Udo Z. Karzi dan Budi P. Hatees*
Lampung Post, 13 Maret 2005
KESENIAN, apa pun bentuknya, tidak lahir dari sebuah lembaga yang dibentuk segelintir manusia yang merasa paling bertanggung jawab terhadap masa depan kesenian. Lembaga apa pun hasil bentukan itu, sekalipun bernama dewan kesenian, tidak ada satu karya seni pun yang bisa dihasilkannya. Tidak sepotong puisi, tidak sebentuk lukisan, tidak selembut gerak tari, tidak selenting bunyi, dan, ini yang paling penting, lembaga itu justru telah meletakkan kesenian bukan sebagai kesenian.
Tidak heran jika kesenian, di zaman ketika hidup manusia didominasi oleh logika dominan tertentu seperti ekonomi atau pasar, kesenian justru menggelepar-gelepar kehabisan oksigen. Kesenian kehilangan publik, karena publik sendiri tidak menangkap adanya semacam strategi dari seni(man) itu untuk, setidaknya, berusaha agar publik bisa menerima kesenian sebagai jalan kontemplatif melihat hidup mereka sendiri.
Begitulah seharusnya kita, terutama masyarakat Lampung, menyikapi lembaga kesenian bernama Dewan Kesenian Lampung (DKL). Selama bertahun-tahun, lembaga yang telah membuat penggagasnya begitu romantis dan cengeng, sehingga merasa perlu disebutkan namanya setiap kali orang lain bicara soal DKL, tidak lebih bagus dari semacam reuni orang-orang yang pernah muda di sebuah panti jompo yang sumuk. Dan setiap kali orang-orang yang pernah muda itu bertemu, mereka membolak-balik album masa lalu dengan cita rasa yang dibuat lebih hebat dan warna emas lebih berkilau, lalu sampai pada kesimpulan bahwa tidak akan pernah ada generasi baru yang sanggup melampai capaian-capaian yang telah mereka peroleh. Capaian-capaian yang, sebetulnya, nonsen karena cuma mereka yang menganggap telah ada pencapaian puncak, meskipun cara mereka mengukur capaian-capaian itu bukan saja keliru tetapi sangat tidak mendasar.
Kita tidak bisa membicarakan kesenian seperti membicarakan nilai tukar rupiah atau kita tidak bisa mengukur ada pencapaian dalam kesenian seperti mengukur pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung, sementara kita sama-sekali tidak menunjukkan kreativitas yang alternatif, unik, dan artistik. Begitulah DKL, selama bertahun-tahun, dikelola tanpa konsep yang jelas, tanpa perencanaan-perencanaan yang matang, dan akhirnya, menghasilkan segala sesuatu yang tidak jelas serta tidak matang pula. Hal-hal yang disebut kegiatan kesenian, atau yang dimaknai sebagai upaya melestarikan kesenian daerah, tidak berorientasi pada sebentuk strategi seni untuk membuat publik merasa memiliki kesenian sebagai jalan kontemplatif melihat hidup dan kehidupannya, yang berbeda dengan kontemplasi dunia sosial lainnya.
Kesenian di belahan mana pun di Nusantara ini, telah terkooptasi dalam bingkai politik pemaknaan warisan zaman represif Orde Baru, tidak lebih dan tidak kurang cuma untuk l’art pour l’art, dimana sudah diandaikan hanya kalangan seniman saja yang dirangkul di dalamnya. Pemahaman yang masih sangat kuat dalam diri elite pemerintah daerah sehingga mereka merasa tidak perlu bertanggung jawab untuk memberikan tempat bagi kesenian di dalam riuh-rendah kehidupan.
Elite pemerintahan daerah terperangkap dalam retorika pasar yang telah menusuk ke dalam sendi-sendi kehidupan kita hari ini, karena pemerintah tidak pernah berusaha memahami bahwa seni berbeda dengan publik utiliti, peraturan daerah, retribusi, propaganda, subsidi BBM, pamflet politik, pidato-pidato pengentasan kemiskinan, kredit UKM, atau beras raskin. Dan seni, seharusnya, tidak perlu berebut tempat di masyarakat dengan elemen-elemen sosial lainnya. Seni tidak perlu dikalahkan terus-menerus, menjadi nomor sekian dalam list persoalan yang harus diselesaikan pemerintah, menjadi anak haram dalam pembangunan daerah.
***
SELAMA bertahun-tahun seni terstigmatisasi dalam benak elite pemerintah daerah sebagai dunia yang artifisial. Seni adalah semacam benda artistik yang cuma berfungsi untuk dekorasi, pelengkap sebuah acara peresmian gedung atau penyambut tamu kenegaraan. Seni akhirnya tidak membutuhkan kreativitas, bentuk-bentuk baru. Seni adalah apa yang sudah ada dan tumbuh di masyarakat. Seni tidak pernah dianggap sebagai salah satu bentuk kreatif dari kebudayaan manusia.
Stigma semacam ini terus berlangsung tanpa ada upaya dari DKL untuk menawarkan sebuah paradigma yang bisa membalikkan cara berpikir, setidaknya mempertegas bahwa seni adalah sebuah dunia alternatif, karena seniman-seniman yang mengelola DKL adalah gerombolan massa yang tidak bisa meng-counter atau setidaknya menghidar dari gempuran-gempuran isu. Malah Herwan Achmad sebagai Ketua Umum DKL periode 2005-2008 dengan sangat bangga minta dilibatkan dalam program kepariwisataan seperti Festival Krakatau, yang semakin mempertegas bahwa DKL dikelola bukan berdasarkan paradigma berpikir. DKL dikelola dalam bingkai paradigma politik artifisial yang mengekang dan tidak pernah mempersiapkan kesenian yang ada di Lampung agar bisa memproduksi isunya sendiri, dan kita tahu jika hal itu yang terjadi sejumlah alternatif sudut pandang akan berhamburan sehingga kehidupan tidak menjadi sekering jerami.
Para seniman di tubuh DKL adalah seniman boyongan, kaum yang menyerah dan pasrah saja dibuai politik kepentingan penguasa, karena seluruh hidupnya sangat tergantung pada kucuran dana APBD. Seniman di DKL lebih percaya kepada kepemimpinan birokrasi atau bekas pejabat birokrasi, dan menutup diri terhadap pemimpin yang dari luar birokrasi. Tidak heran jika hingga hari ini, pengurus DKL periode 2005-2008 yang baru dipilih secara “demokratis” dalam Musyawarah Besar Seniman Lampung, terlihat seperti bagian dari birokrasi pemerintah daerah yang tidak bisa berbuat apa-apa selama APBD 2005 belum disahkan DPRD Lampung. Kita tahu, birokrasi di Indonesia, tidak terkecuali di Lampung, adalah wadah yang cara berjalannya bukan saja lambat tetapi menyebalkan. Birokrasi sangat memuakkan, apalagi dikelola oleh sumber daya manusia yang melulu berorientasi pada proyek dan mengincar fee untuk tambahan uang masuk. Birokrasi punya andil besar untuk membunuh kreativitas, menghancurkan produktivitas, dan membuat profesionalisme tidak bisa berkutik di dalamnya.
***
REFORMASI yang digulirkan susah-payah oleh kalangan seniman di belahan lain Nusantara ini, gemanya tidak sampai ke DKL. Padahal, para seniman di Indonesia tidak lagi berpikir bagaimana supaya dekat dengan pemegang kekuasaan politik negara, tetapi bagaimana menghasil karya-karya kreatif dimana ekspresi seni mampu membuat ruang-ruang sempit menjadi semakin lebar dan setiap orang bisa masuk ke dalamnya untuk emencari alternatif baru dalam melihat kehidupannya.
Orang tidak lagi mengait-kaitkan ekspresi kesenian dengan ketidaksepahaman ideologi politik, apalagi dengan arus besar pemahaman politik yang terjadi di masyarakat. Ada pembatas tegas antara kebebasan ekspresis seni dengan ideologi politik, dan keduanya tidak ada lagi sangkut-paut. Pluralitas dalam hal pemahaman politik mendapat toleransi yang sangat memadai, sehingga setiap insan tidak dilarang untuk menghasilkan karya seni seperti apa saja yang diinginkannya.
Di Lampung, kebebasan ekspresi seni ditandai dengan munculnya gagasan-gagasan untuk, misalnya, menggelar pameran lukisan nude. Bukan lukisan-lukisan realis perempuan telanjang itu yang ingin ditampilkan Arief Mulyadi dan kawan-kawannya, para perupa muda Lampung, melainkan bagaimana paradigma ekspresi seni mereka bisa diterima oleh lingkungan masyarakatnya. Penelanjangan nilai-nilai tradisi warisan leluhur budaya lewat lukisan-lukisan nude ini bisa dipahami sebagai pengungkapan fakta-fakta riil dalam masyarakat terkait masalah-masalah yang selama ini dianggap tabu.
Paradigma berpikir seperti ini secara pasti akan terus berpengaruh pada modus ekspresi budaya dalam pengejawantahan seni, baik tari, musik, teater, maupun berbagai ungkapan yang kadang sudah sulit dikategorikan karena cakupannya yang merangkum elemen-elemen media seni yang sangat beragam.
Di dalam kesusastra, seharusnya seorang sastrawan (apalagi anggota DKL) tidak perlu merasa bangga jika diundang tampil di berbagai festival seni yang keterwakilannya ditetapkan berdasarkan tetapan teritori yang bersifat geopolitis atau beradasarkan standar koneksitas dengan struktur kelembagaan yang memiliki otoritas untuk penetapannya. Di sana tidak ada kreativitas, melainkan semacam pengkolonian seniman untuk direkayasa pola perilaku dan pola berkesenian sehingga bertentangan dengan nilai-nilai budaya yang bersifat sangat spesifik.
Kreativitas harus menjadi tujuan utama seniman. Kreativitas memungkinkan seniman untuk lebih leluasa berekspresi secara individual untuk mempertajam dan mempekuat jelajah nilai-nilai instrinsik seni yang digelutinya, tanpa mengabaikan nilai-nilai ekstrinsik yang membuatnya bersentuhan dengan masyarakat. Dengan begitu, begitu seorang seniman menghasilkan sebuah karya, maka karya itu tidak mati iseng sendiri. Dalam musik, pernyatan Alan P. Merriam dalam The Anthropology of Music, bisa menjadi pendorong dalam ekspresi seni kita. “Begitu musik dihasilkan,” tulis Merriam, “karya itu menjadi milik seseorang atau yang lainnya-milik individu, milik kelompok tertentu, atau milik masyarakat pada umumnya” (1964: 82).
Ada kepemilikan terhadap karya seni tersebut. Persoalan sekarang, bagaimana seorang penyair, misalnya, sampai pada tahap itu? Jawabannya adalah kreativitas yang dibangun di atas fondasi kokoh.
***
KREATIVITAS seniman di tubuh DKL tidak segegap-gempita kreativitas seniman yang berada di luar DKL. Seniman DKL terlalu sibuk menjadi bagian birokrasi pemerintahan daerah, sehingga kreativitasnya lebih banyak diarahkan untuk mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah. Kalaupun mereka berkreativitas, hal itu cuma untuk diri sendiri. Malangnya, kreativitas yang sangat invidual itu dijadikan bagian dari kegiatan DKL. Contoh, program penberbitan buku sastra cuma diperuntukkan bagi pengurus DKL. Kesibukan mengurus diri sendiri itu menyebabkan DKL tidak bisa merangkul kalangan seniman untuk menjadikan lembaga ini sebagai wadah kebersamaan. Tidak heran jika banyak seniman di Lampung yang merasa tidak memiliki lembaga ini, karena pengurusnya tidak berusaha mendekatkan diri. Seorang Herwan Ahmad pun, akhirnya, cuma kenal satu penyair di Lampung.
Akhirul kalam, teruslah berdiskusi tentang DKL. Terus berperang ide dan gagasan. Jangan pernah merasa puas atas apa yang sudah ada. Gelisahlah. Andalkan rasionalitas, kreativitas, lalu tanyakan: untuk apa lembaga ini dibentuk? Kemudian jawab sendiri.
_________________________
* Udo Z. Karzi, Ketua Penelitian dan Pengembangan Dewan Kesenian Lampung periode 2005-2008.
** Budi P. Hatees, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung periode 2005-2008.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2005/03/esai-kesenimanan-di-dewan-kesenian.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar