Asep Sambodja*
http://boemipoetra.wordpress.com/
Ketika saya mendapat pesan singkat dari Saut Situmorang bahwa buku puisinya, otobiografi, telah terbit, saya sedang berada di kereta Taksaka menuju Yogyakarta. Dan saya memutuskan untuk segera mencari buku itu begitu sampai. Keesokan harinya, saya kesusahan mencari buku itu di Toko Buku Social Agency Kaliurang yang terkenal murah itu. Setelah lelah mencari, akhirnya saya meminta bantuan petugas untuk mencarikan di komputernya. Ternyata buku otobiografi Saut Situmorang itu diletakkan di rak buku sejarah, berdekatan dengan biografi Tan Malaka dan Pengantar Ilmu Sejarah Kuntowijoyo.
Memang kalau kita lihat cover buku itu sama sekali tidak ada informasi yang menjelaskan kepada pembaca bahwa buku otobiografi merupakan buku puisi. Nama Saut Situmorang baru dikenal di kalangan penyair, namun tidak semua orang di republik ini mengenalnya sebagai penyair, termasuk pedagang buku di Social Agency, Gunung Agung, Toga Mas, dan Gramedia. Makanya, tidak heran kalau bukunya diletakkan di deretan buku-buku biografi yang kebanyakan berisi tokoh-tokoh politik itu. Foto Saut Situmorang kecil yang terpampang di cover depan dan Saut Situmorang besar di cover belakang rupanya tidak banyak membantu untuk menjelaskan kepada pedagang-pedagang buku itu bahwa otobiografi karya Saut Situmorang sesungguhnya buku puisi dan bukan buku biografi biasa.
Begitulah. Begitu buku ini lahir, ternyata sudah disalahpahami. Namun, itulah Saut Situmorang, penyair yang lahir di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, 29 Juni 1966. Cukup banyak pikiran, tindakan, dan ucapannya yang menggelisahkan dan disalahpahami banyak orang. Dalam pengantar buku ini, nama pertama yang langsung dikritiknya adalah Nirwan Dewanto, sastrawan dari komunitas Teater Utan Kayu (TUK) dan Salihara, yang mengatakan bahwa novelis Ayu Utami tidak terlahir dari sejarah sastra Indonesia. Pernyataan Nirwan tersebut seolah-olah ingin mengatakan bahwa Ayu Utami turun dari langit ke tujuh begitu saja.
Pernyataan Nirwan itu dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan beruntun Saut yang kritis: Mungkinkah seorang sastrawan tidak terlahir dari sejarah sastra nasionalnya sendiri, sementara dia memakai bahasa nasionalnya sebagai media ekspresi sastranya? Bisakah seorang sastrawan memasabodohkan sejarah sastra nasionalnya sendiri? Kalau benar Ayu Utami terlahir bukan dari sejarah sastra Indonesia, lantas dari mana dia berasal? Dan kenapa dia masih menganggap perlu menulis dalam bahasa Indonesia, yang merupakan bahasa ekspresi dari sastra Indonesia itu, dan bukan dalam bahasa Inggris, misalnya? (hlm. 11).
Dalam pengantar itu pula, bisa kita baca, bahwa Saut Situmorang sangat sadar posisinya sebagai penyair. Tiga alinea terakhir dari pengantarnya itu secara tidak langsung memperlihatkan kredonya sebagai seorang penyair. Saut mengatakan, “Penyair 1990-an tidak lagi berusaha untuk menjadi pemusik atau pelukis waktu menulis puisi, tapi hanya untuk menjadi penyair.” Selain itu, katanya, “Sebuah motif dominan lain pada puisi penyair 1990-an adalah politik. Para penyair 1990-an tidak lagi tabu atau malu-malu untuk mempuisikan politik, mempolitikkan puisi, malah justru pada periode inilah puisi politik mencapai puncak ekspresi artistiknya yang melampaui apa yang sebelumnya dikenal sebagai sajak protes dan pamflet penyair seperti pada puisi Wiji Thukul.” (hlm. 17). Meski Saut menyebutnya “Penyair 1990-an” namun saya menangkapnya termasuk Saut di dalamnya.
Dari sinilah saya mencoba memahami puisi-puisi Saut Situmorang dalam otobiografi dengan perspektif postkolonialisme. Arief Budiman (2006) dalam buku Kebebasan, Negara, Pembangunan mengatakan sejak Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) lahir pada 17 Agustus 1950, politik masuk demikian jauh ke dalam sastra Indonesia. Dengan konsep “seni untuk rakyat” dan “politik adalah panglima” sastrawan-sastrawan Lekra memproduksi karya-karya mereka dengan benar-benar mengamati kenyataan yang terjadi di lingkungan masyarakatnya. Hal ini dimungkinkan karena mereka diwajibkan “turba” atau turun ke bawah atau turun ke lapangan dan langsung menghayati kehidupan rakyatnya.
Pernyataan Arief Budiman tersebut sejalan dengan pernyataan Joebaar Ajoeb yang dikutip dalam buku Lekra Tak Membakar Buku yang dieditori Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan (2008), yang mengatakan sastrawan harus berpolitik, bahkan seharusnya masuk ke dalam partai politik. Sebab, kata Joebaar, kalau sastrawan tidak berpolitik, maka “politik yang akan mencampuri sastrawan”.
Saya tidak sepenuhnya setuju dengan Joebaar Ajoeb. Kalau sastrawan harus mengerti politik, itu sudah pada tempatnya. Tapi, kalau sastrawan diharuskan masuk partai politik, maka saya tidak setuju karena ada kecenderungan orang yang masuk ke dalam sebuah partai politik akan beradaptasi dengan ideologi partai, yang terkadang harus meminggirkan nurani. Ada kecenderungan pula kalau kita masuk partai politik, kita akan seperti “memakai kacamata kuda”. Apa yang ditulis dan dilakukan Saut Situmorang jelas berwawasan politik, tapi setahu saya dia tidak berpartai. Ia independen.
Dalam buku ini, Saut memasukkan puisi-puisinya ke dalam tiga bagian, yakni Cinta, Politik, dan Rantau. Dalam kesempatan ini, saya akan memfokuskan perhatian saya pada puisi-puisinya yang terhimpun dalam bagian Politik. Puisi-puisinya yang terhimpun dalam Cinta dan Rantau akan dibicarakan dalam kesempatan lain. Dengan demikian saya akui bahwa pembicaraan ini masih belum komprehensif benar. Dan sangat kebetulan bahwa sebagian besar puisinya yang terhimpun dalam payung Politik itu pernah dimuat di buku puisinya, catatan subversif (2004). Dalam tulisan saya sebelumnya, “Kontroversi KLA 2008”, saya mengatakan Saut Situmorang berhak mendapat penghargaan KLA 2008 karena puisi-puisinya bergizi. Yang saya maksud adalah puisi-puisinya yang terhimpun dalam payung Politik ini.
Menurut saya, buku otobiografi Saut Situmorang inilah yang bisa mengungguli buku himpunan puisi Jantung Lebah Ratu karya Nirwan Dewanto (2008) dalam hal merebut penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2008. Sayang, Saut Situmorang menolak dinilai oleh dewan juri KLA yang menurutnya tidak jelas dan tidak menyehatkan dunia sastra Indonesia itu. Perbandingan antara Saut Situmorang dengan Nirwan Dewanto secara detail akan dibicarakan dalam kesempatan lain pula. Tulisan pendek ini hanya akan mencoba membaca ideologi Saut Situmorang sebagai penyair Indonesia modern, yang memulai menuliskan karyanya pada 1990-an.
Marsinah, Wiji Thukul, Munir
Cukup banyak pokok dan tokoh yang tercatat di media massa. Kalau menggunakan perspektif jurnalisme, nama tokoh yang tercatat itu setidaknya memiliki daya tarik, nilai jual, penting di mata pembaca, atau dengan kata lain tokoh itu layak berita. Sekarang tergantung media yang akan memuatnya: dia akan menempatkan tokoh itu sebagai pahlawan atau pecundang? Saya pikir pers yang masih memiliki idealisme akan berusaha melihat segala sesuatu secara objektif dan proporsional dengan berpegang pada prinsip cover both sides.
Dengan mengangkat tiga tokoh, yakni Marsinah, Wiji Thukul, dan Munir, dan menangkap message yang disampaikan Saut Situmorang melalui puisi-puisinya, jelas bahwa ia ingin melihat sebuah peristiwa dengan sudut pandang korban kekuasaan. Kebetulan bahwa ketiga tokoh tersebut adalah korban tindak kekerasan dari kaki tangan penguasa Rezim Orde Baru. Ketiganya mati setelah bersuara.
Marsinah sebagai buruh pabrik arloji di Sidoarjo bersuara meminta kenaikan upah sebesar Rp550,- agar sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR) Jawa Timur, namun ia diciduk aparat dan mati setelah mengalami proses penganiayaan di selangkangannya.
Wiji Thukul sebagai penyair menyuarakan kehidupannya sendiri, mempertanyakan ketimpangan sosial yang dialaminya, menggugat, dan kemudian sampai pada pencapaian estetis yang luar biasa melalui puisi “Peringatan”, dengan kata-kata yang berjiwa, “hanya ada satu kata: lawan!” Kemudian pasca peristiwa 27 Juli 1996, ia dikejar-kejar aparat karena partainya, Partai Rakyat Demokratik (PRD) dijadikan kambing hitam dalam peristiwa perebutan Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Wiji Thukul diculik dan setelah itu orang-orang menduga bahwa ia telah mati dibunuh.
Munir pun bersuara membela orang-orang tertindas. Mulai dari membela buruh, aktivis yang diculik, hingga korban peristiwa Tanjung Priok 1984, korban Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh 1989-1998, hingga korban Tragedi ’65. Ketika hendak kuliah pascasarjana di Belanda, ia mati sahid karena diracun di pesawat Garuda Indonesia Airways yang membawanya belajar ke Belanda. Munir pun mati. Orang-orang yang bersuara kritis mati.
Bagaimana Saut Situmorang memotret peristiwa itu? Dengan keberanian seperti apa Saut Situmorang menempatkan ketiga nama itu sebagai tokoh? Kalau Sapardi Djoko Damono menulis puisi “Dongeng Marsinah” dalam buku Ayat-ayat Api (2000) dengan bahasa metaforis dan terasa sangat ironis, bagaimana dengan Saut Situmorang? Saya kira “kredo” yang ditulisnya di pengantar buku otobiografi ada di sini.
marsinah
dari luka luka tubuhmu
tercipta bintang bintang
setiap bintang adalah sajak
yang mengabadikan suaramu
perempuan muda yang berani itu
mati terbunuh.
kenapa?
tubuhnya yang indah yang suci
rusak
ternodai—kematian yang laknat
menghancurkan
beribu doa ibu yang tinggal termangu.
kenapa?
perempuan muda yang berani angkat suara
karena tak adilnya matahari yang menyengat muka
perempuan bernama marsinah itu
mati dibunuh
dibunuh seperti kambing hitam yang cuma binatang
dibunuh seperti babi hitam yang cuma binatang
dibunuh seperti anjing hitam yang cuma binatang
dibunuh seperti cuma seekor binatang!
kenapa lobang tanah yang sempit yang hitam
lebih menerima seorang manusia yang perempuan
dibanding kita makhluk yang lebih tinggi dari
malaikat tuhan?
seorang perempuan muda
mati
hanya karena berani.
terlalu tinggi dia
bagi kita
yang terkutuk hidup
sebagai
pengecut!
Penyair Saut Situmorang sampai pada kesimpulan bahwa perempuan muda itu mati karena berani, dan kita yang hidup di negeri ini tak lebih dari sekadar manusia pengecut. Puisi yang bermuatan politik ini memang tak menuding pelaku kekerasan itu secara jelas, sama halnya dengan puisi Sapardi, namun pembaca bisa menafsirkannya karena puisi tersebut sarat dengan pertanyaan dan gugatan yang bersandarkan pada nurani. Kedudukan Marsinah yang direndahkan oleh aparat keamanan Sidoarjo ditinggikan atau dipulihkan kehormatannya oleh Saut Situmorang. Repetisi yang digunakan Saut Situmorang dalam puisi ini dan juga dalam puisi-puisinya yang lain menguatkan pesan yang ingin disampaikan penyair.
Saya teringat dengan pernyataan Harry Aveling ketika ia bicara mengenai puisi Indonesia modern 1990-an. Sebenarnya Harry Aveling (2003) sudah cukup bagus menjelaskan puisi Indonesia di masa Orde Baru dalam bukunya, Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998. Namun, saat mengisi waktu senggang di ruang Program Studi Indonesia FIB UI tetap saja saya tanyakan mengenai puisi-puisi 1990-an itu. Dan, jawabannya sangat sederhana, yakni “kecenderungan puisi Indonesia 1990-an sama seperti lukisan di cover buku Saut Situmorang yang berjudul catatan subversif.”
Sepulang dari kampus, saya mencoba melihat kembali cover buku itu, yang ternyata lukisan Edvard Munch yang berjudul “Scream” (1893). Dalam lukisan itu, tampak wajah seseorang yang merasa ketakutan, dan tidak jauh di belakangnya tampak dua sosok manusia—yang membuatnya takut. Saya menafsir gambar itu sebagai sesuatu yang menggambarkan suasana suram, yang di antaranya mengakibatkan siapa pun takut untuk bersuara. Ini, di kemudian hari, tertera dengan cukup jelas dalam pengantar buku otobiografi (2008). Ada persamaan antara pernyataan Harry Aveling dengan pengantar Saut Situmorang itu.
Puisi yang bertendens semacam ini terkadang bisa menjebak penyairnya menulis sajak-sajak pamflet atau sajak-sajak protes yang mirip poster-poster demonstran. Tapi, bagaimanapun sajak-sajak semacam ini memang punya hak hidup yang sama dengan puisi lainnya. Hal ini sangat bergantung pada konteks yang melahirkannya. Karena, sebuah puisi protes bisa lahir akibat kemampatan politik atau karena pemberantasan korupsi yang mengalami stagnasi terus-menerus, misalnya.
Lihat sajak “Peringatan Rakyat” Saut yang semua isinya bertuliskan dengan huruf kapital: KORUPSI DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN. Menurut saya, puisi sederhana ini bicara sangat banyak. Puisi ini saya sukai, meskipun diambil begitu saja dari pelarangan yang melekat di bungkus rokok—yang ternyata sangat tidak penting dan bisa dihiraukan begitu saja itu—namun memiliki makna yang dalam.
catatan subversif tahun 1998
—disebabkan oleh Wiji Thukul
kau adalah kemarau panjang
yang hanya membawa kematian
kepada daun, bunga, dan
ikan ikan di sungai
kampung tercinta
karena kau adalah kemarau
maka airmata marah kami akan
menggenangi bumi
jadi embun
naik ke langit jadi awan awan
dan dengarlah gemuruh suara kami
sebagai hujan turun
mengusirmu dari sini!
maret 1998
Puisi “Catatan Subversif tahun 1998” ditulis sebelum lengsernya Soeharto. Keterpurukan ekonomi pada 1997-1998 dan demonstrasi mahasiswa memaksa Soeharto hengkang dari singgasananya pada 21 Mei 1998. Dalam suasana semacam itu Saut Situmorang menulis puisi yang “disebabkan oleh Wiji Thukul”. Kita tahu bahwa Wiji Thukul “menghilang” pascaperistiwa 27 Juli 1996 (“Kuda Tuli”—Kasus Dua Tujuh Juli), dan dia dikenal sebagai penyair yang berani, sama seperti Saut Situmorang ini. Kepenyairan Wiji Thukul yang penuh totalitas itu, yang menyebabkan dia harus ditempatkan sebagai orang yang harus dihapus oleh negara, menyebabkan Wiji Thukul sebagai penyair besar yang menenggelamkan banyak nama seangkatannya. Keberanian. Itulah faktor kebesaran Wiji Thukul. “Kalau takut, jangan jadi pengarang!” kata Pramoedya Ananta Toer suatu kali.
Dalam puisi ini, Saut ingin menegaskan bahwa kau (‘penguasa’) sebagai penyebab kematian “daun”, “bunga”, dan “ikan-ikan” (yang melambangkan keberagaman masyarakat) di negeri ini. Dan karena itulah kami (‘rakyat’) berupaya menghimpun penderitaan yang dialaminya menjadi kekuatan untuk menggulingkan kekuasaan. Keberanian Wiji Thukul sebagai seorang penyair menempatkannya di posisi yang terhormat dalam sejarah sastra Indonesia. Ulasan yang cukup panjang mengenai Wiji Thukul sudah saya tuliskan dalam artikel “Wiji Thukul: Sekali Berarti, Sudah Itu Mati”, yang dimuat dalam buku Kebenaran akan Terus Hidup yang dieditori Wilson (2007).
Namun, satu hal yang ingin saya kemukakan di sini adalah bahwa sejatinya seorang penyair atau sastrawan atau seniman pada umumnya harus melihat dan “membaca” kenyataan di sekitarnya. Inilah yang pernah disarankan oleh Arief Budiman dan Ariel Heryanto mengenai sastra kontekstual, dan dalam beberapa hal pernah disinggung sastrawan Lekra sebagai “sastra untuk rakyat”, yang menyarankan semua sastrawannya untuk benar-benar memahami dan merasakan kehidupan rakyatnya.
Tugas sastrawan kemudian adalah menyuarakannya dalam bentuk karya sesuai dengan hati nurani rakyat (hanura). Saut Situmorang telah melakukannya dengan baik. Dalam kesempatan ini pula saya ingin menggarisbawahi pernyataan Seno Gumira Ajidarma, “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara!”. Pernyataan Seno itu menempatkan sastra sebagai sesuatu yang penting dan berarti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apa yang diucapkan Seno itu mewujud dalam sebagian besar karyanya hingga terbaca dalam cerpen terbarunya, “Ibu yang Anaknya Diculik Itu”, yang dimuat Kompas, 16 November 2008. Meskipun demikian, ini tidak berarti saya mengharamkan atau menafikan karya sastra yang bicara tentang cinta ataupun eksistensialisme.
Puisi Saut yang juga ditujukan untuk Wiji Thukul, “Sajak Mimpi”, yang merupakan puisi eksperimental itu lebih mendeskripsikan mengenai Indonesia dan keberagaman yang terkandung di dalamnya. Indonesia digambarkan sebagai negeri impian yang di dalamnya ada keindahan, namun ada pula kekerasan. Hidup di negeri impian memang terkadang membuat kita tidak sadar dan kurang waspada. Hari ini kita bisa bermain-main, esok hari kita ternyata sudah mati. “Indonesia adalah mimpi di mana aku tak perlu lagi bermimpi seperti ini!” kata Saut Situmorang (hlm. 171).
parabel
-mengenang Munir
seorang bocah laki laki
main layangan
di lapangan
langit biru
angin berhembus sejuk
layangan meliuk indah
di atas ladang sawah
angin tiba tiba meniup kencang
langit mendung gelap
seekor burung garuda raksasa
muncul dari balik awan
menyambar bocah laki laki itu
dan melarikannya ke ujung cakrawala yang jauh
di tanah lapang
sepasang sandal kecil
basah lumpur
oleh hujan yang semalaman tak reda
layangan itu sendiri hilang entah ke mana
Jogja, 10 Nov 2005
Sajak “Parabel” Saut Situmorang yang juga dimuat di buku Nubuat Labirin Luka: Antologi Puisi untuk Munir (2005) ini merekam dengan bagus sekali peristiwa pembunuhan terhadap tokoh HAM Indonesia yang bersahaja itu. Kerja kemanusiaan yang tengah dikerjakan oleh Munir dihentikan oleh negara begitu saja. Dan, kenyataannya, bukan Munir saja yang sirna, tapi nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri pun ikut lenyap entah ke mana.
Hingga kini kasus kematian Munir masih bergulir di pengadilan dengan beberapa terdakwa, termasuk mantan petinggi Badan Intelijen Nasional (BIN), Muchdi Pr. Kita lihat saja apakah pengadilan kita bisa memberikan rasa keadilan atau tidak. Dalam buku Untukmu Munir (2008), saya merasa pesimistis pengadilan kita bisa memberikan rasa keadilan itu, dengan berbagai alasan yang terang-benderang, di antaranya aparat penegak hukum masih menjalankan transaksi perkara dengan terdakwa. Jaksa Urip adalah contoh paling konkret.
Sebuah puisi memang terbuka atas beragam interpretasi. Sajak yang ditujukan untuk mengenang Munir tersebut, dalam interpretasi saya, membawa message yang penting bahwa upaya pembunuhan terhadap Munir membawa dampak yang lebih luas, yakni lenyapnya nilai-nilai kemanusiaan di negeri ini.
Timor Timur, Aceh, Yogyakarta
Ketika Yoselda Malona, mahasiswa Program Studi Indonesia FIB UI, menganalisis buku saut kecil bicara dengan tuhan (2003), ia sampai pada sebuah puisi yang membuatnya masygul, yakni “Aku mencintaiMu dengan seluruh jembutKu”. Bagaimana membaca puisi ini? Saya berusaha menjelaskannya tanpa menutup kemungkinan interpretasinya yang lain terhadap puisi itu.
Pertama, dari judul puisi itu, bagi pembaca puisi Indonesia modern akan mengingat puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Aku Ingin”, yang baris pertamanya berbunyi “aku ingin mencintaimu dengan sederhana”. Nah, puisi masterpiece Sapardi ini kemudian diplesetkan atau diparodikan Saut sedemikian rupa sehingga terkesan vulgar dan sarkastis. Sebelumnya, Saut juga menulis puisi dengan judul yang sama, yakni “aku ingin”, yang baris pertamanya berbunyi “aku ingin mencintaiMu dengan membabi buta—“ (hlm. 95). Dalam puisi ini, Saut memadukan karya Sapardi Djoko Damono dan William Shakespeare hingga melahirkan sebuah karya yang kuat. Sementara dalam puisinya yang lain, dengan judul yang juga sama, “aku ingin”, Saut bicara tentang cinta dengan setting gempa bumi di Yogya (hlm. 162).
Kedua, penggunaan huruf kapital –Ku dan –Mu yang biasanya diperuntukkan pada Tuhan yang maha kuasa, oleh Saut Situmorang dijungkirbalikkan begitu saja. “Karena aku tak percaya segala tuhan itu ada,” katanya (hlm. 215). Huruf kapital bisa digunakan secara arbitrer, siapa pun berhak menggunakan huruf besar pada pronomina. Sepanjang pengetahuan saya, baru kali inilah ada penyair Indonesia yang secara manasuka, bahkan dapat dikatakan secara liar, menggunakan simbol-simbol yang semula diperuntukkan kepada yang maha kuasa menjadi kepada siapa saja.
Ketiga, karena kita terbiasa hidup dengan eufemisme, maka tak heran kita mudah terkejut manakala Saut Situmorang menggunakan kata “jembut” yang di kamus berarti “rambut kemaluan”. Sebenarnya Chairil Anwar dan penyair-penyair kita senantiasa mencoba menggunakan kata-kata baru, ataupun berusaha kembali menghadirkan kata-kata arkais. Dan itu hal yang sangat biasa dan lazim.
Saya tidak akan berpanjang-panjang membicarakan hal ini, selain menggarisbawahi bahwa Saut Situmorang secara terus-terang mengakui adanya tradisi kepenyairan yang serta-merta melekat pada dirinya, yang sama sekali sulit dihindari manusia yang lahir di era globalisasi ini. Dalam beberapa puisinya, meskipun dengan gaya parodi, kita bisa menangkap tradisi Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Apollinaire, dan Chairil Anwar.
Di bawah ini sebuah puisi Saut Situmorang yang mengingatkan saya pada bentuk puisi Chairil Anwar yang berjudul “1943” yang demikian impresif.
requiem
langit hitam
bumi hitam
tanah hitam
asap hitam
puing puing membara
puing puing membara
mobil membara
asap hitam
jalanan kosong
asap hitam
potongan kaki
potongan kaki
potongan tangan
sepatu
sandal
potongan kepala
asap hitam
asap hitam
puing puing membara
langit sunyi
bumi sunyi
asap hitam
jalanan kosong
sunyi
langit
bumi
diam
sunyi
timor timur
mati
15 September 1999
Puisi Saut Situmorang di atas demikian dalam mendeskripsikan Timor Timur saat “lepas” dari cengkeraman Indonesia. Pada 1975-1976, Amerika Serikat dan negara-negara Barat, juga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendukung Indonesia menduduki Timor Timur semata-mata untuk melenyapkan partai Fretilin yang kekiri-kirian. Namun, pada 1999, setelah Soeharto lengser dan Habibie menggantikannya menjadi presiden, setelah ada tekanan internasional, setelah Uskup Belo dan Ramos Horta meraih penghargaan Nobel, setelah dilakukan referendum dan 78,5% penduduk Timor Timur mendukung kemerdekaan, terjadi kekerasan yang memakan korban saudara-saudara kita sendiri. M.C. Ricklefs (2005) mencatat orang-orang prokemerdekaan dibunuh, banyak rumah pribadi, perusahaan swasta, bangunan umum, gereja, dan lainnya dihancurkan, serta sekitar 800.000 orang menjadi pengungsi.
Politik “bumi hangus” ini terjadi karena Indonesia yang mau didikte begitu saja oleh Amerika Serikat ketika pertama kali menduduki Timtim. Padahal, waktu itu Indonesia belum memiliki pasukan tempur yang tangguh, akibatnya banyak tentara yang mati saat pendudukan itu. Ketika tekanan internasional demikian keras hingga berujung pada kemerdekaan Timor Leste, tentu saja militer yang telah banyak berkorban atau “dikorbankan” itu melakukan aksi balas dendam. Dalam kondisi seperti ini, yang menjadi korban pastilah rakyat. Dan Saut Situmorang merekam peristiwa lepasnya Timor Timur itu dengan lagu duka dalam “requiem”. Dalam bentuk prosa, Seno Gumira Ajidarma juga merekamnya dalam Saksi Mata (1994) dan Jazz, Parfum, dan Insiden (2004).
Tidak hanya bencana politik yang diangkat Saut ke permukaan. Puisi-puisi di bawah ini bicara tentang bencana alam, yakni tsunami di Aceh pada 2004 dan gempa bumi di Yogyakarta pada 2006. Kepekaan yang memang harus dimiliki oleh setiap penyair yang memiliki nurani.
buat Fikar
—melebihi Belanda
itulah Jakarta!
aku tak percaya tuhan membuat
bencana itu, seperti kata nabi nabi palsu itu,
karena aku tak percaya segala tuhan itu ada.
aku cuma percaya
tak akan begitu banyak saudara kita
binasa sia sia
kalau Jakarta bisa seperti Belanda
menyayangi anak anaknya.
sudah puluhan tahun Jakarta berkuasa
tapi penderitaan saja yang diciptakannya
sudah puluhan tahun Jakarta berkuasa
tapi ketakadilan saja yang dikembangbiakkannya
sudah puluhan tahun Jakarta berkuasa
tapi penjara dan bukit tengkorak saja yang diberikannya
pada setiap keluh kesah kita.
seperti yang kau katakan sendiri,
puluhan tahun Jakarta, seperti lintah,
menghisap segalanya,
gas alam,
minyak,
emas,
hutan,
sampai akar rumput bumi
sambil mengutip kitab suci!
wahai Fikar,
tak ada negeri yang tak punya bencana alam
di bumi ini, bahkan tsunami
tak jarang terjadi di kepulauan ini. Flores
sudah biasa dengan tsunami, sudah
berpengalaman dengan tsunami
tapi Jakarta tidak mau menyimpan memori ini,
Jakarta tak peduli pengalaman Flores ini,
Jakarta lupa kepulauan negeri kita, nusantara nama kita,
walau diwajibkannya kita untuk menghapalnya:
“dari barat sampai ke timur berjejer…”
Jakarta pinjam uang beli teknologi canggih luar negeri
cuma untuk memata matai kita
cuma untuk menindas kita
cuma untuk keamanannya sendiri
dan kita juga yang harus melunasinya nanti!
wahai sahabatku Fikar,
bukan bencana itu benar yang menusuk kalbu
tapi jumlah saudara kita yang binasa sia sia
terlalu tinggi buat kota kampung kita
yang bertahun sudah dinista moncong senjata tentara.
kalau Jakarta, bisa seperti Belanda,
menyayangi anak anaknya,
sudah lama kita akan diberi tahu
apa arti gelombang yang jauh menyurut,
meninggalkan batas pasir pantai, setelah bumi menggeliat di perut laut.
bahkan bangsa asing menolong kita pun mereka curigai!
itulah Jakarta, begitulah Jakarta.
Jogja, 2 Feb 2005
Puisi “buat Fikar” ini memang ditujukan pada Fikar W. Eda, penyair Aceh yang telah menghasilkan buku puisi Rencong (2003), yang di dalamnya sarat lukisan penderitaan bangsa Aceh, terutama di masa Daerah Operasi Militer (DOM) diberlakukan selama satu dekade (1989-1998). Al Chaidar (1998) cukup tajam merekam peristiwa ini dalam tulisan jurnalistik yang demikian memikat, dalam Aceh Bersimbah Darah, yang sangat membantu memaknai puisi-puisi Fikar W. Eda tersebut. Sastrawan Helvy Tiana Rosa (2002), untuk menyebut nama lain, juga merekam peristiwa berdarah itu dalam cerpen “Jaring-jaring Merah” yang sangat memikat pembaca sekaligus mengundang empati pada masyarakat Aceh yang teraniaya.
Dalam puisi itu, Saut Situmorang mengkritik Jakarta sebagai pusat pemerintahan yang selalu saja menciptakan kesusahan dan kegetiran bagi masyarakat Aceh. Dari segi keamanan, Jakarta jauh lebih kejam dari Belanda karena memberlakukan DOM yang mengakibatkan korban tewas sekitar 5.000 orang. Untuk menggambarkan hal ini, Al Chaidar (1998) mengutip Nikita Khruschev, “One man’s death is a tragedy, but a million’s death is a statistic.” Tak dapat dilukiskan dengan kata-kata lagi bagaimana penderitaan rakyat Aceh itu.
Namun, di sisi lain, Jakarta tidak belajar banyak dari Belanda yang bisa hidup bersahabat dengan laut. Ketika tsunami datang dan merenggut sedikitnya 150.000 warga di Aceh, Jakarta seperti terkesiap, tak sanggup berbuat banyak untuk mengantisipasi datangnya bencana. Sudah telanjur. Sudah kebacut. Bahkan ada yang mengatakan Tuhan tengah menguji ummatnya. Saut Situmorang mencatat musibah tsunami itu bukan kreasi Tuhan, karena ia “tak percaya segala Tuhan”, melainkan karena kelalaian petugas yang berwenang, dalam hal ini Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) di Jakarta. Di mata Saut, Jakarta sebagai pusat sudah seharusnya bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di daerah yang “dikuasainya”. Jangan hanya mengeruk kekayaan alamnya saja.
Blues for Allah
kehidupan begitu fana
dan kematian begitu abadi
bau mayat mayat busuk
dan erang anak anak
terserak antara puing puing rumah
rongsokan mobil dan sandal jepit jepang
di bawah langit biru
di batas debur ombak
dalam peta negeriku
yang sobek tak lagi terbaca –
setelah tentara tentara asing
masuk ke mari
dan menembaki kami
sekarang amarah samudera
menghabisi apa yang
masih tersisa
kehidupan begitu fana
kematian begitu abadi,
dan kata kata? apa yang sanggup
dilakukan kata kata penyair
selain menyanyikan lagu duka
nyiur melambai di pantai
yang kehilangan celoteh camar
dan angkuh sobek layar
nelayan penguasa buih pagi?
kehidupan begitu fana
dan rintih ikan ikan kecil
terdampar di trotoar aspal jalanan
jadi azan terakhir
mengetuk ngetuk
pintu langit tak bernama
menembus kabut awan airmata
semoga diterbangkan burung musim ke batas cakrawala
Buchholz-Hamburg, 7 jan 2005
Sepertinya puisi “Blues for Allah” di atas sangat religius. Sepertinya pula dalam puisi ini Saut masih percaya adanya Allah, Tuhan sekalian alam. Nada dalam puisinya penuh luka, yang masih menyoal penderitaan bangsa Aceh. “Kehidupan begitu fana, dan kematian begitu abadi,” menjadi kata-kata sakti untuk menggambarkan bangsa Aceh yang demikian menderita. Setelah menderita akibat masuknya “tentara-tentara asing”, mereka juga dihantam “amarah samudera”. Bangsa Aceh sepertinya tak putus dirundung malang.
Puisi “Blues for Allah” demikian menyayat hati, sebagaimana lagu blues yang sering dinyanyikan orang-orang negro di Amerika sejak 1911, yang penuh ratapan. Meratap sembari berusaha survive dalam hidup yang penuh cobaan, sambil berupaya untuk bangkit, bebas, dan merdeka. Puisi ini menjadi sangat indah justru karena menyuarakan kepedihan.
Saut Situmorang cukup banyak menghasilkan puisi pascagempabumi di Yogyakarta. Di antaranya puisi “27 Mei 2006”, “bapa kami yang ada di sorga”, “aku ingin”, dan “Blues untuk Jogja”. Hal ini bisa dimaklumi karena ia menyaksikan bahkan mengalami sendiri gempa 5,9 skala richter itu. Saut Situmorang bersama Ahmadun Yosi Herfanda, Kurnia Effendi, dan Endo Senggono menjadi editor buku Jogja 5,9 Skala Richter (2006) yang berisi puisi tentang gempa di Yogya karya 100 penyair Indonesia.
Dalam puisi “bapa kami yang ada di sorga”, Saut Situmorang seperti mengucapkan doa berulang-ulang dengan kata-kata yang sama: “di kepalaku ada gempa” (hlm. 161). Doa atau wirid yang diucapkan Saut hanya satu kalimat itu saja, karena dalam keadaan seperti itu biasanya manusia tak bisa berpikir dengan tenang.
1966, 1998
Kesadaran akan sejarah bangsanya juga tampak melekat pada Saut Situmorang sebagai penyair. Dalam dua puisinya berikut, terbaca bahwa peristiwa 30 September 1965 tak bisa dilupakan begitu saja. Segala keruwetan, kabut yang menyelimuti kebenaran peristiwa itu hingga kini masih menjadi topik yang terus diteliti dan dibicarakan. Pembicaraan siapa dalang peristiwa itu, apa dan siapa tokoh-tokoh seperti Sjam Kamaruzzaman, Soeharto, D.N. Aidit, Soekarno, Adam Malik, Sarwo Eddi Wibowo, Letkol Untung, Kolonel Latief, Njono, Subandrio, Oemar Dhani, Sudisman, Ali Murtopo, Yoga Sugama, dan sebagainya terus dibicarakan hingga hari ini.
Peristiwa ini menarik untuk dibicarakan bukan saja lantaran pemainnya adalah tokoh-tokoh penting di negeri ini, melainkan justru yang utama adalah pembunuhan massal yang terjadi pada 1965-1966. Buku John Roosa (2008), Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, merupakan buku terbaru yang memberikan perspektif yang baru sama sekali, yang jauh berbeda dengan buku karya Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh (1989), Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia.
1996
-untuk Jimi Hendrix
di malam aku lahir
bulan merah api
dan hujan turun
langit merah basah
bumi merah basah
orang orang menangis
orang orang marah
dan orang orang ketakutan
di malam aku lahir
anjing anjing setan gentayangan di jalanan
mendobrak rumah rumah
dan membunuh dan membunuh dan membunuh
bulan merah api
malam merah api
rumah rumah dicat merah darah
jalanan merah darah
sungai sungai merah darah
danau danau merah darah
dan mayat mayat rusak terapung
di sungai sungai danau danau merah darah
di bawah hujan merah darah
di malam aku lahir
Saut Situmorang lahir pada 29 Juni 1966. Dan malam-malam sebelum kelahirannya, Indonesia bermandi darah. Puisi “1966” karya Saut Situmorang ini merupakan refleksi atas peristiwa pembantaian terhadap orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) atau orang-orang yang dicap atau diberi stigma sebagai simpatisan PKI yang mencapai angka 1 juta jiwa. Orang-orang PKI yang sebagian besar buruh dan petani itu mati dihabisi oleh militer yang melibatkan warga dan ormas Islam yang berseberangan dengan PKI. Dalam perspektif yang agak berbeda, peristiwa ini juga terekam dengan sangat apik dalam novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma (2007) dan kumpulan cerpen Linda Christanty (2004), Kuda Terbang Maria Pinto.
Sebuah puisinya yang juga menggambarkan peristiwa sejarah yang masih samar adalah “Jakarta, 14 Mei 1998”. Peristiwa ini tidak hanya terjadi di ibukota menjelang Soeharto turun tahta, melainkan juga terjadi di Palembang, Solo, Surabaya, dan Lampung. Namun, kejadian yang terparah terjadi di Jakarta. Kerusuhan sengaja diciptakan, sebagaimana laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Perempuan-perempuan keturunan China banyak yang diperkosa. Penjarahan terjadi di mal-mal yang terbakar. Banyak warga yang mati terpanggang. Namun, tak ada yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Tak ada yang diadili dalam peristiwa itu. Dalam buku Kerusuhan Mei 1998: Fakta, Data, Analisis yang dieditori Raymond R. Simanjorang (2007), pihak yang paling bertanggung jawab adalah aparat keamanan, karena ada sinergis antara tindakan aparat keamanan dengan provokator dan pelaku kerusuhan.
Jakarta, 14 Mei 1998
seorang laki laki
seorang bapak
berdiri tegak
hening
sebuah kaleng kecil di tangannya
seorang perempuan kecil
masih anak anak
terduduk di lantai
airmata di wajahnya
memandangnya
“bapak, berikanlah, bapak”
suara memelas itu begitu lembut
begitu pedih
airmata yang tak henti mengalir
jadi genangan kecil di lantai
bercampur darah
bercampur isak tangis…
seorang laki laki tua
seorang bapak
roboh ke lantai
tanpa suara
di sampingnya di tengah genangan darah airmata
anak perempuan kecilnya
mati menenggak sekaleng racun serangga
anaknya satu satunya
Puisi ini hanyalah salah satu perspektif saja dari peristiwa Mei 1998. Meskipun demikian, rasa perih dan tragis yang timbul saat itu tertangkap dengan jelas dalam puisi ini. Rasa putus asa dan malu dan marah yang bercampur-baur melahirkan keinginan untuk bunuh diri. Cukup banyak sastrawan yang merekam peristiwa menjelang reformasi ini dengan berbagai perspektif. Dapat disebut, misalnya, Veven Sp. Wardhana melalui Panggil Aku: Peng Hwa (2002), Seno Gumira Ajidarma lewat “Clara atawa Wanita yang Diperkosa” dalam buku Iblis Tidak Pernah Mati (1999), Agus Noor melalui “Jerangkong” dalam buku Bapak Presiden yang Terhormat (2000), Sapardi Djoko Damono melalui Ayat-ayat Api (2000), dan puisi-puisi Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, Rendra, Ahmadun Yosi Herfanda, yang terhimpun dalam Horison edisi “Reformasi”. Demikianlah.
Citayam, 21 Desember 2008
*Asep Sambodja, dosen sastra di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia
Sumber: http://boemipoetra.wordpress.com/2010/08/18/saut-situmorang-lahir-seorang-besar-dan-tenggelam-beratus-ribu-3/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar