Dessy Wahyuni
Riau Pos, 6 Maret 2011
KAMPUNG Kusta telah menjadi tempat pembuangan orang-orang yang dianggap membawa aib bagi keluarganya sejak perang pada zaman Jepang di Tebingtinggi, dan telah ratusan orang kusta telah mati dan dikubur di sana. Padahal pada awalnya mereka disembunyikan oleh sanak keluarga di loteng-loteng rumah. Gambaran ini terlihat di kedua teks yang ada, seperti beberapa kutipan berikut ini.
Ya, selama puluhan tahun , sejak perang di zaman Jepang bergolak di Tebing Tinggi, ratusan orang kusta telah mati tertanam di tanah gambut pulau ini. Mereka “dibuang” oleh keluarga karena aib. Mereka diasingkan di pulau asing, untuk kemudian menunggu atau menerima datangnya kematian dengan cara yang sangat perlahan tapi pasti—menghabisi seinci demi seinci ruas nyawa di sekujur anggota tubuh mereka. Awalnya, karena merasa masih berbelas kasih, mereka “disembunyikan” diloteng-loteng rumah. (Zaini, 2011:80).
Dari cerita Limhong, diketahui kampung ini sudah ada sejak zaman Jepang. Kala itu, perang sedang bergolak di kawasan Tebingtinggi, Selatpanjang. Menemukan adanya warga yang menderita penyakit kusta yang dianggap aib bagi keluarga, Jepang lantas mengasingkan mereka di tempat ini… “Kalau dihitung sejak zaman Jepang sampai sekarang penderita kusta yang pernah tinggal di sini sudah ratusan orang. di antara mereka ada yang sudah sembuh tapi ratusan pula yang tak tertolong sehingga harus dikuburkan di sini,” kata Tang Heng. (Fattach, 2008:6-7).
Namun alasan mereka tidak lagi menyimpan anggota keluarga yang terkena kusta di loteng berbeda tiap teksnya. Dalam cerpen, Marhalim menceritakan bahwa bau busuk yang ditimbulkan oleh penyakit ini tidak bisa diredam. Oleh sebab itu, aib ini akan mudah tersebar dari mulut ke mulut, sehingga keluarga harus menanggung malu. Sedangkan Kartini menggambarkan bahwa sanak keluarga memutuskan mengirim mereka ke kampung tersebut setelah terjadi kebakaran dahsyat di Selatpanjang tahun 1990-an yang juga menimpa rumah-rumah yang menyimpan penderita kusta di loteng.
Selama berada di pulau pengasingan, para penderita kusta sangat susah untuk mendapatkan obat. Dokter juga sudah enggan datang. Pada awalnya memang ada mantri yang ditugaskan untuk memeriksa mereka secara rutin. Namun Marhalim dalam cerpennya menggambarkan bahwa mantri yang ditugaskan untuk memeriksa sekali seminggu tersebut hanya berlangsung tiga bulan, setelah itu tidak pernah datang lagi. Sedangkan Kartini memaparkan bahwa mantri yang datang tidak mau memberikan obat, seperti yang terlihat pada beberapa kutipan di bawah ini.
Terus, ada juga si Pak Mantri Puskesmas dari Selatpanjang yang memang ditugaskan ke sini seminggu sekali, tak sampai tiga bulan, tak nampak lagi batang hidungnya. (Zaini, 2011:83).
Dari mulut Limhong inilah diketahui bahwa sudah beberapa tahun terakhir, dirinya tak lagi mengonsumsi obat. Sehingga penyakitnya kian parah. “Dokter tak mau datang la… Manteri datang tapi tak mau kasi obat a… tolong saya, saya mau obat,” ucapnya berulang-ulang. (Fattach, 2008:5).
Memang mereka pernah diberikan obat yang didatangkan dari Itali. Obat ini merupakan tablet berwarna merah yang hanya diminum satu kali seminggu tanpa diberikan suntikan lagi. Sepertinya obat ini sangat mahal, sehingga mereka tidak pernah mendapatkannya lagi setelah stok yang ada habis. Dalam tulisannya Kartini melaporkan bahwa Tang Hen Sin, Kongkam, dan juga Amoy berhasil sembuh dari penyakit kusta berkat meminum obat tersebut. Hal ini tergambar dari kutipan-kutipan berikut.
Dulu pernah ada obat yang didatangkan dari Itali, katanya. Dibawa oleh orang yayasan. Sebiji tablet berwarna merah yang dimakan seminggu sekali, tanpa disuntik. Tapi tak sampai dua bulan, senyaplah sudah. (Zaini, 2011:83).
Mereka dulunya mendapat obat dari Italia yang didatangkan yayasan dan tanpa disuntik. “Makan obat satu kali seminggu satu tablet warna merah,” cerita Tang Heng. Berkat meminum obat yang diberikan yayasan tersebut, Tang Hen Sin dan Kongkam kini sudah berhasil sembuh dari penyakitnya, begitu juga dengan Amoy. (Fattach, 2008:6).
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, para penderita kusta yang tinggal di kampung ini hanya bisa memanfaatkan apa saja yang ada di sekitar mereka. Untuk itu mereka menganyam ayak yang terbuat dari bambu dan mencari ikan di sungai, lalu mereka menjualnya ke pasar di Selatpanjang. Setiap ayak akan dihargai 28 ribu rupiah perbuah. Baik Marhalim maupun Kartini menceritakan bahwa Kongkam adalah orang yang paling sering membawa barang-barang tersebut untuk dijual ke pasar sekaligus berbelanja keperluan hidup mereka di pulau yang terlupakan itu, seperti yang terlihat dalam beberapa kutipan berikut ini.
Ayak-ayak itu, merekalah yang memproduksinya… Dengan kondisi semacam ini, dapat satu-dua biji ayak saja dalam sehari, sudah tentu sangat membuat mereka berbahagia. Satu ayak dijual seharga 28 ribu rupiah. Dapat tujuh ayak saja dalam sepekan, ditambah dengan ikan lomek, ikan sembilang, ikan gonjeng, ikan duri dari hasil tangkapan jaring rawai dapat laku terjual agak lima kilo, dapatlah membuat mereka bertahan selama sepekan. (Zaini, 2011:82).
“Hari-hari kami menganyam ayak (tapisan),” cerita Tang Heng. Ayak yang dibuat itu bahan bakunya memanfaatkan bambu yang banyak terdapat di sekitar rumah mereka….” Oleh penampung langganan mereka, ayak hasil kerajinan tangan Tang Heng dihargai Rp28 ribu per buah…. Selain menjual ayak, mereka juga menjual ikan yang mereka tangkap sendiri di Sungai Bokor…. Dari lima penghuni ini, Kongkam paling sering berbelanja keperluan sehari-hari. (Fattach, 2008:8-9).
Karya jurnalistik Kartini hanya memaparkan perjalanan jurnalistiknya ke “kampung kusta” dan mendeskripsikan keadaan para penderita kusta tersebut kepada pembaca. Dari paparannya itu pembaca dapat membayangkan bagaimana naasnya kondisi kehidupan yang diderita para korban di kampung tersebut. Marhalim memanfaatkan deskripsi yang disuguhkan Kartini sebagai latar dalam cerpennya, mulai dari paparan tentang kondisi lingkungan “kampung kusta” hingga kehidupan sehari-hari penghuninya.
Marhalim telah melakukan ekspansi, yaitu perluasan atau pengembangan karya, yang mengubah unsur pokok menjadi bentuk yang lebih kompleks dalam cerpennya. Ia membalut dan mengemas cerita tentang “kampung kusta” yang telah dipaparkan oleh Kartini tersebut dengan menggambarkan kehidupan yang sangat dekat dengan kematian, namun sebenarnya penuh dengan cinta. “Atau, pentingkah cinta, perkawinan, atau entah apalah namanya di saat hidup telah demikian dinanti oleh kematian?” (Zaini, 2011:85)
Berkali-kali Marhalim menyuguhi pembaca dengan gambaran kematian yang telah menanti para penderita kusta ini. Seperti yang diungkapkan oleh Kongkam ketika ia dalam perjalanan kembali ke Kampung Kusta setelah dua tahun pergi. “Lagi pula ia bukan budak kecik yang baru belajar bersampan, yang harus takut gelombang, takut mati tenggelam… Maka mati tenggelam, baginya hanyalah satu pilihan lain saja untuk tidak mati sebagai penderita kusta.” (Zaini, 2011:78)
Marhalim juga menguraikan kondisi Kampung Kusta dan penghuninya melalui karakter dalam cerpennya tersebut, bahwa Kampung Kusta ini telah ada sejak perang di zaman Jepang bergolak di Tebing Tinggi, dan ratusan orang kusta telah mati tertanam di tanah gambut pulau tersebut. “Mereka diasingkan di pulau asing, untuk kemudian menunggu atau menerima datangnya kematian dengan cara yang sangat perlahan tapi pasti—menghabisi seinci demi seinci ruas nyawa di sekujur anggota tubuh mereka (Zaini, 2011:80)”.
Tapi ternyata dalam derita yang mereka tanggung dan getirnya kehidupan yang mereka emban, telah tumbuh benih-benih cinta di hati Amoy terhadap Kongkam. Sesungguhnya Kongkam pun jatuh hati pada Amoy, seorang gadis cantik meskipun telah cacat. Namun Kongkam tidak berani menerima cinta Amoy, sebab beberapa hal, Kongkam telah beristri, kendati istrinya tidak pernah datang menjenguknya selama berada di pulau terasing tersebut dan mereka belum dikaruniai seorang anak pun. Alasan lain adalah persoalan agama, Kongkam (satu-satunya orang Melayu di pulau itu) beragama Islam, sedangkan Amoy menganut kepercayaan Konghucu.
Ketika Kongkam akan menyeberang ke Selatpanjang membawa barang dagangan mereka dua tahun silam, Amoy mempunyai firasat bahwa itu adalah hari terakhir mereka bersama, dan ia pun sempat pula mempertanyakan kepulangan Kongkam.
Di ujung pertemuan itu, Amoy seolah merasa sedang melepas sesuatu yang teramat berat seraya berbisik, “Abang pulang ke sini lagi kan?” (Zaini, 2011:86)
Untuk itulah Kongkam kembali ke Kampung Kusta ini setelah dua tahun menghilang. Ia kembali untuk mengejar cintanya. Namun niatnya ini tidak pernah terlaksana, sebab perahu yang ditumpanginya kandas di hulu sungai yang kian menyempit dan dangkal. Untuk turun mengarungi sungai yang dangkal itu dengan berjalan kaki pun ia enggan, sebab ia belum berani menanggung resiko harus mati diterkam buaya yang konon sesekali menampakkan diri (kondisi hulu sungai seperti ini juga telah dipaparkan Kartini dalam tulisannya).
Setelah membaca paparan perbandingan kedua teks yang ada, bisa dikatakan bahwa karya jurnalistik Kartini Fattach merupakan hipogram dari cerpen Marhalim, sebab merupakan modal utama dalam terbentuknya cerpen ini. Tulisan Kartini telah banyak berperan dan menjadi latar lahirnya cerpen karya Marhalim tersebut. Dengan kata lain cerpen Marhalim merupakan transformasi dari karya jurnalistik Kartini karena karya tersebut lahir setelah karya Kartini. Hipogram dan transformasi ini berjalan terus-menerus sehingga tercipta sebuah karya sastra yang lebih hidup.
*) Dessy Wahyuni, peneliti di Balai Bahasa Provinsi Riau. Selain menulis esai, juga menulis cerpen dan menerjemahkan karya sastra. Tinggal di Pekanbaru.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/03/hipogram-dan-transformasi-teks-cerpen.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar