Asarpin
http://sastra-indonesia.com/
Stephen Hirtenstein, yang sangat mengagumi Ibn Arabi, menyebut pemikiran sebagai “tamu dari langit yang melintasi ladang hati”. Dalam hal ini, pemikiran tak cuma mengacu kepada proses otak, atau sesuatu yang dapat kita pikirkan, atau kita renungkan. Pemikiran mengindikasikan sesuatu yang muncul dari keheningan batin, setiap saat dalam diri kita, di dalam kesadaran batin kita.
Ketimbang berharap agar pemikiran bisa mengubah dunia, saya setuju dengan Hasif Amini: lebih baik “menatap dan menampung dunia sebagai kemungkinan-kemungkinan”. Dan Leo Tolstoy pernah mengingatkan juga, dan agaknya kita sudah lupa bahwa “semua orang berpikir untuk mengubah dunia, tetapi tak seorang pun yang berpikir untuk mengubah dirinya”.
Perubahan datang dari dalam diri sendiri, bukan dari luar. Bukankah Tuhan sendiri “tak menciptakan dunia” melainkan “Tuhan mengucap dunia”, kata seorang filsuf yang saya lupa namanya. Maka sudah sewajarnya jika kita bicara tentang bagaimana mengabarkan dunia ketimbang bagaimana menciptakan dan mengubah dunia.
Seorang pemikir tentu berbeda dengan para ideolog atau pengajar agama, dan sudah sewajarnya jika mereka menjelmakan dirinya sebagai “seorang yang hidup di rumah sunyi”, kata Goenawan dalam catatan pinggir (Caping) berjudul “Perempuan”. Sebab, dengan itu, ia akan menampik setiap kebenaran yang dinyatakan final dan mutlak, ia akan menjadi “gangguan” terhadap kisah-kisah yang lurus ; ia akan merayakan perdebatan, menjunjung ketidakpastian, menyemangati gairah perbedaan dalam perbedaan. Hal-hal semacam ini mungkin tak menyelesaikan perkara di dalam diri dan dunianya seratus persen. Tetapi ia menjadi manusia yang berhak hidup dan menentukan pilihan-pilihan sendiri dengan merdeka.
Pada titik ini saya masih belum merasa cemas dan waswas dengan pemikiran Goenawan selama ini, sebab keterbukaan sudah menjadi wataknya. Di berbagai tempat tak jarang ia mengundang kita untuk berdialog dengan lapang dan tulus, tanpa rasa takut, tanpa cap berdosa.
Entah mengapa yang terakhir itu kini kita rindukan. Fundamentalisme agaknya akan terus membayang-bayangi dan sekaligus mengintai tulisan-tulisan dan tindakan-tindakan kita yang dianggap menyimpang. Dan bersikap terbuka, tulus dan tanpa cap berdosa, bukan cuma berharga, tapi mesti selalu ada.
Saya bahkan mengagumi sikap yang meletakkan kreativitas tak hanya pada guna dan manfaatnya, melainkan sekian banyak elemen yang terpaut satu sama lain. Dengan itu kita punya bekal mengarungi pintu-pintu yang mahaluas agar mampu menangkap kenyataan. Dalam bahasanya Dick Hartoko, sifat macam ini dinamakan “senggang”: sikap spiritual untuk bisa mendengarkan, semacam kemampuan jiwa untuk tanggap terhadap kenyataan dunia yang tak melulu dilihat dari guna, faedah dan tujuan.
Dalam bahasanya Ayu Utami dan Sitok Srengenge ketika mengumpulkan sajak-sajak lengkap Goenawan, inilah sebentuk penghargaan pada kesetian untuk menciptakan sanktuari : sebuah wilayah di mana bahasa, ciptaan, karya tak harus berguna, di mana sebuah arti tak sama dengan fungsi. Dalam suatu dunia yang hanya mementingkan kegunaan, kata Dick Hartoko dalam esai Keadaan Senggang sebagai Dasar Kebudayaan, memang tak ada tempat dan waktu untuk ritual dan kebaktian. Padahal religi dan puisi yang sejati justru tidak mementingkan faktor kegunaan, bahkan berani mengorbankan barang-barang berguna itu demi sesuatu yang lebih menggairahkan iman dan pemahaman.
Dasar sebuah penciptaan, adalah semadhi, sunyi, hening, bisu, senggang dan lapang. Itulah corak sebagian besar esai-puisi dalam buku Caping 7 (Tempo Print, 2006). Penulis Caping begitu gigih membela puisi, yang berarti membela tegaknya kebebasan. Di sini ada kesamaan antara Goenawan dan Octavio Paz. Dalam sebuah esai, Paz pernah mengakui kalau ambisinya adalah menjadi seorang penyair, dan tak lain kecuali penyair. Buku-buku prosanya dimaksudkan untuk mengabdi pada puisi. Untuk menilai, menjaga, dan menjelaskan puisi kepada orang lain, juga dirinya sendiri. “Saya segera menemukan bahwa pembelaan terhadap puisi, yang diremehkan orang di zaman kita ini, tak terpisahkan dari pembelaan kebebasan”, tulis Paz.
Salah satu soal yang juga paling sering muncul dalam Caping adalah agama. Goenawan begitu gigih membela agama dari tudingan sekularisme. Apa yang dulu dianggap candu dan agak nyinyir di mata sebagian aktivis Marxis, dan harus disingkirkan karena kerapkali melantunkan nyanyian nina bobok, kini justru meluap-luap hingga yang terdengar bukan lagi kesejukan dan kedamaian, tapi agama dalam letupan kemarahan yang mengerikan. Karena itu, apa yang kita harapkan tampil ke publik bukan lagi subjek yang otonom dan universal, iman yang mati, tapi iman yang hidup dan mau berdialog terus-menerus. Dalam konteks ini, Goenawan pernah menyebut : ”iman dalam praksis eksotopi” yang dipinjamnya dari Bakhtin.
Dengan kata lain, iman bukan sebagai sama, tapi iman dalam beda. Hidup dalam keragaman ketimbang hidup dalam persamaan. Dalam sebuah esai pada tahun 1980, From Secularity to World Religions, Berger, yang dikutip Goenawan, menunjukkan dinamika lain di masa kin, yaitu pluralisme. “Kepastian subyektif” dalam beragama tak ditopang lagi oleh satu kesatuan sosial yang padu sebagai penyangga. Dunia kini warna-warni, di mana yang ada bukan sepasukan “jahiliah” yang utuh menghadapi sepasukan “mukminin” yang tunggal. Keretakan, atau beda, di mana-mana sudah tampak.
Kepastian subjek dalam beragama, kata Goenawan dalam esai tentang agama itu, tak ditopang lagi oleh satu kesatuan sosial yang padu sebagai penyangga. Sebab dunia kini bak sebuah bazar; ada berbagai ekspresi iman, aneka agama, dan masing-masing bisa tampak bagaikan ”satu intan dua cahaya”.
Tak heran jika Goenawan cukup terpesona dengan sejumlah penghayatan kaum sufi. Kaum sufi itu paling toleran dalam hidup. Sebagaimana dalam Gatholoco, percakapan tentang pengalaman mistik menemukan problem dalam pem-bahasa-an. Ketika bahasa bergerak lebih ke arah sifatnya yang komunikatif, dan bukan sifatnya yang ekspresif, pengalaman yang paling batin tak akan bisa diartikulasikan.
Yang jadi damba kaum mistik adalah perjalanan yang tak pernah sampai di akhir, bahkan apa yang akhir memang tak pernah ada. Tak ada terminal yang bisa disebut sebagai proses sudah dari sebuah perjalanan yang bisa membuat kita berpuas diri, kecuali mungkin tarian di tepi-tepi yang mengasyikkan. Mirip seperti tafsiran Ibn Arabi tentang perjalanan transformasi persepsi. Apa yang disebut gnosis atau mistik, kata Arabi, adalah sebuah perjalanan tanpa ujung.
Arabi juga mengatakan: kita tak pernah behenti berjalan, dari satu momen penciptaan kita dan penciptaan bagian-bagian fisik kita, dan seterusnya. Tatkala sebuah pemberhentian tampak bagimu, kau berkata, ”inilah! Ini adalah yang terakhir!” Tetapi ada jalan lain yang terbuka bagimu, di mana kau dilengkapi dengan persediaan untuk keberangkatan yang baru. Segera setelah kau melihat tempat pemberhentian, kau mungkin berkata, ”Inilah tujuanku,” akan tetapi tak lama setelah kau sampai, lalu kau bergegas pergi dan mulai lagi.
Perjalanan Goenawan mirip sebuah epektasis dalam tafsiran seorang guru Kristen Cappadician abad keempat, Gregory dari Nyssa: ”perjalanan maju tanpa batas ”dari awal ke awal melalui awal yang tidak pernah berakhir”. Dalam perjalanan macam ini, kata Ibn Arabi yang rajin mengingatkan, kita dituntut untuk selalu melakukan ”pembaruan ciptaan di setiap saat” (tajdid al-khalq fi’l anat).
Dari sana kita bisa melihat lebih dekat bagaimana Goenawan mempersepsi ruang dan waktu dalam proses perjalanan yang tak pernah punya batas itu, karena setiap batas berarti selesai. Ruang dan waktu bagi dia hanyalah efek dari pembaruan yang tak pernah terputus. Gerakan lahir kita di ruang tak lain adalah refleksi dari kreativitas Tuhan yang terus-menerus.
Dengan kata lain, sebuah sikap yang—mengutip kata-kata Goenawan sendiri—“suatu kecenderungan untuk selalu menyangsikan kepercayaan” karena yang namanya ”kepercayaan” selama ini senantiasa dianggap selesai. Menyangsikan, bukan menolak. Karena Goenawan masih mengusulkan bentuk ’kepercayaan di luar segala hal-ikhwal”. Ragu memungkinkan orang untuk mencari. Keyakinan yang hidup bukan sebuah patokan yang telah disiapkan, melainkan sebuah kelana dalam proses.
Dalam setiap pencarian, bisa saja saya mengalami ketidakpastian dan terus menerus dirundung keraguan atau tersesat dan tak bisa kembali. Bahkan mungkin saya mengalami keraguan yang paling murung, atau keraguan yang paling menyengsarakan.
Pandangan Goenawan soal agama senada dengan Ulil Abshar-Abdalla yang mengatakan bahwa Islam lebih tepat disebut sebagai sebuah “proses” yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah “lembaga agama” yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina ‘indal Lahil Islam (QS 3:19), lebih tepat diterjemahkan sebagai, “Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses-yang-tak-pernah-selesai menuju ketundukan kepada Yang Tak Tertundukkan.”
Goenawan seorang pluralis yang paling tak mau mengambil kesimpulan yang bulat. Ikhtiar dan kerendahhatian serta kewaspadaan dalam menerima aneka warna pelangi dunia, termasuk dengan pelangi bernama ”fundamentalisme”, terasa tak mau kompromi. Ketika merasa ”berbenturan” paham dengan kaum fundamentalis, atau juga revivalis, atau yang skripturalis, terserah, Goenawan kadang masih kurang arif menerima perbedaan pendapat.
Sikap pluralis dan iman dalam proses kadang masih menjebak Goenawan untuk mengambil kesimpulan yang mendesakkan ijtihadnya sendiri kepada kaum yang beda atau berselisih pandangan. Dalam Caping Ahmadinejad, misalnya, Goenawan mengatakan: ”Ada satu ciri kaum fundamentalis, dari agama apa pun: mereka memusuhi hidup. Hidup adalah sejenis hukuman, karena fana dan diubah waktu. Bagi mereka, waktu yang berubah adalah jalan kemerosotan…Setiap kalimat dalam Kitab Suci harus dipatok sebagai sesuatu yang mandek”.
Tapi, benarkah semua kaum fundamentalis memusuhi hidup? Apakah memusuhi hidup adalah satu ciri yang melekat pada fundamentalis dari semua agama? Apakah yang memusuhi hidup identik dengan kaum fundamentalis?
Goenawan sepertinya ingin membenturkan kembali gagasan fundamental dengan gagasan liberal. Seakan-akan pandangan liberal tak bisa retak. Padahal yang liberal tak selalu menjanjikan kesejukan, kedamaian, kasih dan sayang. Liberalisme yang melahirkan pluralisme itu, tak selalu menjanjikan sorga perdamaian dan bebas dari waham. Seperti sering ditegaskan Karen Amstrong—kendati beberapa pandangannya terlampau memuji-ria agama Islam—orang yang berada pada posisi liberal masih sering mengedepankan prasangka, mengdepankan intoleransi, konflik, permusuhan, seperti dalam pandangan sejarah Eropa atau di Barat abad ke-20.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar