Selasa, 13 Desember 2011

Pendidikan dari Pinggiran

Hasnan Bachtiar*
http://sastra-indonesia.com/

MARI kita saksikan pendidikan negeri ini, dari dekat sekali. Akan kita temui pendidikan sehari-hari yang terjadi dan berulang, tanpa ujung pangkal yang jelas. Mendidik bak merindukan rembulan. Karena aktivitas pendidikan adalah ide-ide yang disodorkan para penguasa kebijakan, yang sejatinya mengabaikan realitas sosial yang sesungguhnya.

Kalau sudah begitu, pendidikan yang memberikan “jarak” dari kehidupan, menjadi semacam kematian pendidikan. Hal ini jauh dari segala tujuan yang mendasar, yaitu mengajarkan kehidupan dan praktik hidup yang baik, yang paling nyata. Padahal semestinya, pendidikan itu urip lan nguripi. Pendidikan itu kehidupan dan bagaimana menghidupi atau bertahan hidup (N.V.S. Grundtvig, Selected Writings. 1976: 140-41).

Disadari atau tidak, penguasa kebijakan pendidikan saat ini adalah penganut idealisme. Menetapkan ide-ide kepada guru-guru yang polos. Sedangkan imbasnya, siswa didik ikhlas menerima dengan legawa, serangkaian takdir pendidikan yang nestapa.

Sebenarnya, ide-ide pendidikan adalah kreativitas komunitas intelektual (Jakarta), yang tidak tahu-menahu pasal kebutuhan hidup yang paling nyata. Dengan kata lain, “pinggiran Indonesia” yang sangat luas, sejumlah lebih dari 240 juta jiwa, 18.000 pulau-pulau dan multikultural, dianggap “kurang berpengetahuan” oleh sekelompok kecil orang. Paling tidak, tersingkir potensi intelektualnya.

Ada ilustrasi kasuistik, di mana pendidikan kita, memang berjarak sangat jauh dengan realitas keseharian manusia yang hidup. Seorang anak sekolah dasar sepulang sekolah seperti berputus-asa, karena merasa menjadi manusia yang tak berguna. Mengadu pada orangtuanya, untuk apa belajar tata negara yang sangat rumit kalau itu memang tidak diperlukan. “Untuk wawasan,” tutur pengajarnya. Terlalu muluk dan idealistis kalau itu benar adanya. Ini belum soal kerumitan moral dan politik bangsa yang berwajah muram.

Pada matapelajaran sejarah pun demikian. Apakah anak didik hendak diajar untuk tahu dan mengambil makna dari sejarah? Tentu tidak. Karena banyak hal tidak dibicarakan secara jujur. Soal sejarah Indonesia yang mestinya kita “terbuka” bahwa Indonesia setiap zaman hanya menanggung beban penjajahan dan penderitaan. Padahal, sejarah bukan hanya masa lalu, namun masa kini dan masa depan.

Pelajaran bahasa Indonesia mengalami nasib yang sama. “Adik-adik belajar apa, di kelas Bahasa Indonesia?” Jawab mereka, “Kami belajar majas sinekdoke totem pro pars, ini, itu dan besok harus hafal seratus deret teori dan konsep lainnya?” Luar biasa. Memang jauh dari tujuan berbahasa Indonesia yang baik. Semestinya sederhana yang harus ditata, yaitu berbudaya berbahasa santun dan bisa mengarang. Lagipula ini belum termasuk kesantuan keseharian di daerah masing-masing.

Tidak berbeda dengan pengajaran disiplin ilmu sosial lainnya, yang terangkum sebagai Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Seolah antropologi, ekonomi, geografi, hukum, pendidikan, politik, sejarah dan sosiologi, wajib ditelan matang oleh anak sekolahan. Jelas, terjadi penyederhanaan besar-besaran ilmu sosial dan humaniora menjadi IPS. Para intelektual ibu kota yang mengaku pakar, bukan tidak paham kalau yang mendesak diambil manfaatnya dari ilmu sosial, hanyalah solusi bagi masalah sosial yang sedang terjadi. Akan dianggap lucu kiranya ada yang mengusulkan, IPS diganti dengan matapelajaran “bertahan hidup di jalanan” bagi siswa didik anak jalanan.

Potret masyarakat dari dekat inilah, yang gagal dipahami bersama. Lagipula ini bukan sekedar persoalan metode pengajaran, tetapi juga filsafat pendidikan, kebudayaan, struktur kekuasaan dan kebijakan publik.

Pemilik kebijakan bekerja atas dasar kejar deadline atau sekedar menggugurkan kewajiban. Sementara itu, para pendidik mendapat permakluman, seolah mereka tak berdaya dengan garis-garis ketentuan kekuasaan. Imbasnya, putra putri masa depan bangsa terlahir sebagai manusia-manusia tukang pasrah (fatalis) dan tidak mampu survive menantang zaman. Dalam bahasa WS. Rendra, pendidikan di Indonsia seperti pabrik yang memproduksi “angkatan pongah”, karena tidak menguasai tata buku masa lalu dan tata buku masa depan.

Tidak bisa dipungkiri, kerumitan masalah bangsa turut menggilas kemanusiaan pemerintah. Khususnya mereka yang berkecimpung di dunia didik-mendidik. Mungkin hal ini dihitung sebagai faktor eksternal. Namun hingga hari ini, bangsa ini penuh dengan ilmuan pendidikan yang alpa filsafat pendidikan. Ujung-ujungnya, paradigma idealisme menjadi semacam penyakit yang mewabah di seluruh lini pendidikan.

Sudah lama sekali, Indonesia tidak punya pedagog kritis. Tidak ada ahli kebudayaan, kemanusiaan dan pendidikan sekaligus, yang bisa menjadi rujukan seluruh umat pendidikan. Kalaupun ada, maka penguasa belum berkenan, karena tidak bisa mendatangkan keuntungan secara instan. Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Ahmad Dahlan, Hasyim Asyari, YB. Mangunwijaya, hingga HAR Tilaar beserta ajaran-ajarannya hanya menjadi buku-buku yang lapuk dan tidak populer.

Seandainya mau jujur dengan hati yang terdalam, para pedagog sekaligus pejuang kemanusiaan ini adalah guru-guru di daerah-daerah dan kita semua. Seluruh pendidik, barangkali nuraninya memahami atas “apa yang paling dibutuhkan dan memanusiakan manusia” bagi anak didiknya. Berkawan, bersahabat, dan belajar dari peserta didik dan lingkungan sekitar sehari-hari, adalah kependidikan yang sejati.

Pedagogi kemanusiaan adalah mendidik tanpa jarak. Kita tidak perlu garis-garis besar pendidikan dari penguasa, karena tidak ada yang paling pintar di antara manusia satu sama lain. Di hadapan ilmu, semua manusia adalah murid. Dengan demikian, paradigma idealisme pendidikan hendaknya dirubah. Sentralitas pola pikir idealisme yang diterapkan dengan mengabaikan realitas materialistik, diubah dengan menitikberatkan kependidikan pada soal-soal keseharian lingkungan sosial yang paling sederhana.

Kiranya, usulan gagasan ini adalah strategi kebudayaan, yaitu memahami manusia dan pendidikan secara fenomenologis atau dari jarak terdekatnya. Jika pendidikan menjadi bagian dari kebudayaan setempat, akan memberi sumbangan yang besar yang paling nyata. Ruh keindonesiaan, kepemimpinan, kesantunan, pikiran yang positif dan optimis, serta gairah hidup yang tinggi, dapat dijadikan sebagai isi dalam mengiringi aktivitas kependidikan ini.

Jika ada pertanyaan, “Apakah Indonesia telah gagal?” Kita akan dengan tegas menjawab, “Indonesia akan berhasil.” Kerumitan problem kebangsaan, akan berangsur pulih melalui pendidikan, asal juga menggeser paradigma filsafat pendidikan idealistik-postif, menjadi fenomenologis-humanistik.

Sebagai penutup dari tulisan ini, seorang filsuf India kontemporer, Gayatri Chakravorty Spivak (1988: 271-313), pernah mengajukan problem bahwa, “Dapatkah pinggiran berbicara?” Sebenarnya, justru pinggiranlah yang mestinya didengarkan. Karena itu, dari pinggiran, Indonesia menjadi kuat.

*) Pengajar filsafat di Universitas Muhammadiyah Malang.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati