Leila S. Chudori, Dewi Rina Cahyani
http://majalah.tempointeraktif.com/
Pramoedya menggetarkan dunia melalui kata-kata. Meski ia terkurung di sebuah pulau terpencil, dari tangannya dan dari nuraninya telah mengalir kata-kata yang memiliki kekuatan yang menukik ke dalam kalbu. Ia menulis dengan bahasa yang sederhana, tanpa pretensi, tanpa pembaruan dalam khazanah kesusatraan Indonesia, tetapi ia menggunakan riset dan data sejarah yang luar biasa mengagumkan. Kekayaannya lebih terletak pada ide dan bukan pada simbol atau imaji. Dia menjadi legenda karena produktivitasnya dan juga karena kehidupannya selama 14 tahun di Pulau Buru.
Dan 14 tahun yang kelabu, yang disebutnya sebagai sebuah “nyanyi sunyi” itu, akhirnya menggapai sebuah warga New York yang memadati Gedung Asia Society, yang hening mendengarkan kesaksiannya, akhir April lalu.
Meski kakinya dilarang melangkah ke luar negeri ini sejak 1959—dan penerbangannya ke AS April lalu adalah pertama kalinya setelah pelarangan itu—kata-kata Pram telah mencapai para pembacanya di berbagai negara dalam berbagai bahasa. Melihat jumlah bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, tampaknya Pram adalah satu dari sedikit sastrawan Indonesia yang paling banyak diterjemahkan dan dikenal di dunia.
Di AS, seperti halnya di berbagai negara Barat lainnya, mereka mengenal Pram melalui The Fugitive (terjemahan Willem Samuels dari novel Perburuan); This Earth of Mankind (terjemahan Max Lane, dari novel Bumi Manusia); Footsteps (terjemahan Max Lane, dari novel Jejak Langkah), Child of all Nations, terjemahan Max Lane dari novel Anak Semua Bangsa); The Girl from the Coast (terjemahan Harry Aveling dari novel Gadis Pantai), sederetan kumpulan cerita pendek, serta yang baru saja diluncurkan April silam adalah The Mute’s Soliloquy, yang diterjemahkan dengan baik oleh Willem Samuels dari catatan Pulau Buru Pram yang berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.
Bisu bagi Pramoedya adalah sebuah “senjata” perlawanan, bukan tanda menyerah atau menyetujui. Seperti juga yang diutarakan penyair Goenawan Mohamad dalam pidato pengantarnya saat peluncuran buku itu di New York, kebisuan Pramoedya tidak sama dengan ketakfasihan. Kebisuannya adalah sebuah pernyataan tentang penolakan (penindasan).
Dalam “pernyataan menolak” itulah Pram berdiri sebagai dirinya sendiri, hingga tampaknya kejujuran dan ketelanjangan perasaannya mampu menggetarkan. Melalui terjemahan Willem Samuels yang bukan saja menyadur, tetapi sekaligus mengedit dan menyusun kembali catatan yang semula tak dimaksudkan untuk diterbitkan itu, The Mute’s Soliloquy menjadi sebuah saksi yang sangat lantang.
Dibuka dengan bab “Natant Ruminations” (”Permenungan dan Pengapungan”), sebuah surat untuk anaknya, Pujoresmi, Samuels menerjemahkan surat ayahanda kepada calon pengantin baru itu sekaligus mengirim sebuah keharuan yang menyentuh.
“This young woman is my first child. I love her…. I also ask you—no, I forbid you—to ever strike her or hurt her in any way. And because you have asked for my daughter’s hand in the propper manner. I also ask you that if something happens and you find that you no longer want to be with her, that you return her to me just as she is now, in good health, and that thereafter you never call me again.”
Pesan seorang ayah kepada calon menantu ini, yang pasti akan langsung dipahami warga berbahasa apa pun, adalah sebuah pembukaan yang menyentak sekaligus mengharukan. Pada teks asli, Pramoedya menulis: “… anak ini kau pinta padaku untuk diperistri secara baik-baik, kalau karena sesuatu hal kau tak menyukainya lagi, kembalikan pula dia secara baik-baik padaku.”
Apa yang dilakukan Samuels memang bukan sebuah penerjemahan harfiah; bukan penerjemahan kata demi kata, tetapi penerjemahan sebuah kebudayaan ke dalam bahasa yang berbeda dari kebudayaan itu. Tak aneh, pesan sang ayah yang mengharukan sekaligus tegas itu kemudian membutuhkan tambahan “… and thereafter you never call me again”, suatu penjelasan sikap seorang ayah (Indonesia) kelak jika putrinya tercinta disia-siakan oleh menantunya. Dan konsep ini tentu saja tak mudah dijelaskan di dalam teks kecuali dengan penerjemahan yang integratif seperti ini.
Penerjemahan yang harfiah, yang barangkali seolah lebih “tepat”, adalah sebuah penerjemahan yang kemudian meruntuhkan karya asli. Itulah yang terjadi dengan penerjemahan sajak Rendra oleh Harry Aveling belasan tahun silam. “… wahai dik Narti/kupinang kau menjadi istriku…” menjadi “Hei, little sister Narti/I want you for my wife.” Dialog Bawuk dengan suaminya, Hasan, dalam cerita pendek Umar Kayam, Bawuk, yang berbunyi “Saya siap, Mas” diterjemahkan Aveling menjadi “Yes, husband, I am ready.”
Untuk tidak mengindahkan kebudayaan Jawa yang terpancar dalam kedua karya itu, artinya sang penerjemah tak mengindahkan arti penerjemahan yang hakiki. Sebutan “dik” yang digunakan Rendra dalam puisi ini tentu saja adalah panggilan untuk seorang kekasih, bukan seorang saudara perempuan. Sedangkan panggilan “mas” rasanya lebih baik dibiarkan apa adanya dengan catatan kaki, daripada diterjemahkan sebagai “husband”. Penerjemahan harfiah seperti ini akhirnya meruntuhkan nuansa estetika karya itu, dan syukurlah pada karya Pram keteledoran semacam ini tak terjadi.
Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu pada dasarnya adalah kumpulan surat Pram kepada anak-anaknya—saat itu tak diketahui apakah akan tiba di tangan yang dituju atau tidak—yang tercecer di beberapa pihak. Adalah Samuels yang rajin berkunjung ke beberapa pihak yang memegang bahan-bahan tersebut—hingga ke negeri Belanda—dan menyusun serta menyunting berbagai surat ini agar tak terjadi pengulangan yang tak perlu untuk pembaca non-Indonesia. Penyuntingan juga terjadi pada beberapa bagian yang dianggap tak relevan bagi pembaca Barat, misalnya, “Nama-nama jenderal yang detail tidak perlu disebut,” tutur Samuels. Samuels mengaku sekitar 30 persen dari karya asli—misalnya bagian yang sangat detail tentang sejarah Indonesia—dibuangnya.
Tentu saja penyuntingan dan penerjemahan ini dilakukan atas kerja sama yang erat dengan penulisnya sendiri. Samuels mengaku mulai menerjemahkan dan mengumpulkan bahan selama hampir 10 tahun atas inisatif sendiri, sementara Pram baru mulai bergabung dua tahun terakhir.
Pada bagian lain, Pram berdiri dengan “telanjang” tentang kehidupan pribadinya. Pada bab “For Better or For Worse”, sepucuk surat untuk putrinya Anggraini adalah sebuah surat seorang ayah yang jujur kepada perasaan cinta. Seorang anak yang mempertanyakan hubungan ayah dan ibunya, yang kemudian bercerai, dan mempertanyakan adakah Maemunah Thamrin, istri Pram kini, yang telah menyebabkan itu semua.
Ini sebuah kisah yang pribadi. Tetapi Pram merasa wajib menceritakan dari sisinya karena pada akhinya sang putri, yang saat itu telah memasuki usia dewasa, rusuh oleh desas-desus keji seputar kehidupan perkawinan orang tuanya. “The simple truth is your mama was never completely happy, never completely satisfied with me. The same thing can be said for me…,” tuturnya ketika ia mulai membuka sebuah babak yang kelabu dalam kehidupan masa lalu pernikahannya yang pertama. Seluruh kisah itu mungkin bagai drama televisi biasa. Istri yang tak bahagia, suami yang rendah diri, dan jalan mencari kehidupan dan kebahagiaan.
“How could this happen? My father was a failure in those respect, and now my own wife thought the same of me. Also in my mind was the thought that a marital crisis is never just one person’s problem. At the very least it concerns two people….”
Pada bagian ini, Samuels bukan hanya menjadi jembatan bagi hati Pram yang tengah berbicara dalam bisu, tetapi The Mute’s Soliloquy kemudian seperti menjadi satu karya lain—dari Nyanyi Sunyi…—karena pengungkapan Pram dalam bahasa Inggris (atau tepatnya dalam kosakata Samuels) menjadi sebuah karya yang lebih rapi dan komprehensif. Samuels mengaku menyusun draft empat kali karena banyak pemikiran Pram yang meloncat-loncat yang harus disunting. Dan kerja keras selama 10 tahun menerjemahkan, menyunting, memotong, merapikan itu berbuah sebuah buku hard cover dengan desain yang bagus berjudul The Mute’s Soliloquy, yang kini terpajang di toko-toko buku AS.
Melalui catatan yang mencapai pojok dunia itu, “kebisuan” Pram sudah sirna.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar