Asarpin
http://sastra-indonesia.com/
Syahdan, demi menghindari hasrat seksual istri kakaknya, Hayy ditingalkan oleh pasukannya di hutan belantara yang sepi hingga akhirnya terkapar sendirian. Di tempat pembuangan itulah ia diselamatkan oleh seekor rusa kecil dan diajari rahasia semesta melalui akal dan nalar mistisnya, yang mesti tak masuk akal, namun rusa kecil itu terus mewasiatkan pikiran induktifnya agar kelak ia mampu membuka tabir rahasia para pembuat versi.
Telah berhari-hari Hayy memikirkan dirinya yang terjerat sendirian di tengah hutan yang ganas. Pada suatu saat ia merenung, mencoba menutupi bagian bawah tubuhnya dengan dedaunan, mempersenjatai dirinya dengan sebuah tongkat, dan dengan begitu ia mulai menyadari dirinya lebih sempurna ketimbang binatang berkaki. Tapi apa yang terjadi kemudian, rusa kecil itu terpaksa harus meninggalkan dirinya di hutan belantara yang menyiksa.
Setiap hari Hayy merenungkan kekasihnya, Yaqzan, hingga akhirnya ia melihat binatang yang menggunakan tubuhnya sebagai alat, sebagai petunjuk waktu, seperti tongkat di tangannya sebagai petunjuk arah, yang memberinya penerangan dan kehangatan dengan api, dan dengan begitu menyerupai benda-benda angkasa. Kemudian ia lari berpaling, memperbandingkan objek-objek yang muncul di sekelilingnya, membeda-bedakan apa yang dilihatnya, menggolong-golongkan mereka sebagai benda mati, benda hidup, tanaman dan hewan.
Sejak itu sang sahibul hikayat dan pembuat versi fantastis itu telah melahirkan satu versi cerita tentang tubuh sebagai unsur umum setiap objek. Dan setiap objek memiliki ruh, namun karena ruh tak mampu dilihatnya, ia pun berpaling pada gagasan mengenai suatu Kemaujudan Utama yang kekal, yang tak berjasad, namun abadi.
Perjalanan Hayy yang tinggal seorang diri di belantara sepi dan hutan-hutan menyiksa itulah yang menghasilkan satu versi filosofis yang kemudian dikenal dengan kisah Hayy ibn Yaqzan yang menebarkan imaji dan mimpi-mimpi. Ibn Tufail, sang pembuat versi yang abadi itu, menyerap kisah-kisah filosofis-mistis dari dataran Alexsandria dan Persia yang kemudian dirangkai dengan kisah-kisah kejadian hingga menjadi sebuah prosa yang menebar dongeng-dongeng mistis yang menandai datangnya kebaruan dunia sastra-filosofis dalam sejarah kesusastraan dan filsafat Islam.
***
Sepenggal kisah Hayy ibn Yaqzan di atas saya caba kaitkan dengan beberapa prosa mutakhir yang berkecenderungan menjadikan mitologi, dongeng, dan pabel sebagai inti cerita. Cerpen-cerpen Ucu Agustin tampil melalui sentuhan beragam unsur kreatif yang dijumpai pengarangnya.
Cerita pendeknya dalam antologi Kanakar (2005) tak hanya menunjukkan kepandaian pengarangnya dalam mendayagunakan kekuatan bahasa dan tidak melulu mengusung cerita yang berumit-rumit dengan alur cerita yang melingkar-lingkar. Tetapi yang lebih penting dalam cerita Ucu Agustin adalah bagaimana ia mampu membuka pikiran dan wawasan pembaca untuk memandang dunia prosa dengan retoris dan imajis yang disembunyikan di dalam isi maupun bentuk cerita.
Ada tema kejadian yang melindap dalam bagian ceritanya, yang berkisar antara perempuan dan kegelisahan naratif, yang terasa gerak-gerik dan gestikulasinya. Tampilan metafor tentang hujan di setiap bagian teks ceritanya menghasilkan kiasan yang kreatif. Cerpen “Perawan Yang bersemayam Di Mata Loth” misalnya, begitu pekat menampilkan keintiman dengan ungkapan-ungkapan yang tekesan eksotis, jorok, jijik hingga kita pun merasa mual dibuatnya.
Di sana kita temukan pemberontakan perempuan lewat kehendak untuk bertelanjang, ada bayi-bayi yang langsung bisa mencari makan sendiri tanpa membuat kendur payudara bundanya yang memang telah dibuat melendur oleh bapaknya, demi melayani nafsu lelaki yang tak ada kendurnya itu. Kehendak untuk “bertelanjang bulat” di depan umum yang dilakukan tokoh perempuan dalam cerpen ini tak lain, mengutip kata-kata Ucu Agustin sendiri, “karena di sini bertelanjang adalah subversi”.
Dalam cerpen “Kanakar”, ceritanya banyak mengambil tema kejadian dalam sebuah mitologi. Maia—salah satu tokoh utama yang mengingatkan kita akan tokoh dalam novel “Cala Ibi” (2003) karya Nukila Amal—merupakan salah seorang dari tujuh puteri yang dikejar oleh dewa orion, Sang Pemburu dalam mitologi Yunani.
Tersebutlah seorang dewa, Orion namanya. Ia jatuh cinta kepada pleione dan ketujuh puterinya yang tinggal di dalam hutan. Ketujuh puteri itu meniupi tanah hingga menjadi debu pijar dan melayang ke awan-awan hingga menjelma merpati dan yang lain kemudian menghilang. Dan yang tinggal di dalam hutan hanyalah pleaides yang maha terang.
Siapa “Kanakar” dalam cerpen ini agak gelap untuk bisa ditangkap. Bisa jadi “Kanakar” adalah sebuah petunjuk waktu; waktu menyambut datangnya tahun baru di “saat bening embun di pagi bulan Januari yang berseri kehilangan pamor dan menjadi malu saat melihat cara kerja benih yang tumbuh begitu ajaib”. Tapi di lain sisi, “Kanakar” menjelma “bisik lirih seumpama bujuk pagi yang menyelusup lembut di hitam malam untuk pelan-pelan menguasai dan mengambil alih tahta dengan bantuan sinar fajar.”
“Kanakar” mungkin saja makhluk hidup atau benda mati, binatang atau manusia, suara-suara atau kebisuan, yang lenyap dan kemudian menghilang untuk muncul kembali suatu waktu. Namun di ujung cerita, apa yang disebut “Kanakar” adalah kembar siam dari Dmitri. Tapi, apa arti semua ini? Tak lain hanya sebuah imaji, alegori, fantasi, dan mimpi-mimpi.
Selain Ucu Agustin, cerpen-cerpen Nukila Amal juga begitu pekat dengan peristiwa mitologis. Cerpen dalam antologi Laluba (2005) menunjukkan posisi Nukila Amal di dunia cerita pendek mutakhir dan (mungkin juga) masa depan. Cerpen-cerpennya begitu pekat menampilkan kejadian yang berkelok dan bercecabang: di antara orang yang berjalan hilir-mudik, rehat di kedai kopi, bayi di rahim perempuan, kejenuhan hidup, permainan rasa, cinta pertama, kesepian, angkara, hingga konflik perasaan tokoh akibat perang berkepanjangan.
Subyek dan setting ceritanya nyaris tak teridentifikasi lantaran tempat yang dijadikan latar peristiwa berhamburan kian ke mari: dari jalanan kota Jakarta meloncat ke Halmahera, lalu ke desa di Korsika, pulang lagi ke Yogyakarta, galeri di negeri Belanda, nelayan di Makassar, sirkus di negeri antah berantah, atau taman ria di dalam mata. Pengolahan bahasanya mendekati cerita semi dramatik yang begitu pendek hingga lebih pantas disebut fiksi mikro. Namun kekhasan Nukila ada pada kesegaran berbahasa, pemadatan imaji, dan rangkaian metafor yang berhamburan.
Setiap gerik tokoh-tokohnya teraba dengan cepat dan ditangkap sebagai siapa saja atau apa saja atau entah siapa: ada perempuan hamil, penari eksentrik, setetes embun, dua tangan yang bercakap, bayi di rahim ibu, hingga seekor buaya kecil yang menyeruak keluar gambar. Pada setiap bagian ceritanya menampilkan karakter tokoh pada posisi batin dimana secara paling sadar dan fitrah terlibat di dalam semua unsur; gerak, alur dan kehidupan.
Pemberontakan terhadap narasi patriarki yang melindap dalam cerpen-cerpen Nukila Amal seakan meleburkan batas pencitraan aku-perempuan lewat dialog sederhana seputar penamaan tokoh ceritanya: “Aku telah punya nama untukmu. Laluba. Kalau lelaki? tanya ayahmu. Laluba, jawabku. Kalau perempuan? Laluba. Kau akan gesit berenang seperti lumba-lumba”.
Kekuatan imaji dan metafor yang dibangun Nukila Amal tampak seperti permainan tangkap dan lari, yang kerap mengagetkan, menggetarkan, dengan pilihan rima yang liris, yang terpadu ke dalam struktur yang ketat, namun menampilkan keheningan yang begitu reflektif.
Cerpen “Laluba” secara lebih ekstrem mencipta prosa yang mengandalkan kekuatan kata, diksi penuh bunyi, permainan gema, motif yang bersahut-sahutan. Dengan penuh kesadaran Nukila memasukkan bait-bait puisi untuk menyelubungi makna dari peristiwa. Sebab kiranya “makna memang bermula dan bersarang dan beranak-pinak di benak…Jadi tak boleh membiarkan benak berkeliaran dan berubah-ubah bentuk seperti awan, melepas para kekasih lama keluar main berseliweran”.
Saya kira disinilah letak kesamaan atau bahkan kemiripan Ucu Agustin dan Nukila Amal, yakni gaya bahasa yang mereka bangun sama-sama memukau dan kaya metafor, ungkapan-ungkapan puitis dengan mengandalkan kekuatan imaji. Hanya saja Nukila secara lebih ekstrem ingin mencipta prosa yang bersilang-seluk puisi.
Tak berlebihan kiranya bila kedua cerita pendek jenis ini layak disambut dan dirayakan dengan ucapan—sebagaimana Nukila Amal mengucapkan—“Selamat datang di dunia imaji dan resolusi tinggi”.
_______
*) Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang http://kailaestetika.blogspot.com/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar