Muhammad Taufiqurrohman *
http://bahas.multiply.com/
Sastra adalah sebuah produk kebudayaan ‘biasa’. Ia adalah makhluk biasa-biasa saja yang lahir dalam sebuah rentang peradaban umat manusia. Sebagaimana produk-produk kebudayaan yang lain —sebut saja politik, ekonomi, hukum dan lain sebagainya— ia datang ke dunia dengan segala karakteristik, kodrat, keperluan, kepentingan, kelemahan juga kekurangan yang dibawanya. Juga saya pikir, sebagai barang ia tak ubahnya tempe penyet, busway, batu-nya ponari, dan laptop.
Ia sepenuhnya biasa-biasa saja yang bisa disukai, bisa juga dibenci. Ia dalam berbagai bentuknya—puisi, cerpen, teater, film— hanyalah sebuah benda dengan segala sifat-sifat yang melingkupinya. Juga sebagai benda, pasti ia tak berwajah tunggal. Ia bisa berwujud realisme, surealisme, kontekstual, pedalaman, pesantren, religi, populer, kuno, kontemporer, dan lain-lain.
Saya menemukan nada yang sama tentang sastra dengan pendapat Emha Ainun Nadjib. Meskipun pendapat Cak Nun (panggilan akrab Emha) hanya berbicara tentang puisi, tetapi saya kira pendapat tersebut mewakili pendapatnya tentang sastra secara keseluruhan. Dalam sebuah tulisannya, Cak Nun—demikian ia kerap disapa—menyatakan seperti ini;
‘Puisi itu barang bikinan manusia. Barang mainan, seperti halnya ketapel atau sepotong pisau. Sebagai mainan ia mungkin saja dianggap sebagai kebutuhan wajib, produksi yang termasuk pokok, bahkan mungkin sakral, religius, penuh cinta-kasih, dan terlalu romantis untuk diabaikan. Ia demikian pentingnya, tapi mungkin juga hanya agak penting, atau tak penting sama sekali. Tetapi pasti, seperti juga barang-barang mainan lain, ia hanyalah diadakan. Jadi sebenarnya ia tak ada. Kenyataan ruang dan waktu akan mengungkapkan bahwa ia sesungguhnya memang tidak ada. Yang ada hanyalah puisi yang tak bisa dibikin menjadi sebuah wujud, yang tak bisa diucapkan dan ditulis. Dengan kata lain ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan itu bukanlah puisi yang sesungguhnya. Melainkan dongeng saja. Analoginya juga segala perbincangan tentangnya hanyalah dongeng tentang dongeng belaka. Dan dongeng itu semu’.
Saya tidak tahu persis apakah Cak Nun membaca karya-karya posmodernisme atau tidak. Namun, saya pikir apa yang dikatakannya tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Derrida tentang Dekonstruksi, oleh Lyotard tentang the decline of grand narrative, oleh Foucoult tentang relasi kuasa (power relation) yang menjadikan segala hal adalah biasa-biasa saja. Simak saja Lyotard yang mengungkapakan akan keretakan pemisahan antara narasi besar dan narasi kecil. Tidak penting lagi apakah sesuatu berasal dari narasi besar atau narasi kecil. Segala sesuatu dalam pandangan postmodern menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Tidak ada yang adi luhung, juga tidak ada yang luhur atau tidak luhur.
Foucault bahkan menambahkan bahwa segala hal di bawah tilam peradaban umat manusia merupakan hasil sebuah konstruksi. Sebagai sebuah kontruksi, segala hal hanyalah produk sebuah konspirasi. Everything is conspired, demikian lugasnya. Segala sesuatu adalah hasil sebuah konspirasi tertentu dengan kepentingan tertentu dan oleh orang-orang tertentu. Aliran konstruksionisme ini menyangsikan pandangan bahwa si a adalah luhur dan si b adalah buruk. Sebab, dalam sebuah kehidupan yang dianggap biasa, sebuah barang dianggap bagus/luhur/buruk didasarkan atas sebuah kepentingan; baik/luhur/buruk adalah menurut apa dan siapa. Lagi-lagi saya menemukan nada yang tidak berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Cak Nun tentang sastra;
‘Persoalan pertama dalam kesusastraan ialah apakah karyamu dan karyaku bagus atau tidak. Ini berlaku untuk bagian sejarah manapun serta tempat tinggal manapun. Tanpa karya baik segala ucapan kita tidak berbicara meskipun bisa berkata-kata. Persoalan kedua ialah bagus dan tidak menurut apa atau siapa. Artinya menurut ukuran apa, dan akhirnya (hukum psikologimasyarakat) siapa yang menilai. Kemudian seberapa bijak dan demokratis sebuah iklim lingkungan mampu mengakomodasi percaturan apa dan siapa itu’
Politis
Sastra dalam pandangan konstruksionisme ini kemudian menjadi sesuatu yang politis. Ia, sesuatu yang dainggap suci oleh modernisme, ternyata tidak bisa lepas dari jeratan politik. Sebab, posmodernisme menguak ternyata di dalam sastra juga ada politik kepentingan, apa dan siapa itu. Sastra kemudian tidak bisa menyangkal dirinya untuk menerima label ‘politik sastra’. Inilah zaman kembalinya politik (the return of politics) seperti yang dinyatakan oleh Slavoj Zizek. Inilah zaman ketika sastra adalah politik dan politik adalah sastra.
Kata-kata John F. Kennedy yang termasyhur tentang sastra yang lebih suci/bersih ketimbang politik sepertinya sulit diberlakukan lagi. Kata Kennedy, “jika politik itu kotor maka sastralah yang membersihkan”. Saya tidak mengerti benar apa yang dimaksudkan Kennedy dengan sastra dalam kalimat tersebut. Mungkin yang diandaikan Kennedy adalah sastra sebagai isi/susbtansi atau sastra sebagai sastra. Dalam hal ini, semua sastra adalah panggilan atau jeritan hati nurani yang sangat bersih nan suci. Atau dalam kata lain, sastra dalam pandangan Kennedy adalah sastra yang idealistik. Namun, bisakah sastra steril. Sebagai produk kebudayaan ia hidup dan berinteraksi dengan segala produk kebudayaan yang lainnya. Ia harus berkompromi dan kadang-kadang harus masuk terjebur dalam selokan tinja. Ia tidak selalu lahir di masjid atau gereja atau istana yang wangi. Sebagai benda biasa, ia bisa lahir dimana-mana yang dapat bertemu dengan apa saja dalam peradabana umat mansuia. Ia bisa bertemu politik, ekonomi, hukum. Ia bisa berjumpa dengan nurani, keserakahan, cinta, kedengkian bahkan dosa. Ia sepenuhnya biasa-baisa saja.
Jika benar anggapan kita tentang politik dalam sastra atau sastra yang tidak bisa mengelakkan politik maka determinan apakah yang paling penting dalam politik sastra tersebut. Apakah determinan itu bernama politik, ekonomi atau apakah?
Pernah kita mencatat dalam sejarah kesusastraan kita bahwa politik telah menjadi determinan penting dalam sastra. Ketika itu polemik antara Lekra dengan realisme sosialis-nya dan Manikebu (Manifesto Kebudayaan) dengan humanisme universal-nya mewarnai dunia kesusastraan kita. Politik, kala itu dimaknai sebagai apa-apa yng berhubungan dengan penguasa dan kekuasaan—katakanlah kekuasaan presiden, partai dominan, atau kekuasaan politik dalam bentuk aparatus-aparatus negara. Secara sederhana digambarkan, Lekra mendukung kekuasaan politik Sukarno sedangkan Manikebuis (sebutan untuk pendukung Manikebu) melawannya. Namun, ketika itu memang pengertian tentang politik masih sangat terbatas pada kekuasaan yang tampak oleh mata semacam itu.
Yah, ketika itu belum lahir istilah politik sastra. Ketika itu apa yang dinamakan politik hanyalah apa yang dilakukan Lekra dan apa yng dilakukan Manikebuis tidak disebut sebagai politik. Politik tidak seperti apa yang dimengerti sekarang. Politik adalah segala hal yang tersebar dimana-mana. Segala mekanisme pemenuhan hasrat kepentingan dan akan kekuasaan tentang apa, siapa saja dan dimana saja adalah politik. Politik tidak terpusat berada pada pusat tertentu,melainkan berada dimana-mana alias terdesentralisasi. Ternyata kemudia kita tahu bahwa di dalam sastra juga ada pertarungan kepentingan (politis), di dalam kebudayaan juga ada pertarungan kepentingan (politis), di dalam cara kita berpakaian dan apa yng kita makan juga ada kepentingan (politis), di dalam penghargaan-penghargaan (awards) baik skala lokal maupun internasional ternyata juga ada kepentingan.
Yah, dimana-mana ternyata ada kepentingan politik. Hampir selalu ada yang mau menguasai (baik dalam bentuk dominasi atau hegemoni) dalam setiap ruang kehidupan yang bernama apa saja. Memakai pemaknaan politik seperti sekarang ini maka apa yang dilakukan Manikebuis sebenarnya juga adalah politik, yaitu politik sastra atau politik kebudayaan pada umumnya. Bahwa soal menjawab pertanyaan untuk apa atau kepentingan (politis) yang paling hakiki dalam kehidupan ini merupakan ususan pribadi kita masing-masing. Saya tidak mempunyai ilmu dan kompetensi untuk menjawab untuk apakah sesungguhnya hidup ini bagi anda? Juga untuk menjawab bahwa jika ternyata everything is conspired, lalu siapakah yang meng-conspire langit, air mata, getaran-getaran dalam hati, dan juga siapakah yang mengkonspirasikan segala conspirator (designer, constructer, atau apa saja lah namanya) terhandal dalam segala bidang politik, hukum, ekonomi, dan sebagainya?
Bahwa jawaban tentang siapakah the ultimate conspirator of conspirators diantara kita bisa sangat berbeda, itu adalah kewajaran. Tetapi setidaknya hal ini menumbuhkan kesadaran di antara kita bahwa segala produk kebudayaan dalam tatanan peradaban umat manusia—dari hukum, ekonomi, politik, sastra, pakaian, bahasa, dsb— sesungguhnya adalah hasil sebuah konspirasi kepentingan tertentu, orang tertentu, dengan kata lain politik tertentu. Sekali lagi, bahwa untuk apa kepentingan politik itu? Itu adalah soal kita masing-masing tapi pada saat yang sama juga menjadi soal kita bersama. Saya pribadi sejujurnya juga masih bersoal dalam hal itu.
Titik Tekan
Persolannya kemudian adalah soal titik tekan nada dalam pengucapan (artikulasi). Dan yang paling sulit untuk dijawab adalah soal titik tekan apakah yang paling penting dan paling benar dalam sastra khusunya, dan kehidupan ini pada umumnya. Sebut saja beberapa istilah berikut ini; politisasi sastra dan sastranisasi politk. Apakah titik tekan dalam kata-kata tersebut sama. Menurut penulis, titik tekan dalam kedua frasa tersebut jelas sangat berbeda.
Determinan penting dalam ‘politisasi sastra’ adalah politik—dalam pengertian tradisonal. Sedangkan titik tekan sastranisasi politik—dalam pengertian tradisonal– adalah sastra. Pada soal apakah dan dengan alasan apakah kita memilih yang pertama ketimbang yang kedua atau sebaliknya adalah sepenuhnya soal selera dan latar belakang masing-masing pengucap. Pada titik inilah kita bisa menjelaskan polemik yang terjadi antara lekra dan manikebu. Lekra lebih berselera kepada politik sedangkan Manikebuis lebih berselera kapada sastra. Jika persoalannya adalah murni selera, bisakah selera dipaksakan? Mungkinkah latar belakang setiap manusia disamakan?
Titik tekan ini merupakan jantung persoalan polemik kesusastraan kita. Ada dua orientasi besar dalam bentuk blok sastra Indonesia, yaitu blok sastra otonom dan blok sastra terlibat (bertendens). Yang pertama percaya bahwa sastra mempunyai dunianya tersendiri yang terpisah dan lepas dari aspek-aspek kehidupan lainnya. Sedangkan yang kedua percaya bahwa sastra, sebagaimana produk sebuah sejarah kehidupan, harus terlibat dalam pergolakan kehidupan. Emha Ainun Nadjib dengan sangat baik melukiskan perkembangan ini;
‘Pertama, sastrawan yang pendekatannya terhadap kesusastraan bersifat intelektual, spesialistis dalam arti ia mengaitkan dirinya dengan sastra sebagai suatu forma ekspresi yang otonom, yang berbeda dengan disiplin lainnya…. Kedua, ialah sastrawan yang meletakkan sastra tidak sebagai titik tolak, melainkan lebih sebagai salah satu pilihan ekspresinya saja. Bingkai atau perspektif kegiatannya bukan perspektif kesusastraan belaka, melainkan perspektif kehidupan yang menyeluruh’.
Polemik antara dua orientasi besar ini akan sia-sia jika kita menanyakan tentang manakah yang benar di antara keduanya. Saya lebih memilih untuk mempertanyakan tentang kelebihbermanfaatan keduanya dalam konteks keindonesiaan. Artinya, dalam perspektif kesejarahan Indonensia bagaimanakah sebenarnya posisi sastra Indonesia. Setelah mengetahui letak posisi strategisnya, dimanakah sastra dapat memberikan kontribusi kebermanfaatan bagi Indonesia?
Privat vs Publik
Saya melihat persoalan polemik tersebut lebih sebagai kebelumjelasan kita dalam soal ruang privat vs publik. Pada agenda besar tentang polemik privat dan publik ini kita sebagai bangsa belum merumuskan benar tentang definisi atau batasan keduanya. Katakanlah begini; sastra otonom mewakili keberpihakan terhadap ruang privat sedangkan sastra terlibat lebih condong pada arah ruang publik.
Polemik dari luar yang kita adopsi secara mentah-mentah tentang art for art dan art for life merupakan bagian dari polemik tentang privat dan publik tersebut. Art for art (seni untuk seni) yang merupakan pangkal dari sastra otonom adalah wakil suara dari ruang privat, sedangkan art for life (seni untuk kehidupan) yang merupakan sumber sastra terlibat/bertendens mewakili ruang publik. Privat dan publik, otonom dan terlibat, seni dan kedidupan, apakah kita sebagai bangsa benar-benar mempunyai pola kesejarahan yang memisahkan benar-benar antara oposisi biner (binary opposition) tersebut?
Sedangkan kita tahu, konsep seni (art), tidak benar-benar kita kenal dalam khasanah kebudayaan kita. Memang mungkin ada baiknya kita melakukan sebuah rekonstruksi sejarah atas privat dan publik dalam konteks keindonesiaan kita. Sebab, konon kata orang sebuah pohon yang kokoh hampir selalu mempunyai akar yang kokoh pula. Memang kita bukan pohon tentu saja, kita adalah manusia yang tidak begitu saja ada dan yang tidak bisa memilih untuk menjadi ini atau menjadi itu. Kita adalah manusia yang bisa berusaha dan memilih untuk menjadi apa kita nantinya; menjadi sekuat pohon jati, selemah rumputan, seberguna kelapa ataukah sesederhana bonsai?
Saya kira, pada titik inilah kita perlu serius untuk menjawab tentang privat dan publik dalama masyarakat kita, khususnya dalam dunia seni budaya. Jika tidak, persoalan-persolan lain semacam kasus undang-undang pornografi, kebebasan pers, sensor film, dan lain sebagainya hanya akan menjadi sebuah kasus yang hampir selalu tergantung-gantung tak jelas soalnya.
‘Jumbuh’
‘… tidak berarti bahwa apa yang dimakud dengan ‘art’ itu tak terdapat pada wajah kebudayaan kita, melainkan forma ‘art’ sebagai suatu term intelektual, bukanlah merupakan tradisi kita. Kita sangat memiliki ‘art’ itu, tetapi dalam posisi yang ‘jumbuh’ dengan apa yang sekarang ini kita sebut sebagai unur-unsur ‘lain’, umpamanya religi, adat, dan lain-lain.’
Saudara, tahukah kau betapa indahnya kata ‘jumbuh’ itu di telingaku. Jumbuh adalah kesatuan, ketunggalan, ketidakterpisahan segala aneka unsur dalam kehidupan ini. Demikian juga dalam seni, setidaknya menurut Cak Nun bahwa tidak ada tradisi pemisahan seni dari unsur-unsur lainnya. Unsur-unsur ‘lain’ itu bisa kita inventarisir lebih luas; sosial, politik, ekonomi, hukum, keamanan, moral, dan sebagainya. Lihat saja saudara; adakah tradisi tari kita, wayang, lagu-lagu tradisonal kita, dan sebagainya yang lepas dari konteks kehidupan masyarakatnya secara keseluruhan?
Jangan-jangan memang benar bahwa kita sebagai bangsa (Nusantara) memang tidak pernah mempunyai tradisi biner dalam segala hal, juga dalam soal biner privat vs publik ini. Saya teringat pernah membaca sebuah buku yang saya lupa judul dan pengarangnya yang menyatakan bahwa dalam khasanah nusantara khususnya Bali, tidak pernah ditemukan tradisi oposisi biner. Hitam dan putih tidak dianggap sebagai hubungan perlawanan/oposisi, melainkan adalah hubungan kausalitas/sebab akibat. Yang satu menyebabkan yang lain atau yang satu disebabkan oleh yang lain. Adanya putih menyebabkan adanya hitam atau adanya hitam disebabkan oleh putih.
Lagi, tidak ada bodoh vs pintar, melainkan bodoh menyebabkan pintar atau pintar disebabkan oleh bodoh. Apa artinya, jika benar ternyata bahwa memang kita tidak mempunyai tradisi pemisahan antara ‘privat vs publik’ maka apa yang kita polemikkan selama ini di tv-tv, Koran, jurnal dan seminar tentang batasan antara ‘privat vs publik’ khususnya dalam seni misalnya pornografi, film, lukisan, dll akan tidak banyak membantu menyelesaikan persoalan. Sebab, kita memandang persolan dengan sebuah kacamata yang tidak cocok untuk situasi kita. Kita menggunakan kacamata biner, sedangkan (mungkin) kita tak mengenal biner. Apa boleh buat?
Multidisipliner
Sastra, dengan segala keterbatasannya, lalu tidak bisa menafikan dirinya dengan yang ‘lain’ alias sastra multidisipliner. Sebab, bahkan sejak sebelum dilahirkan memang mungkin begitulah sifat segala benda biasa di dunia ini. Dengan kesadaran multidisipliner tersebut, sastra akan lebih mempunyai bentangan alternatif-alternatif bentuk maupun isinya yang lebih beragam dan —ini yang lebih penting— lebih tak terduga. Sastra bisa bergumul dengan politik (dalam pengertian tradisional), bisa menghadapi hukum, bergaul dengan ekonomi, persoalan-persoalan ketidakadilan, korupsi, selera makan, kapitalisme-neo liberalisme, hobi, percintaan, dan segala hal. Sastra akan menjadi lebih tak terduga. Dan oleh karenanya, mungkin lebih menggairahkan.
Dikarenakan perbenturannya dengan disiplin-disiplin lain tersebut, sastra juga akan menemukan berbagai macam bentuknya yang lebih kontekstual. Sebab, konteks setiap disiplin ilmu/kajian/bidang sangatlah mempunyai kebenarannya sendiri sesuai dengan konteks (here and now) masyarakatnya sendiri. Misalnya, disiplin politik dalam konteks masyarakat jawa dan batak sangat berbeda. Oleh karenanya, sastra yang bergumul dengan persoalan politik di Jawa dan Batak dapat menemukan bentuknya yang sangat berbeda. Juga, misalnya soal ketidakadilan dalam konteks masyarakat desa dan kota yang berbeda. Maka sastra yang menghadapi bentuk ketidakadilan yang berbeda itu juga melahirkan bentuk karya sastra yang berbeda. Kita bisa menginventarisir perbedaan konteks dalam masyarakat kita yang dapat melahirkan kemungkinan lahir-lahirnya bentuk-bentuk alternatif sastra yang lebih tak terduga. Inilah kira-kira dampak multidisiplin dalam kalangan praktisi sastra (penulis, sastrawan, aktor, dsb).
Di kalangan peminat, kritikus maupun pecinta sastra, dengan kesadaran multidispiliner ini diharapkan akan lebih dewasa dalam membaca dan menilai bahkan menghakimi sebuah karya satra. Sebab, sastra tidak dipandang dengan hanya sebuah kacamata kuda melainkan dengan sebuah pandangan yang menyeluruh dari seluruh aspek kehidupan ini.
Saya kira ini dulu dari saya. Semua kutipan Emha saya ambil dari buku lamanya ‘Terus Mencoba Budaya Tanding’ cetakan Pustaka Pelajar tahun 1995. Tentu anda tahu polemik sastra yang saya nyatakan dalam tulisan ini merupakan sebuah polemik usang. Tetapi barangkali sedikit membantu untuk meraba-raba apakah ada determinan baru dalam polemik kesusastraan kita? Mungkin, tidak melulu politik-ideologis lagi seperti dulu. Siapa tahu?
*) Penulis adalah mahasiswa S2 Cultural Studies Universitas Indonesia
Tulisan ini juga dimuat di http://komunitasembunpagi.com/
Dijumput dari: http://bahas.multiply.com/journal/item/64?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar