Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Dua tulisan tentang ideologi yang dimuat Kompas (Novel Ali, “Ideologi Media Massa” 15/4 dan Komaruddin Hidayat, “Reformasi tanpa Ideologi” 24/4) menegaskan pentingnya institusi, gerakan, dan teristimewa: bangsa, melandasi arah perjuangannya ke depan dengan sebuah ideologi. “Ideologi media massa berkaitan dengan idealisme yang mestinya menjadi dasar perjuangan pers nasional,” demikian Novel Ali. Sementara hal penting yang diajukan Komaruddin Hidayat adalah penyikapan negara menghadapi fenomena global. Di situlah, perlu diciptakan: “ideologi baru yang menyatukan kepentingan semua anak bangsa dan menjadi pengikat kohesi emosi dan cita-cita bersama ….”
***
Kesusastraan Indonesia sesungguhnya dapat memainkan peranan penting dalam menawarkan ideologi sebagai usaha membangun cita-cita bersama. Mengapa sastra? Bukankah itu cuma hayalan sastrawan belaka? Bukankah membaca karya sastra berarti membaca sebuah dunia fiksional? Bagaimana mungkin membangun cita-cita dan kepentingan bersama dapat dilakukan melalui sastra?
Sejumlah pertanyaan itu boleh dianggap representasi ketidaksadaran masyarakat kita pada fungsi sastra. Padahal, sejarah telah membuktikan itu. Misalnya, dari mana ungkapan Tanah Air (Indonesia) sebagai konsep abstrak menjadi entitas yang di sana bernaung sebuah bangsa? Siapa yang melontarkan gagasan itu, lalu mewujud kesatuan wilayah politik yang dipagari garis teritorial untuk membedakannya dengan wilayah negara lain?
Periksalah puisi “Tanah Air” Muhammad Yamin (Bogor, 1920). Yamin menempatkan puisi sebagai alat mengekspesikan perasaan, sekaligus gagasan tentang warga bangsa. Itulah awal konsep Tanah Air digunakan. Sejalan perkembangan pemikirannya, maknanya bergerak dari Tanah Air sebagai tempat kelahiran (Minangkabau-Sumatera) menjadi Tanah Air Indonesia. Vaderland (fatherland) yang dimaknai Ibu Pertiwi, adalah Indonesia yang secara politik belum menjadi negara. Maka, konsep Indonesia perlu dirumuskan melalui kesadaran yang menyangkut tiga faktor:
Pertama, Indonesia sebagai Tanah Air. Secara geografis tercakup dalam wilayah Nusantara. Kedua, Indonesia sebagai bangsa mempunyai sejarah panjang keagungan raja-rajanya. Ketiga, Indonesia terdiri dari berbagai sukubangsa, etnis, agama, bahasa. Mendiami pulau-pulau dan dipersatukan oleh kesadaran menggunakan bahasa yang sama sebagai alat komunikasi. Perumusan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 –yang dikatakan Sutardji Calzoum Bachri sebagai puisi—lahir atas kesadaran pada ketiga faktor itu. Pidato Yamin (disampaikan pada Kerapatan Besar Indonesia Muda, di Surakarta, 29 Desember—2 Januari 1931), menegaskan: ketiga faktor itu tidak ada artinya jika Indonesia tetap sebagai bangsa terjajah. “Kebangunan merupakan hal penting untuk mencapai kemerdekaan!”
Pemikiran Yamin tentang Tanah Air, bergerak dari ekspresi puitik ke penyikapan atas ideologi politik. Puisi menjadi pematik tumbuhnya kesadaran kebangsaan. Sesungguhnya, perjalanan sastra Indonesia adalah sejarah pemikiran ideologi. Sastra lahir dari sebuah ide, lalu mengeram, berkelindan, dan tumpah menjadi gagasan tentang kehidupan manusia yang diidealisasikan. Jadi, sastra hakikatnya ideologi yang ditawarkan sastrawan. Di sana, ada nilai-nilai yang hendak ditanamkan. Maka, membaca karya sastra pada dasarnya membuka diri pada dialog ideologis. Teks sastra adalah representasi ideologi pengarang. Teks itulah yang dihadapi pembaca. Tanpa sadar, pembaca disodori pilihan: melakukan pemihakan, perlawanan, atau kesadaran yang berkaitan dengan penyikapan pada nilai-nilai kemanusiaan.
Marco Kartodikromo, dalam Studen Hijo (1918) dan Rasa Merdika atau Hikayat Sudjarmo (1924) menawarkan kesadaran nasional melalui penggambaran kebrengsekan bangsa Belanda, di samping pentingnya para bangsawan bersatu membangun generasi baru kaum terpelajar. Hikayat Kadirun (1920) Semaun, lebih tegas lagi memberi pilihan: menjadi birokrat pemerintah kolonial atau memperjuangkan gerakan politik. Ketiga novel itu jelas sangat ideologis dengan menawarkan gerakan politik sebagai alat perjuangan. Cermati drama Bebasari (1926) Rustam Effendi. Secara simbolik tokoh Sita mewakili Ibu Pertiwi dan Rama mewakili pemuda Indonesia. Penculikan Sita oleh Rawana adalah simbolisasi penjajahan Belanda. Perjuangan Rama membebaskan Sita adalah pembebasan Indonesia dari kolonialisme Belanda. Bukankah karya-karya sastra tadi menyimpan pesan ideologi tentang bagaimana bangsa Indonesia menyikapi keberadaan pemerintah kolonial Belanda?
***
Mengapa Sutan Takdir Alisjahbana (STA) berhenti jadi redaktur Pandji Poestaka dan memutuskan mendirikan Poedjangga Baroe (1933) yang dananya mengandalkan bantuan beberapa orang bupati? Mengapa majalah yang pelanggannya sekitar 150-an orang dengan tiras tak pernah mencapai angka 500 menjadi sebuah monumen ketika kita berbicara tentang kebudayaan Indonesia? Melalui majalah itu, pertengkaran ideologi tentang Timur— Barat, tradisi—modernisasi, berkembang menjadi Polemik Kebudayaan. Sejumlah karya sastra yang dimuat Poedjangga Baroe menggambarkan perbalahan ideologi itu. Bukankah gagasan STA bermula dari penolakannya pada semangat model pantun dan syair. Dikatakan Armijn Pane: Kami tidak menyebut hasil jiwa kami syair dan pantun, tapi sajak dan puisi.” Para pengelola majalah itu menegaskan ideologinya: “Poedjangga Baroe mendjedjakkan kakinja dilapangan keboedajaan bangsa kita… keboedajaan persatoean Indonesia.”
Pada zaman Jepang, kesusastraan Indonesia dimanfaatkan untuk membangun ideologi Asia Timur Raya! Hampir semua karya diarahkan ke sana. Pemerintah mendirikan barisan propaganda (Sendenhan) dan Kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Syidosyo). Juga gencar menyelenggarakan berbagai lomba penulisan dengan tema semangat Tiga A –Jepang pemimpin—pelindung—cahaya Asia. Bagaimana ideologi diselusupkan dalam karya sastra? Perhatikan nama-nama tokoh drama Pandoe Partiwi (1945), Merayu Sukma, pemenang pertama sayembara Asia Raja—Djawa Shimbun berikut ini: Dainip Jaya (pahlawan budiman), Partiwi (gadis yang rela berkorban untuk perjuangan majikannya, Dainip Jaya), Nadarlan (orang kaya kejam), Priayiwati (perempuan Nadarlan yang tak mau berjuang). Bukankah Dainip Jaya bermakna Dai Nippon yang jaya dan Nadarlan bermakna Nederland?
***
Begitulah, sastra Indonesia berkembang sesuai perubahan zaman. Ia mewartakan potret sosial dan semangat zaman, juga menyelusupkan pesan ideologi pengarang dalam menyikapi persoalan masyarakatnya. Maka, jika sastra Indonesia hendak dimanfaatkan menanamkan “ideologi” untuk membangun cita-cita bersama dalam menyikapi tantangan global, ada tiga skenario yang dapat dikembangkan:
Pertama, sejalan dengan semangat otonomi daerah, pemerintah daerah perlu mendorong sastrawan untuk menggali kebudayaan etnik dengan segala kearifan lokalnya. Penerbitan cerita rakyat dan pendistribusiannya ke sekolah-sekolah adalah langkah penting dalam menyiapkan generasi yang menyadari nilai-nilai luhur kebudayaan etnik sebagai bagian integral dari heterogenitas kebudayaan Indonesia.
Kedua, sastrawan Indonesia perlu didorong untuk mengembangkan nilai-nilai luhur melalui politik pencitraan dan menciptakan stigmatisasi pada segala bentuk kebrengsekan. Tentu saja dorongan itu dengan tetap memberi ruang kebebasan kreatif sastrawannya.
Ketiga, sejalan dengan semaraknya sastra Indonesia melalui jejaring sosial (blogger, multiply, twitter, dan facebook) pemerintah patut mempertimbangkan penerbitan karya-karya yang baik untuk mendorong aktivitas itu lebih konstruktif dan berbobot. Pengekangan aktivitas mereka adalah tindakan kontra-produktif yang akan menuai gelombang protes.
Jika melihat perjalanan sastra Indonesia yang ideologis itu, menciptakan ideologi baru untuk membangun cita-cita bersama, bukanlah sesuatu yang berlebihan. Sastra patutlah menjadi pilihan.
(Maman S Mahayana, Pengajar FIB-UI Depok. Kini Mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar