Rabu, 27 April 2011

Surat Dunia Maya Untuk Ajip Rosidi

Martin Aleida
http://boemipoetra.wordpress.com/

Bung Ajip yang baik,

Tiga bulan setelah menerima surat Bung dari Pabelan, tertanggal 5 Januari 2011, dengan tanda tangan dan tera sketsa mungil berwarna merah yang menggambarkan wajah Ajip Rosidi yang sedang senyum, saya belum juga menemukan ajakan yang pas untuk membalas.

“Tak menyangka samasekali Amak Baldjun mendahului hari ini.” Begitulah surat itu dibuka dengan sebuah kabar duka tentang aktor yang penampilannya di panggung teater mempesona saya. Semasa hidup, Amak gemar berolahraga jalan kaki. Beberapa kali kami bertemu di Senayan, sama-sama menikmati jalan dan lari-lari kecil menjelang tenggelamnya matahari. Kabar kemalangan mengenai Amak saya terima dari Bambang Bujono melalui pesan singkat (SMS), yang kemudian saya teruskan ke Ibu Empat di Pabelan dengan harapan disampaikan kepada sang suami.

Surat Bung dari Pabelan itu bercerita pula tentang rencana Bung untuk membangun Pusat Studi Sunda yang akan diberi nama “Perpustakaan H. Ali Sadikin.” Nama itu dipilih untuk menghormati Bang Ali “yang telah banyak berbuat untuk kemajuan kebudayaan kita.” Sebagai penutup, Bung menyiratkan keadaan fisik Bung sendiri yang sudah tidak prima lagi untuk mondar-mandir Pabelan-Bandung. Rapat Akademi Jakarta 21 Januari akan Bung loncati, karena harus berada di Bandung untuk menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Padjadjaran, persis di hari ulangtahun Ajip Rosidi yang ke-73, tanggal 31 Januari 2011. Bung bilang, akan terlalu lelah buat badan yang mulai rapuh kalau sepulang dari Jakarta harus segera pula berangkat ke Bandung. Sekarang pun, kata Bung lagi seraya mengeluh, masih batuk-batuk sepulang menjadi saksi pernikahan anak almarhum Edi Ekadjati. “Mulai tahu dirilah,” begitu Bung menutup surat itu.

Ya, mulai tahu dirilah…! Sungguh sebuah ajakan yang arif untuk diri sendiri. Dan, marilah kita tengok perjalanan kepengarangan Bung yang sudah melampaui kurun waktu lebih dari setengah abad, dengan jumlah judul buku atas nama Ajip Rosidi, yang kalau dideretkan dari atas ke bawah, agaknya lebih dari satu meter tingginya. Sebutkan segala sisi kesusastraan dan gerakan kebudayaan Indonesia, maka Ajip Rosidi ada di tiap kata yang diterakan. Tidak hanya di dalam dunia kata-kata, Bung juga sudah menancapkan tonggak dalam gerakan kesenian dan kebudayaan. Taman Ismail Marzuki yang menghampar di tengah deru-deram pertumbuhan kota yang bengis sekarang ini, antara lain karena kesadaran yang muncul di dalam diri Bung pada penggal kedua 1960-an. Karena Bung dan teman-teman maka Taman ini dibangun oleh Gubernur Ali Sadikin. Kalau tidak para seniman kita mungkin cuma bisa luntang-lantung di taman-taman kota, di warung-warung yang dekil, atau di terminal-terminal bus yang riuh-rendah dengan udara yang tercemar, dan dililit utang di mana mereka singgah. Belum lagi kalau diingat dari Jatiwangi, yang justru di tepi Tatar Sunda itulah Bung jatuh-bangun mempertahankan sastra dan budaya Sunda jangan sampai tergusur zaman. Belasan tahun Bung mengajarkan Bahasa Indonesia di daratan jauh, Jepang. Sesungguhnya tak mengherankan buat saya kalau Bung memperoleh penghormatan yang begitu tinggi dari Universitas Padjadjaran, yang Bung terima dengan sikap seorang seniman tulen. Naik ke panggung mengenakan toga, sementara kaki cuma berhiaskan sepasang sandal. Unik, tiada duanya di dunia.

[Ketika saya bisikkan apa yang saya lihat di panggung itu kepada istri saya di sebelah, tiba-tiba dari bangku depan A.D. Pirous menoleh kepada kami, menempelkan satu jari di depan bibirnya, dan pelukis tenar itu dengan sangat sopan bilang, “Sssst…”] Dan Bung menyampaikan pidato penerimaan dalam bahasa Sunda di depan Rektor dan seluruh jajaran petinggi Universitas serta sekitar 200 undangan, sesuai dengan syarat yang Bung patok. Tidakkah Bung catat, sebuah pusat pendidikan tinggi yang terpandang telah menyerahkan diri pada keinginan Bung! Sungguh pencapaian yang tak pernah saya bayangkan…

Namun, dalam kesempatan yang baik ini, ada yang hendak saya utarakan. Bukan petuah, tidak pula peringatan. Hanya satu keinginan yang hendak saya katakan dalam bahasa yang lebih halus, sebagaimana yang Bung dapat katakan dalam bahasa Sunda yang paling sopan. Tapi, sayang, saya tak punya bendahara setinggi itu. Karena itulah saya harus meminta maaf terlebih dulu sebelum Bung memutuskan untuk terus membaca surat ini. Perkenankanlah saya membasuh tangan dan kaki, menyeka remah yang tertinggal di bibir, menghela napas dan berkata, “Mulai tahu dirilah…” kata-kata, yang maaf, saya kutip dari surat yang Bung layangkan dari Pabelan, dari rumah Bung yang kesekian itu. Mungkin sakit untuk menyadari, serupa menyiksa diri, barangkali, walau tak perlu sampai harakiri, bahwa pencapaian dalam pendakian Bung yang sudah sampai di tataran yang begitu terhormat, telah tercemar. Sudah ternoda! Hanya lantaran hasutan seseorang, Bung telah mengotori puncak yang telah Bung taklukkan.

Semoga Bung tidak lupa, sebagaimana saya juga akan selalu ingat, di pagi sebelum matahari benar-benar telah bangun, Bung [yang bernama Ajip Rosidi] meminta saya dengan tekanan suara menyergah [dan didengar istri saya yang belum lepas telekungnya seraya menyiapkan teh buat seorang tamu sebesar Ajip] untuk membatalkan diskusi mengenai buku Asep Sambodja (sekaligus memperingati 100 hari wafatnya), yang akan diselenggarakan hari itu oleh kelompok mejabudaya di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.

Bung tentulah menyelami mata saya, yang dengan mulut terkatup menahan amarah bercampur sedih. Dan di situ Bung mungkin bisa membaca bahwa saya tidak percaya tokoh sekaliber Bung bisa datang bagai mengamangkan pedang panjang untuk membantai niat baik anak-anak muda yang berhasrat membahas sebuah buku. Sebuah kitab! Sebuah tanda peradaban! Ketakutan apa yang yang berada di belakang pedang yang Bung genggam itu? Bung yang telah menulis segunung buku, tiba-tiba [hanya karena hasutan Doktor Honoris Causa Taufiq Ismail – ehem pakai “q” ya..!] berputus kata untuk membatalkan telaah untuk secuil tanda peradaban: buku yang ditulis oleh seorang sarjana yang belum lama meninggal setelah menderita kanker. Membatalkan diskusi buku! Kejahatan tingkat berapa ini? Bukankah itu hanya selangkah saja ke pembakaran buah pikiran dan penzaliman terhadap sikap seorang manusia?!

Yang muncul di bendul pintu rumah saya itu memang cuma sebilah pedang yang abstrak, yang mengambil bentuk ancaman yang Bung humbalangkan di depan saya, muridmu yang daif ini… Kalau yang datang itu adalah kekuasaan dengan sebuah front raksasa bernama “front penyair Indonesia,” maka yang terjadi tentu bukan cuma pembatalan diskusi, tetapi pemberangusan, penangkapan, dan pemenjaraan terhadap “mulut-mulut yang lancang,” yang hendak memahami Asep dengan baik-baik, dengan hati yang lapang, hati anak-anak muda yang ingin dibesarkan di sebuah meja peradaban di bawah tatapan H.B. Jassin.

Diskusi buku itu hanyalah sebuah titik dalam rentang panjang peradaban kita. Kalau sebuah ukuran bisa ditarik, dia hanya secercah cahaya, barangkali. Jika ada yang beranggapan upaya pembatalan diskusi itu merupakan noda, apakah dia layak menerima pengampunan? Untuk penyair sekeras dan beringas semacam Saut Situmorang TIDAK! Dari Yogyakarta dia mengirimkan SMS: “Buat apalagi dibantu PDS, Bang? Biar yayasannya yang sampah itu mintak tolong ke Taufiq Ismail. Jogja udah memutuskan gak mau ikut bantu PDS sebelum pihak yayasan mintak maaf kerna menuruti Taufiq Ismail melarang acara diskusi buku Asep itu! Sorry, Bang.”

Pesan singkat itu muncul di layar handphone saya sebagai tanggapan terhadap permintaan teman-teman muda yang menghendaki saya agar memohon kepada penyair berambut gimbal dan berewokan bak seorang pemberontak yang baru keluar dari hutan perlawanan itu, karena ada niat untuk, antara lain, melaksanakan lelang lukisan dan uangnya akan disumbangkan kepada PDS H.B. Jassin. Saut saya minta membujuk (temannya minum, kabarnya) pelukis Agus Suwage merelakan karyanya untuk disertakan dalam lelang.

Barangkali salah dugaan saya bahwa Bung menyerah pada permintaan busuk untuk membatalkan diskusi buku Asep Sambodja itu karena Bung sedang berada di Jakarta. Kota yang sumpek, di mana pengendara sepeda motor boleh naik ke trotoar menggusur pejalan kaki, dan melawan arus lalulintas pula. Jika Bung berada di Pabelan, apalagi di sawung Ibu Empat yang laris manis sambil menatap stupa-stupa Borobudur yang tertulis di pucuk-pucuk daun, agaknya Bung tidak bakal hanyut dibawa lahar kedengkian untuk membabat diskusi buku Asep Sambodja.

Bung Ajip yang baik, saya tak punya tanda mata untuk dibawa ke Pabelan. Tapi, kalau ada kesempatan untuk mampir lagi ke rumah Bung di sana, izinkanlah saya memegangi tangan Bung, sama-sama kita menatap Borobudur dan bersumpah tidak mengulangi kebengisan terhadap peradaban, sebagaimana terbaca pada arca candi yang lehernya telah ditebas oleh mereka yang kehilangan akal sehat. Memberangus sebuah kitab!

Salam hormatku untuk Bung dan Ibu Empat,

Sumber: http://boemipoetra.wordpress.com/2011/04/26/surat-dunia-maya-untuk-ajip-rosidi/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati