Rabu, 14 Desember 2011

Salam dari Derrida, Jacques

Radhar Panca Dahana
http://majalah.tempointeraktif.com/

LELAKI tua berambut perak itu menunduk dan mengatupkan bibirnya. Dan ruang dua kali tiga meter dengan terang sekadarnya itu pun senyap, seolah mencoba mengakrabi suasana hati penghuninya. Aku duduk di hadapan, terpaku memandangnya. Begitu segera sepi menyergap lelaki itu. Mata-nya yang keras namun damai mengabarkan satu keteguhan, juga kesendirian. Ingatanku memanggil Hemingway, The Old Man and the Sea. “Monsieur Jacques, Je dois parti,” kataku sambil beranjak.

Lelaki tua itu tersentak kecil. Senyumnya menyembul, mahal dan hangat. “N’hesitez pas de me contacter,” salamnya seraya menyodorkan tangan. Telapaknya hangat. Seperti ingin menyambut siapa saja. Siapa saja yang memuji, memuja, memaki, dan mendakwa, atau sekadar ingin ajar kenal dengannya. Dan kutinggalkan kantor kecil di salah satu sudut lantai lima gedung Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales (EHESS) dengan potret sephia di kepalaku, dengan lelaki berambut perak itu segera tenggelam di gundukan kertas dan buku.

Boulevard Raspail, Paris V, sejuk dan kelam saat itu. Sejenak kulintasi kafe, dua menit dari gedung EHESS, tempat lelaki tua itu biasa mampir. Kini, kafe itu kehilangan satu pelanggannya. Jacques Derrida, lelaki tua itu, telah pergi, Jumat, 8 Oktober lalu, setelah setahun menderita kanker di pankreasnya. Dan bukan hanya sang kafe yang kehilangan lelaki pendiam, ramah, dan penuh humor itu, tapi juga dunia, bahkan sejarah.

“Dengannya, Prancis telah mempersembahkan kepada dunia salah satu filsuf kontemporer terbesar, satu figur utama dari kehidupan intelektual zaman kita,” kata Jacques Chirac, Presiden Prancis. Dan siapa mampu membantah? Sejak hampir empat puluh tahun lalu, Derrida menghentak dan memaksa semua orang yang berpikir untuk mengkonstruksi ulang pemahaman-pemahamannya tentang dunia, peradaban, manusia, dan dirinya sendiri. Lewat mazhab Dekonstruksionisme yang dibidaninya, semua peralatan budaya mengalami kejutan yang setara dengan relativitas umum Einstein pada fisika, untuk ditafsir kembali, menemukan kembali makna-maknanya yang ternyata demikian banyak dan tersembunyi.

Dengan dekonstruksi kita bisa menguak makna yang membebaskan kata-kata tertulis dari telikungan struktur bahasa, membuka interpretasi teks yang tak terbatas. Ia mengingatkan kita bahwa bahasa yang kita gunakan hari ini adalah juga yang kemarin dan yang ada di mana saja. Dan bahasa begitu ajaib karena ia tidak pernah putus dari akar purbanya, biarpun kita (bahasa) tak lagi ingat, apa yang telah mulai kita katakan 3.000 tahun yang lalu.

Betapa kuat dampak prosedur pemaknaan ini dalam sastra, misalnya?juga tentu dalam seni rupa, arsitektur, dan lainnya?karena ia menyingkap makna berlapis yang belum tentu dituju bahkan dipahami oleh kreatornya. Sebab dalam semua hasil penulisan, tersimpan sejarah yang kompleks, proses budaya yang berakar pada hubungan intens antara teks satu dengan lainnya, antara lembaga dan konvensi penulisan. Maka, silakan terkejut-kejut dengan penemuan yang kita dapat darinya.

Dunia memang terkejut. Sebagian terpana sebagian merasa terhina. Menganggap dekonstruksi sebagai pikiran yang kalut dan destruktif. Barbara Johnson coba melerai dengan sederhana. “Dekonstruksi bukan sinonim dari destruksi,” katanya, “tapi lebih dekat pada makna asli dari kata ‘analisis’, yang secara etimologis berarti ‘menyingkap’?sinonim virtual dari mendekonstruksi’”. Hanya, apa lacur, kontroversi tetap menggema hingga hari ini.

1992, ketika Universitas Cambridge hendak menganugerahi gelar kehormatan pada anak keluarga Yahudi miskin yang lahir di El Biar, Aljazair, 15 Juli 1930 itu, banyak profesor menentang seraya mendakwa: Derrida adalah nihilis dan obskur, “telah mengaburkan pemahaman kita tentang fiksi dan fakta”. Sehingga, untuk pertama kali voting dilakukan, hasilnya 336-224 untuk Derrida.

Sang pemikir sendiri hanya tersenyum kecil saat diminta komentarnya. Menurut dia, para penentang melihat dia terlalu kuat, “Bahwa saya sedikit terlalu ‘pribadi’, ‘hidup’, bahwa nama saya menggaung terlalu keras dalam teks-teks yang mereka sendiri tak setujui”. Ketika saya katakan di Indonesia dekonstruksi sangat banyak disalahpahami, ia tertawa kecut. Persis seperti dalam surat pada sahabat Jepangnya, ia menukas, “Juga di Amerika, di Jepang, di Cina, bahkan di Prancis sini, istilah itu tak cukup dikenal orang.”

Dan itu bukan sekadar kerendahan hati, namun yang sesungguhnya. Walau tiap kuliahnya, Rabu pukul 10.00 dipadati selalu 300-an orang dari segala penjuru dunia, Prancis mengenal Derrida sayup-sayup saja. Sebagian yang mengenal, mengeluh kesulitan memahaminya. Keluhan yang merata di mana-mana. “Saya yakinkan Anda bahwa saya tak pernah berkeinginan jadi sulit,” tolaknya dalam wawancara. Lalu ia menghirup kopi, memandang isi restoran tempat ia duduk. “Saya kerap menggambarkan dekonstruksi sebagai sesuatu yang terjadi,” ia melanjutkan seperti tak ingin berteka-teki. “Bukan suatu yang murni linguistik, (hanya) melibatkan teks dan buku. Anda juga dapat mendekonstruksi gestur, koreografi. Itu sebabnya saya memperluas konsep teks. Semua adalah teks; ini pun teks.” Tangannya pun menggapai semua perabot di sekeliling restoran.

Gerak tangan itu seakan menegaskan bahwa hidup adalah teks. Dan kita ada di dalamnya. Hidup. “Dekonstruksi berada di posisi ‘ya’, sebagai afirmasi untuk hidup,” ia menegaskan. Me-mang itu yang ia bela sejak mula. Sejak masa kanak-kanak ia membayangkan diri menjadi pemain sepak bola pro (“Tapi ternyata saya kurang berbakat”), perkenalannya dengan Nietzche, Gide, dan Valery di SMP, lalu Bergson dan Sartre di SMA, puisi-puisinya di beberapa jurnal Afrika Utara (mungkin itu antara lain sebab ia beberapa kali jadi kandidat penerima Hadiah Nobel untuk Sastra), hingga lebih 400 buku dan makalah yang ia produksi. Belum lagi 500 disertasi tentang dia di AS, Inggris, dan Kanada saja, atau 14 ribu kali ia dikutip sepanjang 17 tahun terakhir.

“Ia begitu hidup, penuh juang, betapapun saya tahu ia sakit,” kenang Jack Lang, mantan Menteri Kebudayaan Prancis ternama yang juga akrab dengan koreografer Sardono W. Kusumo. Entah karena semangat pada hidupnya begitu kuat, ia mengaku dalam Le Monde edisi Agustus lalu: “Saya sedikit dan sedikit sekali belajar untuk menerima kematian.” Sementara itu, ia selalu mengatakan: belajar hidup adalah juga belajar mati. “Saya sangat tak terdidik dalam hal kebijakan belajar tentang kematian.”

Lalu apa yang didapat dari kematian yang merenggutnya dua bulan kemudian? Sudahkah ia belajar darinya? Lelaki beranak satu dari Sylviane Agacinski?kemudian cerai dan kawin lagi dengan Lionel Jospin, mantan perdana menteri yang selalu ia bela?tentu tak bisa lagi menjawab. Satu hal jelas darinya: daya hidup yang tiada habisnya. Hidup yang senantiasa diperbarui, dengan makna-makna baru yang mencuat dari dekonstruksi hidup itu sendiri. Sebagaimana ia mengakui, “Saya menerapkan derrida,” mendekonstruksi selalu apa yang dibacanya, semua teks seakan menjadi derrida. Kita adalah derrida.

Dan derrida mengucap salam padamu, Jacques. Ingatkah kau, janjiku mengajak kau ke Indonesia. Kau berkata, “Aku tak cukup kenal Indonesia”, lalu memintaku mengirim apa saja tentang negeri kepulauan itu. “Dan kabari aku sesudahnya,” katanya akhir kali. Aku tak bisa memenuhi janji itu. Kau pun pergi. Sekali lagi, derrida di negeri yang tengah hibuk bertempur dengan makna ini, hanya bisa mengucap salam, “Sampai bertemu lagi, Jacques”.

18 Oktober 2004

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati