Goenawan Mohamad
http://www.korantempo.com/
Rendra adalah sebuah pergulatan yang penting dalam sejarah pemikiran Indonesia. Hidupnya yang kini mencapai 70 tahun terbentang dalam sebuah masa yang panjang di mana percakapan, gagasan, dan kekuasaan bentur-membentur. Dan ia ada di dalam perbenturan itu, ia adalah perbenturan itu, sebagai pelaku, saksi, dan juga penderita.
Tapi baiklah saya mulai dengan mengatakan apa yang sudah umum diketahui: Rendra, sejak ia berangkat sebagai penyair, adalah sebuah suara tersendiri.
Ketika saya masih seorang murid sekolah menengah pertama pada sekitar tahun 1955, saya baca sajak seperti Litani Domba yang Kudus dengan tercengang dan terpesona. Sajak ini melantunkan pengulangan yang berbunyi seperti dalam doa, tapi juga seperti permainan anak-anak yang tangkas, dengan imaji yang datang dari khazanah yang tua namun juga terasa akrab.
Ia sungguh berbeda dari corak puisi umumnya setelah Chairil Anwar. Kita bisa meletakkan sajak-sajak Toto Sudarto Bachtiar, Ajip Rosidi, Mansur Samin–untuk menyebut beberapa saja penyair dari masa tahun 1950-an–dalam satu himpunan: umumnya karya mereka terdiri atas puisi liris yang bergumam dari dalam diri, remang dan terkadang gelap. Tapi sajak-sajak Rendra tak demikian. Puisi Rendra kuat dalam kecenderungan naratif, lincah seperti bermain-main, dan cerah meskipun bukan tanpa tata warna bunyi-bunyi yang dramatik.
Saya tak hendak mengulang apa yang sudah sering diuraikan tentang posisi Rendra dalam kesusastraan Indonesia. Saya hanya hendak bertolak dari apa yang saya lihat sebagai corak puisinya untuk melihat ketegangan dalam pandangan Rendra tentang dunianya.
Orang mengatakan bahwa corak puisi itu mengingatkan kita akan balada Federico Garcia Lorca, tapi juga bahwa di dalamnya bergema lagu dolanan anak-anak dalam bahasa Jawa. Bagi saya itu menunjukkan bahwa tidak seperti Chairil Anwar dan Rivai Apin yang berseru memilih laut dan meninggalkan daratan, Rendra–seperti Lorca, seperti dolanan anak-anak dusun–lebih akrab dengan lanskap yang terdiri atas bukit, jalanan, rumpun, daun, dan burung-burung. Dalam buku Empat Kumpulan Sajak, ada kutipan sepucuk suratnya kepada sahabatnya, D.S. Moeljanto, bertahun 1955, yang menyatakan bahwa ia ingin “tetap bergantung pada daun-daun dan air sungai”.
Bagi Chairil, Rivai, dan Asrul Sani–mungkin karena mereka datang dari lingkungan yang terbentuk oleh adat merantau–laut adalah kemerdekaan, meskipun itu berarti menghadapi bahaya dan kesendirian. “Apa di sini,” kata Rivai Apin memaki tanah asal dalam salah satu sajaknya, “batu semua!”
Puisi Rendra, sebaliknya, tak merayakan laut, tak menggambarkan diri sebagai kelasi yang hanya singgah di bandar asing dengan perempuan yang cukup dipeluk untuk beberapa saat. Dibesarkan di Surakarta, dalam keluarga guru yang beragama Katolik dan belajar di sekolah Katolik, pada mulanya ia bahkan memberi kesan menampik apa yang “jalang” yang melekat dalam citra kepenyairan Chairil Anwar.
Pada tahun 1952, ketika ia berumur 17 tahun, sebuah lakon kecil yang ditulisnya terbit dalam bentuk stensil, berjudul Goncangan Pertama. Lakon ini berisi anjuran moral menurut ukuran sekolahan, di samping sedikit tembak-menembak, dan dengan tokoh yang jahat berhadapan dengan tokoh yang baik. Disutradarai sendiri oleh Rendra yang masih duduk di SMA Katolik Bruderan, sandiwara itu “dipersembahkan kepada masyarakat dan pemuda”.
Pada tahun 1953, dalam sebuah pidato tentang Chairil Anwar di hadapan “sastrawan-sastrawan muda Surakarta”, ia mengecam dengan tajam para seniman yang meniru-niru “jalang”-nya Chairil Anwar. Para pembuntut macam itu, kata Rendra, hanya “menjalang dengan otak babinya”.
Rendra tak terbatas mengkritik para epigon Chairil Anwar. Terhadap sikap Chairil sendiri ia menarik garis. “Konsekuensi dari ajakan melepas nafsu Chairil dalam sajaknya Kepada Kawan,” demikian kata Rendra, “adalah penghapusan undang-undang, yang berarti lebih dahsyat dari bom atom.”
Pendirian seperti itu kemudian memang berubah; kita kemudian mengingat Rendra sebagai perumus teori yang menarik tentang “orang urakan”: orang-orang yang, seperti Ken Arok dalam sejarah, berada di luar ketertiban hukum, bahkan merupakan antitesis dari ketertiban sebagai ideologi yang berkuasa, dan dengan posisi itu, para “urakan” justru berperan untuk pembaharuan, transformasi sosial, dan pembebasan.
Jika kita ikuti pandangan Rendra selanjutnya, jelas kiranya bahwa pada akhirnya posisi “urakan” baginya lebih penting dan lebih menarik ketimbang posisi sebagai pembela ketertiban. Meskipun ia tak pernah memaki tanah asal sebagai “batu semua!” sebagaimana Rivai Apin, ia tidak pernah tergerak untuk menyakralkan tempat tinggal, rumah, dan negeri asal.
Hubungannya dengan tradisi, dalam hal ini tradisi Jawa, tidaklah mesra. Sangat terkenal kata-katanya bahwa kebudayaan Jawa adalah sebuah “kebudayaan kasur tua”: sebuah tempat yang mandek dan hanya enak buat tidur nyenyak. Bagi Rendra, seperti dikutip majalah Tempo pada tahun 1971, banyak orang Jawa sekarang hanya tertarik menghayati masa kini dan kelazimannya “seperti orang yang hanya menunduk ke bumi dan perkembangan pribadinya terganggu”.
TAK dapat dikatakan bahwa dengan demikian Rendra tak menunjukkan ambivalensinya terhadap masa lalu. Ia melihat kebudayaan Jawa yang sekarang dikenal adalah “kebudayaan Jawa baru, yang kira-kira dimulai abad ke-18 atau akhir abad ke-17″. Dan itu, kata Rendra, “kurang-lebih sama tuanya dengan kebudayaan Amerika Serikat.” Lebih berarti ketimbang itu adalah masa lalu yang lain–yang menurut Rendra dilupakan orang Jawa. Orang Jawa tak tahu bahwa dalam “tembang-tembang kuno ada ajaran yang mengajak kita untuk mandiri, untuk berdiri sendiri, untuk mengada”.
Rendra tak menyebut dengan jelas “tembang kuno” mana yang mengajarkan demikian. Ia hanya menyebut kisah Dewa Ruci, kisah tentang Bima yang mencari dan kemudian menemukan “dirinya sendiri”. Agaknya yang penting di sini bukanlah tradisi itu yang jadi soal, tapi kemandekan yang mencekik individu. Dalam kebudayaan tradisional yang ada, kata Rendra, “individu belum diketemukan.”
Pada tahun 1967 ia pergi ke Amerika Serikat, dan hidup di Kota New York, dari mana beberapa puisinya yang memukau, yang terkumpul dalam Blues untuk Bonnie, ditulis. Dalam sepucuk surat yang ditulisnya dari sana, bertanggal 29 Mei 1967, ia mengatakan, “Perubahan terjadi di dalam saya…. Adapun yang paling memberikan kesan pada kesadaran saya dewasa ini ialah ilmu pengetahuan. Saya merasakan ini sebagai imbangan yang sehat untuk kesadaran mistik dan seni yang ada dalam diri saya.”
Dari sini pula ia berbicara untuk melaksanakan “firman modernisasi” dan bersuara tentang keharusan orang Indonesia kini untuk “melawan alam”. Ini ditandaskannya kembali ketika ia, bersama para kawan dan muridnya di Bengkel Teater Yogya, memperingati Hari Sumpah Pemuda pada tahun 1969. Ia berpidato dengan teks yang ditulis tangan. Ia berbicara bagaimana di Barat kehidupan diatur oleh mesin bikinan manusia, dan bagaimana di Indonesia individu bagaikan sekrup dan gotri yang ditentukan perannya oleh semacam mesin lain, yakni alam. Individu tak bisa merdeka, katanya, karena seluruh hidupnya hanya merupakan onderdil yang sudah ditetapkan status dan tugasnya dalam tradisi. Panggilan zaman yang sekarang adalah melawannya, kata Rendra.
DARI sini tampaklah benang merah yang menghubungkan Rendra dengan pemikiran yang dibawakan oleh para sastrawan pada tahun 1930-an, terutama oleh S. Takdir Alisjahbana, dan kemudian dilanjutkan oleh Soedjatmoko, ketika ia menulis esainya yang terkenal tentang mengapa harus ada konfrontasi dengan faktor-faktor kebudayaan yang menghambat kebudayaan. Dengan Rendra, “firman modernisasi” berlanjut.
Tapi dunia modern, sebagaimana dicemaskan oleh Sanusi Pane, seorang penganut theosofi yang memuja masa lalu India, punya sisi gelapnya sendiri. Tak ada yang baru di sini: Max Weber meramalkan bahwa “akal instrumental” yang memacu dunia modern pada akhirnya akan membawa manusia ke dalam “kerangkeng besi”. Mazhab Frankfurt melihat “Pencerahan” yang membawa “firman modernisasi” pada akhirnya membawa penindasan.
Tapi bila Sanusi Pane berangkat dari gambaran tentang Timur yang diidealisasi oleh kaum Orientalis Eropa, dan akhirnya, sebagai konsekuensi sikap “anti-Barat”, penyair Madah Kelana itu memuja semangat Jepang yang fasistis, kaum inteligensia Indonesia yang hidup dalam dasawarsa 1970-an dan 1980-an punya acuan lain–yakni kenyataan yang mencemaskan ketika “firman modernisasi” berlangsung dalam bentuk pembangunan ekonomi yang diterapkan Orde Baru.
Inilah masa ketika Soedjatmoko, yang agaknya terpengaruh oleh Schoemacher, dan Schoemacher yang terpengaruh oleh Buddhisme, berbicara tentang perlunya teknologi madya. Ini juga masa ketika Arief Budiman mengecam dengan mengedepankan teori ketergantungan. Inilah juga masa ketika model pembangunan gaya RRC, yang sosialistis, dipuji-puji; saya ingat bagaimana M. Dawam Rahardjo menyebut Komune Dazhai di Cina sebagai model “baitul amal”. Dan inilah masa ketika Rendra mementaskan karya-karyanya yang kontroversial, Mastodon dan Burung Kondor serta Perjuangan Suku Naga.
Dalam kedua lakon itu, tampak ada perubahan yang tajam dari seruan “modernisasi” dan “melawan alam” yang ditulisnya pada akhir tahun 1960-an. Saya tidak tahu, adakah perubahan itu mendasar sifatnya dan akan menetap. Dunia sedang bergeser lagi. Semangat teknologi madya yang merupakan semacam Gandhisme baru tampaknya tak bergema lagi, mungkin karena dari ide itu tak ada jawaban bagaimana negeri-negeri miskin akan bertahan menghadapi negeri yang memakai teknologi tinggi. Teori ketergantungan jelas sudah ditinggalkan para teoretikusnya sendiri. Pembangunan sosialis model RRC ternyata gagal, dan Komune Dazhai ternyata proyek mercusuar yang palsu. Cina memasuki dunia pembangunan borjuis dengan gegap-gempita dan mencengangkan dunia.
Rendra belum menjawab pergeseran dunia ini. Tapi ia memberi kita sebuah kearifan yang boleh dibilang inti dari “firman modernisasi” yang sering dilupakan. Kearifan itu tersirat dari kata-katanya: “Kreativitas saya adalah kreativitas orang yang bertanya pada kehidupan.”
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 30 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar