Selasa, 20 September 2011

Prosa Imaji dan Resolusi Tinggi

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Syahdan, demi menghindari hasrat seksual istri kakaknya, Hayy ditingalkan oleh pasukannya di hutan belantara yang sepi hingga akhirnya terkapar sendirian. Di tempat pembuangan itulah ia diselamatkan oleh seekor rusa kecil dan diajari rahasia semesta melalui akal dan nalar mistisnya, yang mesti tak masuk akal, namun rusa kecil itu terus mewasiatkan pikiran induktifnya agar kelak ia mampu membuka tabir rahasia para pembuat versi.

Telah berhari-hari Hayy memikirkan dirinya yang terjerat sendirian di tengah hutan yang ganas. Pada suatu saat ia merenung, mencoba menutupi bagian bawah tubuhnya dengan dedaunan, mempersenjatai dirinya dengan sebuah tongkat, dan dengan begitu ia mulai menyadari dirinya lebih sempurna ketimbang binatang berkaki. Tapi apa yang terjadi kemudian, rusa kecil itu terpaksa harus meninggalkan dirinya di hutan belantara yang menyiksa.

Setiap hari Hayy merenungkan kekasihnya, Yaqzan, hingga akhirnya ia melihat binatang yang menggunakan tubuhnya sebagai alat, sebagai petunjuk waktu, seperti tongkat di tangannya sebagai petunjuk arah, yang memberinya penerangan dan kehangatan dengan api, dan dengan begitu menyerupai benda-benda angkasa. Kemudian ia lari berpaling, memperbandingkan objek-objek yang muncul di sekelilingnya, membeda-bedakan apa yang dilihatnya, menggolong-golongkan mereka sebagai benda mati, benda hidup, tanaman dan hewan.

Sejak itu sang sahibul hikayat dan pembuat versi fantastis itu telah melahirkan satu versi cerita tentang tubuh sebagai unsur umum setiap objek. Dan setiap objek memiliki ruh, namun karena ruh tak mampu dilihatnya, ia pun berpaling pada gagasan mengenai suatu Kemaujudan Utama yang kekal, yang tak berjasad, namun abadi.

Perjalanan Hayy yang tinggal seorang diri di belantara sepi dan hutan-hutan menyiksa itulah yang menghasilkan satu versi filosofis yang kemudian dikenal dengan kisah Hayy ibn Yaqzan yang menebarkan imaji dan mimpi-mimpi. Ibn Tufail, sang pembuat versi yang abadi itu, menyerap kisah-kisah filosofis-mistis dari dataran Alexsandria dan Persia yang kemudian dirangkai dengan kisah-kisah kejadian hingga menjadi sebuah prosa yang menebar dongeng-dongeng mistis yang menandai datangnya kebaruan dunia sastra-filosofis dalam sejarah kesusastraan dan filsafat Islam.

***

Sepenggal kisah Hayy ibn Yaqzan di atas saya caba kaitkan dengan beberapa prosa mutakhir yang berkecenderungan menjadikan mitologi, dongeng, dan pabel sebagai inti cerita. Cerpen-cerpen Ucu Agustin tampil melalui sentuhan beragam unsur kreatif yang dijumpai pengarangnya.

Cerita pendeknya dalam antologi Kanakar (2005) tak hanya menunjukkan kepandaian pengarangnya dalam mendayagunakan kekuatan bahasa dan tidak melulu mengusung cerita yang berumit-rumit dengan alur cerita yang melingkar-lingkar. Tetapi yang lebih penting dalam cerita Ucu Agustin adalah bagaimana ia mampu membuka pikiran dan wawasan pembaca untuk memandang dunia prosa dengan retoris dan imajis yang disembunyikan di dalam isi maupun bentuk cerita.

Ada tema kejadian yang melindap dalam bagian ceritanya, yang berkisar antara perempuan dan kegelisahan naratif, yang terasa gerak-gerik dan gestikulasinya. Tampilan metafor tentang hujan di setiap bagian teks ceritanya menghasilkan kiasan yang kreatif. Cerpen “Perawan Yang bersemayam Di Mata Loth” misalnya, begitu pekat menampilkan keintiman dengan ungkapan-ungkapan yang tekesan eksotis, jorok, jijik hingga kita pun merasa mual dibuatnya.

Di sana kita temukan pemberontakan perempuan lewat kehendak untuk bertelanjang, ada bayi-bayi yang langsung bisa mencari makan sendiri tanpa membuat kendur payudara bundanya yang memang telah dibuat melendur oleh bapaknya, demi melayani nafsu lelaki yang tak ada kendurnya itu. Kehendak untuk “bertelanjang bulat” di depan umum yang dilakukan tokoh perempuan dalam cerpen ini tak lain, mengutip kata-kata Ucu Agustin sendiri, “karena di sini bertelanjang adalah subversi”.

Dalam cerpen “Kanakar”, ceritanya banyak mengambil tema kejadian dalam sebuah mitologi. Maia—salah satu tokoh utama yang mengingatkan kita akan tokoh dalam novel “Cala Ibi” (2003) karya Nukila Amal—merupakan salah seorang dari tujuh puteri yang dikejar oleh dewa orion, Sang Pemburu dalam mitologi Yunani.

Tersebutlah seorang dewa, Orion namanya. Ia jatuh cinta kepada pleione dan ketujuh puterinya yang tinggal di dalam hutan. Ketujuh puteri itu meniupi tanah hingga menjadi debu pijar dan melayang ke awan-awan hingga menjelma merpati dan yang lain kemudian menghilang. Dan yang tinggal di dalam hutan hanyalah pleaides yang maha terang.

Siapa “Kanakar” dalam cerpen ini agak gelap untuk bisa ditangkap. Bisa jadi “Kanakar” adalah sebuah petunjuk waktu; waktu menyambut datangnya tahun baru di “saat bening embun di pagi bulan Januari yang berseri kehilangan pamor dan menjadi malu saat melihat cara kerja benih yang tumbuh begitu ajaib”. Tapi di lain sisi, “Kanakar” menjelma “bisik lirih seumpama bujuk pagi yang menyelusup lembut di hitam malam untuk pelan-pelan menguasai dan mengambil alih tahta dengan bantuan sinar fajar.”

“Kanakar” mungkin saja makhluk hidup atau benda mati, binatang atau manusia, suara-suara atau kebisuan, yang lenyap dan kemudian menghilang untuk muncul kembali suatu waktu. Namun di ujung cerita, apa yang disebut “Kanakar” adalah kembar siam dari Dmitri. Tapi, apa arti semua ini? Tak lain hanya sebuah imaji, alegori, fantasi, dan mimpi-mimpi.

Selain Ucu Agustin, cerpen-cerpen Nukila Amal juga begitu pekat dengan peristiwa mitologis. Cerpen dalam antologi Laluba (2005) menunjukkan posisi Nukila Amal di dunia cerita pendek mutakhir dan (mungkin juga) masa depan. Cerpen-cerpennya begitu pekat menampilkan kejadian yang berkelok dan bercecabang: di antara orang yang berjalan hilir-mudik, rehat di kedai kopi, bayi di rahim perempuan, kejenuhan hidup, permainan rasa, cinta pertama, kesepian, angkara, hingga konflik perasaan tokoh akibat perang berkepanjangan.

Subyek dan setting ceritanya nyaris tak teridentifikasi lantaran tempat yang dijadikan latar peristiwa berhamburan kian ke mari: dari jalanan kota Jakarta meloncat ke Halmahera, lalu ke desa di Korsika, pulang lagi ke Yogyakarta, galeri di negeri Belanda, nelayan di Makassar, sirkus di negeri antah berantah, atau taman ria di dalam mata. Pengolahan bahasanya mendekati cerita semi dramatik yang begitu pendek hingga lebih pantas disebut fiksi mikro. Namun kekhasan Nukila ada pada kesegaran berbahasa, pemadatan imaji, dan rangkaian metafor yang berhamburan.

Setiap gerik tokoh-tokohnya teraba dengan cepat dan ditangkap sebagai siapa saja atau apa saja atau entah siapa: ada perempuan hamil, penari eksentrik, setetes embun, dua tangan yang bercakap, bayi di rahim ibu, hingga seekor buaya kecil yang menyeruak keluar gambar. Pada setiap bagian ceritanya menampilkan karakter tokoh pada posisi batin dimana secara paling sadar dan fitrah terlibat di dalam semua unsur; gerak, alur dan kehidupan.

Pemberontakan terhadap narasi patriarki yang melindap dalam cerpen-cerpen Nukila Amal seakan meleburkan batas pencitraan aku-perempuan lewat dialog sederhana seputar penamaan tokoh ceritanya: “Aku telah punya nama untukmu. Laluba. Kalau lelaki? tanya ayahmu. Laluba, jawabku. Kalau perempuan? Laluba. Kau akan gesit berenang seperti lumba-lumba”.

Kekuatan imaji dan metafor yang dibangun Nukila Amal tampak seperti permainan tangkap dan lari, yang kerap mengagetkan, menggetarkan, dengan pilihan rima yang liris, yang terpadu ke dalam struktur yang ketat, namun menampilkan keheningan yang begitu reflektif.

Cerpen “Laluba” secara lebih ekstrem mencipta prosa yang mengandalkan kekuatan kata, diksi penuh bunyi, permainan gema, motif yang bersahut-sahutan. Dengan penuh kesadaran Nukila memasukkan bait-bait puisi untuk menyelubungi makna dari peristiwa. Sebab kiranya “makna memang bermula dan bersarang dan beranak-pinak di benak…Jadi tak boleh membiarkan benak berkeliaran dan berubah-ubah bentuk seperti awan, melepas para kekasih lama keluar main berseliweran”.

Saya kira disinilah letak kesamaan atau bahkan kemiripan Ucu Agustin dan Nukila Amal, yakni gaya bahasa yang mereka bangun sama-sama memukau dan kaya metafor, ungkapan-ungkapan puitis dengan mengandalkan kekuatan imaji. Hanya saja Nukila secara lebih ekstrem ingin mencipta prosa yang bersilang-seluk puisi.

Tak berlebihan kiranya bila kedua cerita pendek jenis ini layak disambut dan dirayakan dengan ucapan—sebagaimana Nukila Amal mengucapkan—“Selamat datang di dunia imaji dan resolusi tinggi”.

_______
*) Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang http://kailaestetika.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati