Senin, 08 November 2010

Sajak “Kesepian” Friedrich Nietzsche

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=586


Sebelum menyusuri puisi Nietzsche yang bertitel “Kesepian” dari buku “Malam Biru Di Berlin,” terjemahan Berthold Damshäuser dan Ramadhan K.H. 1989. Terlebih dahulu, aku kan kembarai kesanku padanya.

Setidaknya aku punya dua buku karangannya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Jilidannya telah rusak, yang aku rekatkan dengan memaku, tidak menggunakan lem perekat. Demikian kelakuanku pada buku-buku yang kerap kubaca sampai tercerai, aku benahi seperti tukang kursi; Sabda Zarathustra, Ecce Homo.

Sedang dua lainnya; Lahirnya Tragedi dan Senjakala Berlaha serta Anti Krist, hampir-hampir ludes, tetapi belum aku paku. Aku kira, dari empat bukunya diri ini terbebani, maka kan kucoba menanggalkan beratnya. Atau jangan-jangan kini terasa ringan, berjinjit pun jadi.

Nietzsche, insan paling bergairah yang pernah kutemui, jika tak pantas menyebutnya sangat bernafsu. Jiwanya meledak-ledak seakan di atas kobaran bara, tidak sebentar pun duduk tenang. Seumpama derasnya gelombang menghajar tanjung karang, nilai dikira orang mapan, ia sebut berhala-berhala.

Ia tak dapat ditaklukkan kecuali insaf sendiri, ombak selalu membaur menanggulangi kekeroposan, kelembekan diri; mental-mental mencipta kelayakan lalu, terserang badai keluputan digerusnya habis. Dirinya ingin senantisa waras, serupa timbangan tidak pernah berhenti bergoyang.

Aku yang pernah terinfeksi Zarathustra-nya hampir setahun, selebihnya mengawang, sewaktu di kontrakan Gedong Kuning Yogyakarta sampai kembali ke tanah kelahiran. Untung mendapati penyeimbang atas karya Ibnu Attaillah, bertitel Al-Hikam. Kalau takdirku tak perdalam ulang sambil menyusuri daerah terpencil Watucongol, Magelang, mungkin sudah tak normal seperti dirinya, yang ditimpakan banyak orang.

Friedrich Wilhelm Nietzsche (15 Oktober 1844 – 25 Agustus 1900) menyebut pribadinya bukan hantu, tapi bagiku dengan itu ingin menjelma hantu gentayangan melampau milenium di depan. Menjegal nilai-nilai semu pemanis buatan, mengolok-olok pengkhotbah bermodal gincu pun sorban. Ialah benar-benar hantu memiliki jasad utuh, selayaknya ajaran Karl Marx (1818–1883), yang menaungi kepala-kepala para pengikutnya.

Sejenis bisul di tubuh filsafat, pula di lapangan sastra manja grup. Ia mengetahui kemandekan nilai dielus-elus pengikutnya kian mengkilap, berdampak mengumpulnya darah kotor fikiran usang tak dapat difungsikan, otomatis pemberontakan datang:

Terbitlah Jean Paul Sartre (1905-1980), oleh kakek buyut perlawanan Voltaire (1694-1778). Di sebelahnya bermunculan para filsuf dan sastrawan kemayu, yang berperang dengan para pendatang beringas.

Nama Nietzsche termasuk sering disebut sebagai momok barangkali dirindu, apalagi tatkala berbicara soal “tuhan telah mati.” Bagiku karya yang berhasil sejenis Sabda Zarathustra, tak sekadar berkhotbah, menghasut, apalagi berindah-indah. Namun mampu menggerakkan organ lain menyusup ke balik jiwa pembaca, sampai batas-batas diinginkan dan diketahui.

Aku tersadar perkataan pelukis Picasso, dari ingatan Christian Zervos (1889-1970), bahwa “…tiada lebih berbahaya daripada keadilan di tangan para hakim dan kuas-kuas untuk melukiskan di tangan pelukis! Bayangkan saja bahayanya bagi masyarakat.”

Maka sungguh berbahaya kata-kata penyair pun filsuf disalah tafsirkan, apalagi sengaja dibengkokkan demi nafas kesia-siaan; membuat penilaian yang didasari kata-katanya semata, tidak dilandasi pergolakan sejarah di dalam kisaran pelakunya.

Kesetiaannya mengurbankan diri membekas tampak cekung pada batuan pualam kehidupan. Laksana letak bersilanya Pangeran Sambernyowo di atas ketinggian Gunung Gambar, yang di bawahnya jurang terlukis peta pergerakannya kabut konflik kota Surakarta.

Tabah mengerami sakit fisik pun psikis, dilarung ombak ke tengah samudra kebebasan memahami gelora hidup naik turun. Berharap unggul selapisan air tertinggi dekat cahaya surya, yang menghantarkan kapal menuju pantai makna. Selepas melayari teka-teki menyerat langkah lincah, pula di kedalaman jiwanya, terdapat pembaharuan terus-menerus.

Ketakpuasan rahim lautan, bersimpan ikan-ikan besar dan ribuan ikan kecil berlomba memakmurkan fikiran. Atau batu-batu bergolak di kedalaman gunung berapi demi diledakkan, jikalau purna kekangan rindu terdalam, hingga tercipta danau kemakmuran, membangkitkan bibit ditiupkan bayu perubahan.

Teks-teks bersenggama menghayati gejolak jaman, membawa pencerahan sejauh kemampuan sudah dicapai. Ini berkembang sedapat pengikutnya mampu memahami, menyusupi bebenang halus tak sekadar mengikat, namun juga menawan, lagi nikmat bagi lambung kemanusiaan. Dan marilah kita simak puisinya:

KESEPIAN
Friedrich Nietzsche

Burung-burung gagak berteriak
Dan terbang ke kota dengan mengumbang:
Salju akan turun segera-
Bahagialah dia yang kini masih -berkampung halaman!

Kini kau berdiri kaku,
Menengok ke belakang, ah! betapa lama sudah!
Mengapa kau yang tolol
Karena musim dingin ke dunia -larikan diri?

Dunia itu pintu gerbang
Ke seribu gurun bisu dan dingin!
Yang kehilangan,
Yang kau kehilangan, takkan berhenti di mana pun jua.

Kini kau berdiri pucat,
Terkutuk untuk ngembarai musim salju,
Bagaikan asap,
Yang mencari langit yang lebih dingin selalu.

Terbanglah, burung, berkoak
Lagumu dalam nada-burung-gurun!-
Umpetkanlah, kau yang tolol itu,
Hatimu yang berdarah di dalam es dan ejekan!

Burung-burung gagak berteriak
Dan terbang ke kota dengan mengumbang:
Salju akan turun segera
Celakalah dia yang tak berkampung halaman!
***

Kini izinkan diriku menafsirinya, sadaplah penuh gairah:

I
Kesepian meluncur beringas, menderas. Gema suaranya terpendam dalam, mendobrak, mengaduk ruang angkasa bersegenap kandungan diuntahkan keluar. Kesunyian tradisi tertimbun masa-masa berlesatan. Mulai bergerak menolak yang membebani selama ini. Jiwa terus bergolak, bayang-bayang suram menguntit dari belakang; sejarah bersegala kenangan diruapinya, bagaikan abu memberkah ditaburkan.

Atau dari pedalaman purba menuju kota sesak suara masing-masing, hingga tak mampu membedakan. Di sana hawa dingin terkucil, dihimpit-hincit kebisuan terbungkam keganjilan tidak sepadang yang dirasai di tengah jalan. Ia merindu berkeringat menggigil, kilatan cahaya silam menyodok dadanya, terkepak kembali sayap-sayapnya berkembang mendapati sang surya:

Merekah memenuhi detak jantung dalam tabung rencana. Terdedah ingatan ke tanah-tanah menerbangkan debu, batu-batu menunggu waktu kesendirian pilu. Padanya ia serahkan segenap kemampaun berbalik mencium hawa sedap malam. Siang menerawang putih, dalam pekat peroleh yang abadi, yakni keyakinan.

II
Pemberontakan hadir dari kelambanan, terbodohi lupa menguliti nasib. Lalu kesadaran menegak, bayu berbondong kekuatan, selepas menyusup melalui lubang pori-pori. Angan lampau terhitung, jengkal demi jengkal lahir pengungkapan. Terbukalah hijab musim cibiran, cuaca makian. Ditelan berat berlari, meninju kebobrokan menekan diri matang sasaran.

Yang memberi umpan dipukuli keculasan, dihincit kekuasaan, tapi betapa arang bersimpan bara masa silam. Kedunguan imbas ketidaksepadanan, atau di sana terjerumus sendiri. Segenap daya patah arang menugel was-was, membeludak kesungguhan dari kewaspadaan terus berlipat kedewasaan. Digerusnya kepicikan, dilumat keegoisan dihadapan muka penghinaan.

Nietzsche mempertanyakan dirinya di hadapan malam kelabu, fajar abu-abu, siang kelawu, senjakala merah memenggal berhala. Nilai-nilai diaduk memudar bagai pesulap di balik layar. Pun terangnya pujian berbalas cermin pantulan, oleh kaki lincah penggoda, hanyut dalam tanya bersimpan kutukan.

III
Dunia berpintu-pintu menjulur ke alam nun jauh, ke pohon-pohon sekarat ditinggalkan ide besar hidup. Akarnya kering tercerabut meranggas penuh debu api sunyi, nafas satu-satu atau dua-dua menekan. Betapa dingin melebihi abad kebisuan, penasaran menghantui tapak kaki kembara, hingga berdarah tidak dirasai. Yang diperoleh di jalan digembolnya tak terlepas, memadatkan keyakinan itu, segumpal es terpegang panasnya.

Yang terlepas selalu was-was, seperti bunga tumbuh di awan dari kisah sang ayah, bersama turunnya hujan anak menangis. Disentak sebuah takdir besar perpisahan seluruh kepemilikan, yakni perasaan. Begitulah ia dijangkiti nilai pencarian, linglung di tengah-tengah kebisuan, akan hasrat senantiasa meremaja.

IV
Yang berdiri pucat dari kutukan musim pencarian di depan pintu, terlihat jalan tertimbun longsoran salju. Hukum tak dapat dikendalikan, tidak dikenali, kecuali maknawi nasib buruk menimpa. Diringkus kebuntuan murung, tiada cahaya panas melelehkan, beku tarikan selain gumpalan menghitam.

Yang terpaksa keluar menerobos gundukan salju dengan jaket tipis. Atau keyakinannya terkelupas lembar demi lembar bolak balik terjaruh. Daging amarah belum beralamat, memudarkan warna pesona pribadi. Sampai suatu kali, nafas kembang-kempis dilayangkan ke akhir tiada tertandai kebugaran.

Ranting sekarat tenggorokannya panas membuat tak waras. Dicarinya batu-batu digesekkan demi hadirnya secerna nafas, percikan api secepat lumatan asap tipis melesat. Entah putus asa atau kesungguhan akhir, doa-doa atau umpatan. Jelasnya lebih dalam dari maut, lebih kejam dari yang dirasai, pilu dari waktu-waktu meninggalkannya. Makin dingin di pucuk-pucuk sekarat, harapannya tetap bernafas di jepitan padat, jeritan melesak ke dada, ceruk paling dalam bersimpan batu mulia.

V
Nilai-nilai padatan nafas udara sesak menggelinjak, hasrat tertumpas dikeluarkan mulut bertenaga. Lengkingan suara serak berteriak dari kesepian menyayat. Kepakkan seluruh sayap kemauan menghardik situasi dilesatkan. Ingatan keras bertumpuk, dalam lawatannya membangun yang digandrungi.

Zarathustra menjadi alamat, seluruh tubuhnya dipancari hasana pembeda; umpatan pada kekerdilan, pembusukan, nilai mandul pembodohan, taklid buta, hamba kebenaran yang mandek serupa sungai tak lagi mengalir, mengempis airnya oleh perubahan jaman, tinggal selokan.

Mencaci maki kelembekan atas keterlambatan terlalu, dengan memeras rasa malu. Usaha kritik diri hingga berdarah dalam membekukan renungan kecewa. Mengejek sifat pecundang yang memperbesar keadaan pada lingkaran sama ketololan.

Nietzsche mengupas keseriusan sekaligus tertawa. Memuncratkan tangis gembira, haru yang mewah, sesudah membenamkan diri dalam cacian menguliti kebodohan. Musik beringas memberedeli capaian kemayu bertenaga dendam, di atas kecintaannya kepada tanah air. Senada alunan komponis Mussorgsky (1839-1881) dalam komposisinya “Night On Bald Mountain” yang memorat-maritkan tradisi klasik sebelumnya.

VI
Ialah kawanan burung hitam berteriak lantang. Melabrak gemawan mengacaukan musim berganti selepas memasuki situasi. Mematahkan nilai-nilai sekaruan hasratnya tertinggi, memurnikan bijian insani demi memimpin diri paling pribadi:

Telinga purna tersumbat kasih sayang, mata tajam dipejamkan kecemburuan dalam. Alam di balik kesadaran bangkit, tarian lumrah jelma peperangan. Tekukan lembut bersimpan belati maut. Kegusaran hebat menampilkan canda, dan ketentuan jadi permainannya.

Bagi ketahui alamat diberi kecupan, itu kemungkinan sepadan. Sesudah terlupa dirasai, kegetiran menamatkan pemahaman. Atau rindu tanah dijanjikan, bathin mendamaikan persoalan matang, musik pemberontakan bebas dari kesepian, menuju kesunyian sebening binaran cahaya. Sesantun pendapat tidak mengeruk pendapatan, kecuali kekekalan agung bagi semua. Di sana terus diperbaharui, kalau tak ingin celaka dalam kebisuan yang tidak punya maksud kedalaman.

Yang meraba diberi kejelian pandang, tiada lekang jutaan perubahan, punya musik tersendiri dan selalu menghantui. Berteduh di awang-awang menebarkan jala kemungkinan, sedari maksud baik sebagaimana kepulangan.

9 September 2010

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati