Minggu, 08 April 2012

Pengantar Cerpenis Syekh Bejirum dan Rajah Anjing

Fahrudin Nasrulloh
http://sastra-indonesia.com/

Menulis pengantar cerpen? Saya rasa ini lebih berat dibanding membikin cerpen atau tulisan lainnya. Seperti saya dipaksa menapaktilasi detik perdetik dalam ruang dan waktu di setiap cerpen. Menguruti jejak sungguh sesuatu yang rumit dan melelahkan. Tapi itu tampaknya perlu dibuat. Agar saya tidak menciderai pembaca. Meski sebelas cerpen dalam kumpulan ini masih terasa menggeret-geret saya ke entah. Ada rasa longsor. Tenggelam. Gelap dan melenyap pelan-pelan. Cerita-cerita itu seringkali terasa merangsek di malam-malam ketika saya dilimbur kosong. Tapi biarlah mereka terus mengerubungi saya dan sisanya saya serahkan pada waktu dan semacam iman yang saya teguhi dalam berkarya.

Baiklah, perkenankan saya bercerita tentang “sisi lain” yang melatari proses kreatif saya. Saya mengenal dunia sastra sejak kuliah di IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta, pada 1997. Mula-mula saya tertarik baca-baca puisi dan kemudian tergerak menulis puisi dan bergaul dengan banyak penulis di selingkungan kampus. Jogja, telah menjadi medan kreatif sekaligus takdir yang tak terbayangkan sebelumnya yang mempertemukan saya dengan dunia menulis. Keluarga saya hidup di kampung yang bercirikan kehidupan agraris dengan tradisi ke-NU-an yang kental. Ibu saya dari keluarga Muhammadiyah. Ayah saya dari kalangan NU. Ditambah pengalaman nyantri di beberapa pesantren dan perjalanan-perjalanan saya menelusuri kitab-kitab kuning di beberapa pelosok pesantren. Sebagian jejak cerita itu sempat saya rekam yang setidaknya menjadi latar tak langsung dari cerpen-cerpen saya:

1. Pintu Cerita dari Demit Laut Kidul Hingga Kanjeng Khidir

Suatu hari, pada pertengahan 1997, ketika sembari kuliah saya mondok di pesantren Al-Muhsin, Condong Catur, Sleman, Jogja, saya mendapati seorang teman, Zamzuri, dari Bengkalis, Riau, yang tiba-tiba di suatu malam dirasuki sejenis dedemit. Sebagian teman santri menceritakan kemungkinan sebabnya adalah saat ia mencuci usus kambing hasil sembelihan hari Raya Kurban di sebuah kali di daerah Seturan (selatan Desa Karangnongko) dengan seorang teman dari Pati, Nawawi. Zamzuri berteriak lantang di tengah malam itu dengan merapalkan sejenis amalan dari kiainya di daerah Purworejo yang ia sebut “hizib nashar”. Amalan ini semacam aji-ajian dengan lafal Arab. Selain bermanfaat untuk keselamatan diri, hizib tersebut berfaedah mengusir setan dan jin prayangan. Ada puluhan hizib sejenis itu yang bisa dilakoni dengan cara puasa. Bentuk lain hizib berupa “rajah”. Rajah adalah sejenis tato berhuruf dan berangka Arab. Coraknya macam-macam. Buku Dimensi Mistik Islam dan Misteri Angka karya Annemerie Schimmel menjabarkan perihal itu. Sedang dalam kitab-kitab kuning, terdapat puluhan referensi yang bisa dirujuk. Ada kitab Syamsul Ma’arif, Al-Aufaq, Tajul Arifin, dan lain-lain.

Pulang dari kali itu, selang 2 hari, Zamzuri kerasukan. Mengamuk membabi buta. Menggegerkan pondok. Orang-orang kampung Nglaren dibuat gempar. Hampir 2 bulanan ia tidak dapat disembuhkan. Meski sudah dibawa ke mana-mana hingga ke kiai-kiai ampuh di Jawa Timur. Ia meracau sendiri dan saya dengar darinya cerita kenapa ia mengalami peristiwa demikian. Ia menjawab bahwa ia kalah tanding dengan siluman perempuan dari laut kidul yang berambut panjang tanpa badan. Jadi bentuknya hanya kepala dan diujung lehernya berjulaian usus dengan darah segar yang menggelambir hingga menyentuh tanah. Karena tak satupun yang dapat memulihkannya, terpaksa orangtuanya menjemputnya dan dibawa pulang. Sampai sekarang saya tidak tahu kabarnya.

Serpih cerita lain adalah ketika saya bersama penyair Kuswaidi Syafe’i (Cak Kus). Pada 20 Desember 2007, saya mengantarkan Cak Kus ke UIN Malang untuk undangan diskusi sastra. Sehari sebelumnya, pas hari Senin, ia menginap di rumah saya. Di rehat waktu itu, ia minta dianter ke sejumlah “kiai karomah”, atau “gus jazab” atau “kiai linuwih”. Kami sudah saling paham dan saya mengerti harus bagaimana. Berangkatlah kami mengunjungi Gus Di atau Gus Mawardi di Dusun Kembang Sare, Mojowangi, Mojowarno, Jombang. Inilah sebenarnya tujuan Cak Kus ke Jombang. Sebab Gus Di pernah berfoto bareng dengan Kanjeng Khidir. Foto ini awalnya saya peroleh dari Mbah Yono (salah seorang warga di kampung saya), lantas saya scan. Suatu hari sebelum hari itu saya diminta oleh kawan saya, Pak Azzet dari Jogja, yang tertarik pingin melihat sosok Nabi Khidir itu kayak apa. Foto itu lalu saya kirim kepadanya. Dari Pak Azzet foto itu nyungsang ke kawan lain, Hendra Widiarto. Lewat Hendra, Cak Kus tidak sengaja melihat foto itu di layar monitor Hendra yang bekerja sebagai layouter dan desain cover di penerbit Pustaka Pelajar. Cak Kus sangat antusias campur setengah sadar melihatnya. Jadilah saya, pada 19 Desember 2007, mengantarkan Cak Kus ke Gus Di. Cak Kus ngobrol dengan gelora meluap-luap dan penuh takzim dengannya yang telah tersingkapkan batinnya mampu berjumpa langsung dengan Kanjeng Khidir. Demikian juga Cak Kus, ia mengaku saat itu dirinya sering ketemu Kanjeng Khidir dengan perwujudan berbeda-beda. Mereka asyik-masyuk mengobrol. Saya bengong sendirian. Kini Cak Kus tak lagi menulis puisi maupun esai sebagaimana sebelumnya di tahun 1990-an sampai esai terakhirnya di Jawa Pos tentang polemik sastra GSM (Gerakan Sahwat Merdeka) yang sebelumnya disulut Taufiq Ismail di koran Republika pada kisaran 2005.

Dua cerita pengalaman di atas adalah contoh kerangka dasar, sebagaimana saya menyelesaikan cerpen Maria van Pauosten atau Arung Beliung.

2. Pintu Cerita dari Dua Kitab Iblis

Pada pagi 12 November 2007, bersama Amaluddin, seorang penyair yang memiliki kumpulan sajak Mantra-Mantra Meleleh (terdiri dari 1000 syair) tapi himpunan sajak itu selalu ditolak penerbit, saya meluncur dengan mengendarai sepeda motor Grand Honda ’94 dari Jombang menuju Jl. Sasak dan Jl. Panggung di Surabaya. Ternyata kota industri yang hiruk-pikuk ini juga menyimpan sekitar 50-an toko buku kitab kuning. Sejarah tlatah padepokan Sunan Ngampel Delta hingga Pangeran Pekik berlintasan di sepanjang jalan ini.

Dalam buku catatan harian saya, saya sudah menyiapkan daftar kitab yang saya cari: Hilyat Ahliya karya Abu Nuaym Al-Isfahani (w.1038 M), Qut Al-Qulub karya Ali Ibnu ‘Atiya Al-Haritsi Al-Makki (w.996 M), sejumlah karya Fariduddin Attar (seperti Usfurnama, Ganjnama, Musibatnama, Ilahinama, Lisan Al-Ghayb, dan Mazhar Al-Ajaib), Awarif Al-Ma’arif karya Suhrawardi Al-Maqtul, Taflis Iblis karya Ibnu Ghanim Al-Maqdisi (abad 13 M), Talbis Iblis karya Abi Al-Faraj Abdurrahman Al-Jauzy (w. 597 M), Masrab Al-Arwah karya Al-Baqli, Asrar al-Tauhid karya Ibnu Munawwar, dan Haqiqah Al-Haqiqah karya Imam Sana’i.

Setelah menyusuri belasan toko buku di dua jalan itu, terutama di TB. Menara Kudus dan TB. Al-Hidayah, ternyata hanya ada satu kitab dari semua kitab tersebut: Talbis Iblis. Saya dapati kitab ini di TB. Ahmad Nabhan, Jl. Panggung 146 Surabaya. Selebihnya, serampung mencermati sekian katalog, yang ada hanyalah kitab-kitab fiqih, tajwid, dan fashalatan. Saya beli Talbis Iblis, berisi bagaimana iblis mereka-daya manusia dengan segala kenikmatan dunia yang paling tersamar agar makhluk Tuhan itu terjerumuskan ke lembah dosa. Justru yang saya cari Taflis Iblis tidak ada. Kitab ini mengabarkan ihwal kebangkrutan dan betapa kedodorannya iblis kala mencoba menipu-daya kaum sufi. “Akal khayali” yang mewujud dalam tubuh wadak manusia bertarung dengan “akal hudhuri” yang dititiskan Allah kepada hamba-hamba terkasihnya. Kaum sufi klasik di sini dalam kesejarahannya yang panjang juga kita temui dalam cerita wali di Jawa dengan sosok Siti Jenar atau Malang Sumirang yang termaktub dalam Babad Jaka Tingkir.

Cerita ini bisa menjadi pintu lain ketika pembaca coba menelusuri cerpen Surabawuk Megatruh.

3. Pintu Cerita dari Renik Naskah Babad

Saya masih merasakan gelora “taman gaib Jawa” dan sejarahnya yang termaktub dalam sejumlah naskah babad. Salah satunya adalah Serat Centini yang digubah ulang secara prosais oleh Elizabeth D. Inandiak. Naskah ini diterbitkan secara berseri oleh penerbit Galang Press pada 2006. Seri pertama Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, kedua Minggatnya Cebolang, ketiga Ia yang Memikul Raganya, dan yang buncit Nafsu Terakhir. Menyusuri ceritanya seperti merenangi samudra peristiwa yang bercahaya, ngeri-bisu, angkara dan kembara nafsu yang binal, dengan gelimang kesia-siaan dan kefanaan. Saya merasakan Elizabeth mengembarai sosok-sosok di kedalaman batin Tambangraras, Jayengraga dan Jayengwesti bersama kedua punakawan mereka, Nuripin dan Kulawirya untuk menemukan kembali Amongraga.

Adegan homo antara Kulawirya dengan Nuripin sungguh memerindingkan zakar. Peristiwa Kulawirya yang zakarnya kena raja singa, lalu untuk mengobatinya, ia benamkan palatnya itu ke dubur kuda betina. Juga persetubuhan ganjil nan hiruk antara Jayengraga dengan tiga gadis kelewat jelek (Banem, Banikem dan Baniyah). Namun Jayengraga merasakan keindahan sinaran daging yang terpendam dalam keburukan wadak mereka. Pada bagian Pulau Besi diceritakan tentang kelimun cinta duniawi dan ilahiah yang diujikan Allah kepada Amongraga dan Tambangraras. Akhirnya keduanya berhasil menyatu dalam keheningan-Nya. Lalu mereka diperjumpakan dengan Endrasena yang berkisah tentang keadaan terakhir Ayahanda Sunan Giri di sel Mataram.

Pada bagian lain, Amongraga dan Tambangraras berhadapan langsung dengan Sultan Agung, yang lagi menyamar jadi petapa. Tapi mereka tahu. Lalu mereka menyerahkan diri seraya berkata: Kami serahkan wujud manusia kami kepada kebijaksanaan Sang Raja, karena kami tidak dapat membebaskan diri sendiri sembari tetap menjadi diri sendiri. Buatlah agar pengembaraan kami ke batas-batas ilmu kebahagiaan bisa berlanjut hingga termakan oleh kekuasaanmu sesuai dengan adat asal mula Mataram.

Kemudian keduanya menjelma menjadi ulat. Ulat Amongraga dilahap Sang Sultan, sedang ulat Tambangraras ditelan Pangeran Pekik. Di bagian pungkasan pada buku Nafsu Terakhir terhadir kisah Raja Amangkurat I, putra Sultan Agung, yang lalim terhadap rakyatnya hingga lantaran isu munculnya orang dalam yang dinyana akan menggulingkan tahtanya dengan dukungan sejumlah ulama kraton, maka lima ribu ulama di setiap sudut Mataram ditangkap, lalu digorok, ditembaki dan disembelih.

Teks yang saling berjalin-kelindan menyusup dan bergerak tanpa batas ke dalam teks terkait yang sesungguhnya, bagi saya, adalah pembayangan diri pengarang semata atas pembacaan sastrawi yang dilakukannya. Bisakah pengarang hidup tanpa sejarah atau dongeng yang menyimpan politik, tragedi, dan kehancuran? Kejatuhan dan keterasingan manusia ke dunia adalah dongeng asali yang dihamburkan oleh “Sesuatu” Yang Tak Terbatas itu. Maka, saya, dalam cerpen Abu Zardak, Prahara Giri Kedaton, Huru-hara Babarong, atau Montel, mencoba mengongkosi alur narasi “yang lain” untuk menghadirkan teks lain. Pekerjaan ini seperti menyusun ulang potongan-potongan arca atau reruntuhan candi di malam hari.

4. Semacam Pintu Buku Kecil ke Biografi Kecil

Petilan beberapa cerita di atas hanyalah salah satu contoh di mana pengalaman saya sebagai pribadi, mulai bersentuhan dengan khazanah pesantren, mistisisme Islam-Jawa, dan perjalanan saya dalam memahami teks-teks keislaman mulai dari kitab-kitab yang mengajarkan banyak hal semisal kitab Jurumiyah (tata bahasa Arab yang paling bawah), fiqh, ushul fiqh, qawaidul fiqh, sampai di masa kuliah dengan memamah buku-buku keislaman dan kejawaan yang lumayan lawas misalnya dari karya-karya Ibnu Arabi, Ibnu Athaillah, Ainul Qudat, Harun Nasutian, Iqbal, Rumi, Ronggowarsito atau Pak Simuh yang kerap mengupas sinkretisme Islam-Jawa. Semua itu menuntun persinggungan saya secara alami dengan buku-buku sastra dan lainnya.

Pendek kata, saya hidup dengan jejak-jejak pengalaman seperti itu yang selanjutnya ketika saya dalam proses berkarya nyaris tidak tahu persis jika ditanya sejumlah teman: kenapa cerpen-cerpenmu sangat “klenik” sekali. Sebutan “mbah dukun” tiba-tiba disematkan begitu saja oleh editor saat dua buku saya Syekh Branjang Abang (2007) dan Geger Kiai (2009), keduanya tentang cerita-cerita dari bilik pesantren yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Pesantren, lini Penerbit LKiS Jogja. Padahal saya bukan dukun. Saya cuma santri kluyuran yang berusaha ingin menjadi penyimak dan pencatat khazanah pesantren yang bagi saya sangat melimpah ruah. Saya kadang membayangkan Syekh Nawawi al-Bantani yang telah menganggit 114 kitab. Kitab-kitabnya hampir 80 persen menjadi bahan ajar di seluruh pesantren di Nusantara hingga ke wilayah Timur Tengah. “Beliau pernah bermimpi dihadiahi sebuah pena oleh Rasululloh. Dan tatkala bangun ia mendapati pena itu di genggaman tangannya,” begitu yang saya dengar dahulu dari kiai saya. Boleh jadi dengan pena itulah ia mampu berkarya seabrek itu. Dalam Kongres Kebudayaan Pesantren tahun 1998 di pesantren Pandan Arang, Magelang, Menteri Agama RI, Tholhah Hasan, menyebut bahwa pesantren laksana “raksasa yang sedang tidur”. Saya tidak paham saat itu, apakah ungkapan itu hanya imajinasi yang mletik begitu saja ataukah basa-basi. Saya hanya memahami buku-buku sejarah peradaban Islam, khususnya di Nusantara. Jenis cerita tutur beginian teramat banyak ditemukan dalam tulisan Gus Dur, misalnya dalam bukunya Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur (LKiS: 2010).

Tahun 1997 sampai 2003 di Jogja adalah masa-masa di mana saya tenggelam dalam membaca, berburu buku-buku lawas, berziarah dengan kelompok Mbah Siroh dari Karangnongko ke makam-makam ulama dan raja-raja di seputar Jogja, sembari sedikit demi sedikit mengasah dan mempertajam berkarya. Puisi merupakan keseriusan saya yang paling utama. Namun saya selalu merasa gagal menulis puisi yang baik. Setidaknya menurut ukuran saya. Tidak banyak puisi saya yang saya kirim ke koran. Dan memang hanya 1-2 yang pernah nyantol di Kedaulatan Rakyat dan Majalah Kuntum. Saya terus bertanya pada diri sendiri kenapa ketika saya sudah banyak nulis puisi, saya tetap merasa gagal. Saya tidak tahu jawabannya. Tapi, batin saya, saya harus terus berusaha. Dan di saat-saat demikian saya mengimbangi dengan menulis esai dan sesekali cerpen. Saya tidak menyadari, justru saya lebih banyak nulis esai, dan cerpen hanya beberapa gelintir. Bisa dikata upaya saya menulis esai dan cerpen adalah untuk menempa ketelatenan dan kesungguhan agar suatu saat saya dapat membikin puisi yang lebih baik. Kadang sebab lain juga membayang-bayangi bahwa pengalaman membaca puisi-puisi karya orang lain itulah yang mengubur keyakinan saya akan puisi-puisi saya. Saya kadang berpikir, cerpen-cerpen saya adalah produk gagal atau ampas kering cerpen-cerpen itu adalah pelarian saya dalam kegagalan menulis puisi. Kenapa muncul relasi yang tak berjuntrung ini, saya tidak tahu. Mungkin sangat naif dan tidak penting dijelas-jelaskan dan biarlah demikian.

Sebelas cerpen dalam Syekh Bejirum dan Rajah Anjing ini saya garap dari tahun 2002 hingga 2009. Demikianlah yang dapat saya antarkan. Untuk Nurel Javissyarqi dan Pustaka Pujangga, matur suwun sudah sudi menerbitkan kumpulan cerpen ini. Kepada Bang Afrizal Malna, saya sampaikan terima kasih berkenan meluangkan waktu memberi kata pengantar. Juga untuk istriku dan anakku, kalianlah yang menguatkan bara hidupku. Dan kepada semua sahabat, saya sampaikan terima kasih atas semua dukungan dan apresiasinya.

Tandes, 26 Mei 2010

*) dijumput dari buku “Syekh Bejirum dan Rajah Anjing,” karya Fahrudin Nasrulloh, terbitan PuJa [PUstaka puJAngga] tahun 2011.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati