Senin, 26 September 2011

Dua Penyair Indonesia Modern: Saut Situmorang dan Nirwan Dewanto

Asep Sambodja
http://sastra-indonesia.com/

Puisi Saut Situmorang:
surat bawah tanah

bukan rasa perih peluru yang membakar
darah kami yang memaksaku
menulis surat ini, kawan

bukan rasa takut di mata mata hitam itu
di suara jeritan jeritan kematian di sekitar kami
yang mengingatkanku padamu

bukan rasa puas di wajah wajah baret hijau baret merah itu
tangan tangan coklat yang kokoh yang kejam yang menggenggam
senapan senapan marah mereka
yang menembakku untuk mengangkat penaku, kawan

bukan matahari, matahari yang dingin dan buta itu
bukan kebiruan diam mencekam langit yang cuma menonton itu
bukan kebisuan yang tak termaafkan ini
yang membuat marah jiwa kami yang frustrasi

tapi kewajiban untuk berdiri tegak
melawan ketidakadilan binatang
kemunafikan bau kentut
dan kebenaran diri sendiri yang berkarat berlumut
yang membuat kami berani beraksi
rasa sakit yang tak tertahan di hati kami
yang terluka membuat kami sadar
dari candu politik sehari-hari

marah kami adalah marah kupu kupu
di malam bulan purnama
karena mawar merahnya ternoda
diperkosa ketawa pelacur pelacur tua ibukota

kawan, masih kudengar mereka menembak
dan menembak dan menembak
waktu akhirnya berhasil kuselesaikan
surat duka ini
sebagai saksi
bagi kita semua


Puisi Nirwan Dewanto:
Semu

Puisiku hijau
seperti kulit limau
Kupaslah, kupaslah
dengan tangan yang lelah
temukan daging kata
bulat sempurna, merah jingga
terpiuh oleh laparmu
Junjunglah urat kata dengan lidahmu
sampai menetes darah kata
manis atau masam
atau dendam yang lama terpendam
melukaimu ingin
kecuali jika
lidahmu hampa seperti angin
Puisiku putih kabur
seperti cangkang telur
Pecahkanlah, pecahkanlah
dengan tangan yang hampir alah
temukan cairan kata
meradang, bening sempurna
tak berinti
mampu mengalir ke seluruh bumi
Tapi kau mencari jantung kata
kuning yang kau anggap milikmu
dan pernah nyala di lidah ibumu
Maafkan aku
tak bisa kuceritakan diriku
dengarlah, cangkang telur atau kulit limau
hanya samaranku
Aku sayap kata
terbang sendiri, birahi sendiri
hingga hancur aku
kau tak bisa menjangkauku
jika pun kau seluas langit lazuardi
sebab kata sesungguh kata
tak bisa mengena
jika kau masih juga
separuh membaca
separuh buta

2005

Rendra pernah mengatakan bahwa di dunia persilatan tidak ada yang nomor dua, sementara di dunia persuratan tidak ada yang nomor satu. Hal-hal yang berkaitan dengan otot, kekuatan, seperti dalam dunia pencak silat, pemenangnya adalah yang bisa mengalahkan lawannya. Sementara dunia persuratan yang bergerak di bidang kebudayaan, yang ada hanyalah keberagaman. Demikianlah saya menilai penyair Saut Situmorang dan Nirwan Dewanto sama-sama memiliki ilmu yang tinggi di dunia persuratan, dunia perpuisian Indonesia modern.

Dari dua puisi yang saya perlihatkan di atas, kedua penyair ini memiliki gaya dan muatan isi yang berbeda. Bahasa yang dipergunakan Saut Situmorang adalah bahasa yang familiar dengan pengguna bahasa Indonesi, sementara bahasa yang digunakan Nirwan Dewanto adalah bahasa yang terekam dalam kamus bahasa Indonesia, namun terkadang tidak familiar bahkan oleh pengguna bahasa Indonesia sehari-hari.

Meskipun demikian, kedua penyair ini menciptakan makna dalam puisinya secara utuh. Keduanya sama-sama merahasiakan motif penciptaan puisi; penciptaan suatu karya. Dalam puisi “Surat Bawah Tanah”, Saut Situmorang pada mulanya merahasiakan proses penulisan surat bawah tanah itu. Namun, dalam baris-baris sajaknya kemudian terbaca bahwa ia menulis “surat duka ini” untuk dijadikan “sebagai saksi bagi kita semua”.

Dalam puisi “Semu”, Nirwan Dewanto merahasiakan kata-kata dalam puisinya. Ia menyebut “puisiku hijau seperti kulit limau” dan “puisiku putih kabur seperti cangkang telur”, namun dalam baris-baris puisinya, ia mengungkapkan bahwa “cangkang telur atau kulit limau hanya samaranku”. Penyair seperti memberi teka-teki kepada pembacanya. Meskipun ia mengaku “Aku sayap kata” yang “terbang sendiri, birahi sendiri”, Nirwan Dewanto merasa yakin bahwa pembaca “tak bisa menjangkauku”.

Ada yang terlintas ketika membaca kedua puisi penyair papan atas Indonesia ini. Pertama, ketika membaca puisi “Surat Bawah Tanah” karya Saut Situmorang, yang berkelebat dalam kepala saya adalah puisi Subagio Sastrowardoyo yang berjudul “Mata Penyair”. Saya menilai kedua puisi itu memiliki visi yang sama, yakni mengungkapkan kejujuran dan melawan ketidakadilan. Penyair, dalam hal ini Saut Situmorang dan Subagio Sastrowardoyo, memiliki fungsi atau tugas mulia sebagai pembawa kabar derita; seolah-olah penderitaan rakyat itu berada di pundak kedua penyair itu.

Kedua, ketika membaca puisi “Semu” karya Nirwan Dewanto, yang berkelebat di kepala saya adalah puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Pada Suatu Hari Nanti” dan “Sajak-sajak Empat Seuntai”. Menurut saya, baik Nirwan Dewanto dan Sapardi Djoko Damono sama-sama bermain kata dan makna kata. Jika dalam puisinya Nirwan Dewanto mengatakan “kau tak bisa menjangkauku jika pun kau seluas langit lazuardi”, maka dalam puisi Sapardi Djoko Damono terbaca “jika suatu hari nanti mereka mencapaimu, rahasiakan, sia-sia saja memahamiku.”

Jika dalam puisi Saut Situmorang yang menjadi “lawan” adalah penguasa atau penindas, maka yang menjadi “lawan” dalam puisi Nirwan Dewanto adalah pembaca dalam arti luas. Keduanya sama-sama mencoba sembunyi dari “lawan”-nya. Dari judul masing-masing puisi terbaca makna bahwa aku-lirik dalam puisi Saut Situmorang berada dalam posisi memperjuangkan kemerdekaan dari rasa takut. Sementara aku-lirik dalam puisi Nirwan Dewanto bersembunyi dari pemahaman publik. Ia seperti seorang empu atau begawan yang berada di menara mercusuar. Tak seorang pun diperbolehkan mendekatinya, apalagi memahaminya. Kalaupun ada yang ingin disampaikannya kepada pembaca, maka yang disampaikannya hanyalah semu. Hanya tipu daya. Bisa jadi hanya sekadar permainan kata belaka.

Yang menarik dari kedua penyair ini adalah muatan isi pada puisi mereka. Puisi Saut Situmorang terlihat jelas bermuatan politik. Ada relasi kuasa yang tengah bernegosiasi dan Saut Situmorang memposisikan dirinya berada di pihak korban, kaum tertindas. Sikap politik semacam ini muncul dalam puisi-puisinya yang mengangkat kasus Marsinah, Wiji Thukul, dan Munir dalam Otobiografi. Kalaupun dibandingkan dengan sastrawan-sastrawan Lekra yang berprinsip “Politik sebagai Panglima”, misalnya dibandingkan dengan puisi Putu Oka Sukanta dan Amarzan Ismail Hamid, maka puisi Saut Situmorang berada dalam garis politik seperti itu. Hanya saja persoalan yang diangkat sudah jauh berbeda, dan masing-masing penyair memiliki kekhasannya masing-masing.

Nirwan Dewanto sedikit banyak meneruskan garis politik sastrawan Manikebu yang apolitis. Prinsipnya “seni untuk seni” yang mengutamakan bentuk pengucapan. Apakah seorang pembaca seperti Anwar Holid mengerti atau tidak terhadap puisi itu, tampaknya itu tak menjadi soal. Puisi menjadi semacam klangenan yang meninabobokan. Jika kita perhatikan puisi-puisi Joko Pinurbo, tampak jelas ia memanfaatkan kata “celana” dan segala yang terkait dengannya untuk menghasilkan sebuah puisi yang memikat. Kalau kita perhatikan betul-betul puisi Nirwan Dewanto, ternyata ia memanfaatkan kata “payudara” atau “susu” untuk memikat pembacanya.

Joko Pinurbo bekerja keras mengolah kata “celana” yang tidak puitis itu menjadi puitis di mata pembaca. Nirwan Dewanto pun bekerja keras mengolah kata “payudara” dan “susu” dalam puisi-puisinya. Sedikitnya ada 13 puisi yang menggunakan kata “payudara” dalam buku Jantung Lebah Madu. Dan itu adalah pilihan. Bisa juga pencapaian. Joko Pinurbo mendapat berbagai penghargaan karena puisi “Celana”. Nirwan Dewanto juga dianugerahi penghargaan karena jasa kata “Payudara” dalam 13 puisinya.

Baik Saut Situmorang maupun Nirwan Dewanto layak diberi penghargaan. Keduanya harus dicatat, keduanya dapat tempat, sebagaimana kata Chairil Anwar.

Citayam, 24 Oktober 2009
Dijumput dari: http://manuskripdody.blogspot.com/2011/06/dua-penyair-indonesia-modern-saut.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati