Jumat, 01 April 2011

IDEOLOGI SASTRA INDONESIA

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Dua tulisan tentang ideologi yang dimuat Kompas (Novel Ali, “Ideologi Media Massa” 15/4 dan Komaruddin Hidayat, “Reformasi tanpa Ideologi” 24/4) menegaskan pentingnya institusi, gerakan, dan teristimewa: bangsa, melandasi arah perjuangannya ke depan dengan sebuah ideologi. “Ideologi media massa berkaitan dengan idealisme yang mestinya menjadi dasar perjuangan pers nasional,” demikian Novel Ali. Sementara hal penting yang diajukan Komaruddin Hidayat adalah penyikapan negara menghadapi fenomena global. Di situlah, perlu diciptakan: “ideologi baru yang menyatukan kepentingan semua anak bangsa dan menjadi pengikat kohesi emosi dan cita-cita bersama ….”

***

Kesusastraan Indonesia sesungguhnya dapat memainkan peranan penting dalam menawarkan ideologi sebagai usaha membangun cita-cita bersama. Mengapa sastra? Bukankah itu cuma hayalan sastrawan belaka? Bukankah membaca karya sastra berarti membaca sebuah dunia fiksional? Bagaimana mungkin membangun cita-cita dan kepentingan bersama dapat dilakukan melalui sastra?

Sejumlah pertanyaan itu boleh dianggap representasi ketidaksadaran masyarakat kita pada fungsi sastra. Padahal, sejarah telah membuktikan itu. Misalnya, dari mana ungkapan Tanah Air (Indonesia) sebagai konsep abstrak menjadi entitas yang di sana bernaung sebuah bangsa? Siapa yang melontarkan gagasan itu, lalu mewujud kesatuan wilayah politik yang dipagari garis teritorial untuk membedakannya dengan wilayah negara lain?

Periksalah puisi “Tanah Air” Muhammad Yamin (Bogor, 1920). Yamin menempatkan puisi sebagai alat mengekspesikan perasaan, sekaligus gagasan tentang warga bangsa. Itulah awal konsep Tanah Air digunakan. Sejalan perkembangan pemikirannya, maknanya bergerak dari Tanah Air sebagai tempat kelahiran (Minangkabau-Sumatera) menjadi Tanah Air Indonesia. Vaderland (fatherland) yang dimaknai Ibu Pertiwi, adalah Indonesia yang secara politik belum menjadi negara. Maka, konsep Indonesia perlu dirumuskan melalui kesadaran yang menyangkut tiga faktor:

Pertama, Indonesia sebagai Tanah Air. Secara geografis tercakup dalam wilayah Nusantara. Kedua, Indonesia sebagai bangsa mempunyai sejarah panjang keagungan raja-rajanya. Ketiga, Indonesia terdiri dari berbagai sukubangsa, etnis, agama, bahasa. Mendiami pulau-pulau dan dipersatukan oleh kesadaran menggunakan bahasa yang sama sebagai alat komunikasi. Perumusan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 –yang dikatakan Sutardji Calzoum Bachri sebagai puisi—lahir atas kesadaran pada ketiga faktor itu. Pidato Yamin (disampaikan pada Kerapatan Besar Indonesia Muda, di Surakarta, 29 Desember—2 Januari 1931), menegaskan: ketiga faktor itu tidak ada artinya jika Indonesia tetap sebagai bangsa terjajah. “Kebangunan merupakan hal penting untuk mencapai kemerdekaan!”

Pemikiran Yamin tentang Tanah Air, bergerak dari ekspresi puitik ke penyikapan atas ideologi politik. Puisi menjadi pematik tumbuhnya kesadaran kebangsaan. Sesungguhnya, perjalanan sastra Indonesia adalah sejarah pemikiran ideologi. Sastra lahir dari sebuah ide, lalu mengeram, berkelindan, dan tumpah menjadi gagasan tentang kehidupan manusia yang diidealisasikan. Jadi, sastra hakikatnya ideologi yang ditawarkan sastrawan. Di sana, ada nilai-nilai yang hendak ditanamkan. Maka, membaca karya sastra pada dasarnya membuka diri pada dialog ideologis. Teks sastra adalah representasi ideologi pengarang. Teks itulah yang dihadapi pembaca. Tanpa sadar, pembaca disodori pilihan: melakukan pemihakan, perlawanan, atau kesadaran yang berkaitan dengan penyikapan pada nilai-nilai kemanusiaan.

Marco Kartodikromo, dalam Studen Hijo (1918) dan Rasa Merdika atau Hikayat Sudjarmo (1924) menawarkan kesadaran nasional melalui penggambaran kebrengsekan bangsa Belanda, di samping pentingnya para bangsawan bersatu membangun generasi baru kaum terpelajar. Hikayat Kadirun (1920) Semaun, lebih tegas lagi memberi pilihan: menjadi birokrat pemerintah kolonial atau memperjuangkan gerakan politik. Ketiga novel itu jelas sangat ideologis dengan menawarkan gerakan politik sebagai alat perjuangan. Cermati drama Bebasari (1926) Rustam Effendi. Secara simbolik tokoh Sita mewakili Ibu Pertiwi dan Rama mewakili pemuda Indonesia. Penculikan Sita oleh Rawana adalah simbolisasi penjajahan Belanda. Perjuangan Rama membebaskan Sita adalah pembebasan Indonesia dari kolonialisme Belanda. Bukankah karya-karya sastra tadi menyimpan pesan ideologi tentang bagaimana bangsa Indonesia menyikapi keberadaan pemerintah kolonial Belanda?

***

Mengapa Sutan Takdir Alisjahbana (STA) berhenti jadi redaktur Pandji Poestaka dan memutuskan mendirikan Poedjangga Baroe (1933) yang dananya mengandalkan bantuan beberapa orang bupati? Mengapa majalah yang pelanggannya sekitar 150-an orang dengan tiras tak pernah mencapai angka 500 menjadi sebuah monumen ketika kita berbicara tentang kebudayaan Indonesia? Melalui majalah itu, pertengkaran ideologi tentang Timur— Barat, tradisi—modernisasi, berkembang menjadi Polemik Kebudayaan. Sejumlah karya sastra yang dimuat Poedjangga Baroe menggambarkan perbalahan ideologi itu. Bukankah gagasan STA bermula dari penolakannya pada semangat model pantun dan syair. Dikatakan Armijn Pane: Kami tidak menyebut hasil jiwa kami syair dan pantun, tapi sajak dan puisi.” Para pengelola majalah itu menegaskan ideologinya: “Poedjangga Baroe mendjedjakkan kakinja dilapangan keboedajaan bangsa kita… keboedajaan persatoean Indonesia.”

Pada zaman Jepang, kesusastraan Indonesia dimanfaatkan untuk membangun ideologi Asia Timur Raya! Hampir semua karya diarahkan ke sana. Pemerintah mendirikan barisan propaganda (Sendenhan) dan Kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Syidosyo). Juga gencar menyelenggarakan berbagai lomba penulisan dengan tema semangat Tiga A –Jepang pemimpin—pelindung—cahaya Asia. Bagaimana ideologi diselusupkan dalam karya sastra? Perhatikan nama-nama tokoh drama Pandoe Partiwi (1945), Merayu Sukma, pemenang pertama sayembara Asia Raja—Djawa Shimbun berikut ini: Dainip Jaya (pahlawan budiman), Partiwi (gadis yang rela berkorban untuk perjuangan majikannya, Dainip Jaya), Nadarlan (orang kaya kejam), Priayiwati (perempuan Nadarlan yang tak mau berjuang). Bukankah Dainip Jaya bermakna Dai Nippon yang jaya dan Nadarlan bermakna Nederland?

***

Begitulah, sastra Indonesia berkembang sesuai perubahan zaman. Ia mewartakan potret sosial dan semangat zaman, juga menyelusupkan pesan ideologi pengarang dalam menyikapi persoalan masyarakatnya. Maka, jika sastra Indonesia hendak dimanfaatkan menanamkan “ideologi” untuk membangun cita-cita bersama dalam menyikapi tantangan global, ada tiga skenario yang dapat dikembangkan:

Pertama, sejalan dengan semangat otonomi daerah, pemerintah daerah perlu mendorong sastrawan untuk menggali kebudayaan etnik dengan segala kearifan lokalnya. Penerbitan cerita rakyat dan pendistribusiannya ke sekolah-sekolah adalah langkah penting dalam menyiapkan generasi yang menyadari nilai-nilai luhur kebudayaan etnik sebagai bagian integral dari heterogenitas kebudayaan Indonesia.

Kedua, sastrawan Indonesia perlu didorong untuk mengembangkan nilai-nilai luhur melalui politik pencitraan dan menciptakan stigmatisasi pada segala bentuk kebrengsekan. Tentu saja dorongan itu dengan tetap memberi ruang kebebasan kreatif sastrawannya.

Ketiga, sejalan dengan semaraknya sastra Indonesia melalui jejaring sosial (blogger, multiply, twitter, dan facebook) pemerintah patut mempertimbangkan penerbitan karya-karya yang baik untuk mendorong aktivitas itu lebih konstruktif dan berbobot. Pengekangan aktivitas mereka adalah tindakan kontra-produktif yang akan menuai gelombang protes.

Jika melihat perjalanan sastra Indonesia yang ideologis itu, menciptakan ideologi baru untuk membangun cita-cita bersama, bukanlah sesuatu yang berlebihan. Sastra patutlah menjadi pilihan.

(Maman S Mahayana, Pengajar FIB-UI Depok. Kini Mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea)

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati