Jumat, 04 Februari 2011

PEREMPUAN, TEMBOK TRADISI, SEKS DAN KONTROL SOSIAL

Deni Andriana
http://pawonsastra.blogspot.com/

Saya memang bukan perempuan, tapi saya juga tahu siapa itu perempuan. Perempuan menurut saya adalah jenis atau spesies manusia yang mempunyai payudara yang berukuran lebih besar daripada yang di miliki laki-laki pada umumnya (walaupun ada juga perempuan yang mempunyai sedikit problem dengan payudaranya), selain itu yang saya tahu perempuan adalah yang bisa mengandung dan melahirkan anak, perempuan adalah yang memiliki sisi sensitifitas diatas laki-laki dan selebihnya saya tidak banyak lagi tahu tentang perempuan selain sisi-sisi seksualitasnya tersebut. Semua hal yang saya kemukakan adalah murni hasil pantauan dan pengalaman saya, dimana ciri-ciri itu dengan jelas bisa saya dapatkan pada Ibu yang telah melahirkan saya kedunia ini.

Perempuan dalam kacamata Kebudayaan

Pertentangan terhadap perempuan melintasi semua perlawanan yang mengatur kebudayaan. Adalah pertentangan klasik; adalah dualis dan hierarkis. Laki-laki/perempuan dengan sendirinya berarti besar/kecil, superior/inferior…. Berarti tinggi atau rendah, Alam / sejarah, Transformasi / inersia. (Helena Cixous / Hidup Matinya Sang Pengarang/Yayasan Obor)

Kebudayaan adalah sebuah sistem, dimana sistem itu terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Kebudayaan itu sendiri menurut pengertian antropologi dan sosiologi adalah berkaitan erat dengan adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam kumpulan masyarakat, dan inilah yang saya maksud kebudayaan.

Apa yang di atur dalam kebudayaan? Sebuah norma, sebuah aturan sebuah batasan, sebuah kewajaran yang berarti sebuah hukum yang mengikat masyarakat didalamnya. Apa yang menjadi permasalahan? Orang sering lupa, bahwa kebudayaan itu sendiri adalah hanya sebuah sistem, hanya benda mati yang tidak akan bisa menuntut apapun, dan kebudayaan itu sendiri hanyalah sebuah hasil cipta dari manusia, namun yang terjadi manusianya sendiri sering terjebak oleh sistem yang dibuatnya sendiri. Kebudayaan menjadi Tuhan, kebudayaan menjadi tombak peringatan yang ditakuti untuk dilanggar, di upayakan untuk tidak dinodai, walaupun ketentuan yang ada didalamnya bertentangan dengan kesadaran manusia budayanya itu sendiri. Rasionalitas menjadi mati kerena aturan.

Kebudayaan yang kebanyakan ada ditengah lingkungan kita pada umumnya adalah hasil kreasi nenek moyang terdahulu kita dengan jaman dan lingkungannya tersendiri, dimana setiap permasalahan yang ada dirumuskan dan di sesuaikan dengan sisi–sisi nilai dan mampaat yang ada pada jamannya. Dan permasalahannya ketika kebudayaan hasil turunan itu tetap dipakai di jaman yang berbeda, dengan nuansa alam yang juga berubah, pertanyaannya adalah apakah kebudayaan itu masih cocok untuk diikuti? Apakah Masih pantas untuk di jalankan?

Norma sosial yang menghasilkan sanksi sosial adalah sebuah batasan ketika budaya itu dilanggar. Orang yang telah mengenal pengetahuan modern diluar kebudayaan tentunya akan berpikir ulang untuk tetap terlibat dalam kebudayaan asalnya, kalau pun ada hal yang di luar rasioanalitasnya, mungkin dia akan menganggap bahwa kebudayaan yang ada itu sudah tidak wajar lagi. Tapi apa yang terjadi ketika masyarakat dan katakanlah keluarganya masih terpaku dengan kebudayaan yang dimaksud, pastinya orang tersebut akan mendapatkan sanksi sosial di masyarakatnya. Sekali lagi sistemlah yang menang dalam hal ini.

Begitu pula halnya dengan perempuan, dimana perempuan itu sendiri lahir dari sebuah kebudayaan, siapa yang menyangka kalau ada perbedaan antara siapa itu perempuan dan siapa itu laki-laki, semuanya sudah diatur oleh pendahulu kita lewat sistem budaya dan peristilahan pada jamannya, dan kita mau tidak mau harus mengikuti aturan yang telah ada dan mengakar tersebut dijaman kita sendiri.

Perempuan sebagaimana produk kebudayaan yang lainnya adalah sebuah bentuk kaku yang terikat dengan norma. Dimana kita tahu banyak aturan yang mengungkung nilai-nilai kebebasan perempuan. Perempuan tidak boleh keluar malam, perempuan tidak mesti sekolah tinggi karena akhirnya harus mempersiapkan diri menjadi seorang isteri yang baik bagi suami dan anak-anaknya, perempuan harus pandai bersolek. Itu yang terjadi, dan itu masih terjadi walaupun dewasa ini kita tahu bahwa dari kaum perempuannya sendiri banyak yang mulai menancapkan taringnya, banyak perempuan yang belajar dan beranjak mandiri dengan semangat perjuangannya, dan bahkan banyak pula perempuan yang mulai menggantikan posisi dan peran laki-laki baik di jenjang kepemimpinan maupun di dalam soal rumah tangga, nilai feminisme menjadi platform yang semakin dikibarkan.

Dari semua perkembangan di dalam pola hidup dan keberanian mengambil sikap dari perempuan yang terjadi dewasa ini, pada dasar dan hakekatnya ternyata masih jauh dari taraf yang diatas minimum, karena satu perempuan tidak akan bisa untuk mewakili jutaan bahkan milyaran perempuan yang lainnya. Kita lihat memang bayak perempuan yang maju seperti yang dicontohkan diatas, tapi lihat dan amati juga berapa banyak perempuan yang masih terbelenggu dengan aturan adatnya, berapa banyak perempuan yang masih termakan oleh sistem budaya nenek moyangnya sendiri. Dan ironisnya untuk perempuan yang katakanlah maju pun masih banyak yang malah kembali layu, satu langkah kaki tidak akan cukup untuk menempuh ribuah kilomenter jaman.

Kapitalisme Terhadap Perempuan

Kasus yang menyatakan bahwa banyaknya kaum perempuan yang menjadi korban dari perubahan dan sistem masyarakat semakin marak, kasus- kasus pemerkosaan, kekerasan terhadap TKI (Tenaga Kerja Indonesia) perempuan (TKW), kemunculan skandal vcd porno yang menjadikan perempuan sebagai objek utamanya, penangkapan sejumlah WTS (wanita tuna susila) mengindikasikan bagaimana perempuan dewasa ini telah menjadi komoditi pasar yang memang sangat laris untuk di perdagangkan, bukan hanya dari sisi seksualitasnya namun kita lihat banyaknya pemampaatan tenaga kerja wanita yang berbondong-bondong menjadi buruh di luar negeri yang notabene telah menjadikan sebuah kantong devisa yang besar bagi Negara, perempuan dieksploitasi, diekspor dengan iming-iming peningkatan taraf hidup tanpa adanya perlindungan hukum yang layak dan bertanggung jawab dari pemerintahnya sendiri.

Selain itu kita lihat juga bagaimana kapitalisme media masa dan produk-produk perusahaan yang kebanyakan telah menjadikan perempuan sebagai sebuah magnet untuk menarik masa. Iklan-iklan berbagai produk, baik yang berhubungan dengan perempuannya itu sendiri seperti samphoo, sabun mandi, alat kecantikan dan iklan dari sebuah produk yang sebenarnya tidak ada hubungannya langsung dengan perempuan, tetap memakai tubuh dan jasa dari nilai seni perempuan sebagai nilai jual dari sang produk yang bersangkutan, seperti pada iklan rokok, kendaraan, dan juga kebanyakan barang-barang yang memang di jual hanya untuk lelaki. Contoh lain kita dapatkan dari pemampaatan perempuan lewat aksi dan gambar berbau pornografi di koran-koran kuning dan televisi yang memang memposisikan perempuan sepenuhnya sebagai objek dari kepuasan sekelompok komunitas, kaum lelaki dalam hal ini. Dari kesemua contoh itu, sekali lagi perempuan telah ditempatkan sebagai korban dari sebuah sistem yang kaku dimana sistem tersebut telah memposisikan kaum perempuan hanya disatu sisi bisnis semata (kapitalisme terhadap perempuan), tanpa memperhatikan hak dan perlindungan terhadap kaum perempuannya sendiri, dimana negera ini yang seharusnya mempunyai sikap terhadap semakin liarnya pemampaatan terhadap perempuan memang tidak memiliki aturan hukum yang tegas baik dari tatanan maupun tindakannya.

Peranan Sebuah Kontrol

Satu moment dimana perempuan menyadari letak dan posisinya, yang juga mempunyai hak penuh di dalam menentukan segara arah dan tindakannya dan berusaha untuk melepaskan diri dari semua sitem kaku yang selama ini telah membelenggunya, seperti adat dan budaya yang kebanyakan menempatkan perempuan pada sub tekecil di bawah sub-sub lainnya, serta juga melepaskan diri dari sistem yang berkembang diluar kebudayaannya sendiri yang dinilai tidak bisa menghargai eksistensi dari perempuan seperti kapitalisme dan globalisasi.

Maka lahirlah, perempuan-perempuan dewasa, dalam artian dewasa secara pemikiran dan tindakan. Banyak perempuan yang melakukan hal yang sebelumnya tabu untuk dilakukan, seperti sekolah sampai jenjang tinggi, berkarya dalam seni seperti musik, sastra, lukisan dan banyak lagi seperti di paparkan diawal tulisan ini. Yang pasti perempuan dengan semangat emansipasi dan feminismenya ingin menempatkan diri secara sejajar dengan kaum lelaki, tidak ada garis pembatas yang tegas antara feminisme dan maskulinitas.

Semua hal yang berkaitan dengan pola hidup dan kebebasan berkreasi secara penuh diberikan dari mulai lingkungan keluarga, tidak ada batasan seperti halnya hukum adat yang kaku. Orang tua yang sadar akan kemajuan itu menjadi guru pertama bagi peningkatan kualitas hidup anak perempuannya, dan disinilah muncul peran orang atau untuk memberikan ajarannya tentang kemandirian dan kebebasan terhadap anak perempuannya. Kebudayaan baru diciptakan oleh sang orang tua bersama anaknya dengan melandaskan pada niali-nilai terbaik, di sesuaikan pula pada kondisi ruang dan waktu dimana mereka berada.

Namun yang menjadi permasalahan adalah, ketika nilai-nilai kemandirian dan kebebasan seperti di kemukakan diatas lepas dari koridornya, yang pasti pada dasarnya tidak ada suatu hal apapun yang bisa bebas sepenuhnya dari yang namanya norma dan hukum adat kebudayaan asalnya. Kita sering mendapatkan orang tua yang melepaskan kontrol terhadap anak perempuannya yang relatif masih dibawah umur, katakanlah ABG. Orang tua membiarkan anak perempuannya pulang larut malam tanpa adanya rasa ingin tahu, banyak orang tua yang tidak peduli seminimal mungkin pun tentang pergaulan anak perempuannya itu diluar, pendidikannya, teman-teman pergaulannya. Kebebasan dan peran orang tua terkadang melupakan bahwa perempuan memiliki eksklusifitas yang perlu dijaga, yaitu kehormatan yang sebenarnya menjadi nilai lebih bagi perempuan di banding laki-laki.

Dampak dari lemahnya kontol orang tua dalam mengawasi gerak dan aktivitas anak perempuannya sangat berperan besar dalam menjerumuskan si perempuannya sendiri kedalam sisi dimana kembali harga perempuan hanya sebatas keperawanan. Pergaulan bebas dengan motif seks, narkotika dan dunia hiburan malam menjadi areal dan alat yang paling sensisif untuk disentuh perempuan yang notabene memiliki daya pertahanan yang relatif lebih rendah dari pada kaum laki-laki.

Tidak heran kalau banyak pakar menyatakan bahwa untuk kategori AIDS saja, paling banyak berasal dari kaum perempuan, terutama yang di akibatkan oleh seks bebas. Kenapa? Hal ini bisa di wajarkan, karena dalam kasus seks bebas kebanyakan, perlindungan seperti alat kontrasepsi pada umumnya di pakai dan memang diperuntukan untuk laki-laki. Sekali lagi budaya yang kaku mengalahkan perempauan dalam hal teknologi, dimana alat-alat kontrasepsi yang kebanyakan beredar di pasaran memang kebanyakan diperuntukan untuk laki-laki, walaupun memang dewasa ini telah dikembangkan alat-alat kontrasepsi untuk wanita, namun kerena pendidikan seks yang rendah dan kurangnya perhatian orang tua di dalam manjaga perkembangan anak perempuannya, menyebabkan perempuan identik dengan korban paling dirugikan dari perilaku seks bebas tanpa perlindungan.

Peran terbesar orang tua memang sangat dituntut dalam hal ini, khususnya untuk membentuk mentalitas dan kualitas dari perempuan per-generasinya. Keterbukaan akan informasi dan perkembangan jaman memang sangat dituntut untuk mengikuti setiap perubahan yang muncul, penyesuaian diri, dan orang tua sebagai guru pertama yang mengajari anaknya jauh sebelum guru di TK dan sekolah dasar, harus lebih menjaga perkembangan anaknya, khususnya anak perempuan yang seperti di kemukakan diatas memang sangat rawan dari serangan berbagai aspek. Pendidikan seks dengan batas yang wajar dan disesuaikan dengan kondisi serta umur si anak, sangat dibutukan untuk menjaga perkembangannya kelak, orang tua harus lebih cepat sebelum si anak belajar sendiri dari lingkungan luarnya.

Kontrol orang tua disini tidak hanya terpaku pada pendidikan semisal seks, narkoba dan sejenisnya. Pemahaman tentang kebudayaan dan implementasinya pun sangat diperlukan untuk membentuk karakter si anak (baca: anak perempuan) sehingga untuk kedepannya si anak mampu untuk memilih dan memilah mana yang terbaik bagi dirinya berdasarkan rasionalitasnya sendiri, tanpa dibatasi oleh aturan-aturan yang kaku dan ancaman sanksi sosial yang tidak jelas yang malah akan membatasi pengetahuan si anak perempuannya sendiri.

Dengan itu, diharapkan akan terciptanya perempuan-perempuan dimasa yang akan datang, dengan bukan hanya menggembar-gemborkan emansipasi dan hak wanita, akan tetapi yang lahir adalah perempuan yang tahu bagaimana dan dengan cara apa dia harus bergerak dan bertindak, serta perempuan-perempuan yang memiliki pola pikir yang jauh kedepan dengan senantiasa menjaga kebaikan dirinya dan juga lingkungan sekitarnya.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati