Ko Hyeong Ryeol
Riau Pos, 30 Okt 2011
PADA Tahun 1970-an masyarakat Korea berada dalam penderitaan di bawah pemerintahan otokrasi. Pada masa itu, segalanya tersumbat, tidak ada pintu keluar. Ketika itulah, seorang penyair muda yang tinggal di rumah petak yang kumuh, menderita. Harga dirinya terluka. Setiap malam, dia dihantui mimpi buruk. Saat itu, dia menulis puisi di negaranya sendiri yang penuh dengan senjata nuklir. Itulah potret saya sebagai seorang penyair saat berusia 20-an tahun.
Pada masa rezim otokrasi itu berkuasa, para penyair tidak diizinkan untuk menulis puisi dengan segala kebebasannya. Tidak ada komunikasi antara dunia sastra dan politik. Para penyair yang bertanggung jawab atas profesinya, para penyair yang menjunjung moralitas, merasa segalanya kacau. Mereka kemudian mengurung diri: berhenti menulis puisi. Masyarakat Korea yang telah terlepas dari penjajahan Jepang, kini berada di bawah kurungan pemerintahan otokrasi. Para penyair merasa malu menghadapi situasi buruk yang seperti itu.
Kemudian muncullah beberapa sastrawan yang berpikiran maju. Mereka mengajar dan mendorong angkatan kami agar berdiri tegak. Mereka menghasilkan karya-karya mereka di alun-alun, di lapangan, dan bukan di sanggar-sanggar mereka. Mereka, antara lain Ko-Eun, Shin Kyung-Rhim, Kim Ji-Ha, Baek Nak-Cheong dan beberapa penyair lainnya. Mereka menyatakan pandangannya, mengumumkan sikap kepenyairannya, bahwa sastra tidak mungkin tidak terkait dengan politik. Penyair harus terjun ke dalam kemelut. Sosok mereka penuh dengan resistensi dan kesedihan.
Bagi seorang penyair, sejarah dan masa lalu merupakan tantangan untuk masa depan. Sejauh ini, masyarakat Korea ada di dalam pusaran yang berkenaan dengan modernisasi, demokratisasi, otokrasi, dan industrialisasi. Sekarang pun, masyarakat Korea penuh dengan kontradiksi. Terlalu banyak yang kehilangan, sehingga kami menuju ke depan dengan berusaha mencari dan menemukan kembali kehilangan kami. Orang Korea selalu bermimpi tentang keikutsertaan; keterlibatan. Masalahnya, lantaran selama ini Korea terlalu sering diserang oleh kekuasaan dari luar. Keberadaan puisi adalah resistensi terhadap penindasan kekuasaan, sekaligus usaha untuk mendengarkan suara dari lubuk hati yang terdalam; juga laksana sebuah tarian untuk nyawa yang berkembang.
Tuntutan masyarakat Korea terhadap demokratisasi dimulai pada tahun 1960-an yang lalu menurunkan layarnya 10 tahun kemudian. Pada senja abad ke-20, saya diundang ke Jepang. Di Tokyo, saya sempat bertemu dengan para penyair Jepang, yaitu Hoda Hisasi, Sibata Sankichi, Sagawa Aki, dan Suzuki Hisao. Dalam perjalanan pulang ke Korea dari Jepang, pikiran saya kembali tertuju pada sejarah sastra Korea yang kemudian, saya merasa, itu merupakan sesuatu yang sulit diterangkan. Sebenarnya, pada masa penjajahan Jepang, para penyair Korea membuat majalah sastra yang bernama Chang-Jo yang terbit di Jepang. Betapa sedih dan menderitanya hati mereka, menciptakan karya-karya mereka di negara penjajah, di negara yang menjadi musuh kami.
Sambil terus berpikir tentang hal tersebut, saya memandang ke luar. Pesawat yang menerbangkan saya sedang melewati udara Laut Timur. Pada saat itu, di tengah udara Laut Timur, sejenak sebuah gagasan terlintas dalam benak saya. Gagasan itu adalah membuat jurnal puisi Asia. Entah mengapa, begitu tiba-tiba saja saya mempunyai gagasan yang seperti itu. Sampai ketika itu saya hidup sederhana; hanya menulis puisi, dan tidak ingin muncul di depan. Tetapi, mengapa saya mendadak saja ingin melakukan sesuatu yang rumit? Secara tak sadar, saya telah membayangkan The Poet Society of Asia, sebuah wajah yang saya pun sesungguhnya tidak kenal. Kemudian, pada akhirnya, saya menerbitkan majalah Sipyung yang terbit pertama pada musim gugur tahun 2000.
Dengan majalah Sipyung, saya bertemu dengan penyair Cina (Linmang), penyair Mongol (Ayurzana), dan penyair Vietman (Nguyen Quang Thieum). Sampai sekarang, saya sudah memperkenalkan sekitar 300 orang penyair Asia kepada pembaca Korea melalui Majalah Sipyung. Saya juga sudah menerbitkan antologi puisi beberapa penyair Asia. Selain itu, atas nama The Poet Society of Asia (TPSA), saya sudah tujuh kali mengundang para penyair Asia untuk acara baca puisi. Sudah 11 tahun berlalu sejak Sipyung terbit pertama kali, dan selama masa itu, sudah 45 edisi Sipyung diterbitkan sampai sekarang. Dalam perjalanan itu, ada banyak yang menemani Sipyung, antara lain, sastrawan Choi Seung- Ho, Kim Hye-Sun, Kim Sa-In, Profesor Kim Tae-Sung, Bae Yang-Soo, dan Lee Yeon. Penerbitan sebuah majalah tentu saja bukanlah performance seorang diri, melainkan hasil dari kerja sama sebuah tim.
Melalui Majalah Sipyung, saya selalu berusaha tidak melupakan semua keterpencilan dan kesengsaraan dalam kehidupan ini; sekalian juga bermimpi untuk pergi bersama semua penyair dari jauh. Saya berpikir, bahwa puisi mementingkan (mengutamakan) perwujudan, menghargai bahasa, dan rindu pada dunia asing. Bagi, saya, Asia adalah satu, dan sekaligus juga bukan satu. Jika kita menghadapi kenyataan Asia, bagi kita, Asia adalah kesengsaraan sekaligus firdaus; kehidupan sekaligus juga pekuburan.
Benua Asia adalah tempat rahasia Timur, dari sanalah setiap pagi dimulai. Dunia bahasa leluhur yang bijaksana masih berada nun jauh di sana dan terlalu tinggi bagi kita. Kita semua mengalami sejarah penjajahan yang sama. Mari kita membuka pintu. Mari kita saling mendekat. Saya yakin, bahwa kita dapat menanggulangi sesuatu yang tersumbat dan kemudian bisa saling membantu mengarahkan puisi kita ke mana. Kita tidak boleh membiarkan seorang pun terpencil dari zaman ini ke zaman yang berada di depan.
Majalah Sipyung tidak punya kantor. Sejak dulu, tidak pernah ada kantor, bahkan sampai sekarang pun tak ada. Seluruh Asia adalah kantor Majalah Sipyung. Di segenap pelosok Asia, itulah kantor redaksi Sipyung. Meja kerja saya berada di langit Asia. The Poet Society of Asia pun, sama sekali tidak punya kantor. Memang seharusnya begitu. Itu pantas dan penuh harapan.
Di luar puisi, ada kenyataan politis yang dihadapi negara masing-masing, ada kehidupan sehari-hari, ada alam dan juga, ada kerja keras. Asia adalah chaos dan daerah suci yang tidak dapat ditentukan. Kelompok berada sekaligus tidak berada. Asia adalah awan pengembara. Namun para penyair Asia adalah tokoh utama dalam The Poet Society of Asia.
Sekali-kali saya mengalami kesulitan dalam menerbitkan Sipyung, karena kerja itu memerlukan banyak waktu dan uang. Akan tetapi, sekarang saya merasa sangat berbahagia, karena di Riau sini, saya berjumpa lagi dengan para penyair yang pernah jumpa saya di Korea. Korea-ASEAN Poets Literature Festival (KAPLF) yang diadakan pada tahun lalu di Korea memberikan kenangan yang sangat berharga kepada kita semua. Sekarang, kita berkumpul sekali lagi di Indonesia. Dalam kesempatan ini, kami, rombongan penyair Korea, ingin menyampaikan sesuatu kepada Yayasan Sagang dan Bapak Rida K Liamsi sebagai tanda persahabatan.
Kita akan menemukan Asia sebagai dunia sendiri. Puisi kita bermimpi untuk menanggulangi sejarah yang penuh dengan penguasaan dan eksploitasi. Apa yang diharapkan kita semua adalah saling mendekat. Mungkin seorang penyair adalah tukang jam yang pekerjaannya seperti memeriksa dan merawat bahasa. Saya mendengar bunyi waktu berlalu di Pekanbaru. Saya membayangkan wajah para penyair Asia yang tidak ada di sini.
Sekarang saya ingin meninggalkan sesuatu di Indonesia, sekaligus mengambil sesuatu dari Indonesia.
Ko Hyeong Ryeol, Presiden The Poet Society of Asia (TPSA) dan Director Korea-ASEAN Poets Literature Festival (KAPLF) I di Korea Selatan 2010. Tulisan ini adalah pengantarnya untuk buku Malay As World Heritage on Stage: Directory Book Korea-ASEAN Poets Literature Festival II 2011.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/10/pengakuan-seorang-penyair-tentang-dua.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar