Selasa, 13 Desember 2011

Pengakuan Seorang Penyair tentang Dua Masa dan Sekarang

Ko Hyeong Ryeol
Riau Pos, 30 Okt 2011

PADA Tahun 1970-an masyarakat Korea berada dalam penderitaan di bawah pemerintahan otokrasi. Pada masa itu, segalanya tersumbat, tidak ada pintu keluar. Ketika itulah, seorang penyair muda yang tinggal di rumah petak yang kumuh, menderita. Harga dirinya terluka. Setiap malam, dia dihantui mimpi buruk. Saat itu, dia menulis puisi di negaranya sendiri yang penuh dengan senjata nuklir. Itulah potret saya sebagai seorang penyair saat berusia 20-an tahun.

Pada masa rezim otokrasi itu berkuasa, para penyair tidak diizinkan untuk menulis puisi dengan segala kebebasannya. Tidak ada komunikasi antara dunia sastra dan politik. Para penyair yang bertanggung jawab atas profesinya, para penyair yang menjunjung moralitas, merasa segalanya kacau. Mereka kemudian mengurung diri: berhenti menulis puisi. Masyarakat Korea yang telah terlepas dari penjajahan Jepang, kini berada di bawah kurungan pemerintahan otokrasi. Para penyair merasa malu menghadapi situasi buruk yang seperti itu.

Kemudian muncullah beberapa sastrawan yang berpikiran maju. Mereka mengajar dan mendorong angkatan kami agar berdiri tegak. Mereka menghasilkan karya-karya mereka di alun-alun, di lapangan, dan bukan di sanggar-sanggar mereka. Mereka, antara lain Ko-Eun, Shin Kyung-Rhim, Kim Ji-Ha, Baek Nak-Cheong dan beberapa penyair lainnya. Mereka menyatakan pandangannya, mengumumkan sikap kepenyairannya, bahwa sastra tidak mungkin tidak terkait dengan politik. Penyair harus terjun ke dalam kemelut. Sosok mereka penuh dengan resistensi dan kesedihan.

Bagi seorang penyair, sejarah dan masa lalu merupakan tantangan untuk masa depan. Sejauh ini, masyarakat Korea ada di dalam pusaran yang berkenaan dengan modernisasi, demokratisasi, otokrasi, dan industrialisasi. Sekarang pun, masyarakat Korea penuh dengan kontradiksi. Terlalu banyak yang kehilangan, sehingga kami menuju ke depan dengan berusaha mencari dan menemukan kembali kehilangan kami. Orang Korea selalu bermimpi tentang keikutsertaan; keterlibatan. Masalahnya, lantaran selama ini Korea terlalu sering diserang oleh kekuasaan dari luar. Keberadaan puisi adalah resistensi terhadap penindasan kekuasaan, sekaligus usaha untuk mendengarkan suara dari lubuk hati yang terdalam; juga laksana sebuah tarian untuk nyawa yang berkembang.

Tuntutan masyarakat Korea terhadap demokratisasi dimulai pada tahun 1960-an yang lalu menurunkan layarnya 10 tahun kemudian. Pada senja abad ke-20, saya diundang ke Jepang. Di Tokyo, saya sempat bertemu dengan para penyair Jepang, yaitu Hoda Hisasi, Sibata Sankichi, Sagawa Aki, dan Suzuki Hisao. Dalam perjalanan pulang ke Korea dari Jepang, pikiran saya kembali tertuju pada sejarah sastra Korea yang kemudian, saya merasa, itu merupakan sesuatu yang sulit diterangkan. Sebenarnya, pada masa penjajahan Jepang, para penyair Korea membuat majalah sastra yang bernama Chang-Jo yang terbit di Jepang. Betapa sedih dan menderitanya hati mereka, menciptakan karya-karya mereka di negara penjajah, di negara yang menjadi musuh kami.

Sambil terus berpikir tentang hal tersebut, saya memandang ke luar. Pesawat yang menerbangkan saya sedang melewati udara Laut Timur. Pada saat itu, di tengah udara Laut Timur, sejenak sebuah gagasan terlintas dalam benak saya. Gagasan itu adalah membuat jurnal puisi Asia. Entah mengapa, begitu tiba-tiba saja saya mempunyai gagasan yang seperti itu. Sampai ketika itu saya hidup sederhana; hanya menulis puisi, dan tidak ingin muncul di depan. Tetapi, mengapa saya mendadak saja ingin melakukan sesuatu yang rumit? Secara tak sadar, saya telah membayangkan The Poet Society of Asia, sebuah wajah yang saya pun sesungguhnya tidak kenal. Kemudian, pada akhirnya, saya menerbitkan majalah Sipyung yang terbit pertama pada musim gugur tahun 2000.

Dengan majalah Sipyung, saya bertemu dengan penyair Cina (Linmang), penyair Mongol (Ayurzana), dan penyair Vietman (Nguyen Quang Thieum). Sampai sekarang, saya sudah memperkenalkan sekitar 300 orang penyair Asia kepada pembaca Korea melalui Majalah Sipyung. Saya juga sudah menerbitkan antologi puisi beberapa penyair Asia. Selain itu, atas nama The Poet Society of Asia (TPSA), saya sudah tujuh kali mengundang para penyair Asia untuk acara baca puisi. Sudah 11 tahun berlalu sejak Sipyung terbit pertama kali, dan selama masa itu, sudah 45 edisi Sipyung diterbitkan sampai sekarang. Dalam perjalanan itu, ada banyak yang menemani Sipyung, antara lain, sastrawan Choi Seung- Ho, Kim Hye-Sun, Kim Sa-In, Profesor Kim Tae-Sung, Bae Yang-Soo, dan Lee Yeon. Penerbitan sebuah majalah tentu saja bukanlah performance seorang diri, melainkan hasil dari kerja sama sebuah tim.

Melalui Majalah Sipyung, saya selalu berusaha tidak melupakan semua keterpencilan dan kesengsaraan dalam kehidupan ini; sekalian juga bermimpi untuk pergi bersama semua penyair dari jauh. Saya berpikir, bahwa puisi mementingkan (mengutamakan) perwujudan, menghargai bahasa, dan rindu pada dunia asing. Bagi, saya, Asia adalah satu, dan sekaligus juga bukan satu. Jika kita menghadapi kenyataan Asia, bagi kita, Asia adalah kesengsaraan sekaligus firdaus; kehidupan sekaligus juga pekuburan.

Benua Asia adalah tempat rahasia Timur, dari sanalah setiap pagi dimulai. Dunia bahasa leluhur yang bijaksana masih berada nun jauh di sana dan terlalu tinggi bagi kita. Kita semua mengalami sejarah penjajahan yang sama. Mari kita membuka pintu. Mari kita saling mendekat. Saya yakin, bahwa kita dapat menanggulangi sesuatu yang tersumbat dan kemudian bisa saling membantu mengarahkan puisi kita ke mana. Kita tidak boleh membiarkan seorang pun terpencil dari zaman ini ke zaman yang berada di depan.

Majalah Sipyung tidak punya kantor. Sejak dulu, tidak pernah ada kantor, bahkan sampai sekarang pun tak ada. Seluruh Asia adalah kantor Majalah Sipyung. Di segenap pelosok Asia, itulah kantor redaksi Sipyung. Meja kerja saya berada di langit Asia. The Poet Society of Asia pun, sama sekali tidak punya kantor. Memang seharusnya begitu. Itu pantas dan penuh harapan.

Di luar puisi, ada kenyataan politis yang dihadapi negara masing-masing, ada kehidupan sehari-hari, ada alam dan juga, ada kerja keras. Asia adalah chaos dan daerah suci yang tidak dapat ditentukan. Kelompok berada sekaligus tidak berada. Asia adalah awan pengembara. Namun para penyair Asia adalah tokoh utama dalam The Poet Society of Asia.

Sekali-kali saya mengalami kesulitan dalam menerbitkan Sipyung, karena kerja itu memerlukan banyak waktu dan uang. Akan tetapi, sekarang saya merasa sangat berbahagia, karena di Riau sini, saya berjumpa lagi dengan para penyair yang pernah jumpa saya di Korea. Korea-ASEAN Poets Literature Festival (KAPLF) yang diadakan pada tahun lalu di Korea memberikan kenangan yang sangat berharga kepada kita semua. Sekarang, kita berkumpul sekali lagi di Indonesia. Dalam kesempatan ini, kami, rombongan penyair Korea, ingin menyampaikan sesuatu kepada Yayasan Sagang dan Bapak Rida K Liamsi sebagai tanda persahabatan.

Kita akan menemukan Asia sebagai dunia sendiri. Puisi kita bermimpi untuk menanggulangi sejarah yang penuh dengan penguasaan dan eksploitasi. Apa yang diharapkan kita semua adalah saling mendekat. Mungkin seorang penyair adalah tukang jam yang pekerjaannya seperti memeriksa dan merawat bahasa. Saya mendengar bunyi waktu berlalu di Pekanbaru. Saya membayangkan wajah para penyair Asia yang tidak ada di sini.

Sekarang saya ingin meninggalkan sesuatu di Indonesia, sekaligus mengambil sesuatu dari Indonesia.

Ko Hyeong Ryeol, Presiden The Poet Society of Asia (TPSA) dan Director Korea-ASEAN Poets Literature Festival (KAPLF) I di Korea Selatan 2010. Tulisan ini adalah pengantarnya untuk buku Malay As World Heritage on Stage: Directory Book Korea-ASEAN Poets Literature Festival II 2011.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/10/pengakuan-seorang-penyair-tentang-dua.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati