembang
dengan berbagai variasi. Menurut Lu Gong, munculnya motif di mana Sam
Pik dan Ing Tay berubah menjadi sepasang kupu-kupu, sebagaimana tampak
dalam Geguritan Sam Pik, muncul pertama kali pada zaman dinasti Sung
yang memerintah dari tahun 960 – 1279 Masehi. Berdasarkan bukti-bukti
yang ditemukan, cerita Sam Pik—Ing Tay telah digubah dalam bentuk drama
dan balada selama masa dinasti Sung dan Yuan (1279 – 1368). Selama masa
pemerintahan dinasti Ming (1368 – 1644) dan dinasti Qing (1644 – 1911),
cerita Sam Pik-Ing Tay dalam satu atau lain bentuk telah tersebar hingga
ke luar Cina, seperti Korea, Jepang, dan Vietnam. Cerita Sam Pik—Ing
Tay kemudian muncul sebagai cerita populer dan standar dalam bahasa
Hokkian di provinsi Fujian—daerah Cina Tenggara. Dari daerah inilah
cerita Sam Pik—Ing Tay kemudian dibawa keluar oleh para migran menuju
Taiwan dan Asia Tenggara (Lu Gong dalam George Quinn, 1987), termasuk
Indonesia.
Cerita yang Benar-benar Tejadi
Cerita Sam Pik—Ing Tay dianggap sebagai cerita yang benar-benar
terjadi. Pandangan ini sejalan dengan pengertian orang Cina tentang
sastra. Bagi bangsa Cina, sastra tidak mempunyai arti sebagaimana yang
kita berikan pada istilah itu, sehingga Nio Joe Lan (1966) kemudian
memberikan arti sastra sebagai sejarah yang diromanisasikan.
Menurut Lin Yu-tang, orang Cina membagi kesusastraannya menjadi dua,
yaitu: (1) kesusastraan yang memberi pengajaran (kesusastraan yang
menjadi “kendaraan kebenaran”), dan (2) kesusastraan yang bersifat
menghibur (kesusastraan yang menjadi “pernyataan perasaan tergerak”).
Kesusastraan dalam arti pertama adalah bersifat objektif dan bersifat
memaparkan, dan kesusastraan dalam arti kedua adalah bersifat subjektif
dan liris. Bagi orang Cina, sastra dalam arti yang pertama lebih
bernilai—karena memajukan pikiran rakyat dan mempertinggi akhlak
masyarakat—daripada sastra dalam arti yang kedua. Sebagaimana dikatakan
Andries Teeuw, sastra Cina menganggap pentingnya sastra sejarah sebagai
kategori naratif utama, di mana justru rekaan, fiction, dianggap rendah.
Berdasarkan pengertian sastra seperti itu tidaklah mengherankan bila
cerita Sam Pik—Ing Tay dianggap sebagai cerita yang benar-benar ada
(bersifat sejarah), bukan rekaan—meskipun dalam perkembangannya cerita
Sam Pik—Ing Tay telah banyak mengalami perubahan dan berbagai tambahan
dari waktu ke waktu.
Dua buah cerita Sam Pik—Ing Tay dalam sastra Melayu—Cina (Melayu –
Tionghoa) secara tersurat mencantumkan keterangan bahwa cerita ini
adalah swatoe tjerita jang telah kedjadian betoel di benoewa Tiongkok
gubahan Oei Soe Tiong (1922), atau satoe tjerita jang terdjadi di djaman
dahoeloe kala di Tingkok (anonim, tanpa tahun). Kesan bahwa cerita Sam
Pik—Ing Tay ini dianggap sebagai cerita sejarah juga tampak pada tulisan
Ahmad Setiawan Abadi (1990), sebagai berikut.
Menurut catatan-catatan sejarah kisah ini terjadi pada masa
pemerintahan raja Bok Tee, raja kelima dinasti Chin Timur yang
memerintah dari tahun 345-357 Masehi. Oleh karena kisah ini meliputi
waktu sekitar 3—4 tahun saja dalam periode kehidupan Eng Tay dan San
Pek, yaitu sejak Eng Tay berusia sekitar 17 hingga 20 atau 21 tahun, dan
San Pek, 18 hingga 21 atau 22 tahun, maka boleh jadi Eng Tay dan San
Pek lahir sebelum masa pemerintahan Bok Tee. …. sehingga sebagian kaum
cendekiawan / terpelajar, termasuk San Pek dan Eng Tay, diduga telah
dapat membaca buah-buah pikiran besar seperti yang terekam dalam Ngo
Keng (Mandarin Wu Ching , atau ’Lima Klasik’), Su Si (’Empat Kitab’ ),
Tao Te Ching, dan lain-lain.
Dalam perkembangan selanjutnya cerita Sam Pik—Ing Tay telah mengalami
berbagai bentuk transformasi, dari bentuk cerita lisan, balada, prosa,
drama, opera, hingga film (Prijono, 1956), dari bahasa Cina, Melayu,
Jawa, Bali, Madura, Indonesia, sampai ke bahasa Inggris. Pada tahun 1954
di RRC sendiri cerita Sam Pik—Ing Tay diterbitkan dalam bentuk cerita
bergambar dengan judul “Liang Shan Bo Yu Zhu Ying Tay”. Di samping itu
cerita Sam Pik—Ing Tay juga tersebar luas ke beberapa bagian dunia,
seperti Korea, Jepang, Taiwan, Vietnam, Indonesia, dan Inggris. Dalam
versi Bali, cerita Sam Pik—Ing Tay telah disesuaikan dengan latar
belakang sosial budaya Bali serta historis, khususnya dengan situasi di
mana sekolah-sekolah modern sudah mulai banyak dibangun di seantero
Bali, ketika Bali telah ditaklukkan seluruhnya oleh Belanda. Salah satu
motif penulisan cerita Sam Pik—Ing Tay di tahun 1915 adalah mendorong
orang-orang Bali untuk mau bersekolah.
IDG Windhu Sancaya, Dosen Fakultas Sastra Unud /04 Maret 2012 | BP
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar