Minggu, 19 Juni 2011

Cerita-cerita Pulau Buru: Sejarah dan Nyanyi Burung Kedasih

Ignas Kleden
http://majalah.tempointeraktif.com/

Pramoedya ist ein Begriff—Pramoedya bukan sekadar nama, tetapi sebuah pengertian, bahkan sebuah konsepsi. Kata-kata itu diucapkan oleh seorang ibu yang amat simpatik, Prof. Irene Hilgers-Hesse, Ketua Jurusan Melayu di Universitas Koeln, ketika mengundang seorang mahasiswa filsafat di Muenchen tahun 1980, yang kebetulan saya sendiri, untuk membicarakan buku Bumi Manusia yang baru saja terbit.

Pramoedya memang telah membuat namanya menjadi sebuah pengertian jauh sebelum diasingkan selama 14 tahun. Namun rupanya belantara pengasingan itulah yang memberinya pengertian tentang sejarah Indonesia dan bahkan tentang manusia dalam sejarah. Membaca empat jilid roman sejarah Pulau Buru—Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca—adalah menelusuri riwayat hidup Minke, anak seorang bupati Jawa, yang menolak meneruskan jabatan bapaknya, bersekolah Belanda di HBS, kuliah kedokteran di STOVIA, dan menjadi orang pergerakan yang menciptakan reputasinya sebagai wartawan-pengarang yang sanggup menulis dengan pisau belati.

Akan tetapi membaca riwayat Minke adalah berhadapan dengan sebuah thick description tentang keadaan Hindia Belanda di Pulau Jawa pada saat pergantian abad, sementara dengan mengikuti lukisan serba rinci tentang struktur sosial dan kebudayaan kolonial pada masa itu, kita belajar tentang kesanggupan dan ketidaksanggupan manusia dalam berhadapan dengan sejarahnya.

Para ahli filsafat sejarah masih berdebat apakah sebetulnya sejarahlah yang membentuk manusia (sebagaimana diajarkan oleh Hegel dan Marx, misalnya), ataukah sebetulnya manusia sendirilah yang membentuk sejarahnya (sebagaimana dibela secara militan oleh Karl Popper).

Adalah unik bahwa Pramoedya sendiri telah melibatkan diri dalam teka-teki filsafat itu dengan caranya sendiri. Dalam pandangannya, sejarah adalah gelombang dahsyat yang siap menggulung siapa saja, tetapi manusia bukanlah sepotong gabus yang setelah terombang-ambing dapat diempas ke daratan dan menjadi sampah di pantai.

Tokoh-tokoh Pramoedya memang kalah dilanda sejarahnya, tapi sekaligus juga sanggup mengalahkan kekalahannya sendiri dengan mengatasi baik ketakutan maupun kesombongan untuk tidak menang. “Kita kalah, Ma, bisikku.” “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”. Itulah kalimat penutup buku Bumi Manusia yang dengan keindahan yang getir menunjukkan persaingan abadi antara determinisme sejarah dan pilihan moral yang bebas.

Di tangan Pramoedya, sejarah selalu merupakan kisah tentang unggulnya kekuatan-kekuatan anonim dalam suatu zaman, yang penuh daya-dera yang menggilas, tetapi gagal menghentikan seseorang untuk mengatakan “tidak!” Weltanschuung pengarang ini mirip kombinasi antara keberanian dan kerendahan hati sekaligus: sejarah akan mendesakkan diri ke mana saja, tetapi manusia tetap tak terkalahkan.

Apakah karena itu perjuangan dan heroisme dalam roman-roman ini selalu berkibar di tangan perempuan? Apakah simpati pengarang kepada perempuan diakibatkan oleh nasib mereka yang sering terkungkung di bawah kekerasan patriarki sebagai sebuah kekuatan sejarah, dan karena itu perempuanlah yang menjadi kawan seperjuangan pengarang menghadapi kekerasan politik? Ataukah oleh hormat kepada tokoh-tokoh perempuan yang besar peranannya dalam biografi pengarang?

Apa pun sebabnya, Pramoedya telah menampilkan sebarisan srikandi, sebagai pendekar yang bertarung dengan kekuatan sejarah. Sanikem dijual oleh ayahnya kepada seorang administratur pabrik gula di Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur, Herman Mellema. Dia menerima dirinya sebagai seorang nyai dengan nama Nyai Ontosoroh karena tak kuasa melawan kehendak ayahnya yang ingin naik pangkat. Tapi ia tak mau menjadi nyai yang dungu. Dengan bimbingan tuannya, dia belajar membaca dan menulis, belajar bicara bahasa Belanda, dan membaca beberapa bahasa Barat, mahir menyusun pembukuan dan mengelola perusahaan susu dan perlahan-lahan mengumpulkan modal sendiri.

Sayang, kedudukannya sebagai nyai tidak dilindungi hukum mana pun, dan karena itu tidak mempunyai hak hukum apa pun. Setelah tuannya meninggal, seluruh hartanya, bahkan anak perempuannya, Annelies, harus diserahkan ke ahli waris Herman Mellema, berdasarkan keputusan pengadilan di Amsterdam. Demikian pun Bunda, ibu Minke. Dengan cara yang elegan Bunda memainkan peran agen-ganda antara Minke dan ayahnya, seorang bupati di kota B, yang gandrung jabatan dan silau oleh kekuasaan. Diperingatkannya Minke agar tahu memberi sembah kepada ayahnya, sementara di pihak lain dia dapat menerima bahwa anaknya menjadi bupati dan ingin jadi manusia merdeka selama dia tetap menjadi “kedasih yang bersambut”.

Perempuan lain adalah Ang San Mei, seorang gadis Tionghoa. Dia belajar pada sebuah sekolah menengah Katolik di Sanghai, ikut pergerakan kaum muda di Cina untuk untuk menggulingkan Kaisarina Ye Si, dan mengalami persekusi oleh kaum tua yang ingin mempertahankan politik tradisional. Mei meninggalkan Cina dan pergi ke selatan. Di Batavia dia bekerja (dan menyamar) sebagai guru bahasa Inggris. Minke menikah untuk kali kedua dengan Mei dalam suatu perkawinan yang aneh. Hidup bersama selama lima tahun, kesempatan berkumpul sangat jarang, karena tiap malam Mei—dengan izin suaminya—meninggalkan rumah untuk mengatur pergerakan kaum muda bersama kawan-kawannya yang ada di Batavia, sedangkan Minke sendiri cukup sibuk dengan kuliahnya di Stovia.

Kesehatan Mei melorot. Dia jatuh sakit dan meninggal dalam kesunyian setelah dirawat dua bulan di rumah sakit. Mei adalah representasi perjuangan melawan ancient regime dan memberi romantika yang indah kepada Jejak Langkah, yang sarat dengan gagasan politik. Sepeninggal Mei, Minke berkenalan dengan seorang gadis cantik berdarah biru, dari latar belakang Indonesia Timur. Gadis Maluku ini bernama Prinses van Kasiruta, dibuang bersama ayahnya ke daerah Priangan, karena gerakan politik. Dia berpendidikan MULO, mahir berbahasa Belanda, dapat berbahasa Melayu dan sedikit Sunda, dan karena itu diminta menjadi pembantu redaksi Medan, yang dipimpin Minke.

Sang Pemimpin Redaksi, Minke, kemudian meminang Prinses pada bapaknya, Tuan Raja, dalam pengasingan, dan mereka menikah. Dibesarkan dalam keluarga pergerakan, Prinses ternyata pandai menunggang kuda dan menggunakan senjata api berkat latihan sejak kecil. Dia menjadi pembela Minke terhadap musuh-musuh politiknya yang selalu mengancamnya secara fisik. Dalam suatu serangan diam-diam terhadap Minke, Prinses, yang menyamar tanpa diketahui suaminya, menghadapi seorang diri anggota geng tersebut, menembak tiga di antaranya, dua mati seketika, dan seorang dapat diselamatkan di rumah sakit.

Sebagai seorang terpelajar, dia tetap mempertahankan etos perempuan Kasiruta: “Dia akan membunuh suami durhaka. Dan dia akan membunuh pendurhaka suami yang dicintainya.” Karena “yang kuketahui hanya suamiku….” dan “yang ada hanya suamiku”. Bercinta, baginya, adalah saling melindungi. Apakah di sini pengarang telah bergulat dengan masalah gender equality bahkan jauh sebelum istilah itu muncul dalam wacana kaum feminis? Lalu Piah, pembantu rumah tangga yang melayani Minke dan Prinses. Di luar pengetahuan Minke, Prinses telah memberinya pendidikan politik. Ketika Minke dibuang ke luar Jawa tanpa dapat ditemani oleh istrinya (karena dilarang pemerintah), Piah dimintanya bersumpah setia untuk Prinses. Jawaban Piah sangat menggetarkan perasaan: “Sampai hati Juragan menuntut sumpah dari sahaya, sumpah untuk tuan sahaya, sumpah untuk pemimpin sahaya? Tidakkah cukup saya sebagai anggota Syarikat?”

Ketika Minke mengucapkan selamat tinggal dan menitipkan Prinses, jaminan Piah adalah: “Juragan tetap di hati kami.” Perempuan desa ini merepresentasikan orang kecil berjiwa besar. Perempuan yang paling berhasil tentulah Siti Soendari, anak teman sekolah Minke, yang tinggal di Pemalang. Ditinggal mati oleh ibu, Siti Soendari dibesarkan ayahnya dalam suasana terpelajar. Selepas sekolah, Soendari memilih menjadi perempuan merdeka yang bekerja untuk cita-citanya. Dengan sopan tetapi teguh dia menampik setiap bujukan ayahnya yang dipaksa oleh Belanda, agar segera menikahkan anaknya.

Dia berhasil mengatasi rasa takut kepada ayahnya demi mempertahankan cita-citanya, suatu hal yang masih tak dapat diwujudkan oleh R.A. Kartini sebelumnya. Kalau dia hidup tahun 1990-an tentulah Soendari juga akan mengucap: Women’s right: Human right. Sebaliknya, tokoh lelaki dalam roman-roman Pulau Buru adalah tawanan kekuatan sejarah. Bagi mereka sejarah menjadi captive history, yang membawa mereka turun naik bersama alunan gelombang.

Sastrotomo adalah prototip pribumi pegawai kolonial yang melihat jabatan sebagai tujuan hidup. Dia bersedia merendahkan diri, mempertaruhkan keluarga dan menjual anak perempuannya sendiri untuk membayar kenaikan pangkat sebagai juru bayar di pabrik gula. Anak gadisnya, Sanikem, diserahkan ke administratur Herman Mellema, yang kemudian menjadi pemilik perkebunan Boerderij Buitenzorg, tempat Sanikem mendapatkan namanya Nyai Ontosoroh.

Kisah yang sama berulang pada anak laki-laki Sastrotomo bernama Sastro Kassier, pemegang kas di pabrik gula Tulangan. Dia juga harus menyerahkan anak perempuannya, Surati, kepada penguasa pabrik gula yang baru, Frits Homerus Vlekkenbaaij, yang oleh penduduk setempat dipanggil Tuan Plikemboh. Sebelum menyerahkan diri ke Plikemboh, Surati sengaja menularkan dirinya dengan penyakit cacar, yang sedang mewabah. Plikemboh kena tular dan meninggal dunia, sedangkan Surati diambil kembali oleh keluarganya dan hidup dengan muka penuh bopeng.

Tipe laki-laki lainnya adalah si Darsam dan Trunodongso, dua pendekar yang selalu siap mati untuk tanah majikan dan tanahnya sendiri. Sayangnya, mereka tidak menyadari bahwa senjata parang yang mereka banggakan tak dapat menghadapi kekuatan politik yang tak mereka pahami, tetapi yang akibatnya mereka rasakan setiap hari. Demikian pula Marko, yang dengan semangat berkobar bekerja untuk Medan, terlalu sedikit pengetahuan politiknya, sehingga menurunkan berita yang dianggap menghina Gubernur Jenderal. Akibatnya, Minke sebagai Pemimpin Redaksi Medan harus menjalani hukum pembuangan ke luar Pulau Jawa.

Ada pula Pangemanann, seorang pribumi asal Minahasa yang beruntung mendapatkan pendidikan tinggi, dan bahkan sempat mengikuti kuliah beberapa tahun di Universitas Sorbonne. Dengan jabatan yang sangat tinggi sebagai komisaris polisi, dia kemudian menjadi pegawai Algemeene Secretarie pusat, yang mengatur kekuasaan kolonial di Hindia Belanda. Bergaji besar dan status sosial yang tinggi, dia praktis tidak mengalami tekanan ekonomi apa pun, menjadi anggota Kamar Bola, tempat orang dapat menemui pejabat-pejabat tinggi di Batavia pada waktu senggang. Anehnya, semua itu tidak sanggup menghilangkan kompleks inferioritasnya karena merasa tidak memiliki keberanian yang ada pada Minke.

Dia goyah di antara kekagumannya kepada tokoh pergerakan itu dan kewajibannya untuk menangkapnya. Di pihak orang Eropa, terlihat bahwa para penguasa pabrik gula, “orang dengan lidah api”, mempunyai moral yang dekaden. Mereka dapat menyuruh bunuh para petani dengan gerak jari tangannya, atau memaksakan seorang bawahannya menyerahkan anak gadisnya untuk dijadikan nyai. Ada pula orang Eropa pegawai tinggi yang bunuh diri dengan sublimat seperti Simon de Lange, seorang lulusan universitas di Belanda, bujangan muda yang dipuja banyak wanita.

Tipe lainnya adalah ahli hukum yang hanya bekerja untuk uang seperti halnya Mr. Deradera Lelliobuttocks, yang buruk rupa. Sebaliknya orang-orang Eropa yang mendukung perjuangan Minke biasanya gagal atau cacat. Pelukis Prancis Jean Marais, yang ikut berperang di Aceh untuk Belanda, terpaksa hidup dengan satu kaki. Atau Dr. Martinet, yang merawat Annelies dan sangat paham psikoanalisa, gagal merebut hati Nyai Ontosoroh. Ada juga Herbert de la Croix, asisten residen, tak sanggup membela perkara Minke, meletakkan jabatan dan kembali ke Eropa. Atau Henrik Frischboten, ahli hukum yang selalu membantu Minke dengan nasihat-nasihat hukumnya, menderita impotensi seksual dalam perkawinannya dengan Miriam de la Croix.

Sikap terhadap laki-laki dan perempuan ini rupanya berdampak pada komposisi dan teknik literer. Pembicaraan antara Minke dan perempuan selalu akrab dan menyenangkan. Terasa benar bahwa teks sendirilah yang menghasilkan dan mengharuskan munculnya percakapan-percakapan tersebut. Pada hemat saya, dialog yang terbagus selalu berlangsung antara Minke dan Bundanya. Ibu ini menjadi gabungan yang unik antara sikap naif dan kedalaman filosofis. Sebaliknya, percakapan dengan Nyai Ontosoroh menyajikan kecerdasan alamiah, kekerasan hati dan dendam yang tak teratasi yang justru menjadi energi untuk maju.

Percakapan Minke dengan Mei adalah lukisan cinta dua orang yang tak sepenuhnya saling memahami, tetapi penuh kepercayaan satu pada yang lainnya. Sebaliknya percakapan-percakapan dengan Annelies yang labil mengungkapkan saktinya cinta yang menyembuhkan. Di pihak lain dialog antara Minke dan laki-laki hampir selalu menjadi diskusi yang kering dan serebral.

Renungan-renungan Pangemanann lebih merupakan risalah filsafat. Pembicaraan Minke dengan Gubernur Jenderal Van Heutz sangat mirip notulen diskusi politik. Demikian pula uraian-uraian Tuan R., seperti Pangemanann, layak dijadikan makalah studi perbandingan kebudayaan Jawa dan Eropa. Tak kurang menjemukan pembicaraan Minke dengan ayahnya yang berputar sekitar kekuasaan dan pentingnya jabatan tinggi. Contoh seperti ini dapat diperbanyak dengan mudah dan dapat dipungut secara random dari keempat jilid yang dibicarakan di sini.

Pertanyaan yang menarik: Mengapa dalam hubungan dengan perempuan cerita menjadi tekstual dan pengarang menjadi story-teller yang mahir, sementara dalam hubungan dengan laki-laki cerita menjadi autorial, dan pengarang menjadi komentator ceritanya sendiri? Salah satu sebabnya, mungkin, karena dalam hubungan dengan perempuan dialog terjadi antara dua atau beberapa pribadi. Sebaliknya dalam dialog dengan laki-laki, pembicaraan berlangsung antara dua gagasan. Maka yang menentukan bukanlah apa yang dibicarakan, tetapi apakah ada suasana yang melahirkan pembicaraan itu secara wajar tanpa dipaksakan oleh sebuah rencana.

Bahkan pembicaraan tentang sejarah dan kebudayaan yang bersifat ilmiah pengetahuan hidup dan akrab, sebagaimana terjadi antara Minke dan dua gadis bersaudara De la Croix, Miriam, dan Sarah (Bumi Manusia: 133-141). Diskusi itu penuh senda-gurau dan sindir-menyindir khas siswa-siswa HBS, dan muncul sebagai hasil interaksi antara tiga pribadi dengan tiga watak. Sementara itu diskusi Pangemanann dengan Tuan R. dan Tuan L. (juga mengenai sejarah dan kebudayaan) tidak berhubungan dengan watak tertentu, dapat terjadi antara siapa saja, asal saja ada keahlian cukup pada para pembicara tentang sejarah kebudayaan (Rumah Kaca: 66-71; 113-116). Yang muncul adalah pertemuan dua atau tiga gagasan (dan bukan dua atau tiga pribadi) sekalipun diskusi itu mengandung kritik kebudayaan dan keterangan sosiologis yang bermutu tinggi.

Apakah ini berarti lelaki menjadi korban yang ditelan oleh kekuatan sejarah zamannya, sedangkan perempuan adalah representasi kehendak moral yang bebas? Seandainya pun tipologi ini benar, ini hanyalah sebuah kecenderungan, sebuah pola, yang ternyata tidak dimutlakkan oleh pengarangnya sendiri.

Annelies, anak gadis Nyai Ontosoroh, dan Herman Mellema, adalah gadis labil menjadi frigid karena pernah dicoba digagahi oleh abang kandungnya sendiri, Robert Mellema. Dia dinikahkan dengan Minke, sebentar menjadi “Bunga Akhir Abad” dengan semerbak yang merebak ke seantero Jawa, dipisahkan dari suaminya, dan meninggal dalam kesendirian di sebuah kota kecil di Belanda. Dia gugur sebagai korban pertarungan dua dunia (Belanda dan Jawa), dua hukum (Eropa dan Islam), dan dua moralitas (Belanda dan pribumi).

Demikian pula Nyai Ontosoroh, yang akhirnya dapat berbahagia dengan pelukis timpang, Jean Marais, setelah mereka meninggalkan Hindia Belanda dan mencoba peruntungan baru di Prancis. Hindia Belanda pada akhirnya menjadi representasi sempurna kekuatan sejarah yang tak terlawankan.

Orang dapat memilih mengikut ke mana pun arus sejarah akan membawanya. Orang dapat pula memilih menantangnya, sekalipun dengan kepastian tentang kekalahan yang akan dideritanya. Pilihan lain adalah meninggalkan sama sekali Hindia Belanda. Sebab, kematian, seperti juga kebahagiaan, bukanlah bahagian sejarah tetapi berada nun jauh di luar sana, entah di mana.

=============
Ignas Kleden lahir di Larantuka dan menamatkan sekolah menengah dan BA di Flores. Mendapatkan gelar Master dari Hochschule Fuer Philosophie, Munich, Jerman, 1979 -1982 dan meraih gelar doktor sosiologi pada University of Bielefeld, Jerman 1995. Saat ini mengajar di Universitas Indonesia dan STF Driyarkara, Jakarta. Sebagai anggota tetap The International House of Japan sejak 1997. Sebagai Outside Examiner, Jurusan Ilmu Politik Monash University, Australia sejak tahun 1989.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel GarcĂ­a Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine MĂĽller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati