Selasa, 06 Desember 2011

Hipogram dan Transformasi Teks: Cerpen Marhalim Zaini dan Karya Jurnalistik Kartini Fattach

Dessy Wahyuni
Riau Pos, 6 Maret 2011

KAMPUNG Kusta telah menjadi tempat pembuangan orang-orang yang dianggap membawa aib bagi keluarganya sejak perang pada zaman Jepang di Tebingtinggi, dan telah ratusan orang kusta telah mati dan dikubur di sana. Padahal pada awalnya mereka disembunyikan oleh sanak keluarga di loteng-loteng rumah. Gambaran ini terlihat di kedua teks yang ada, seperti beberapa kutipan berikut ini.

Ya, selama puluhan tahun , sejak perang di zaman Jepang bergolak di Tebing Tinggi, ratusan orang kusta telah mati tertanam di tanah gambut pulau ini. Mereka “dibuang” oleh keluarga karena aib. Mereka diasingkan di pulau asing, untuk kemudian menunggu atau menerima datangnya kematian dengan cara yang sangat perlahan tapi pasti—menghabisi seinci demi seinci ruas nyawa di sekujur anggota tubuh mereka. Awalnya, karena merasa masih berbelas kasih, mereka “disembunyikan” diloteng-loteng rumah. (Zaini, 2011:80).

Dari cerita Limhong, diketahui kampung ini sudah ada sejak zaman Jepang. Kala itu, perang sedang bergolak di kawasan Tebingtinggi, Selatpanjang. Menemukan adanya warga yang menderita penyakit kusta yang dianggap aib bagi keluarga, Jepang lantas mengasingkan mereka di tempat ini… “Kalau dihitung sejak zaman Jepang sampai sekarang penderita kusta yang pernah tinggal di sini sudah ratusan orang. di antara mereka ada yang sudah sembuh tapi ratusan pula yang tak tertolong sehingga harus dikuburkan di sini,” kata Tang Heng. (Fattach, 2008:6-7).

Namun alasan mereka tidak lagi menyimpan anggota keluarga yang terkena kusta di loteng berbeda tiap teksnya. Dalam cerpen, Marhalim menceritakan bahwa bau busuk yang ditimbulkan oleh penyakit ini tidak bisa diredam. Oleh sebab itu, aib ini akan mudah tersebar dari mulut ke mulut, sehingga keluarga harus menanggung malu. Sedangkan Kartini menggambarkan bahwa sanak keluarga memutuskan mengirim mereka ke kampung tersebut setelah terjadi kebakaran dahsyat di Selatpanjang tahun 1990-an yang juga menimpa rumah-rumah yang menyimpan penderita kusta di loteng.

Selama berada di pulau pengasingan, para penderita kusta sangat susah untuk mendapatkan obat. Dokter juga sudah enggan datang. Pada awalnya memang ada mantri yang ditugaskan untuk memeriksa mereka secara rutin. Namun Marhalim dalam cerpennya menggambarkan bahwa mantri yang ditugaskan untuk memeriksa sekali seminggu tersebut hanya berlangsung tiga bulan, setelah itu tidak pernah datang lagi. Sedangkan Kartini memaparkan bahwa mantri yang datang tidak mau memberikan obat, seperti yang terlihat pada beberapa kutipan di bawah ini.

Terus, ada juga si Pak Mantri Puskesmas dari Selatpanjang yang memang ditugaskan ke sini seminggu sekali, tak sampai tiga bulan, tak nampak lagi batang hidungnya. (Zaini, 2011:83).

Dari mulut Limhong inilah diketahui bahwa sudah beberapa tahun terakhir, dirinya tak lagi mengonsumsi obat. Sehingga penyakitnya kian parah. “Dokter tak mau datang la… Manteri datang tapi tak mau kasi obat a… tolong saya, saya mau obat,” ucapnya berulang-ulang. (Fattach, 2008:5).

Memang mereka pernah diberikan obat yang didatangkan dari Itali. Obat ini merupakan tablet berwarna merah yang hanya diminum satu kali seminggu tanpa diberikan suntikan lagi. Sepertinya obat ini sangat mahal, sehingga mereka tidak pernah mendapatkannya lagi setelah stok yang ada habis. Dalam tulisannya Kartini melaporkan bahwa Tang Hen Sin, Kongkam, dan juga Amoy berhasil sembuh dari penyakit kusta berkat meminum obat tersebut. Hal ini tergambar dari kutipan-kutipan berikut.

Dulu pernah ada obat yang didatangkan dari Itali, katanya. Dibawa oleh orang yayasan. Sebiji tablet berwarna merah yang dimakan seminggu sekali, tanpa disuntik. Tapi tak sampai dua bulan, senyaplah sudah. (Zaini, 2011:83).

Mereka dulunya mendapat obat dari Italia yang didatangkan yayasan dan tanpa disuntik. “Makan obat satu kali seminggu satu tablet warna merah,” cerita Tang Heng. Berkat meminum obat yang diberikan yayasan tersebut, Tang Hen Sin dan Kongkam kini sudah berhasil sembuh dari penyakitnya, begitu juga dengan Amoy. (Fattach, 2008:6).

Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, para penderita kusta yang tinggal di kampung ini hanya bisa memanfaatkan apa saja yang ada di sekitar mereka. Untuk itu mereka menganyam ayak yang terbuat dari bambu dan mencari ikan di sungai, lalu mereka menjualnya ke pasar di Selatpanjang. Setiap ayak akan dihargai 28 ribu rupiah perbuah. Baik Marhalim maupun Kartini menceritakan bahwa Kongkam adalah orang yang paling sering membawa barang-barang tersebut untuk dijual ke pasar sekaligus berbelanja keperluan hidup mereka di pulau yang terlupakan itu, seperti yang terlihat dalam beberapa kutipan berikut ini.

Ayak-ayak itu, merekalah yang memproduksinya… Dengan kondisi semacam ini, dapat satu-dua biji ayak saja dalam sehari, sudah tentu sangat membuat mereka berbahagia. Satu ayak dijual seharga 28 ribu rupiah. Dapat tujuh ayak saja dalam sepekan, ditambah dengan ikan lomek, ikan sembilang, ikan gonjeng, ikan duri dari hasil tangkapan jaring rawai dapat laku terjual agak lima kilo, dapatlah membuat mereka bertahan selama sepekan. (Zaini, 2011:82).

“Hari-hari kami menganyam ayak (tapisan),” cerita Tang Heng. Ayak yang dibuat itu bahan bakunya memanfaatkan bambu yang banyak terdapat di sekitar rumah mereka….” Oleh penampung langganan mereka, ayak hasil kerajinan tangan Tang Heng dihargai Rp28 ribu per buah…. Selain menjual ayak, mereka juga menjual ikan yang mereka tangkap sendiri di Sungai Bokor…. Dari lima penghuni ini, Kongkam paling sering berbelanja keperluan sehari-hari. (Fattach, 2008:8-9).

Karya jurnalistik Kartini hanya memaparkan perjalanan jurnalistiknya ke “kampung kusta” dan mendeskripsikan keadaan para penderita kusta tersebut kepada pembaca. Dari paparannya itu pembaca dapat membayangkan bagaimana naasnya kondisi kehidupan yang diderita para korban di kampung tersebut. Marhalim memanfaatkan deskripsi yang disuguhkan Kartini sebagai latar dalam cerpennya, mulai dari paparan tentang kondisi lingkungan “kampung kusta” hingga kehidupan sehari-hari penghuninya.

Marhalim telah melakukan ekspansi, yaitu perluasan atau pengembangan karya, yang mengubah unsur pokok menjadi bentuk yang lebih kompleks dalam cerpennya. Ia membalut dan mengemas cerita tentang “kampung kusta” yang telah dipaparkan oleh Kartini tersebut dengan menggambarkan kehidupan yang sangat dekat dengan kematian, namun sebenarnya penuh dengan cinta. “Atau, pentingkah cinta, perkawinan, atau entah apalah namanya di saat hidup telah demikian dinanti oleh kematian?” (Zaini, 2011:85)

Berkali-kali Marhalim menyuguhi pembaca dengan gambaran kematian yang telah menanti para penderita kusta ini. Seperti yang diungkapkan oleh Kongkam ketika ia dalam perjalanan kembali ke Kampung Kusta setelah dua tahun pergi. “Lagi pula ia bukan budak kecik yang baru belajar bersampan, yang harus takut gelombang, takut mati tenggelam… Maka mati tenggelam, baginya hanyalah satu pilihan lain saja untuk tidak mati sebagai penderita kusta.” (Zaini, 2011:78)

Marhalim juga menguraikan kondisi Kampung Kusta dan penghuninya melalui karakter dalam cerpennya tersebut, bahwa Kampung Kusta ini telah ada sejak perang di zaman Jepang bergolak di Tebing Tinggi, dan ratusan orang kusta telah mati tertanam di tanah gambut pulau tersebut. “Mereka diasingkan di pulau asing, untuk kemudian menunggu atau menerima datangnya kematian dengan cara yang sangat perlahan tapi pasti—menghabisi seinci demi seinci ruas nyawa di sekujur anggota tubuh mereka (Zaini, 2011:80)”.

Tapi ternyata dalam derita yang mereka tanggung dan getirnya kehidupan yang mereka emban, telah tumbuh benih-benih cinta di hati Amoy terhadap Kongkam. Sesungguhnya Kongkam pun jatuh hati pada Amoy, seorang gadis cantik meskipun telah cacat. Namun Kongkam tidak berani menerima cinta Amoy, sebab beberapa hal, Kongkam telah beristri, kendati istrinya tidak pernah datang menjenguknya selama berada di pulau terasing tersebut dan mereka belum dikaruniai seorang anak pun. Alasan lain adalah persoalan agama, Kongkam (satu-satunya orang Melayu di pulau itu) beragama Islam, sedangkan Amoy menganut kepercayaan Konghucu.

Ketika Kongkam akan menyeberang ke Selatpanjang membawa barang dagangan mereka dua tahun silam, Amoy mempunyai firasat bahwa itu adalah hari terakhir mereka bersama, dan ia pun sempat pula mempertanyakan kepulangan Kongkam.

Di ujung pertemuan itu, Amoy seolah merasa sedang melepas sesuatu yang teramat berat seraya berbisik, “Abang pulang ke sini lagi kan?” (Zaini, 2011:86)

Untuk itulah Kongkam kembali ke Kampung Kusta ini setelah dua tahun menghilang. Ia kembali untuk mengejar cintanya. Namun niatnya ini tidak pernah terlaksana, sebab perahu yang ditumpanginya kandas di hulu sungai yang kian menyempit dan dangkal. Untuk turun mengarungi sungai yang dangkal itu dengan berjalan kaki pun ia enggan, sebab ia belum berani menanggung resiko harus mati diterkam buaya yang konon sesekali menampakkan diri (kondisi hulu sungai seperti ini juga telah dipaparkan Kartini dalam tulisannya).

Setelah membaca paparan perbandingan kedua teks yang ada, bisa dikatakan bahwa karya jurnalistik Kartini Fattach merupakan hipogram dari cerpen Marhalim, sebab merupakan modal utama dalam terbentuknya cerpen ini. Tulisan Kartini telah banyak berperan dan menjadi latar lahirnya cerpen karya Marhalim tersebut. Dengan kata lain cerpen Marhalim merupakan transformasi dari karya jurnalistik Kartini karena karya tersebut lahir setelah karya Kartini. Hipogram dan transformasi ini berjalan terus-menerus sehingga tercipta sebuah karya sastra yang lebih hidup.

*) Dessy Wahyuni, peneliti di Balai Bahasa Provinsi Riau. Selain menulis esai, juga menulis cerpen dan menerjemahkan karya sastra. Tinggal di Pekanbaru.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/03/hipogram-dan-transformasi-teks-cerpen.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati