Nirwan Ahmad Arsuka
kompas.com
Sutan Takdir Alisjahbana menarik karena segugus paham yang diperjuangkannya. Paham-paham tersebut menjadi memikat bukan hanya karena bergetar dalam diri STA, tetapi karena paham-paham tersebut ternyata sungguh punya dasar yang kukuh dan jangkauan yang jauh. Yang paling berharga dari pemikiran STA tampaknya adalah prinsip autopoiesis, penciptaan dan pelampauan diri entitas, yang diterapkan pada skala yang luas. Prinsip inilah agaknya yang tak ditangkap oleh para pengritik STA, termasuk Nirwan Dewanto (dalam pidatonya yang diliput banyak media besar di Kongres Kebudayaan 1991).
20 tahun yang silam Ignas Kleden dalam esai bertajuk ”S.T. Alisjahbana: Sebuah Perhitungan Budaya” telah menyatakan, ”Meringkaskan pribadi, pemikiran dan kegiatan S.T. Alisjahbana dalam beberapa halaman esei merupakan suatu proyek yang mustahil.” Meski demikian, pengantar Ignas untuk perkenalan dengan pemikiran STA itu cukup bagus meringkas paham-paham STA, merumuskan dengan tajam pendirian dan keyakinan filosofisnya. Dalam rumusan Ignas, ”dulu maupun sekarang S.T. Alisjahbana mempertahankan dan tetap hidup dari pendirian dan keyakinan filosofis yang sama: dalam pandangan dunia; idealistis (dalam artian Phaenomenologie des Geistes-nya Hegel), dalam pandangan sejarahnya telelologis (sejarah bergerak menuju ke sesuatu yang pasti), dalam etiknya: normatif, dalam paham keseniannya: heteronom (seni bukanlah dunia yang otonom melainkan tergantung pada tujuan pengabdiannya).”
Lebih jauh lagi, bagi Ignas, ”S.T. Alisjahbana bukannya menarik karena paham-pahamnya, melainkan sebaliknya: paham-paham tersebut menjadi menarik karena bergetar dalam dirinya.” Dikatakan secara lebih gamblang: STA adalah pribadi yang sungguh memikat (sebuah dialektika in personae—IK), tapi paham-pahamnya sendiri mungkin tidak.
Bagi sejumlah pihak, paham-paham STA itu bukan cuma tak menarik; paham-paham, setidaknya sebagian dari paham itu, jelas salah. Antara lain karena itulah maka berkobar polemik penting yang gemanya melintasi sekian dasawarsa, serangkaian perdebatan yang, dalam kalimat Goenawan Mohamad, paling bermutu dalam riwayat pengemukaan ide-ide selama ini. Polemik Kebudayaan itu, kita tahu, bermula dari tulisan STA yang berkepala ”Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru: Indonesia—Prae-Indonesia”. Tulisan itu adalah bagian dari upaya gigih STA menawarkan arah pada pergerakan kebangsaan ketika pergerakan itu berkubang di titik terendahnya di lapangan politik: sejumlah pemimpin pergerakan politik baru saja keluar dari penjara, dan yang lainnya masih dalam pembuangan. Hindia Belanda saat itu dihajar kelesuan ekonomi dan kemerosotan sosial, sementara cengkeraman sistem otoritarianisme kolonial kian mengetat.
Di balik polemik yang dicetuskan STA, bertarung sejumlah gambaran dunia yang berisi kesadaran tentang waktu dan sejarah, tentang rasionalitas dan kausalitas, tentang obyektivitas dan kemajuan, tentang perubahan dalam masyarakat yang bergerak menurut satu gugus hukum tertentu. Gambaran dunia, atau meminjam frasa Bung Karno, ”susunan dunia dan riwayat” itu berpengaruh dalam melihat bagaimana masyarakat dan sejarah berevolusi, bagaimana masa depan bisa ikut dibentuk.
Sumber energi
Dalam polemik yang berlangsung sporadis dari Agustus 1935 hingga Juni 1939 itu, STA adalah latu eksplosif yang mengobarkan debat, tapi tampaknya adalah Dr M Amir yang paling bagus memberi bingkai polemik tersebut. Berbekal telaah etimologi, sosiologi, dan biologi, Dr M Amir berupaya mengarahkan perdebatan agar pengetahuan baru tentang ”susunan dunia dan riwayat” itu dapat bekerja secara baik dalam kenyataan Hindia Belanda, dalam kerangka waktu melalui tahap-tahap yang bisa dijangkau. Lewat biologi terutama, ia menunjukkan bagaimana perkembangan dan kemajuan menjadi bagian dari kenyataan empiris. Dengan itu semua, dengan penandasan bahwa semboyan yang tegas saja tak cukup, Dr M Amir memberi bobot realisme pada idealisme STA yang mengembang melambung, yang memang bisa tampak agak lupa daratan itu.
Pandangan dunia yang idealistis dan pandangan sejarah yang telelologis adalah dua hal yang tak terpisahkan. Pegangan filosofis ini punya pertautan bahkan kesejajaran dengan pandangan mutakhir dalam ilmu pengetahuan modern yang melihat bahwa alam semesta yang bermula dari singularitas atau kehampaan ini adalah proses mahabesar yang bergerak menuju kompleksitas yang kian tinggi, secara fungsional dan struktural: suatu pencanggihan kombinasi diferensiasi dan integrasi pada dimensi skala, spasial, dan temporal. Dialektika fundamental antara fungsi dan struktur melahirkan apa yang oleh pakar biologi berkebangsaan Chile, Humberto Maturana dan Francisco Varela, disebut sebagai autopoiesis. Autopoiesis, swacipta, adalah konsep yang sangat teknis, dengan banyak unsur deskriptif dan abstrak, tetapi bisa dipinjam untuk mempertegas semangat Takdirian yang menautkan masa depan entitas dan tindakan subyek, pengolahan informasi, dan pelampauan diri. Secara sederhana, sistem autopoiesis adalah sistem hidup yang sanggup menciptakan dan membentuk dirinya sendiri, asalkan syarat-syaratnya terpenuhi. Ia bisa berupa sebuah otomata, sepotong bakteri, sebuah bahasa, sebuah peradaban atau alam semesta.
Seperti sebuah sistem hidup yang mungkin tumbuh berkembang melampaui dirinya jika ia bisa memperoleh sumber energi dan informasi yang memadai, STA secara intuitif melihat ”Indonesia Raya” seperti entitas autopoietika yang dapat berkembang dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain jika ia bergerak menyerap sumber energi dan informasi dari luar: rasionalisme dan modernitas yang kebetulan tumbuh subur di Barat. STA menandaskan dengan semboyan yang tegas, semboyan positif yang gembira berapi-api: Otak Indonesia harus diasah menyamai otak Barat! Individu harus dihidupkan sehidup-hidupnya! Keinsyafan akan kepentingan diri harus disadarkan sesadar-sadarnya! Bangsa Indonesia harus dianjurkan mengumpulkan harta dunia sebanyak mungkin! Ke segala jurusan bangsa Indonesia harus berkembang!
Bagi STA, upaya penyerapan energi dan informasi yang berbentuk rasionalisme dan modernitas itu sangat bergantung pada kerja dunia pendidikan yang adalah juga kerja pembangunan bangsa. Meski demikian, tak terlalu banyak yang bisa disumbangkan STA dalam rekayasa dunia pendidikan Indonesia, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi. Pemerintah Kolonial Belanda jelas tak tertarik untuk memberi akses selebar mungkin kepada rakyat jajahan buat memasuki pendidikan modern. Sementara itu, tokoh-tokoh pendidikan nasional, beberapa di antaranya menjadi lawan debat STA dalam Polemik Kebudayaan, tak juga melihat pentingnya mereguk sebanyak mungkin khazanah Barat. Setelah merdeka, STA tak berada di pusat kekuasaan yang memungkinkannya menyusun kebijakan pendidikan berskala nasional. Andaikan ia diberi kesempatan menata pendidikan Indonesia seperti yang diharapkannya, akan susut kemungkinan negeri ini menjalani apa yang oleh Anne Booth disebut dengan murung, sejarah peluang terbuang, a history of missed opportunities.
Puisi dan prosa
Jika STA tak memperoleh ruang memadai untuk menentukan desain pendidikan Indonesia, ia beruntung mendapat ruang lapang untuk merencanakan desain bahasa Indonesia. Telaah atas sumbangan STA terhadap bahasa Indonesia sudah banyak dilakukan. Ignas Kleden meringkas kriteria normatif untuk sebuah bahasa modern yang diperjuangkan STA yang ia paparkan dalam buku, Indonesian Language and Literature: Two Essays. Pertama, suatu bahasa dinamakan modern kalau dalam dirinya tecermin apa yang dinamakan prinsip aktivitas yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang sanggup mengubah diri dan lingkungan hidupnya. Prinsip yang jelas mengandung semangat autopoietik ini saling topang dengan tiga prinsip yang lain, yakni abstraksi dan pemikiran rasional; kelugasan; dan egalitarianisme.
Dengan empat prinsip normatif itu, STA meletakkan dasar tata bahasa bahasa Indonesia yang memungkinkan bahasa ini jadi sistem autopoiesis di mana transportasi gagasan berlangsung sangat bagus. Dalam bahasa yang diatur dengan empat prinsip itu, gagasan akan mudah diproduksi dan bergerak membentuk kenyataan-kenyataan baru. Sirkulasi informasi menjadi optimal karena hambatan vertikal berupa hierarki dan hambatan horizontal berupa ketidaklugasan dikikis habis. Prinsip abstraksi memungkinkan terjadinya manipulasi simbolik secara kreatif, dan prinsip aktivitas memperlicin proses produksi gagasan dan pertanggungjawaban serta pengujian gagasan-gagasan itu. Tak aneh jika bahasa Indonesia, yang dikukuhkan oleh tekad politik dan ditumbuhkan dengan desain linguistik, disebut sebagai ciptaan dunia bahasa terpenting di abad ke-20.
Bahwa bahasa Indonesia belum berhasil mencapai tataran yang dicita-citakan STA, itu sama sekali tidak menunjukkan kekeliruan STA dan linguistik normatifnya; hal itu hanya antara lain menunjukkan betapa masih kuatnya watak feodalistik dan unsur-unsur nonmodernitas dalam masyarakat, hal-hal yang memang ingin disapu oleh kaum modernis, seperti STA dan terutama rasionalis par excellence Tan Malaka. Hal itu juga menandaskan bahwa bahasa yang pernah menggetarkan dunia linguistik ini, dengan kesanggupannya mempersatukan kelompok suku bangsa yang tersebar di lebih dari 13.000 pulau, itu masih perlu dikembangkan terus. Andaikan sebagian besar buku penting dunia diterjemahkan secara sistematis ke dalam bahasa Indonesia seperti yang diserukan STA, kita bisa bayangkan apa yang terjadi dalam entitas autopoietik bahasa Indonesia: gagasan-gagasan cemerlang beredar dengan dengan baik dan kenyataan-kenyataan baru terbentuk lebih subur. Sebuah ”Zaman Poros Sejarah” (die Achsenzeit) yang mempertemukan dan mempertautkan gagasan dari seluruh penjuru, akan tergelar meriah dalam sebuah bahasa nasional yang dihidupkan oleh sebuah puisi bernama Sumpah Pemuda dan dikembangkan oleh sebuah prosa berupa tata bahasa normatif.
Pandangan STA yang menautkan sastra dengan kenyataan sosial politik, dengan tanggung jawab pembentukan dunia baru, bukanlah pandangan yang ganjil. Kaum Kajian Budaya, para seniman kontemporer yang mengusung seni terlibat, sampai batas tertentu juga berbagi pandangan yang mirip dengan STA. Namun, jika sebuah tata bahasa modern memang lebih mudah direkayasa bersama, tak demikian halnya dengan sebuah sastra yang dibayangkan bisa sejalan dengan cita-cita besar membangun masyarakat. Penciptaan karya sastra adalah penciptaan dunia, dunia tandingan; sebuah autopoiesis tersendiri; sebuah dunia yang tak cuma menghadirkan hal-hal normatif yang langsung berguna bagi manusia. Ciptaan sastra memang punya hukum-hukumnya sendiri.
STA sampai batas tertentu sadar akan adanya hukum yang bekerja dalam penciptaan seni, yang tak bisa didikte begitu saja. Namun, STA bisa mengabaikan hukum itu karena ia tak sabar ingin melihat hadirnya karya sastra besar yang tidak hanya bisa menandingi dunia, tetapi juga membentuk dunia. Pandangan yang melihat bahwa dunia secara potensial bisa terseret meniru sastra memang akan cenderung menganggap ganjil paham seni untuk seni; pemutlakan paham ini dapat membuat seni tampak mengingkari potensi besarnya sendiri. Yang ajaib adalah bahwa sastra, atau seni pada umumnya, mungkin mencapai potensi terbesarnya jika ia antara lain mendapat ruang cukup untuk mengeksplorasi sejauh mungkin mediumnya sendiri, hal yang bisa terlihat sebagai pengamalan paham seni untuk seni.
Skala luas
Kenyataan akbar bahwa alam semesta dan seisinya ini terbuka bagi pemahaman nalar telah memberi manusia kekuatan yang sangat besar untuk mengubah dunia. Dan dunia memang berubah secara revolusioner dengan sejumlah akibat yang tak teramalkan sebelumnya. Gerak sebar rasionalisme dan modernitas yang belum merata di planet Bumi dan pukulan balik dari kekuatan-kekuatan pramodern yang dibentuk oleh berbagai ketakutan yang tak sepenuhnya rasional, membuat dunia membutuhkan sejenis etika baru agar dunia mutakhir ini tak terperosok menghancurkan dirinya sendiri. Upaya STA mencari etika baru itu membuatnya bergabung dengan para cendekiawan seperti Soedjatmoko, Hans Kung, Johan Galtung, atau John Rawls, meski dengan besaran kontribusi yang berbeda. Etika baru adalah inti dari antropologi baru, yang bagi STA merupakan sintesis nilai dan ilmu-ilmu positif. STA berupaya merumuskan hal itu dalam buku yang ia anggap karyanya yang terpenting dan terbit di Malaysia pada 1966, Values as Integrating Forces Personality, Society, and Culture.
Yang paling berharga dari pemikiran STA tampaknya adalah prinsip autopoiesis, penciptaan dan pelampauan diri entitas, yang diterapkan pada skala yang luas. Prinsip inilah agaknya yang tak ditangkap oleh para pengritik STA, termasuk Nirwan Dewanto. Dalam pidatonya yang diliput banyak media besar di Kongres Kebudayaan 1991 itu, Nirwan Dewanto memang menyebutkan bahwa setiap orang secara potensial adalah pencipta kebudayaan. Ini adalah prinsip autopoiesis dalam tataran individu. Namun, terpengaruh oleh pandangan kaum postmodernis dekonstruksionis yang membuatnya tak bisa secara kritis membedakan antara modernitas, rasionalisme, dan rezim Orde Baru yang otoriter, Nirwan Dewanto, seperti sejumlah cendekia pada tahun-tahun itu, tak melihat kemungkinan berlakunya kerja autopoiesis pada skala yang lebih luas, yakni skala negara. Itu sebabnya ia menolak adanya kebijakan kebudayaan yang berlaku nasional, sebuah hal yang jelas dianjurkan oleh STA.
Sejumlah pemikiran STA memang patut disanggah, tetapi itu tak berarti bahwa pemikirannya yang lain dengan sendirinya rontok, sebagaimana gagasan kuno Isaac Newton yang suntuk menggarap takhayul alkemi tak membuat sumbangan dia berupa Teori Gravitasi dan Kalkulus menjadi kehilangan nilai. Berbeda dari kesimpulan Ignas yang sudah dikutip di depan, kini kita agaknya bisa berkata bahwa STA menarik memang karena segugus paham yang diperjuangkannya, dan paham-paham tersebut menjadi memikat bukan hanya karena bergetar dalam diri STA, tetapi karena paham-paham tersebut ternyata sungguh punya dasar yang kukuh dan jangkauan yang jauh. Pengetahuan tentang kompleksitas dan autopoiesis memang tak kita temukan dalam naskah STA; yang kita temukan adalah semangat yang senapas dengan kompleksitas dan autopoiesis itu, semangat yang tumbuh dari akal budi kritis yang dituntun oleh penghormatan pada kenyataan empiris dan kebermaknaan tindakan manusia yang menakdirkan takdirnya sendiri.
Pada usia senjanya STA yang kabarnya lebih suka disebut sebagai pejuang kebudayaan dan merasa tertinggal sebagai sastrawan itu dicatat pernah berkata, ”Semboyan satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa mungkin sudah terlampau kecil. Perlu diganti dengan satu bumi, satu umat manusia, satu nasib, satu masa depan.” Di kesempatan lain ia berkata, ”Sekarang ini semua kebudayaan dunia adalah kebudayaan saya.” Pernyataan-pernyataan STA ini meletakkannya di jalur yang sungguh akan bersemangat menerima pengertian yang lebih luas dan radikal akan ”susunan dunia dan riwayat”, akan tatanan semesta dan sejarah yang memang membuka diri bagi nalar manusia karena manusia dan nalarnya adalah bagian tidak terpisahkan dari proses besar autopoiesis semesta.
Nirwan Ahmad Arsuka Budayawan
[Esai ini pengantar diskusi Peringatan 100 Tahun Sutan Takdir Alisjahbana, 25 Maret 2008, Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta]
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar