Senin, 08 November 2010

Wawancara Paramoedya Ananta Toer: “Yang Tidak Setuju, Ya minggir Saja”

Mustafa Ismail, Arif Zulkifli, Hermien Y. Kleden, Mardiyah Chamim
http://majalah.tempointeraktif.com/04 Mei 1999

SEBELUM berangkat, Pram bersedia menerima Mustafa Ismail, Arif Zulkifli, Hermien Y. Kleden, Mardiyah Chamim, dan fotografer Robin Ong dari TEMPO hingga beberapa kali. Sembari mengenakan kaus putih dan kain sarung, Pram, ketika menjawab pertanyaan TEMPO, sesekali suaranya meninggi dan keras tatkala menjawab pertanyaan agak sensitif.

Lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 sebagai anak sulung dari sembilan bersaudara, Pram mengaku ayahnya seorang nasionalis yang pernah dipenjara Belanda. Sejak SD, “Saya banyak membaca karena orang tua saya mempunyai perpustakaan yang cukup besar untuk ukuran kota kecil,” tutur Pram.

Pram mulai membaca koran dalam bahasa Belanda, Melayu, dan Jawa sejak usia delapan tahun, sehingga ketertarikannya pada sejarah dan politik tampaknya dimulai pada usia yang sangat dini. Pendidikan formalnya hanya berakhir hingga SMP, tetapi minatnya untuk mendalami ilmu pengetahuan dan politik tetap intens.

Pada awal 1960-an, Pram dikenal sebagai salah satu tokoh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi yang berafiliasi kepada PKI (Partai Komunis Indonesia).

Kegiatan Pram di Lekra dan wewenangnya sebagai staf redaksi Lentera, lembaran budaya harian Bintang Timur, belakangan membuat ia terlibat dalam polemik terkenal, yang hingga kini tampaknya masih menyimpan rasa tak nyaman pada beberapa sastrawan yang berseberangan dengan dia.

Ini disebabkan perbedaan konsep berkesenian di antara kedua kubu itu: kubu pertama, Pram dengan Lekra-nya. Kubu kedua adalah pencetus Manifes Kebudayaan. Perbedaan kedua kubu itu kemudian dirangkum dalam sebuah buku yang komprehensif berjudul Prahara Budaya yang disusun oleh Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto.

Terakhir, pada 1965, PKI tumbang. Orang-orang yang bersimpati dan berafiliasi dengan partai itu pun “diangkat”. Ada yang dibunuh, tidak sedikit pula yang dipenjarakan. Salah seorang yang dipenjarakan itu adalah Pram, yang sampai dibawa ke Pulau Buru. Tanggal 13 Oktober 1965, Pram ditangkap di rumahnya—kini disita—di kawasan Rawamangun dan ia mengaku dianiaya hingga pendengarannya terganggu.

Di Pulau Buru, hidupnya selama belasan tahun tidak mematikan semangatnya untuk menulis. Beberapa karyanya—tetralogi pulau Buru, dimulai dari Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa, dan berakhir dengan Rumah Kaca–berhasil diselundupkan ke luar dan diterbitkan.

Pada 1979 ia dibebaskan, meski melalui berbagai rintangan. Ia tetap rajin menulis, dengan tulisan tangan atau dengan sebuah mesin tik tua, karena, “Saya tidak bisa mengikuti irama teknologi,” katanya ketika ditanya mengapa tidak menggunakan komputer. Dengan kacamata setebal plus empat setengah, ditemani 32 batang rokok sehari, Pram mengisi hari-harinya dengan membaca koran serta mendokumentasikannya dengan rapi di perpustakaannya yang mengagumkan dan terpelihara.

Berikut adalah petikan wawancara Pram dengan TEMPO beberapa hari sebelum keberangkatannya ke AS:

Waktu di Pulau Buru, apakah pernah terpikirkan bahwa Anda akan seperti ini, diundang ke mana-mana?

Tak pernah membayangkan. Menulis, bagi saya, adalah tugas pribadi dan tugas nasional. Setelah saya menyelesaikan tugas, ya sudah, saya tak pernah memikirkannya atau membaca ulang tulisan saya sendiri.

Anda kan banyak menulis roman sejarah, termasuk saat di Pulau Buru, bagaimana mengorganisasikan data itu?

Penulisan tetralogi itu punya sejarah panjang. Setelah saya menerbitkan Hoakiau di Indonesia, saya diculik dan ditahan. Pulang dari tahanan ini, saya diminta mengajar di Universitas Res Publica (sekarang Universitas Trisakti). Bagaimana saya mengajar di perguruan tinggi? SMP saja saya tidak tamat. Jadi saya mengajar dengan cara saya sendiri. Setiap mahasiswa yang saya beri kuliah, saya wajibkan mempelajari koran selama satu tahun, lalu mereka membuat naskah kerja. Saya mengajar mulai 1962 sampai 1965. Kalikan saja, tiga puluh naskah dari 30 mahasiswa. Itu sekian tahun yang saya pelajari, saya mendapat petunjuk, sumber-sumber historis. Dari sanalah saya mempunyai bahan-bahan sejarah.

Tapi waktu Anda dibawa ke Pulau Buru, bahan-bahan itu kan ditinggal?

Kalau ada sesuatu yang sangat menarik, saya tidak lupa.

Apa betul untuk mengingat kembali setting sejarah dan mengembalikan ingatan, Anda selalu menceritakan berulang-ulang kepada teman-teman di Pulau Buru?

Ceritanya, sebelum diberikan izin menulis, sekitar sebelum pemilu tahun 1971, kami—sekitar 12 orang—dikucilkan dan tak boleh bergaul di antara satu dengan yang lain. Saya bercerita kepada mereka setiap saat apel. Akhirnya cerita itu menyebar ke seluruh kamp konsentrasi yang tak kecil itu. Luas Pulau Buru itu satu setengah kali Pulau Bali sementara kamp konsentrasi itu luasnya sepertiga dari Pulau Buru. Pada 1973 saya baru dibebaskan dari pengucilan.

Apakah Anda dikenal oleh kawan-kawan itu sebagai pencerita?

Oh, tidak. Praktis tidak begitu. Saya menulis saja. Tetapi waktu itu keadaan sedang genting karena ada 11 tahanan politik dibunuh. Karena keadaan yang mencekam itu, saya bercerita untuk mengendurkan ketegangan dan juga untuk menunjukkan: lihat Nyai Ontosoroh, dia perempuan, seorang diri melawan kekuasaan kolonial. Kalian lelaki, masa musibah begitu saja bisa turun morilnya. Dan ternyata berhasil.

Apa betul pembebasan Anda pada 1979 ada campur tangan pihak asing?

Betul. Sebelum meninggalkan Buru kami harus menandatangani surat pernyataan bahwa kami diperlakukan dengan baik. Sebagai tahanan politik yang tak punya hak, ya kami tanda tangani saja. Ternyata, di utara Selat Madura, sekitar 30 orang diturunkan dari kapal. Sementara itu, kapalnya langsung berangkat ke Jakarta. Rencananya, sebetulnya, kami mau disembunyikan di Pulau Nusakambangan. Tapi, sejak di Pulau Buru, tampaknya kami sudah diamati oleh gereja Katolik. Saya melihat sendiri orang gereja itu diusir, ia tidak boleh dekat-dekat. Tapi dia memantau sampai dunia internasional tahu bahwa ada sebagian tahanan politik yang tak diangkut ke Jakarta. Lantas itu menjadi berita internasional.

Setelah diketahui persoalannya oleh pihak internasional, rupanya mereka mengalah.

Bagaimana dengan pembelaan Anda terhadap Soekarno, terutama berkaitan dengan para sastrawan tahun 1960-an yang menyerang Bung Karno dengan pandangannya yang membatasi pengarang melalui Manifes Kebudayaan. Kenapa Anda begitu kukuh membela pandangan realisme sosialis sampai sekarang ?

Saya tak pernah membela realisme sosialis. Saya memang diminta berbicara mengenai realisme sosialis di UI. Dengan pengetahuan saya yang sedikit ya saya laksanakan. Kok terus dicap pendukung realisme sosialis. Saya terima undangan itu justru untuk mencari input.

Sekarang kan Anda dekat dengan beberapa orang Manifes Kebudayaan, tetapi kelihatannya masih berjarak juga dengan beberapa yang lain. Apa yang membedakan sikap Anda ini?

Soal Manifes Kebudayaan, itu persoalan pada masa Soekarno, saat Indonesia terjadi perang dingin. Semua orang supaya bersatu melawan Barat yang menghendaki Indonesia jadi jarahannya. Saya membantu Soekarno dan itu didukung juga oleh semua yang menghendaki Indonesia menjadi negara yang mandiri. Sementara itu, Manifes Kebudayaan kan menghendaki kebebasan kreatif. Itu dilakukan setelah Central Inteligence Agency (CIA) membuat kongres. Setelah itu baru muncul Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Dan kita tahu tujuan CIA. Itu yang kita lawan. Soekarno sendiri mengatakan bahwa ia tahu orang-orang yang menerima uang dari Amerika berikut jumlahnya.

Anda menganggap penanda tangan Manifes Kebuda-yaan itu pengkhianat Soekarno?

Menurut saya begitu. Sampai sekarang rasanya tidak berubah.

Sejauh mana sih Manifes Kebudayaan merongrong kewibawaan Soekarno?

Karena mereka memecah kesatuan untuk menghadapi Barat.

Bukankah orang Manifes Kebudayaan itu sedang mengkritik Soekarno?

Itu bukan mengkritik. Ia membuat jalan lain yang merugikan.

Apakah hubungan Anda dengan H.B. Jassin baik-baik saja?

Dia guru saya. Tetapi, setelah saya menilai ia tidak konsekuen dengan ajarannya, ya saya tinggalkan. Dia guru saya yang mengajarkan tentang humanisme universal. Lantas ada penindasan terhadap minoritas Tionghoa, dia diam saja. Ada pembantaian jutaan orang, dia diam saja. Hak-hak satu setengah juta orang dirampas dan diinjak-injak, dia diam saja. Malah dia diberi penghargaan Mahaputra oleh Orde Baru. Jadi bagaimana prinsipnya tentang humanisme? Karena itu, ketika dia sakit, no. Saya tidak mau tahu.

Sebetulnya berapa keras benturan antara Anda dan orang-orang Manifes Kebudayaan ketika itu?

Saya cuma membuat polemik. Saya hanya menulis. Masa semua kekuatan ini harus erkepal pada jari tinju untuk membela dan memukul lawan RI. Itu saja. Yang tidak setuju, ya minggir saja. Negara kan dalam keadaan bahaya. Soekarno sendiri sudah tujuh kali lolos dalam pembunuhan.

Anda juga dituduh membakar karya-karya orang Manifes Kebudayaan?

Omong kosong. Kalau saya bakar dokumentasi orang lain, kan gila. Jika saya mau, saya bawa pulang.

Kenapa Anda seperti hidup dalam dendam masa lalu?

Itu terserah saja, kan orang punya pendapat. Menurut penilaian saya sendiri saya tidak pernah mengkhianati prinsip saya.

Apa betul sastrawan-sastrawan Lekra, katanya, dulu sangat arogan dan menindas?

Menindas? Kekuasaannya itu dari mana? Yang berkuasa itu Angkatan Darat karena menguasai teritorial. Saya bekerja membantu harian Bintang Timur. Kantor Bintang Timur pernah dilempar granat sekali, tak pernah ada penyelidikan. Padahal Bintang Timur itu loyal terhadap Soekarno. Pelarangan-pelarangan ide itu bukan berasal dari Soekarno, bukan dari Lekra, tapi Angkatan Darat. Koran-koran dibredel. Itu dilakukan oleh Angkatan Darat. Tapi yang dituduh melakukan itu Lekra. Aneh-aneh saja.

Sekarang kita bicara karya sastra. Dalam Bumi Manusia, buku itu seperti bercerita sendiri. Kemudian terjadi pergeseran teks pada Jejak Langkah saat pengarang menjadi pihak yang berkisah. Apakah itu disengaja?

Cerita itu yang bermain sendiri. Dan ini memang satu cara menulis yang saya pelajari dari Steinbeck dan Idrus. Jadi, kalau kita membaca, kata-kata itu membangunkan gambar di dalam otak. Sampai setua ini, itulah cara saya (menulis).

Dengan sastra membela rakyat, seperti yang Anda katakan, apakah itu bukan bagian pandangan realisme sosialis?

Barangkali. Tetapi saya tak tahu betul. Saya hanya menulis yang saya yakini. Dan keyakinan terbesar adalah berpihak pada rakyat dengan cara dan kemampuan apa pun. Bahwa itu disalahkan silakan saja, itu hak orang lain. Karena itu, saya tak pernah merasa punya musuh dalam sastra.

Kalau setiap karya harus menyuarakan rakyat, lalu sebetulnya bagaimana penilaian Anda terhadap karya yang tak bercerita tentang rakyat?

Ya, boleh saja bercerita tentang individual asalkan membela kebenaran, keadilan.

Dalam sebuah karya sastra mana yang lebih penting, pembelaan pada rakyat, atau keindahan yang diciptakan dalam karya sastra itu?

Soal keindahan itu banyak persoalan. Apa itu keindahan? Menurut Pujangga Baru, keindahan itu terletak pada bahasa. Bagi saya, keindahan itu terletak pada kemanusiaan dan perjuangan untuk kemanusiaan: pembebasan terhadap penindasan. Jadi keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusiaan, bukan dalam mengutak-atik bahasa.

Kalau yang lebih penting adalah pemihakan kepada rakyat, sementara keindahan itu nomor dua, lalu apa bedanya antara karya sastra yang membela rakyat dan pidato politik yang membela rakyat?

Ya, itu sejalan saja. Setiap orang tidak bisa lepas dari politik. Politik dalam hal ini berarti kekuasaan. Segala sesuatu yang bersinggungan atau terangkum dalam kekuasaan adalah politik. Mengibarkan bendera Merah Putih serta pemihakan pada RI itu sudah politik. Membayar pajak itu sudah politik, karena itu memberikan masukan kepada kas negara. Kalau tak menolak menjadi warga negara Indonesia itu juga politik. Tidak ada yang bebas dari politik.

Termasuk karya sastra?

Termasuk. Semuanya.

Katanya Anda tak membaca karya-karya sastrawan Indonesia, Anda tak tertarik atau tak mau?

Tidak ada artinya untuk saya. Orang dalam penindasan, membaca dengan foya-foya. Membaca buku Perjalanan Pengantin (karya Ajip Rosidi, Red.), saya tak bisa. Orang yang tertindas seperti saya tak bisa menikmati karya seperti itu.

Kalau karya Seno Gumira Adjidarma?

Cuma karya dia yang saya baca. Satu saja cerpennya yang saya baca. Dan itu sudah lama sekali. Ketika saya baru pulang dari Pulau Buru. Dan saya lihat dia pengarang baik. Dia mempunyai keberanian. Tidak ragu-ragu menyatakan kebenaran yang dia anggap kebenaran

Novel Saman karya Ayu Utami?

Satu halaman saya baca. Isinya seks melulu. Untuk saya, itu kan sudah lewat.

Apakah itu sebabnya semua tulisan Anda, jika bukan novel-novel tentang revolusi, novel sejarah?

Ya, karena, menurut saya, sejarah itu penting. Sejarah itu kan rumah tempat orang melanglangi dunia. Jadi, kalau dia tak tahu dari mana ia berangkat, ia tak mengerti tujuan.

Peristiwa Mei, misalnya, jatuhnya Orde Baru, apakah akan dibuat novel?

Saya tidak menulis itu. Itu merupakan suatu bagian dari proses yang belum selesai. Soal Orde Baru. Jika saya tulis juga, itu menjadi jurnalisme. Bukan sastra.

Dari sekian karya Anda meski-pun Anda tidak pernah membacanya kembali, mana yang paling Anda sukai?

Sama saja. Semua itu anak-anak rohani saya. Masing-masing punya sejarahnya sendiri. Semua saya sayang.

Kebebasan ini membuat Anda kembali berkumpul dengan keluarga. Apakah Anda pernah berterima kasih untuk kembali berkumpul dengan Orde Baru itu?

Terima kasih? Buat apa saya berterima kasih. Pernah ada pertemuan dengan wartawan lokal dan luar negeri. Mereka bertanya apakah saya tidak menginginkan amnesti. Lha, yang berhak memberikan amnesti itu saya kepada kekuasaan. Seperti sekarang, Budiman menolak grasi, itu (keputusan) yang betul. Kenapa diampuni, memang dia salah apa? Kan persoalannya karena pemikiran dia tidak sama dengan penguasa. Sekitar tiga tahun sebelumnya saya ucapkan itu: saya yang berhak memberikan amnesti, bukan sebaliknya.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati