Membaca ‘kedangkalan’ logika Dr. Ignas Kleden? (bagian XI kupasan keempat dari paragraf keduanya)
Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/
Mengenai Sartre bisa dilihat tulisan saya diterjemahkan Agus B. Harianto di http://pustakapujangga.com/2010/11/why-does-jean-paul-sartre-stay-exist/ Kini mengudar pahamnya “Man is condemned to be free” (Manusia dikutuk untuk bebas) yang saya benturkan “Man is blessed to be free” (Manusia diberkahi untuk bebas)?
Ini bukan mensejajarkan SCB! Hanya pengertian “puisi adalah alibi kata-kata” memang empuk disadap, selembek gudir tak banyak keluarkan tenaga, bisa dicuik pakai sendok atau langsung jemari. Sosok Sartre terpaksa menyadari ‘diri’ dilahirkan sebagai manusia sekondisional keterpaksaan Adam as. diturunkan ke bumi bersama Siti Hawa. Kutukan tersebut dipahami seinsan menjelajah mencari obat, dengan menyusuri semak berduri pertaubatan yang selalu diuji di segenap tingkap situasi nan melingkupi.
Orang-orang terkutuk sadar kedudukannya dalam menapaskan aura kesejatian, sedari lawatannya pada tangga keinsafan. Mereka paham ujung perjalanan, sebabnya mencari pelbagai kemungkinan dicoba di tingkatan tertentu dipegang kuat / dilepas demi rahmat memurnikan eksistensinya. Kegelisahannya liar menjajaki kasus menghadang, apakah absurditas Camus? Sehingga tercapilah sepakat mengeruk perolehan hayat, ‘imajinasi merupakan kesadaran’ dengan bukti kitab tebalnya “The Psychology of Imagination.” Yang menampilkan pencapaiannya membumi se-makluk terkutuk kudu disyukuri, menggapai yang menjadi takdirnya di muka bumi. Bukan ‘merayakan kutukan,’ mengumbar senang tanpa perolehan wajar; insan dikebebasan menentukan tafsiran di lembar kehidupan.
Ini (dapat dibilang) perekat paragraf IK yang pertama dan kedua. IK mengganti kata ‘bebasnya’ SCB dengan ‘terobos’, dapat diwakilkan sekutukan wajib dipelajari. Jauh dari perayaan atau bukan parade ugal-ugalan sampai bebas dari beban makna. Tapi mencanangkan terobosan, serupa kekaryaan Sartre menjlentrekkan imaji ke ambang batas. Keuletannya identivikasi imaji demi kesadaran hidup terikat realitas / tradisi, bukan asal bunyi yang kengawurannya dimaknai pencapaian? Sementara daya tarik kritikus dengan karya tak sudi dimaknai ialah fenomena lucu. Mana kala tafsiran karyanya (-SCB) dianggap kurang tepat, dibilang kritikus asal nyanyi? Ini aneh, jika tidak dibilang mau menangnya sendiri atas ajimat kata ‘bebas.’
Kutukan terus menggali tanah pekuburan warisan moyang, tidak menerbangkan bakat bersuka ria lepas kecurigaan diri lingkungan, namun juga memaklumatkan tekat menghabisi bentukan dangkal / pendangkalan dari fitroh. Belajar pahami tiap tapak bukan sekesan warna, tetapi mengudar gagasan ke tahap akli, tak hanya menafsir lokalitas, juga kembangkan daya pencapaian kala meleburkan jiwa-raga semateri penganalisaan menuju jenjang nyata. Pribadinya tidak berleha menikmati topangan pelabelan perkuat langkah. Tapi memaksimalkan indra penyerap serta menampung seluruh kemungkinan, pada gilirannya melahirkan wacana lebih menantang, bukan kesan di sebuah alam puitik. Dan penghargaan dihayati, tak mengalami kemerosotan dari hari lalu. Di lihat pamornya kepurnaan ataukah mengamini yang ada pengadaan semu!
Perolehan dari isyarat tak menghadiahi kesegaran, meski berharap gumpalan kegembiraan. Adalah patut disuarakan, “Tanpa usaha keras, kebahagiaan tidak akan meningkatkan drajad seperti perasaan puas memandulkan realitas.” Kala ‘diberkahi’ bebas, memanfaatkan jalan warisan, meski tampilkan ‘sidik jari’ lain yang hakikatnya beraneh-aneh demi membebaskan hasrat beralibi. Walau tampilannya beda sejatinya pengulangan, lebih parah ketumpulan tidak menguraikan gagasannya. Maka bukanlah konsep, tapi kesan dibalut kalimat mengkilat, yang terpesona lantaran tidak mencurigai suara-suara pendukungnya, seperti orang takjub patung besar di tengah kota yang melupa orang-orangan sawah.
Yang merasa ‘diberkahi’ mengira dinaungi keberuntungan dari coba-coba, mematenkan kesan, tiada keberanian menerobos sebentuk sungai kearifan demi sesama, tidak meningkatkan jenjang pemikiran. Ini bertolak dari gerak hayat yang selalu perbaharui cakrawala kesadaran berbudaya. Parahnya, kesan ditancapkan kuat generasi setelahnya berpesona tidak kalah ampuh, tapi tetap dari jiwa keragu-raguan tak mengaduk masa silam. Ditutupi, sebab pendahulunya juga mengaburkan jejak lewat keniscayaan semu (baca “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair” SCB, lalu simak esainya Sihar Ramses Simatupang di Sinar Harapan, “Indonesia, Puisi, dan Teks Sejarah” 20 Agustus 2011 atau ini http://sastra-indonesia.com/2011/08/indonesia-puisi-dan-teks-sejarah/
Betapa menyebut kejadian Sumpah Pemuda, lagu Indonesia Raya, Pancasila, UUD 45, dengan menghapus nama-nama besar di sekitar peristiwanya; M. Yamin, Bung Karno, Bung Hatta, W.R. Supratman serta para insan benar-benar andil dalam pergolakan. Mereka juga pengarang yang suara gagasannya membumi, daripada ungkapan menyepadani jejaknya terbaca untuk kemauan sempit agar dunia sastra bermartabat di hadapan masyarakat luas, namun mencabut batang pohon tanpa akarnya.
Melupa orang-orang penting sebab merasa profesi melekati dirinya lebih penting, terus terjun bebas sepulung ‘berkah’ yang sejatinya bukan apa-apa. Karena tidak menginsafi kejatuhannya se“manusia dikutuk untuk bebas;” mematangkan sekeliling realitas. Maka jadilah sulapan seakrobatik mencopet sejenis keahlian jemari. Padahal mereka juga saksi sejarah, tapi begitu rupa jadi meloloskan dirinya paling berjasa. Baca Bung Tomo membaca sajak di TIM yang direkam jejaknya oleh tempointeraktif, 03 September 1977 atau klik http://sastra-indonesia.com/2011/08/bung-tomo-bersajak/ Seyogyanya generasi setelah benih itu, akar kebangsaan disebar-dirawat, tidak dihapus meski berbalutan pesona. Senada unen-unen; “bangsa yang besar mampu menghargai jasa para pahlawannya,” tidak malah menjadi pahlawan kesiangan, lewat alibi-alibi memukau mereka yang terkena imbas media massa.
***
Sebagai penutup saya urai sedikit alibinya SCB dari Kredo Puisi-nya, bertautan “antara gerak dan pengertian.” Gerak ialah perpindahan tempat pergeseran letak, pun mengalami getaran melahirkan nafas pengertian. Pada benda mati sebatu beserta namanya, tiada peroleh sebutan, kalau tiada yang menyatakan. Pemberian titel merupakan gerak dari luar, pemikiran seorang / kelompok masyarakat. Batu dan namanya tak berpengertian, jika yang menyebut tidak meresapi manfaat menyatakan. Batu, pisau, tidak bermakna kalau sebelumnya tak memberi / mengetahui fungsinya. Hadirnya pengertian sebab telah tertanam kenangan pada benda dan namanya. Sebutan batu, pisau dan barangnya, tidak punya arti, kala tak mendapati gerakan / sebutan dari luar (insan menyatakan bersimpan kenangan).
Benda ditambahkan namanya tiada pengertian, tidak berfungsi di wilayah kebebasan kecuali ngawur. Bagaimana berpengertian, jikalau yang menyebut tak punya kenangan / pengalaman darinya? Seperti kata dan benda tidak / belum berfungsi, dia hadir dalam bentuk tak (belum) berpengertian. Seperti itu kosong serta bebas dimasuki juga dapat menghadirkan pengertian anyar. Saat balik maksud benda dan namanya berpengertian, maka keliru, tersebab makna hadir lantaran danau kenangan insan pada yang dinyatakan. Mari amati ungkapan SCB:
“Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.”
“Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.”
“Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.”
Kata (sebutan, titel, namanya) beserta bendanya; apakah pisau, kursi, batu, tidak berpengertian, jika tidak punya kenangan pada benda serta namanya. Ini lumpah, hukum saklek menimpai benda juga namanya. Pengertian ada, kala menggapai fungsi nama dan barangnya, pula mengalami pergeseran yang menimbulkan makna. Sejauhnya SCB membebaskan kata dari makna, tetaplah terkenang hal sebelumnya yang tetap menghadirkan kata ‘memotong / menikam’ pada kata ‘pisau.’ Sekurangnya mendekatkan pengertian asal sedari fungsi barang yang dikatakan. Meski sebilah sabit dipajang di dinding ruang tamu yang keluar dari fungsinya, tetap sabit punya pengertian selain alat memenggal dahan. Pengertian hadir, dibarengi rekaman sedurungnya, meski berpindah fungsi hiasan, tetap arit (sabit) hadir berpengertian, dikarena insan (bersimpan kenangan) menyebut benda dengan namanya. Intinya tidak akan lahir pengertian, jikalau tidak memiliki kenangan atau sejarah. Tanpa kenangan, hanyalah sulapan!
Sebagai jawaban lain alibinya SCB, bisa simak ulang bagian III, dan penutup di buku “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri” halaman 79 berlabel “Akhirnya.”
Dijumput dari: http://nurelj.blogspot.com/2012/01/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar