Minggu, 23 Oktober 2011

Kesenimanan di Dewan Kesenian Lampung

Udo Z. Karzi dan Budi P. Hatees*
Lampung Post, 13 Maret 2005

KESENIAN, apa pun bentuknya, tidak lahir dari sebuah lembaga yang dibentuk segelintir manusia yang merasa paling bertanggung jawab terhadap masa depan kesenian. Lembaga apa pun hasil bentukan itu, sekalipun bernama dewan kesenian, tidak ada satu karya seni pun yang bisa dihasilkannya. Tidak sepotong puisi, tidak sebentuk lukisan, tidak selembut gerak tari, tidak selenting bunyi, dan, ini yang paling penting, lembaga itu justru telah meletakkan kesenian bukan sebagai kesenian.

Tidak heran jika kesenian, di zaman ketika hidup manusia didominasi oleh logika dominan tertentu seperti ekonomi atau pasar, kesenian justru menggelepar-gelepar kehabisan oksigen. Kesenian kehilangan publik, karena publik sendiri tidak menangkap adanya semacam strategi dari seni(man) itu untuk, setidaknya, berusaha agar publik bisa menerima kesenian sebagai jalan kontemplatif melihat hidup mereka sendiri.

Begitulah seharusnya kita, terutama masyarakat Lampung, menyikapi lembaga kesenian bernama Dewan Kesenian Lampung (DKL). Selama bertahun-tahun, lembaga yang telah membuat penggagasnya begitu romantis dan cengeng, sehingga merasa perlu disebutkan namanya setiap kali orang lain bicara soal DKL, tidak lebih bagus dari semacam reuni orang-orang yang pernah muda di sebuah panti jompo yang sumuk. Dan setiap kali orang-orang yang pernah muda itu bertemu, mereka membolak-balik album masa lalu dengan cita rasa yang dibuat lebih hebat dan warna emas lebih berkilau, lalu sampai pada kesimpulan bahwa tidak akan pernah ada generasi baru yang sanggup melampai capaian-capaian yang telah mereka peroleh. Capaian-capaian yang, sebetulnya, nonsen karena cuma mereka yang menganggap telah ada pencapaian puncak, meskipun cara mereka mengukur capaian-capaian itu bukan saja keliru tetapi sangat tidak mendasar.

Kita tidak bisa membicarakan kesenian seperti membicarakan nilai tukar rupiah atau kita tidak bisa mengukur ada pencapaian dalam kesenian seperti mengukur pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung, sementara kita sama-sekali tidak menunjukkan kreativitas yang alternatif, unik, dan artistik. Begitulah DKL, selama bertahun-tahun, dikelola tanpa konsep yang jelas, tanpa perencanaan-perencanaan yang matang, dan akhirnya, menghasilkan segala sesuatu yang tidak jelas serta tidak matang pula. Hal-hal yang disebut kegiatan kesenian, atau yang dimaknai sebagai upaya melestarikan kesenian daerah, tidak berorientasi pada sebentuk strategi seni untuk membuat publik merasa memiliki kesenian sebagai jalan kontemplatif melihat hidup dan kehidupannya, yang berbeda dengan kontemplasi dunia sosial lainnya.

Kesenian di belahan mana pun di Nusantara ini, telah terkooptasi dalam bingkai politik pemaknaan warisan zaman represif Orde Baru, tidak lebih dan tidak kurang cuma untuk l’art pour l’art, dimana sudah diandaikan hanya kalangan seniman saja yang dirangkul di dalamnya. Pemahaman yang masih sangat kuat dalam diri elite pemerintah daerah sehingga mereka merasa tidak perlu bertanggung jawab untuk memberikan tempat bagi kesenian di dalam riuh-rendah kehidupan.

Elite pemerintahan daerah terperangkap dalam retorika pasar yang telah menusuk ke dalam sendi-sendi kehidupan kita hari ini, karena pemerintah tidak pernah berusaha memahami bahwa seni berbeda dengan publik utiliti, peraturan daerah, retribusi, propaganda, subsidi BBM, pamflet politik, pidato-pidato pengentasan kemiskinan, kredit UKM, atau beras raskin. Dan seni, seharusnya, tidak perlu berebut tempat di masyarakat dengan elemen-elemen sosial lainnya. Seni tidak perlu dikalahkan terus-menerus, menjadi nomor sekian dalam list persoalan yang harus diselesaikan pemerintah, menjadi anak haram dalam pembangunan daerah.

***

SELAMA bertahun-tahun seni terstigmatisasi dalam benak elite pemerintah daerah sebagai dunia yang artifisial. Seni adalah semacam benda artistik yang cuma berfungsi untuk dekorasi, pelengkap sebuah acara peresmian gedung atau penyambut tamu kenegaraan. Seni akhirnya tidak membutuhkan kreativitas, bentuk-bentuk baru. Seni adalah apa yang sudah ada dan tumbuh di masyarakat. Seni tidak pernah dianggap sebagai salah satu bentuk kreatif dari kebudayaan manusia.

Stigma semacam ini terus berlangsung tanpa ada upaya dari DKL untuk menawarkan sebuah paradigma yang bisa membalikkan cara berpikir, setidaknya mempertegas bahwa seni adalah sebuah dunia alternatif, karena seniman-seniman yang mengelola DKL adalah gerombolan massa yang tidak bisa meng-counter atau setidaknya menghidar dari gempuran-gempuran isu. Malah Herwan Achmad sebagai Ketua Umum DKL periode 2005-2008 dengan sangat bangga minta dilibatkan dalam program kepariwisataan seperti Festival Krakatau, yang semakin mempertegas bahwa DKL dikelola bukan berdasarkan paradigma berpikir. DKL dikelola dalam bingkai paradigma politik artifisial yang mengekang dan tidak pernah mempersiapkan kesenian yang ada di Lampung agar bisa memproduksi isunya sendiri, dan kita tahu jika hal itu yang terjadi sejumlah alternatif sudut pandang akan berhamburan sehingga kehidupan tidak menjadi sekering jerami.

Para seniman di tubuh DKL adalah seniman boyongan, kaum yang menyerah dan pasrah saja dibuai politik kepentingan penguasa, karena seluruh hidupnya sangat tergantung pada kucuran dana APBD. Seniman di DKL lebih percaya kepada kepemimpinan birokrasi atau bekas pejabat birokrasi, dan menutup diri terhadap pemimpin yang dari luar birokrasi. Tidak heran jika hingga hari ini, pengurus DKL periode 2005-2008 yang baru dipilih secara “demokratis” dalam Musyawarah Besar Seniman Lampung, terlihat seperti bagian dari birokrasi pemerintah daerah yang tidak bisa berbuat apa-apa selama APBD 2005 belum disahkan DPRD Lampung. Kita tahu, birokrasi di Indonesia, tidak terkecuali di Lampung, adalah wadah yang cara berjalannya bukan saja lambat tetapi menyebalkan. Birokrasi sangat memuakkan, apalagi dikelola oleh sumber daya manusia yang melulu berorientasi pada proyek dan mengincar fee untuk tambahan uang masuk. Birokrasi punya andil besar untuk membunuh kreativitas, menghancurkan produktivitas, dan membuat profesionalisme tidak bisa berkutik di dalamnya.

***

REFORMASI yang digulirkan susah-payah oleh kalangan seniman di belahan lain Nusantara ini, gemanya tidak sampai ke DKL. Padahal, para seniman di Indonesia tidak lagi berpikir bagaimana supaya dekat dengan pemegang kekuasaan politik negara, tetapi bagaimana menghasil karya-karya kreatif dimana ekspresi seni mampu membuat ruang-ruang sempit menjadi semakin lebar dan setiap orang bisa masuk ke dalamnya untuk emencari alternatif baru dalam melihat kehidupannya.

Orang tidak lagi mengait-kaitkan ekspresi kesenian dengan ketidaksepahaman ideologi politik, apalagi dengan arus besar pemahaman politik yang terjadi di masyarakat. Ada pembatas tegas antara kebebasan ekspresis seni dengan ideologi politik, dan keduanya tidak ada lagi sangkut-paut. Pluralitas dalam hal pemahaman politik mendapat toleransi yang sangat memadai, sehingga setiap insan tidak dilarang untuk menghasilkan karya seni seperti apa saja yang diinginkannya.

Di Lampung, kebebasan ekspresi seni ditandai dengan munculnya gagasan-gagasan untuk, misalnya, menggelar pameran lukisan nude. Bukan lukisan-lukisan realis perempuan telanjang itu yang ingin ditampilkan Arief Mulyadi dan kawan-kawannya, para perupa muda Lampung, melainkan bagaimana paradigma ekspresi seni mereka bisa diterima oleh lingkungan masyarakatnya. Penelanjangan nilai-nilai tradisi warisan leluhur budaya lewat lukisan-lukisan nude ini bisa dipahami sebagai pengungkapan fakta-fakta riil dalam masyarakat terkait masalah-masalah yang selama ini dianggap tabu.

Paradigma berpikir seperti ini secara pasti akan terus berpengaruh pada modus ekspresi budaya dalam pengejawantahan seni, baik tari, musik, teater, maupun berbagai ungkapan yang kadang sudah sulit dikategorikan karena cakupannya yang merangkum elemen-elemen media seni yang sangat beragam.

Di dalam kesusastra, seharusnya seorang sastrawan (apalagi anggota DKL) tidak perlu merasa bangga jika diundang tampil di berbagai festival seni yang keterwakilannya ditetapkan berdasarkan tetapan teritori yang bersifat geopolitis atau beradasarkan standar koneksitas dengan struktur kelembagaan yang memiliki otoritas untuk penetapannya. Di sana tidak ada kreativitas, melainkan semacam pengkolonian seniman untuk direkayasa pola perilaku dan pola berkesenian sehingga bertentangan dengan nilai-nilai budaya yang bersifat sangat spesifik.

Kreativitas harus menjadi tujuan utama seniman. Kreativitas memungkinkan seniman untuk lebih leluasa berekspresi secara individual untuk mempertajam dan mempekuat jelajah nilai-nilai instrinsik seni yang digelutinya, tanpa mengabaikan nilai-nilai ekstrinsik yang membuatnya bersentuhan dengan masyarakat. Dengan begitu, begitu seorang seniman menghasilkan sebuah karya, maka karya itu tidak mati iseng sendiri. Dalam musik, pernyatan Alan P. Merriam dalam The Anthropology of Music, bisa menjadi pendorong dalam ekspresi seni kita. “Begitu musik dihasilkan,” tulis Merriam, “karya itu menjadi milik seseorang atau yang lainnya-milik individu, milik kelompok tertentu, atau milik masyarakat pada umumnya” (1964: 82).

Ada kepemilikan terhadap karya seni tersebut. Persoalan sekarang, bagaimana seorang penyair, misalnya, sampai pada tahap itu? Jawabannya adalah kreativitas yang dibangun di atas fondasi kokoh.

***

KREATIVITAS seniman di tubuh DKL tidak segegap-gempita kreativitas seniman yang berada di luar DKL. Seniman DKL terlalu sibuk menjadi bagian birokrasi pemerintahan daerah, sehingga kreativitasnya lebih banyak diarahkan untuk mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah. Kalaupun mereka berkreativitas, hal itu cuma untuk diri sendiri. Malangnya, kreativitas yang sangat invidual itu dijadikan bagian dari kegiatan DKL. Contoh, program penberbitan buku sastra cuma diperuntukkan bagi pengurus DKL. Kesibukan mengurus diri sendiri itu menyebabkan DKL tidak bisa merangkul kalangan seniman untuk menjadikan lembaga ini sebagai wadah kebersamaan. Tidak heran jika banyak seniman di Lampung yang merasa tidak memiliki lembaga ini, karena pengurusnya tidak berusaha mendekatkan diri. Seorang Herwan Ahmad pun, akhirnya, cuma kenal satu penyair di Lampung.

Akhirul kalam, teruslah berdiskusi tentang DKL. Terus berperang ide dan gagasan. Jangan pernah merasa puas atas apa yang sudah ada. Gelisahlah. Andalkan rasionalitas, kreativitas, lalu tanyakan: untuk apa lembaga ini dibentuk? Kemudian jawab sendiri.
_________________________
* Udo Z. Karzi, Ketua Penelitian dan Pengembangan Dewan Kesenian Lampung periode 2005-2008.
** Budi P. Hatees, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung periode 2005-2008.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2005/03/esai-kesenimanan-di-dewan-kesenian.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati